Luka Dalam

“Kadang, diam bukan karena tidak peduli. Tapi karena sudah pernah peduli sampai terluka.”

.

Senja di Jantung Kota

Senja merambat di dinding kaca gedung Kuningan, memantul di mobil-mobil yang tersendat di bawahnya. Lampu kantor menyala seperti bintang yang turun lebih awal. Dari balkon apartemen lantai dua puluh satu, Sasmita menatap Jakarta dengan tatapan yang tidak lagi sama.
Di tangannya, cangkir kopi yang sudah dingin — bukan karena lupa, tapi karena ia sengaja membiarkannya begitu.
Ia lelah berpura-pura hangat pada hal-hal yang tak lagi punya rasa.

Ia baru saja pulang dari rapat besar. Presentasinya sukses, tim bersorak, klien bertepuk tangan. Tapi dalam dirinya, sepi menjalar seperti bayangan panjang sore hari.
Ponsel bergetar. Sebuah pesan dari Panji — teman lama yang dulu sempat menjadi lebih dari sekadar teman.
“Boleh telepon? Genting.”

Sasmita menarik napas. Ia tahu, genting bagi Panji jarang berarti bahaya. Biasanya berarti ada seseorang yang butuh ditolong — dan entah kenapa, dunia selalu mengirimkan orang-orang seperti itu kepadanya.

.

Pertemuan dengan Sekar

“Sekar butuh tempat singgah malam ini,” suara Panji di ujung telepon terdengar berat.
Sasmita terdiam. Nama itu menembus ingatannya seperti cahaya kecil dari masa lalu. Sekar — adik kelas yang dulu ia mentoring di program magang. Gadis Malang yang penuh semangat, penuh empati, dan sering kali terlalu percaya.

Beberapa tahun lalu, Sekar mendirikan edutech startup kecil untuk membantu anak-anak di sekolah negeri. Sasmita membantu dari jauh — memperbaiki pitch deck, mencarikan jaringan, membesarkan hati ketika dana investor tak kunjung cair.
Tapi setahun terakhir, Sekar hilang dari radar.

“Dia… dikhianati partnernya,” lanjut Panji lirih. “Semua sahamnya diambil alih. Sekar nggak punya rumah, nggak punya uang, dan katanya cuma mau bicara sama kamu.”

Sasmita menatap hujan yang mulai turun di luar jendela. “Antar ke sini,” katanya pelan. “Aku tunggu.”

.

Luka yang Belum Kering

Pukul sembilan malam, bel apartemen berbunyi. Sekar berdiri di depan pintu dengan rambut basah, membawa tas kain dan kotak kecil. Wajahnya pucat, tapi matanya masih berusaha tersenyum.

“Aku numpang semalam aja, Kak,” suaranya lirih, nyaris retak.
“Masuk. Kamu butuh makan dan tidur,” kata Sasmita lembut.

Di ruang tamu, Sekar akhirnya pecah. Ia menangis lama, menuturkan semuanya: partner bisnis yang memanipulasi laporan, investor yang berbalik arah, dan tim yang memilih diam.
“Aku pikir kalau aku tulus, orang akan ikut tulus. Tapi ternyata tulus juga bisa dimanfaatkan,” katanya dengan tawa getir.

Sasmita mendengarkan tanpa memotong. Ia tahu rasa itu. Rasa ketika kebaikan sendiri menjadi alasan luka yang paling dalam.

Malam itu mereka menjemur baju basah di kursi, memanaskan sup instan, dan berbagi diam. Hanya ada suara hujan di luar, dan napas dua perempuan yang sama-sama pernah kehilangan arah.

.

Belajar Menata Batas

Pagi datang dengan cahaya yang bersih. Sekar masih tertidur di sofa, wajahnya damai setelah malam panjang.
Sasmita menyiapkan teh serai — resep ibunya dari Malang — lalu menulis tiga baris di buku catatannya:

Aku pernah peduli sampai berdarah.
Hari ini aku belajar memasang perban.
Besok aku belajar tidak menyelamatkan semua orang.

