Lima Puluh Tahun di Antara Kita
“Belajar itu ibarat menanam pohon: hari ini menanam, besok menyiram, lusa masih menunggu—baru kelak ada teduh. Yang penting, jangan berhenti merawat.”
“Prestasi tak lahir dari drama, tapi dari disiplin, empati, dan jam-jam sepi yang diisi belajar.”
.
Malam Jakarta seperti jam pasir yang tak pernah habis. Di atas jalan layang, lampu-lampu menetes jadi bintik-bintik cahaya yang berkejaran. Jayeng menatap kota dari jendela apartemen yang menghadap sungai—airnya hitam, tapi memantulkan bokeh lampu yang lembut, seperti mata yang berkaca-kaca. Di meja makan, laptopnya terbuka pada laman pengumuman kompetisi internasional teknologi penerbangan di Harbin—kota yang membuatnya pulang membawa medali perak dan kegelisahan yang lebih berat daripada koper.
Kabar baiknya, Jayeng menjadi salah satu dari sedikit mahasiswa Indonesia yang menembus final. Kabar buruknya, ia pulang dengan kalimat yang sukar diredam: “Gue merasa Indonesia tertinggal 50 tahun.” Bukan sinisme, melainkan semacam rasa pedih yang lahir dari perbandingan telanjang: laboratorium yang terhubung ke pabrik, dosen yang dihormati seperti gunung, mahasiswa yang lari maraton dalam jam-jam sains, dan kampus yang berdenyut seperti kota mini yang seluruh uratnya tersambung ke dunia nyata.
Di ruang tamu, Muning—kakaknya—mengangkat kepala dari tumpukan mood board proyek interior untuk sebuah klinik kecantikan. “Masih kepikiran kata-kata itu?” tanyanya. Di dinding, mood board Muning dihiasi potongan kain linen, susunan warna krem-pasir, foto lampu pendant minimalis, dan sketsa ruang tunggu yang mewah namun menenangkan.
“Bukan cuma kepikiran,” sahut Jayeng, mengusap tengkuknya. “Nempel.”
Ia lalu menceritakan lagi, kali ini lebih runtut, lima tamparan yang ia saksikan di China dan—jujur saja—juga di beberapa kampus ASEAN saat pit stop transit. Pertama, tentang drama yang menelan waktu: debat yang tak selesai-selesai di grup, topik-topik yang melompat dari organisasi ke urusan pribadi, sementara tim-tim kompetitor memilih mengurung diri seminggu, menulis kode, mematangkan prototipe. Kedua, tentang cara menghormati ilmu: di luar sana, profesor tak diposisikan sebagai sparring partner di forum yang gaduh, melainkan pendakian—setiap langkahnya harus diikuti, baru berdiri. Ketiga, tentang prioritas: pendidikan tidak dinegosiasikan. Bukan “kalau sempat”, melainkan “meski lelah”. Keempat, perbedaan hasrat: mahasiswa lain berpikir “menciptakan”, sementara di sini banyak yang masih sibuk menghafal panduan penggunaan. Kelima, ritme hidup: di sana, belajar seperti napas; di sini, sering jadi jeda.
Muning mendengarkan tanpa memotong. Di keluarga mereka, saling menyela tak dilarang, tapi untuk kali ini—ia membiarkan kata-kata Jayeng jatuh satu per satu seperti angin menurunkan daun. “Kalau memang setajam itu yang kamu lihat,” katanya pelan, “mungkin tugas kita bukan murka, tapi merajut ulang caranya.”
Umar—sahabat Jayeng—datang membawa dua gelas kopi susu dari kios bawah. Umar bekerja di edtech rintisan: pagi ia mengajar coding dasar untuk anak SD lewat modul gim, malam ia menyusun kurikulum mikro-kredensial untuk UMKM. “Gue dengar semua,” katanya, menaruh gelas di meja. “Masalah kita bukan cuma soal semangat. Ekosistemnya juga. Dosen—banyak yang keren—tapi capek oleh sistem; industri—banyak yang kreatif—tapi jarang nyambung ke kampus. Kayak dua rel yang sejajar tapi jarang bersilangan.”
“Terus apa?” tanya Jayeng. “Kita bikin rel silang?”
Umar mengangguk. “Kita mulai dari radius yang bisa kita sentuh.”
.
Esoknya, kota masih sibuk. Muning punya presentasi konsep flagship store brand modest fashion di Senopati—ruang pameran yang ingin menari antara kesederhanaan dan prestise. Ia menyiapkan deck dengan rapi: timeline, budget, material board, foot traffic analisis. Muning selalu kagum pada disiplin yang lahir dari waktu-waktu jeda: subuh saat orang masih menekan tombol snooze, ia mengukur ulang proporsi meja kasir dan jarak antar rak agar alur pelanggan tidak bertabrakan. Detail is love, tulisnya—kata yang diambil dari catatan pelatihan hospitality seorang mentor yang ia kagumi dari jauh.
