Paragraf Utama
“Mereka yang sering kita anggap catatan kaki dalam hidup, diam-diam justru menulis paragraf utama yang mengubah cara kita melihat dunia.”
.
Lampu-lampu kota berpendar di kaca jendela apartemen tinggi itu, memantulkan garis cahaya seperti grafik keuangan yang bergerak naik turun. Di lantai dua puluh satu, Jayeng berdiri menatap ke bawah, ke arus kendaraan yang tak pernah selesai. Di belakangnya, laptop masih menyala, menampilkan dua dokumen yang saling bertentangan: satu laporan resmi yang rapi, satu lagi pesan panjang tanpa nama pengirim.
Keduanya bicara tentang hal yang sama: perusahaan klien terbesar yang ia tangani.
Keduanya mengklaim kebenaran.
Dan keduanya, pada saat yang sama, terasa benar dan salah sekaligus.
Jayeng menghela napas. Di usia menjelang empat puluh, ia sudah kenyang dengan kontrak bernilai miliaran, rapat di hotel bintang lima, dan presentasi di ruang kaca dengan kopi single origin tersaji di setiap sudut meja. Namun malam itu, satu pesan anonim mengguncang rasa percaya dirinya.
Pesan itu berisi tuduhan: laporan yang sedang ia susun untuk klien—konglomerasi properti raksasa—diduga hanya menjadi alat untuk “mewajarkan” penggusuran halus sebuah kampung tua di pinggir kota.
“Data yang kau pakai tidak salah, tapi cara membacanya yang melukai,” tulis si pengirim anonim.
Di lampiran, ada foto-foto: wajah-wajah manusia yang tak pernah muncul di slide presentasi. Perempuan berkerudung yang mengelus kepala anaknya di depan rumah kayu, lelaki tua yang duduk di teras warung kecil yang temboknya mengelupas. Anak-anak berlarian di gang sempit dengan sandal tak sepasang.
Jayeng menutup mata. Di benaknya, angka-angka di spreadsheet beradu dengan sorot mata di foto-foto itu. Kontradiksi itu terasa asing sekaligus akrab. Ia dibayar untuk memberi “solusi efisien”. Tapi tiba-tiba, kata “efisien” terdengar seperti sinonim halus dari “menghapus yang paling lemah”.
Ia berjalan ke meja makan, menatap papan tulis minimalis yang digantung di dinding—tempat ia biasa menulis target mingguan. Di sana tertulis: “Closing Q3 deal, doubling fee.” Dengan gerakan spontan, ia menambahkan di bawahnya dengan spidol hitam: “At what cost?”
.
Pagi itu, ia memutuskan untuk tidak langsung menjawab pesan itu. Sebagai gantinya, ia melakukan sesuatu yang jarang ia lakukan: bereksperimen dengan hidupnya sendiri.
Biasanya, pola hari-harinya jelas: bangun, olahraga ringan di gym apartemen, kopi di dapur dengan pemandangan kota, lalu turun ke co-working space premium tempat ia menyewa ruangan kecil dengan kaca transparan dan kursi ergonomis yang terlalu mahal. Semua serba terukur, rapi, efisien.
Namun kali ini, ia mengubah rute.
Ia turun ke lobi, melewati bar kopi yang tampak seperti set film, lalu keluar ke jalan kecil di samping apartemen, tempat pedagang kopi tubruk dan gorengan menggelar tikar di trotoar sempit.
“Hitam, mbak, tanpa gula,” katanya pada penjual kopi, yang namanya tertulis di gerobak: Maya.
Maya menatapnya singkat, lalu tersenyum. “Jarang ada yang pesan tanpa gula. Pahit sekali nanti, mas.”
“Biar saja,” jawab Jayeng, separuh bercanda, separuh serius. “Biar kelihatan aslinya.”
Maya tertawa kecil. “Kadang orang justru takut lihat yang asli, mas. Makanya gula laku.”
Kata-kata itu menempel di kepala Jayeng lebih lama daripada uap kopi di udara.