Hari-hari berikutnya, keduanya berbagi ruang dan waktu. Sekar mulai membantu Sasmita di rumah — membuat jadwal konten untuk proyek sosial, menyusun naskah iklan CSR.
Pelan, mereka saling mengobati tanpa niat menyembuhkan.

Sampai suatu sore, Gunung — arsitek dan pengusaha co-living yang juga sahabat Sasmita — datang berkunjung. Ia melihat Sekar, lalu berkata, “Di tempatku ada unit kosong. Kalau kamu mau jadi community manager, tinggal gratis. Cuma bantu ngatur kegiatan penghuni.”

Sekar menatap Sasmita, seolah minta izin.
“Cobalah,” kata Sasmita. “Kadang Tuhan menyembuhkan dengan cara memindahkan kita.”

.

Luka yang Diajarkan Ulang

Di co-living itu, Sekar menemukan ritme baru. Ia bertemu Klana — fotografer yang beralih memotret UMKM. Ia belajar bahwa kamera bisa menyembuhkan: dengan melihat, bukan hanya merekam.
Klana sering berkata, “Cahaya yang paling indah justru datang dari arah yang dulu kita hindari.”

Sekar mulai mengajar kelas storytelling untuk pemilik usaha kecil. Ia menulis di papan tulis:

“Kebaikan yang tidak dijaga akan tumbuh jadi luka.”

Satu per satu peserta menceritakan kisahnya — tentang kerja keras, ditipu teman, ditinggal partner. Dan Sekar, yang dulu tidak bisa bicara tanpa air mata, kini menjadi cermin bagi mereka.

Di akhir kelas, seorang ibu pemilik toko kue menangis dan berkata, “Saya baru tahu, menolak juga bisa jadi bentuk cinta pada diri sendiri.”

Sekar tersenyum. Untuk pertama kalinya, luka dalam dirinya tidak lagi terasa seperti beban. Ia mulai menjadi pelajaran.

.

Pertemuan Kembali

Beberapa minggu kemudian, Panji mengundang Sasmita ke diskusi panel bertajuk “Etika Investasi dalam Bisnis Sosial”.
Di sana, Sasmita bertemu Rengganis — teman SMA yang kini menjadi direktur lembaga pendidikan karakter.

Dalam sesi tanya jawab, Sasmita mengangkat tangan.
“Kenapa banyak orang baik yang justru kelelahan? Kami berusaha transparan, tapi justru dipermainkan oleh sistem yang tertutup.”

Rengganis menjawab dengan tenang, “Karena kita lupa: kebaikan tanpa batas bukan lagi kebaikan, tapi candu yang perlahan membunuh empati.”

Kalimat itu menembus hati Sasmita seperti pisau yang menolong, bukan melukai. Ia pulang malam itu dengan langkah ringan, membawa pulang pelajaran paling berharga: bahwa tidak semua yang baik harus terus dilakukan.

.

Luka yang Menjadi Rumah

Minggu berikutnya, Sasmita dan Sekar bersama Gunung, Klana, dan Rengganis duduk di warung mi kaki lima. Mereka sepakat membuat tempat belajar bernama LukaLab — ruang sederhana untuk siapa pun yang ingin belajar menjaga diri.
Programnya ringan: kelas finansial, kelas batas diri, kelas “diam dan mendengar”.

“Kenapa namanya LukaLab?” tanya Klana.
Sasmita menjawab, “Karena di sini kita tidak sembuh, kita belajar hidup dengan luka yang lebih baik.”

Dan benar, LukaLab tumbuh bukan karena iklan, tapi karena kejujuran. Pesertanya datang dari mana-mana: guru, barista, desainer, ibu rumah tangga, pekerja startup yang terbakar.
Mereka tidak datang mencari motivasi, tapi mencari cara untuk berhenti berdarah karena kebaikan yang berlebihan.

