Pelan Itu Juga Kecepatan

“Kadang, kita tidak benar-benar jatuh; kita hanya lupa menurunkan gengsi ketika sedang belajar berjalan ulang.”
“Rumah paling sunyi bukan yang tanpa suara, melainkan yang penuh prestasi namun sepi pelukan.”
“Di kota, kita menimbun gelar dan gaji; di hati, kita menagih maaf yang tak pernah sempat diucapkan.”

.

Kota itu seperti jeda yang tak pernah selesai—jalan protokol menyala lembut, jembatan layang memantulkan lampu kendaraan, dan langit menua perlahan di balik barisan apartemen berkulit kaca. Jayeng menurunkan kaca mobil listriknya, membiarkan angin malam menyusup bersama sisa-sisa tarikan napas yang ia simpan sepanjang hari. Di kursi belakang, map presentasi investor masih terbuka, lanyard konferensi menggantung, dan sepucuk undangan reuni sekolah pasca-sarjana menyelip di sela buku strategi pemasaran—yang tak jadi ia baca.

Ia mengetuk setir pelan. Di layar ponsel, pesan tak terbaca bertumpuk: dari konsorsium properti, dari grup alumni, dari produksi web-serial tempat ia menjadi investor malaikat, dan dari Sekar—yang terakhir berhenti dengan ikon biru satu baris: “Sudah makan?” Lalu tak ada lagi.

Sekar mengajar filsafat di kampus swasta unggulan. Ia perempuan yang suara tertawanya renyah sekaligus jarang. Rumah mereka bergaya minimalis dengan kusen kayu jati, rak buku menguasai tembok, dan dapur yang rapi seperti mimpi chef televisi. Namun di antara segala rapi, ada retak yang tak tampak: percakapan yang lima tahun terakhir selalu kalah oleh rapat, target, dan jarak.

Malam itu, Jayeng pulang terlalu cepat untuk seorang eksekutif: pukul delapan. Ia mengira akan menemukan Sekar menyiapkan teh melati, atau setidaknya lampu ruang keluarga menyala. Tapi rumah menyambutnya dengan keheningan yang sopan. Di meja makan, ada kertas bertuliskan tangan yang tegas:

“Aku pergi sementara ke rumah ibu di Malang. Tidak marah. Hanya ingin mengingat lagi caraku mengajar, tanpa suara bising di kepala. Jaga diri, Jayeng. —Sekar.”

Ia membaca dua kali, lalu tiga kali, sampai huruf-hurufnya seperti bergeser. Jayeng duduk, memandangi piring makan yang bersih. Tak ada amarah, hanya serangkaian pertanyaan telat: kapan terakhir ia menatap Sekar lebih lama dari layarnya? Kapan terakhir ia menunda rapat hanya demi makan bakso gerobak berdua? Ia tertawa pendek—suara yang juga asing baginya.

.

Keesokan harinya, kota kembali seperti kalender: jam sembilan ada joint-venture meeting; jam dua belas makan siang dengan calon tenant co-working; jam tiga presentasi ke bank; jam lima podcast “Kelas Menengah Ke Atas Bicara Karier Majemuk”; malamnya—konon—acara peluncuran lini fesyen Ragil, teman lamanya.

Ragil adalah perempuan yang menaklukan kota dengan mata yang tidak pernah menunduk. Ia memulai dari butik mungil di ruko, berkembang menjadi tiga label: kasual-wear, modest-wear, dan lini upcycle yang meraih penghargaan. Di balik panggung peluncuran, Ragil merapikan syal sutranya, menatap Jayeng sambil tersenyum miring.

“Sekarmu mana?” tanyanya, setengah menggoda, setengah serius.

“Ke Malang,” jawab Jayeng. “Katanya ingin sunyi yang wajar.”

Ragil mengangguk, lalu menaruh telapak tangan di lengan Jayeng. “Kota memang ahli mengajar kita menghasilkan, tapi buruk sekali mengajarkan menenangkan.” Ia menatap panggung, di mana lampu-lampu putih mengiris gelap. “Kalau kamu butuh teman makan nasi goreng kaki lima jam dua pagi, kabari. Aku sedang belajar memaafkan seluruh diriku yang sibuk.”