Ia membawa kopi itu ke taman kecil di belakang deretan ruko, tempat beberapa orang duduk dengan laptop, memanfaatkan jaringan internet dari kafe kecil bernama Retna & Co. Di dalam kafe, ia melihat Adaninggar—teman lamanya sejak masa kuliah—sedang memeriksa surel di tablet sambil mengawasi anaknya yang ikut kelas menggambar di sudut ruangan.
Adaninggar adalah personifikasi generasi menengah kota yang hidup dengan seribu peran: konsultan pendidikan, ibu satu anak, pemilik kecil-kecilan kafe yang menjual pastry vegan, sekaligus pengelola kanal edukasi daring. Hidupnya seperti mozaik—sibuk, kompleks, tapi entah bagaimana tetap tampak utuh.
“Jayeng? Serius kamu nongol jam segini?” Adaninggar mengangkat alis. “Bukannya biasanya sudah tenggelam di balik layar presentasi?”
“Presentasinya lagi mogok,” jawab Jayeng, mencoba bercanda. “Aku lagi eksperimen jadi manusia biasa.”
“Kalau manusia biasa itu yang ingat rasanya bingung, takut, dan salah langkah, selamat,” kata Adaninggar. “Kamu baru saja masuk klub.”
Mereka tertawa. Tapi tawa itu menyisakan ruang kosong yang pelan-pelan terisi obrolan lebih serius.
Jayeng menceritakan tentang pesan anonim, tentang klien besar, tentang kontradiksi antara data dan wajah-wajah di foto. Ia terbiasa mengurai masalah orang lain dengan kepala dingin, tapi kali ini, ia menyadari suaranya sendiri terdengar bergetar.
“Masalahmu bukan cuma soal benar atau salah secara data, tapi soal keberpihakan,” kata Adaninggar akhirnya. “Siapa yang kau posisikan sebagai ‘subjek’ dalam rekomendasimu, dan siapa yang cuma jadi catatan kaki.”
“Kamu bicara seperti dosen filsafat urban,” balas Jayeng.
“Aku cuma orang yang sekarang hidup dari cerita,” jawab Adaninggar. “Di kanal-kanal edukasi yang kupegang, kalau murid tidak merasa jadi subjek cerita, mereka tak akan belajar apa-apa.”
Kalimat itu menempel di hati Jayeng seperti post-it kuning.
Siapa yang jadi subjek dalam cerita yang sedang ia tulis untuk klien?
.
Hari-hari berikutnya, ia benar-benar berubah menjadi semacam ilmuwan yang sedikit gila: mencoba, menghapus, mengulang. Ia mulai bereksperimen dengan cara kerjanya.
Ia menambah kolom baru di spreadsheet: bukan hanya proyeksi ROI, tetapi juga “dampak sosial” yang selama ini hanya menjadi omong kosong di brosur pemasaran. Ia menghubungi rekan di lembaga riset independen bernama Carub, meminta data tentang pengaruh perpindahan paksa pada keluarga berpenghasilan rendah.
Di malam lain, ia mengirim pesan ke seorang teman lama yang kini mengajar perencanaan kota di universitas swasta ternama, meminta pandangan tentang konsep “revitalisasi” yang tak hanya memindahkan masalah dari satu sudut kota ke sudut lain.
“Aku merasa seperti peneliti yang baru sadar bahwa subjek eksperimennya adalah manusia sungguhan,” ia menulis dalam pesan suara kepada temannya itu.
“Memang,” jawab temannya kemudian. “Dan kamu juga bagian dari eksperimen besar bernama kota.”
Di meja kerjanya, sticky notes bertebaran:
“Siapa yang diuntungkan?”
“Siapa yang disuruh diam?”
“Apakah ada opsi ketiga?”
Ia merancang skenario-skenario berbeda untuk presentasinya:
Skenario pertama: mengikuti rencana klien sepenuhnya—proyek berjalan cepat, fee besar, nama perusahaannya semakin harum.
Skenario kedua: menambahkan rekomendasi yang lebih ramah sosial—risiko gesekan dengan manajemen puncak, tapi ada ruang bagi warga untuk merundingkan nasib.