Dalam satu kelas, seorang bapak ojol menceritakan bagaimana ia selalu meminjamkan uang karena tidak tega. Setelah ikut LukaLab, ia belajar berkata, “Maaf, saya juga punya kebutuhan.”
Dan ia menutup cerita dengan mata berkaca-kaca, “Saya baru sadar, menjaga diri juga bentuk sedekah.”

.

Pulang ke Malang

Suatu siang, Sasmita menerima kabar: ibunya jatuh di kebun belakang rumah di Malang. Ia dan Sekar segera pulang.
Rumah tua di bawah pohon kamboja itu masih seperti dulu, hangat dan beraroma kayu. Ibu tersenyum di ranjang dengan kaki digips, bercanda, “Lutut ini protes karena aku terlalu sering jongkok menanam.”

Malamnya, Sasmita duduk di teras bersama ayahnya. “Kamu kelihatan beda,” kata ayah.
Sasmita tersenyum. “Mungkin karena sekarang aku belajar tidak harus baik setiap saat.”

Ayah menatap langit. “Itu juga kebaikan. Yang jujur dan sadar batas.”

Kata-kata itu mengendap seperti doa.

.

Luka Dalam yang Tumbuh Bunga

Sekar tinggal lebih lama di Malang. Ia membuka kelas storytelling untuk anak SMA, sementara Sasmita bolak-balik Jakarta-Malang menyiapkan program LukaLab baru bersama Rengganis.
Gunung membantu renovasi bangunan lama menjadi ruang belajar. Klana membuat pameran foto berjudul Wajah yang Pernah Tersenyum Meski Lelah.

Suatu sore, Panji datang berkunjung. “Aku pikir kamu sudah selesai dengan semua ini,” katanya sambil menatap halaman.
Sasmita tertawa kecil. “Luka nggak pernah benar-benar selesai, Ji. Tapi kalau kita bisa menanam bunga di atasnya, bukankah itu cukup?”

Panji mengangguk, lalu menatap Sekar yang sedang mengajar di beranda. “Kadang aku iri. Kalian bisa tetap lembut setelah dilukai.”

“Bukan karena kuat,” jawab Sasmita. “Tapi karena kami sudah berhenti membuktikan.”

.

Damai di Dalam

Setahun kemudian, LukaLab merayakan ulang tahun pertamanya. Tidak ada panggung besar, tidak ada baliho. Hanya meja kayu, lilin kecil, dan wajah-wajah yang belajar tersenyum lagi.
Rengganis menutup acara dengan doa. Klana memotret diam-diam. Panji diam-diam menyeka mata.

Sasmita menatap semua orang di ruangan itu — orang-orang dengan luka yang tak sama, tapi memiliki satu kesamaan: mereka bertahan tanpa menjadi pahit.

Ia naik ke panggung dan berkata pelan:

“Luka dalam bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dipeluk dengan pengertian. Karena yang kita jaga bukan citra, tapi jiwa.”

Malam itu, di teras co-living, ia duduk sendiri dengan secangkir teh hangat. Ia mengirim pesan pada ibunya:
“Aku baik, Bu. Aku belajar dari luka, tapi kali ini tanpa harus berdarah.”
Balasan datang cepat:
“Itu tandanya kamu sudah sembuh, Nak. Karena kamu sudah bisa tersenyum di tengah bekasnya.”

Sasmita menatap langit kota. Lampu-lampu berkelip seperti doa yang menolak padam.
Dan ia tahu — akhirnya — bahwa beberapa luka tidak perlu ditutup rapat. Cukup dijaga agar tidak menguasai seluruh hidup.

“Kebaikan tak perlu ditinggikan, cukup ditenangkan. Karena luka dalam bukan akhir — tapi pintu pulang menuju diri sendiri.”

.

.

.

Malang, 20 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#LukaDalam #CerpenKompasMinggu #RefleksiHidup #SelfHealing #KehidupanUrban #JeffreyWibisonoV #NamakuBrandku

Leave a Reply