Sorak-sorai penonton pecah saat peragaan dimulai. Kamera ponsel berderet seperti bintang. Jayeng merasa sendirian dalam ramai, seperti berdiri di mulut terowongan yang bising dan ingin sekali mendengar suara air.


Tiga hari setelah Sekar pergi, Jayeng terbang ke Surabaya untuk mengecek proyek hotel yang ia dan investor lain danai: properti 200 kamar, kolam renang atap, restoran konsep kebun vertikal. Gunung, general manager muda dengan senyum percaya diri, menyambutnya di lobi. Mereka meninjau kamar contoh, menilai finishing marmer, menguji lampu sensor.

“Laporan okupansi minggu lalu tembus tujuh puluh,” kata Gunung. “Tapi breakfast masih komplain soal rotasi menu.”

“Latih lagi,” ujar Jayeng. “Beri ruang tamu alasan untuk kembali.”

Gunung mengangguk, lalu menatap Jayeng agak ragu. “Mas, kalau boleh… saya baru menikah. Istri saya bilang saya seperti tinggal di hotel, pulang hanya untuk tidur.”

Jayeng terkekeh, lalu mendengar tawanya memantul getir. “Kau tahu pepatah: hotel harus selalu ‘terasa seperti rumah’. Kadang yang mengelola lupa bagaimana rasanya ‘pulang’.”

Di perjalanan pulang, Jayeng menulis pesan pada Sekar: “Bagaimana ibu? Aku ke Surabaya, lalu Malang sebentar. Boleh ketemu?” Ia memencet kirim, lalu menunggu dalam hening yang panjang.

Balasan datang saat ia memasuki gerbang tol: “Boleh. Sabtu. Ada pasar buku di alun-alun. Datang tanpa segala urusanmu.”

Ia tersenyum, lalu mematikan notifikasi grup. Untuk kali pertama dalam beberapa bulan, jadwalnya menyisakan ruang kosong yang bukan untuk rapat.

.

Sabtu, cuaca cerah dengan awan yang rapi. Sekar menunggu di bawah pohon ketapang, rambutnya dikuncir rendah, kemeja putih longgar, dan tote bag berisi buku-buku tipis. Ia tersenyum—senyum yang dulu selalu membuat Jayeng ingin membatalkan dunia.

“Kamu kelihatan capek,” kata Sekar pelan.

“Capek yang tidak berani diucapkan,” jawab Jayeng. “Kau tahu, aku sempat iri pada mahasiswa-mahasiswamu. Mereka punya jam kuliah, jam pulang, jam membaca. Hidupku jam dikejar dan mengejar.”

Mereka berjalan menyusuri lapak-lapak: novel lawas, majalah tempo dulu, pamflet komunitas teater, dan kartu pos bergambar kota. Seorang bocah menjual es lilin rasa stroberi; Sekar membelinya dua, menyerahkan satu ke Jayeng. Dengan rasa beku di lidah, obrolan jadi lebih sederhana.

“Aku masih sayang,” kata Sekar tiba-tiba. “Tapi sayang perlu ruang. Aku takut kita ini ahli membuat agenda, tapi gagap membuat jeda.”

Jayeng menelan ludah. “Aku tidak minta maaf dengan kata-kata panjang. Aku minta pekan-pekan setelah ini menjadi bukti. Tolong beritahu aku: kapan aku pulang, untuk siapa aku berangkat.”

“Kamu tahu jawabannya,” gumam Sekar.

Mereka berhenti di lapak buku-buku psikologi populer. Di antara sampul yang menjanjikan cara ‘mengatasi overthinking’ dan ‘merawat inner child’, Sekar mengambil satu buku tipis berjudul Pelan Itu Juga Kecepatan. Ia membalik halaman, lalu menatap Jayeng. “Kita perlu ritual baru,” katanya. “Yang tidak diukur dengan KPI.”

“Contohnya?”

“Masak soto jam delapan malam meski besok presentasi. Menyirami tanaman sambil,” Sekar tertawa kecil, “menghina siang. Menonton hujan seperti menonton konser.”

Jayeng mengangguk, menyadari betapa terlatihnya ia menghitung, dan betapa lalainya ia merasakan.

Di penghujung pertemuan, Sekar menggenggam jemarinya. “Pulanglah sore ini. Aku akan menyusul minggu depan. Kita belum selesai, Jayeng. Kita hanya perlu ulang.”