Skenario ketiga: menolak proyek dengan alasan etik—berarti mundur dari permainan, melepas sumber pemasukan terbesar.
Semua skenario itu ia tulis seperti diagram alir, dengan panah-panah berkelok.
Namun, di tengah segala “eksperimen” itu, ada sesuatu yang tetap mengganjal. Ia bisa mengutak-atik angka dan narasi, tapi ada rasa takut: takut kehilangan reputasi, takut dianggap naif, takut dicap tidak profesional karena membawa “perasaan” ke meja rapat.
Malam itu, ketika seluruh kota seperti sibuk berlomba-lomba mengejar deadline, Jayeng duduk di depan cermin kamar mandi apartemen, menatap wajahnya sendiri. Di balik kemeja linen dan jam tangan mahal, ia melihat seorang lelaki yang tiba-tiba ragu pada definisi kesuksesan yang selama ini ia kejar.
“Apakah semua ini hanya tentang naik kelas sosial?” gumamnya. “Atau tentang pulang ke sesuatu yang lebih jujur?”
.
Beberapa hari setelah ia menerima pesan anonim itu, ia menyadari bahwa eksperimennya bukan hanya pada kerja, tetapi juga pada cara ia mendengarkan. Ia mulai mengambil jarak dari ruang-ruang rapat kaca dan kembali ke tempat-tempat yang dulu ia lewati tanpa benar-benar melihat.
Ia mengunjungi kampung yang fotonya dikirim dalam lampiran pesan. Ia datang tanpa jas, hanya kaos polos dan celana chino, menenteng kamera kecil yang lebih sering ia gunakan untuk memotret gedung-gedung tinggi.
Di sana, ia bertemu dengan seorang lelaki berusia lima puluhan yang sedang memperbaiki kursi bambu di teras rumah. Namanya Umar. Di belakangnya, deretan rumah-rumah tua berdiri rapat, sebagian temboknya retak, sebagian lain dihiasi pot tanaman bunga dan cabai rawit.
“Dari mana, mas?” tanya Umar, ramah tapi waspada.
“Dari kota sebelah kota ini,” jawab Jayeng, mencoba bercanda. “Aku biasanya melihat tempat seperti ini dari drone, bukan dari jalan.”
Umar tertawa kecil, meski tak sepenuhnya mengerti. “Dari drone, semuanya kelihatan rapi ya, mas? Atap-atap rumah ini mungkin kelihatan seperti pola batik.”
“Ya,” jawab Jayeng. “Tapi dari atas, tidak kelihatan siapa yang tinggal di dalamnya.”
Obrolan mereka mengalir pelan. Umar bercerita tentang kampung yang sudah puluhan tahun berdiri, tentang tetangga yang meninggal dengan tenang di rumah yang sama tempat ia lahir, tentang anak-anak muda yang sekarang banyak bekerja di kafe, aplikasi pengiriman, dan kantor start-up yang ironisnya justru dibangun di atas bekas kampung-kampung lain yang sudah dirobohkan.
“Kami tidak anti perubahan, mas,” kata Umar. “Kami hanya takut kalau kami dipaksa pindah tanpa cerita. Seolah-olah kami ini noda di peta kota yang harus dihapus. Padahal kami juga bagian dari napas kota ini.”
Kalimat itu menampar pelan sesuatu di dalam diri Jayeng.
Di perjalanan pulang, ia tak langsung membuka kembali laptop. Ia membuka buku catatan yang sudah lama kosong. Di lembar pertama yang baru, ia menulis:
“Mereka bukan catatan kaki. Mereka paragraf utama yang selama ini kubaca sebagai catatan samping.”
.
Makin dekat waktu presentasi, makin besar tekanan yang ia rasakan. Manajer proyek mengirim pesan singkat: “Presentasi harus fokus pada efisiensi. Jangan terlalu banyak bawa isu yang di luar scope awal.”
Seorang partner di perusahaannya menambahkan: “Ini kesempatan kita naik kelas. Jangan kelewatan idealis, nanti kau hanya akan jadi cerita pinggiran.”