Sementara itu, Umar menutup rapat pagi dengan tim edtech di Kemang. Ia menggambar di papan tulis: “Lab Merdeka”—jembatan kecil antara kampus, industri, dan komunitas. Di lab itu, mahasiswa bisa magang bertahap, UMKM bisa mendapat problem solver, dan dosen bisa menitipkan riset terapan yang meminjam napas pasar. “Kita bikin studi kasus yang real. Bukan sekadar soal ‘bagaimana menghitung ROI’, tapi ‘bagaimana menurunkan keluhan pelanggan dalam tiga minggu—dan datanya harus rapi’,” kata Umar. Timnya mengangguk. Mereka muda, ya; tapi mata mereka punya kilat seperti pisau yang baru diasah.
Jayeng, dengan sisa uang beasiswa dan tabungan hadiah lomba, menyewa sudut bengkel kecil di Cempaka Putih. Ia menamai tempat itu Bengkel Udara: bukan bengkel motor, tapi tempat anak-anak kampus mengutak-atik drone, sensor cuaca, dan perangkat embedded. Kayu-kayu bekas dirakit jadi meja; rak-rak besi disusun untuk menata komponen; dan di dinding ia menempel tulisan tangan: “Jangan debat di sini lebih dari 15 menit; sisanya, buktikan di alat.” Ia mengajak tiga adik tingkat, seorang mahasiswi teknik mesin bernama Rara yang pandai bubut dan pengelasan, serta Madi—anak arsitektur yang lihai 3D printing. “Mulai dari kecil,” kata Jayeng. “Sistem monitoring banjir mikro untuk RT. Kalau berhasil, kita tawarkan ke kelurahan.”
Mereka tertawa—bukan meremehkan, tapi karena mission itu terasa besar untuk meja sekecil itu. Rara meraih solder, Madi merapikan STL file, Jayeng menulis firmware. Drama? Tentu ada—argumen tentang sensor yang lebih murah versus yang lebih stabil; tentang deadline versus kuliah; tentang pacar yang mengeluh ketemu janji makan malam harus diundur. Tapi Jayeng mengingatkan mantra: “Kita mau bertengkar atau bertumbuh?” Mereka memilih tumbuh—dengan membuat log book berisi keputusan teknis, agar perdebatan tidak jadi lingkaran setan.
.
Di sisi lain kota, ada pertemuan yang tak ditentukan jamnya: sebuah reuni kecil di kafe perpustakaan—bangku kayu, kopi hitam, dan dinding yang penuh buku. Datang seorang perempuan—Keni—yang semasa SMA dikenal sebagai juara poster sains, lalu lenyap dari radar kampus-kampus ternama karena harus membantu ibunya berjualan nasi uduk. Ia memulai kanal video pendek tentang fisika harian—bagaimana mesin cuci bekerja, kenapa jembatan butuh expansion joint, mengapa lampu neon terdengar berdengung. Kanal itu tumbuh pelan, tapi komunitasnya kuat. Ia bukan influencer; ia pengajar yang bertahan dengan sabar, memperbaiki ilustrasi, mempertebal teks, dan menjawab komentar satu-satu.
“Mau gabung?” tanya Umar. “Kita sedang siapkan micro-course ‘Rekayasa Sehari-hari’ buat SMK.”
Keni mengangguk. “Boleh, asal konsepnya kontekstual. Anak SMK harus diajak bikin—bukan cuma menonton.”
“Justru itu,” sahut Umar. “Kita bikin tantangan tujuh hari: tiap hari satu proyek kecil yang berkaitan dengan rumah dan lingkungan. Evaluasinya bukan nilai, tapi fungsi.”
Malam makin dalam. Di WhatsApp keluarga, ayah mereka—yang tinggal di Jember—mengirim foto kebun belakang: pepaya yang mulai berbuah. “Belajar dari pepaya,” tulis ayah. “Dari bunga sampai buah, dia pakai waktu. Kalian pun begitu.” Muning membalas dengan foto mood board; Umar mengirim tangkapan layar skema Lab Merdeka; Jayeng mengirim foto Bengkel Udara. Ayah hanya memberi emoji jempol. Ibu menyertakan doa, lalu mengingatkan: “Jangan lupa makan.”
.