.

Kota menyambut Jayeng dengan ritme yang sama tapi hati yang berbeda. Ia mulai belajar menyusutkan ambisi tanpa mematikan nyala. Di kantor, ia mendelegasikan lebih bermakna: memberi ruang bagi tim kreatif naik panggung, menolak rapat yang bisa jadi memo, dan menukar sebagian acara seremonial dengan mentoring dua mahasiswa magang dari komunitas Sekar—yang ingin belajar pemasaran etis dan keberlanjutan. Ia juga menagih dirinya untuk meluangkan waktu tiga puluh menit setiap pagi tanpa layar: membuat kopi, memutar piringan hitam, dan menulis catatan bulet—bukan tentang target, melainkan tentang rasa.

Malam-malamnya jadi berbeda. Kadang ia memasak tumis sawi dan telur orak-arik, kadang ia dan Sekar berjalan kaki ke warung soto langganan, duduk berdampingan tanpa banyak kata. TV menyala tanpa suara, lampu ruang tamu dibuat temaram, dan rak buku yang dulu hanya latar kini menjadi jembatan percakapan.

Di satu malam gerimis, Ragil datang membawa kotak kue talas dan dua botol kombucha. Ia menatap Sekar dan Jayeng dengan bibir dikatupkan pada senyum yang ingin meyakinkan.

“Aku belajar satu hal di lini fesyenku,” katanya. “Pakaian yang paling laku bukan yang paling berkilau, tapi yang paling membuat orang ‘merasa jadi dirinya’. Pernikahan, rasanya, juga begitu.”

Sekar mengangguk. Jayeng tertawa pendek.

Ragil mengeluarkan kartu undangan: peluncuran program beasiswa untuk perempuan muda yang ingin membangun bisnis berbasis etika. “Aku butuh dua pengajar tamu: satu bicara branding jujur, satu bicara etika niat. Mau?”

Sekar melihat Jayeng, lalu mengangguk. “Boleh. Tapi jadwalnya harus manusiawi.”

“Kita jadikan itu syarat utama,” kata Ragil. “Syarat kedua: setelah sesi, makan bakmi.”

Mereka tertawa, dan tawa itu memanjangkan ruang di antara dinding-dinding. Di luar, gerimis seperti mengutip rencana.

.

Namun kota tak pernah sepenuhnya damai. Suatu pagi, notifikasi beruntun meledak: lini upcycle Ragil dituduh greenwashing oleh akun aktivis lingkungan. Video pendek berputar: pabrik rekanan dituding membuang limbah tanpa pengolahan, cuplikan potongan kain menumpuk di sungai kecil. Tagar-tagar merayap ke timeline: #BukanHijauHanyaCat, #BisnisTanpaNurani.

Ragil menghubungi Jayeng dengan suara yang kali ini betul-betul menunduk. “Aku salah pilih vendor,” katanya, nyaris berbisik. “Tapi aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu.”

“Ketidaktahuan bukan pembebasan, Gil,” ucap Sekar, yang ikut mendengarkan melalui speaker. “Tapi itu bisa jadi titik tolak.”

Jayeng menyusun strategi krisis: konferensi pers kecil, audit independen, penghentian sementara, kompensasi untuk komunitas sekitar pabrik, dan transparansi proses. Ia menghubungi Gunung yang punya jaringan CSR untuk perbaikan instalasi pengolahan air. Sekar menulis pernyataan—bukan untuk memutihkan, tapi untuk mengakui.

Di ruangan konferensi yang baunya seperti kopi dan kertas, Ragil berdiri tanpa riasan. “Kami minta maaf,” katanya, menatap langsung kamera. “Kami salah. Ini yang akan kami lakukan untuk memperbaiki. Jika kami gagal, mohon menghentikan kami.”

Video itu tidak memuaskan semua orang—memang tidak ada permintaan maaf yang mampu—tapi komentar yang paling pedas mulai diimbangi oleh komentar yang paling tenang: “Kita lihat tindak lanjutnya.” “Transparansi begini jarang.” “Tolong pantau bersama.”