Di sisi lain, pesan anonim itu masih menunggu di inbox, belum terjawab. Seperti tatapan yang menuntut, bukan sekadar ingin didengar, tapi juga ingin disikapi.
Malam sebelum presentasi, ketika kota tampak seperti lautan lampu tak berujung, Jayeng berjalan sendirian ke jembatan penyeberangan dekat sebuah pusat belanja mewah. Ia menatap ke bawah, ke arus manusia yang keluar masuk pintu kaca: sebagian dengan tas belanja bermerek, sebagian dengan helm di tangan, sebagian hanya lewat, menjadi bayangan di lantai granit.
Di jembatan itu, ia bertemu seorang perempuan tua yang menjual tisu dan permen. Namanya Retna. Wajahnya penuh keriput, tapi matanya jernih seperti seseorang yang pernah melihat jauh melampaui apa yang tampak.
“Kota ini selalu berubah, ya, nak,” kata Retna, ketika Jayeng membeli sebungkus permen hanya agar bisa mengobrol. “Dulu di sini tidak ada gedung setinggi itu. Sekarang tinggi-tinggi semua, tapi rasa hati manusia kadang makin rendah.”
“Bagaimana maksudnya?” tanya Jayeng.
“Dulu orang kalau mau bangun sesuatu, datang dulu ke tetangga, bicara, minta doa, minta maaf kalau nanti bakal ribut atau berdebu,” jawab Retna pelan. “Sekarang, yang datang duluan sering bukan orangnya, tapi alat beratnya.”
Jayeng tertawa pahit. “Mungkin kontraktor sekarang sibuk, Bu.”
“Bukan cuma sibuk,” sahut Retna. “Kadang orang naik terlalu cepat sampai lupa siapa yang menahan tangga di bawah.”
Kata-kata itu menusuk seperti doa yang menyamar jadi teguran.
“Apa Bu Retna tidak marah?” tanya Jayeng.
“Marah itu boleh, tapi jangan tinggal di sana,” jawab Retna. “Kalau semua orang hanya marah, tak ada yang sempat membereskan pecahan kaca.”
.
Beberapa waktu setelah pertemuannya dengan Retna, dalam sebuah acara yang sama sekali tak ada dalam rencananya, Jayeng bertemu seseorang yang mengubah cara ia melihat seluruh dunia kerjanya.
Tempatnya sebuah ruang komunitas di lantai atas ruko yang disulap menjadi studio seni dan diskusi. Adaninggar mengajaknya datang—katanya, akan ada sesi bercerita dari seorang pengemudi kendaraan daring yang pernah jadi buruh bangunan, penjual koran, dan satpam. Namanya Maktal.
Jayeng awalnya ragu. Jadwalnya padat, pikirannya penuh dengan presentasi, revisi, dan ancaman pesan dari partner. Namun langkahnya entah bagaimana sampai di ruangan itu juga. Kursi-kursi plastik disusun semi-melingkar, mural di dinding memadukan citra gedung pencakar langit dan rumah-rumah seng.
Maktal berdiri di depan, mengenakan jaket tipis, topi lusuh, dan sepatu yang tampak sudah sering bertemu hujan. Ia bercerita dengan suara tenang, tanpa efek dramatis, tanpa powerpoint.
Ia bercerita tentang melihat kota dari sudut-sudut yang jarang masuk brosur: dari pos satpam, dari teras proyek, dari pos ronda, dari jok motor yang mengantar karyawan kantor pulang tengah malam. Ia bercerita tentang gedung-gedung yang berubah fungsi, jalan yang dulu sunyi kini ramai, dan sebaliknya.
“Yang saya pelajari, kota ini dibuat dari cerita banyak orang,” kata Maktal. “Masalahnya, cuma cerita sebagian orang yang ditulis di kertas resmi. Cerita lainnya numpang lewat di obrolan warung kopi, lalu hilang.”
Jayeng merasa seperti sedang bercermin, tapi kali ini ke dalam versi dirinya yang tak pernah diberi panggung.