Dua bulan kemudian, Bengkel Udara kedatangan tamu: ketua RT dan dua ibu-ibu kader posyandu. “Kami dengar kalian bikin alat pantau banjir?” tanya ketua RT. “Kali kecil di belakang rumah sering meluap kalau hujan semalam. Tiba-tiba air sudah di teras.”
Jayeng menyalakan layar: tampilan sederhana—grafik ketinggian air, peringatan via group RT, dan saran langkah-langkah. “Kami belum sempurna,” katanya, “tapi bisa kita uji di saluran belakang Balai RT.”
Ibu-ibu mengangguk. Kader posyandu membayangkan peringatan dini bukan sekadar sirine yang jarang berfungsi, melainkan pesan yang bisa sampai di ponsel anak-anak muda yang selalu online. “Kalau malam hujan deras, bapak-bapak suka bingung harus ngecek manual,” kata salah satu. “Kalau ini bisa kasih tahu lebih awal, kami bisa pindahkan motor dan barang.”
Rara memasang sensor di gelagar kecil, Madi memprint casing tahan air. Uji coba tiga minggu—hujan kecil, hujan sedang, hujan besar—dan satu malam ketika air naik cepat, ponsel ketua RT berbunyi: “Level siaga. Pindahkan barang. Hubungi tetangga lansia.” Mereka menertibkan, dan pagi harinya, kerugian berkurang separuh.
Kabar menyebar pelan, dari mulut ke mulut. Kelurahan mengundang Bengkel Udara ke rapat kecil. “Kalian punya SOP perawatan?” tanya seorang staf. Jayeng menoleh ke tim: belum. De facto, mereka terbiasa mengandalkan “anak-anak lab” yang cepat datang. “Kami siapkan,” jawabnya. Di malam yang sama, ia mengetik SOP yang rapi: jadwal kalibrasi, cara membersihkan sensor, troubleshooting sederhana, contact person. Ia mengirim dokumen ke staf besok pagi sebelum jam sembilan. Disiplin: bukan bakat lahir, melainkan kebiasaan yang dipaksa sampai jadi default.
.
Di Lab Merdeka, Umar mengeksekusi konsep. Mahasiswa dari kampus negeri dan swasta mendaftar. Ada yang kuat di teori, ada yang gagap di lapangan; tapi modul menuntut mereka mengukur—bukan sekadar mengira. Mereka harus mendampingi satu UMKM selama sebulan: mendesain ulang kemasan, menghitung COGS, mengukur conversion rate dari marketplace, menata pencatatan sederhana. “Kalau tidak tercatat, itu belum berhasil,” kata Umar. “Kalau tercatat tapi tak berubah, berarti kita belum menyentuh titik masalah.”
Survei awal menunjukkan rata-rata repeat order 18%. Tiga minggu kemudian, 26%. Tidak spektakuler, tapi real. Di retrospective mingguan, tidak ada pujian kosong. Yang ada: what worked, what didn’t, what next. Mahasiswa belajar merendahkan diri—bukan tunduk tanpa akal, melainkan meletakkan ego agar data berbicara. Dosennya hadir tak hanya sebagai checker, melainkan coach yang membuka literatur, memperkenalkan standar, menuntut referensi. Menghargai dosen tidak berarti menutup kritik; justru sebaliknya: berani mengajukan paper pembanding dengan santun, membawa diskusi ke meja ilmiah, bukan ke panggung gengsi.
Muning, pada saat yang sama, merampungkan proyek flagship store. Ia mempekerjakan dua adik kelas arsitektur sebagai junior, seorang ibu penjahit untuk soft furnishing, dan satu alumni SMK untuk carpentry. Diversifikasi karier bukan jargon di bio Instagram; itu semangat membagi rezeki. Maka ketika toko dibuka, dekorasinya bukan sekadar cantik—ia merajut banyak nasib kecil yang akhirnya punya tempat.
Di meja kasir, ada kartu kecil bertuliskan: “Kami kolaborasi dengan Lab Merdeka—setiap pembelian, Anda ikut menyisihkan dana beasiswa pelatihan keterampilan.” Toko itu tak sekadar menjual baju; ia menjual gagasan tentang kota yang mengangkat banyak tangan. “Kita hidup di kelas menengah atas,” kata Muning pada kliennya suatu sore. “Kemewahan yang paling layak kita pamerkan adalah kemampuan menumbuhkan orang di sekitar.”
Klien itu terdiam, lalu mengangguk. “Tuliskan kalimat itu di press release.”
.