Selama berminggu-minggu, hidup Ragil adalah daftar periksa yang jujur. Ia mendatangi sungai dengan sepatu bot, memungut potongan kain, membiayai bank sampah, dan—yang paling berat—berusaha tidak membenci dirinya sendiri. Jayeng dan Sekar bergantian mendampingi: satu berkata “Ayo,” satu bertanya “Untuk apa.”

“Kamu punya hak untuk berdiri lagi,” kata Sekar suatu sore, ketika mereka bertiga duduk di bangku taman kota. “Tapi berdirilah sedikit lebih rendah dari dulu, supaya kamu bisa melihat lebih banyak.”

Ragil menatap daun-daun trembesi yang jatuh. “Aku rumit sekali dengan kata maaf,” ujarnya. “Ternyata, maaf itu bukan penghapus, tapi kaca.”

.

Krisis Ragil membuka jalan bagi krisis Jayeng sendiri—yang selama ini menunggu di ambang. Ketika due diligence untuk proyek apartemen barunya sampai ke meja regulator, muncul catatan tentang lahan resapan yang nyaris habis. Semuanya legal, tetapi batas legal dan batas moral jaraknya satu gang kecil—dan di gang itu suara warga menggema.

“Ini sah kok,” kata mitra Jayeng di rapat terbatas. “Kota perlu tumbuh.”

“Tumbuh ke mana?” tanya Jayeng, lebih pada dirinya sendiri. Ia kembali ke rumah dengan kepala berat. Di ruang tamu, Sekar menyalakan piringan Kind of Blue. Trumpet menyusup pelan.

“Aku bisa tak kehilangan apa-apa kalau lanjut,” kata Jayeng. “Tapi juga bisa kehilangan diriku.”

Sekar menuangkan teh. “Kita sering mengira integritas itu heroik,” ucapnya, “padahal kadang ia cuma serangkaian keputusan sepi yang tidak kita umumkan.”

Esoknya, Jayeng mengajukan rencana baru: memperbesar area hijau, menggeser blok bangunan, menambah sumur resapan, menukar lantai marmer dengan bahan lokal bersertifikasi. Biaya naik, laba berkurang. Sebagian mitra protes, sebagian mengundurkan diri. Sisa yang bertahan adalah orang-orang yang, entah karena nurani atau kalkulasi jangka panjang, memilih tidak menutup mata.

Proyek itu akhirnya lolos—lambat, mahal, meletihkan—tetapi setiap kali Jayeng melewati lokasi, ia merasa ada sesuatu di dadanya yang tidak lagi menegang.

.

Musim berganti menjadi pameran kecil di museum kota: foto-foto hitam putih tentang pertumbuhan urban, maket kota ideal, dan rekaman suara warga yang bercerita tentang trotoar, taman, halte, sekolah, rumah. Sekar menjadi kurator tamu. “Kota Bersuara,” judulnya. Di satu sudut, ada instalasi berbentuk ruang tamu: sofa tua, rak buku, meja kopi. Pengunjung boleh duduk, menulis satu kalimat pada kertas kecil: Apa yang ingin kamu dengar dari orang yang kamu sayangi, sebelum kota memekakkan telinga?

Jayeng duduk dan menulis: “Terima kasih sudah pulang.” Ia melipat kertas itu, memasukkannya ke kotak kaca bersama ratusan suara lain—yang hampir semuanya tidak berbicara soal uang.

Pada malam penutupan pameran, Ragil naik panggung kecil. Ia mengenakan gaun sederhana, rambut diikat pita. “Aku tidak ingin meminta maaf lagi,” katanya, “karena aku ingin membuat bukti. Tapi malam ini, aku ingin berterima kasih—pada orang-orang yang mengingatkanku kembali menjadi orang.”

Tepuk tangan terdengar—bukan keras, tapi panjang. Sekar meremas tangan Jayeng. “Kau akan baik-baik saja,” katanya, seolah menutup bab yang tak perlu lagi dibuka.

.

Suatu dinihari, kota menghadiahkan hujan deras. Jayeng terbangun oleh suara air memukul kaca. Ia bangkit, ke dapur, dan mulai memasak soto—resep ibunya yang ia hapal separuh. Sekar duduk di meja, membuka buku catatan, menulis sesuatu yang tidak Jayeng lihat.