“Kalau boleh saya bilang,” lanjut Maktal, “yang punya kuasa bukan cuma yang pegang uang, tapi juga yang pegang pena. Yang menulis laporan, yang bikin narasi, yang memutuskan apa yang pantas disebut data dan apa yang cuma curhat.”
Ruangan itu hening. Di kursinya, Jayeng merasakan sesuatu mengendap pelan.
Sesaat ia merasa seperti ilmuwan yang akhirnya sadar bahwa kaca pembesar yang selama ini ia pakai bukan hanya alat untuk melihat dunia, tapi juga alat yang bisa membakar apa pun yang terlalu lama dibiarkan di bawah sinarnya.
Setelah sesi selesai, Jayeng menghampiri Maktal. Mereka berbicara singkat tentang rute-rute jalan, tentang sudut kota yang sering dianggap “rawan” padahal di sanalah solidaritas warga paling kuat, tentang rasa bangga kecil ketika bisa mengantarkan seseorang pulang dengan selamat.
“Mas kerja apa?” tanya Maktal pada akhirnya.
“Katanya sih, konsultan,” jawab Jayeng. “Tapi belakangan ini saya lebih merasa seperti tukang cerita yang bingung harus berpihak ke siapa.”
Maktal tersenyum. “Kalau bingung, mungkin itu artinya hati mas masih sehat. Orang yang sudah lama berhenti bingung, biasanya sudah terlalu nyaman jadi penonton. Padahal, kita semua pemain.”
.
Presentasi utama akhirnya tiba juga. Di sebuah ruang pertemuan hotel mewah—tempat yang dinginnya AC mengalahkan hangatnya tangan yang saling menjabat—Jayeng berdiri di depan layar besar, ditemani pointer dan deretan slide yang sudah ia poles habis-habisan.
Di belakang ruangan, beberapa orang dari tim proyek duduk berjejer, memegang tablet, siap mencatat. Di samping mereka, seorang wakil pemerintah kota hadir dengan jas rapi. Perwakilan warga? Tidak ada. Mereka hanya menjadi angka di slide.
Namun kali ini, slide Jayeng tidak hanya berisi proyeksi laba dan grafik penjualan unit apartemen. Di sela-sela diagram, ia sisipkan foto-foto kehidupan kampung, kutipan singkat dari wawancara dengan warga, dan skenario alternatif yang memperlambat laba tapi memperpanjang kelayakan hidup.
“Dalam skenario pertama,” katanya, suaranya sedikit bergetar tapi mantap, “kita mendapat ROI lebih cepat. Namun, ada biaya tak kasat mata yang harus kita bayar: hilangnya jaringan sosial, identitas lokal, dan potensi resistensi yang bisa meledak di kemudian hari.”
Ia berhenti sejenak, menatap baris-baris muka yang menyimak.
“Dalam skenario kedua,” lanjutnya, “kita memasukkan warga sebagai subjek, bukan objek. Kita beri ruang adaptasi, program peningkatan keterampilan, dan skema transisi yang lebih manusiawi. Laba datang sedikit lebih lambat, tapi kota tidak hanya ‘tampak’ baik, melainkan juga bernafas dengan lebih sehat.”
Seorang partner menatapnya tajam, seolah memperingatkan. Seorang eksekutif klien mengernyit ketika melihat kata “resistensi sosial” muncul dalam slide. Namun Jayeng terus melanjutkan.
“Dan dalam skenario ketiga,” ia tersenyum tipis, “kita memutuskan tidak melakukan apa-apa. Itu mungkin opsi yang paling nyaman, tapi juga yang paling berisiko. Bagi warga, bagi kota, bagi reputasi kita semua.”
Setelah presentasi, ruangan sunyi beberapa detik yang terasa panjang. Lalu diskusi mengalir—kadang tajam, kadang menghindar. Ada yang protes bahwa ini “keluar dari scope”, ada yang cemas tentang “persepsi investor”. Namun ada juga satu dua suara yang menyambut ide program transisi warga sebagai strategi mitigasi konflik.
Jayeng tahu, ia belum memenangkan apa pun. Tapi untuk pertama kalinya dalam kariernya, ia merasa tidak sekadar menjual solusi. Ia ikut mempertaruhkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar fee: ia mempertaruhkan keberpihakan.
.
Malam itu, di apartemennya yang menghadap lautan lampu kota, Jayeng membuka laptop dan menulis balasan pada pesan anonim yang sudah lama ia tunda.
“Terima kasih sudah mengirimkan foto dan cerita,” tulisnya. “Tidak semua hal bisa kuubah dalam waktu singkat. Tapi presentasi tadi tidak lagi sama dengan presentasi yang kusiapkan awalnya. Beberapa orang mungkin tetap akan kecewa. Namun aku memilih untuk tidak lagi memandang kampung kalian sebagai catatan kaki.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan:
“Aku belum tahu apakah ini sudah cukup benar. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa tidak sepenuhnya salah.”
Ia menekan tombol kirim. Di luar, suara kendaraan masih berlarian di jalan. Kota itu tetap bising, tetap kontradiktif, tetap penuh eksperimen yang kadang berhasil kadang gagal. Namun di satu sudut kecil, seorang konsultan yang selama ini merasa hanya bagian dari mesin besar kapitalisme mulai belajar menjadi manusia yang mau mendengarkan.
Beberapa waktu kemudian, ia kembali ke kafe Retna & Co. Adaninggar sudah menunggunya dengan dua cangkir kopi.
“Kamu kelihatan berbeda,” kata Adaninggar.
“Berbeda bagaimana?”
“Lebih lelah,” jawabnya. “Tapi juga lebih hidup.”
Jayeng tertawa, kali ini lebih lepas. “Mungkin ini pertama kalinya dalam hidup, aku tidak hanya menghitung apa yang bisa kuterima, tapi juga apa yang bisa kuberi.”
Adaninggar mengangguk pelan.
“Kau tahu?” kata Jayeng kemudian, menatap keluar jendela kafe ke arah gedung-gedung tinggi yang menjulang. “Selama ini aku merasa kota ini adalah eksperimen besar yang dilakukan di atas kepala orang-orang kecil. Tapi setelah mendengar cerita Umar, Retna, dan Maktal, aku jadi sadar: mungkin, akulah yang selama ini terlalu kecil cara berpikirnya.”
“Kota selalu jadi cermin,” balas Adaninggar. “Kadang ia memantulkan ambisi, kadang memantulkan ketakutan. Yang penting, ketika kau menemukan dirimu di sana, jangan buru-buru memalingkan wajah.”
Jayeng menyesap kopi yang kali ini ia pesan dengan sedikit gula. Pahitnya masih terasa, tapi seimbangan baru mulai ia temukan.
Di kepalanya, suara Maktal, wajah Umar, tawa kecil Retna, dan kalimat-kalimat Adaninggar saling berkelindan menjadi satu hal yang sulit ia jelaskan, tapi ia tahu: semua itu membuatnya merasa pulang—bukan ke rumah, bukan ke kantor, melainkan ke titik di mana hidup tidak lagi sekadar tentang menang atau kalah, naik atau turun, tetapi tentang keberanian untuk tetap bingung, tetap bertanya, dan tetap belajar dari cerita orang lain.
Di tengah kota yang tak pernah benar-benar tidur itu, di antara segala kontradiksi dan eksperimen yang tak berkesudahan, ia akhirnya menerima satu hal sederhana:
Bahwa terkadang, penemuan terbesar bukan soal apa yang kita raih, tetapi tentang siapa saja yang kita izinkan mengubah cara kita melihat dunia—mereka yang selama ini kita sebut “catatan kaki”, padahal sesungguhnya merekalah paragraf utama.
.
.
.
Malang, 17 November 2025
,
,
#ParagrafUtama #cerpen #sastraIndonesia #cerpenKompasMinggu #urbanStory #kelasMenengah #kotaDanKemanusiaan #socialimpact #NamakuBrandkuStyle