“Aku pernah iri pada orang yang hidupnya sederhana,” kata Jayeng, mengaduk panci. “Mereka tidak perlu menawar integritas setiap hari.”

Sekar menatap uap yang naik. “Kesederhanaan itu juga keputusan yang dikuliti satu per satu,” ucapnya. “Kita hanya perlu berlatih.”

Mereka makan soto jam tiga pagi. Hujan pelan seperti musik latar. Di penghujung mangkuk, Sekar mengeluarkan kertas kecil—kertas dari pameran museum.

“Ini yang kutulis,” katanya, menyerahkan pada Jayeng.

“Aku ingin kamu tetap ingin pulang, bahkan ketika kamu sedang menang.”

Jayeng menutup mata sejenak. Ada rasa asin di lidah yang bukan dari kuah.

.

Pada ulang tahun kota, malam dirayakan dengan kembang api dari plaza pusat. Warga berkumpul: keluarga, pasangan, pekerja malam, penjual cilok, fotografer, anak-anak berlari, orang tua menatap langit dengan mata anak-anak. Ragil membawa para penerima beasiswanya; Gunung datang dengan istrinya; mahasiswa Sekar berdiri bergerombol, mengomentari estetika warna-warna di langit.

Jayeng memotret dengan ponsel, lalu menaruhnya kembali ke saku—ingin mengingat dengan mata. Sekar menyandarkan kepala ke bahunya.

“Kadang, kota mengajari kita cara berisik,” kata Sekar.

“Dan kita yang memilih kalimat mana yang perlu disenyapkan,” sahut Jayeng.

Kembang api mekar, meledak, lalu padam—seperti ambisi yang belajar menunduk. Orang-orang bersorak, lalu perlahan bubar. Jalanan menyisakan serpih kertas dan tawa yang belum habis. Di atas kepala, langit kembali gelap, tetapi bukan lagi menakutkan; ia lebih seperti kanvas kosong yang mempersilakan dilukis ulang.

Malam itu, sebelum tidur, Jayeng membuka ponsel dan mengetik pesan di grup kerja: Mulai minggu depan, kita jadikan setiap Jumat sore tanpa rapat. Pergi ke taman. Baca apa saja kecuali laporan. Pulang lebih cepat kalau bisa. Kita ingin tim yang panjang napasnya, bukan hanya kariernya.

Ia menekan kirim. Lalu meletakkan ponsel jauh dari jangkauan. Lengan Sekar melingkar pelan di pinggangnya.

“Selamat datang pulang,” bisik Sekar.

“Selamat datang jeda,” jawab Jayeng.

Kota di luar jendela meringkuk seperti anak kucing besar: masih kuat, masih sibuk, tapi kali ini, di dalam rumah yang kecil, ada pelukan yang menenangkan. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Jayeng tidak takut bangun esok pagi—karena ia tidak lagi berangkat sendirian.

.

Refleksi Penutup

Mereka — Jayeng, Sekar, Ragil, dan Gunung — adalah representasi kita: generasi yang berlari tanpa tujuan sampai sadar bahwa berhenti pun butuh keberanian.
Dalam pelan, kita belajar kembali bernapas. Dalam diam, kita menemukan arah. Dan di antara dua kesibukan, kadang justru di sanalah hidup benar-benar dimulai.

“Pelan itu juga kecepatan, bila setiap langkahnya kita sadari.”

.

.

.

Malang, 6 November 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PelanItuJugaKecepatan #CerpenIndonesia #GayaKompasMinggu #UrbanStory #KelasMenengah #KarierMajemuk #Integritas #Sustainability #MenakMalangan #MentalHealth #BrandingJujur #KotaBersuara #JeffreyWibisonoV #NamakuBrandku

.

Quotes Kunci

  1. “Kita sering mengira integritas itu heroik; padahal ia serangkaian keputusan sepi yang tidak kita umumkan.”

  2. “Pakaian paling laku bukan yang paling berkilau, tapi yang paling membuat orang merasa jadi dirinya—pernikahan pun begitu.”

  3. “Maaf itu bukan penghapus; ia kaca yang memantulkan siapa kita saat berani menatap.”

  4. “Kota memang ahli mengajar kita menghasilkan, tapi perihal buruk sekali mengajarkan menenangkan—sisanya, tugas kita.”

Leave a Reply