Sementara kota sibuk menumbuhkan papan iklan baru, sebuah undangan tiba ke Bengkel Udara: lomba inovasi wilayah Asia Tenggara, temanya “Low-cost Resilience Tech”. Level kompetisinya keras—tim dari Singapura datang dengan protokol siber yang ketat, tim dari Vietnam membawa integrasi panel surya plug-and-play, tim dari Thailand memamerkan fail-safe mekanik yang elegan. Jayeng mengecek daftar juri: profesor dari Tokyo, praktisi kebencanaan dari Manila, dan policy advisor dari Bank Pembangunan Asia. Keringatnya dingin, tapi matanya terang.
Malam sebelum presentasi, mereka berkumpul. Umar membuka catatan: “Lima tamparan yang dulu kamu ceritakan, Jay. Pastikan kita tidak jatuh ke lubang yang sama.” Jayeng mengangguk—ia ingat. Mereka membatasi debat, menuliskan setiap keputusan teknis. Mereka menaruh dosen pembimbing sebagai lead reviewer, menyiapkan acknowledgement yang layak. Mereka meletakkan pendidikan sebagai prioritas—dua anggota tim absen dari pesta ulang tahun agar protokol failover diuji ulang. Mereka memilih create over use—membuat module open-source yang bisa dipakai RT lain. Mereka menjaga ritme: belajar, uji, catat, iterasi.
Presentasi berjalan seperti aliran sungai—pelan, padat, lalu deras. Jayeng tidak merendahkan kompetitor dalam kalimatnya; ia mengangkat data warga di RT kecil yang kini punya lima menit keunggulan waktu untuk selamatkan barang dan orang. Juri dari Manila menatap dingin, lalu tersenyum sedikit. Ia pernah berdiri di genangan banjir sampai pinggang. “Kalian tahu,” katanya, “lima menit itu kadang perbedaan antara panik dan tertib.”
Mereka tidak juara pertama. Mereka dapat Honourable Mention dan akses pendampingan enam bulan. Tetapi yang lebih besar daripada plakat adalah undangan kolaborasi: tim Vietnam menawarkan belajar bersama solar integration; tim Thailand berbagi skema mechanical fail-safe; tim Singapura mengundang untuk code review. Mereka pulang bukan membawa slogan, melainkan jejaring—jalan raya panjang di atas jam-jam sunyi.
.
Kabar pulang mereka disambut kecil-kecilan di flagship store rancangan Muning. Di antara boneka manekin dan cahaya kuning hangat, orang-orang kota kelas menengah atas—pemilik coffee roastery, konsultan pajak, pengajar bahasa, pendiri studio yoga, ibu rumah tangga yang lihai home baking, pegawai BUMN yang suka naik gunung—datang memberi salam. Mereka membawa amplop, bukan untuk hadiah, melainkan untuk mengisi dana “Pelatihan Komunitas” yang dikelola bersama. “Anak SMK di dekat sini butuh modul listrik rumah tangga,” kata seorang pemilik roastery. “Kalau kabel mereka rapi, kedai-kedai kecil tidak perlu takut korsleting.”
Keni berdiri di sudut, memegang papan tulis kecil. Ia menulis: “Workshop: Merapikan Kabel, Menjaga Nyawa.” Sesi penuh. Ia tidak memberi ceramah panjaaaang; ia memberi latihan. Orang dewasa yang tak lagi duduk di bangku sekolah mendadak menikmati perasaan “bisa” saat lampu LED yang mereka pasang menyala tanpa bunyi dengung. Ada tawa, ada tepukan tangan.
Di akhir sesi, Jayeng berdiri. Ia tidak membawa pidato. Ia hanya mengulang kalimat yang dulu menempel seperti duri: “Dulu gue merasa Indonesia tertinggal 50 tahun.” Ia berhenti sejenak; ruangan hening. “Tapi malam ini gue belajar satu hal lain: jarak itu bukan untuk ditangisi, tapi diukur. Kalau kita bisa mengukur, kita bisa berlari. Dan berlari itu bukan kerja satu orang.”
Malam itu, kota seperti menunduk sebentar. Lampu-lampu tidak padam, tetapi sinarnya terasa lebih hangat. Orang-orang pulang membawa catatan kecil: daftar buku untuk dibaca, tautan kursus online untuk dicoba besok pagi, nama-nama yang bisa diajak kerja sama. Mereka tidak merencanakan revolusi. Mereka memperbesar kebiasaan-kebiasaan baik.
.
Musim hujan datang lagi. Di RT kecil, peringatan dini berbunyi tertib. Di Lab Merdeka, batch ketiga berjalan dengan modul yang lebih ketat. Di flagship store, kartu kecil itu kini berubah: “Kami menyisihkan 2% dari penjualan untuk beasiswa pelatihan.” Di kanal Keni, video “Mengapa Stop Kontak Tiga Lubang Lebih Aman” tembus ratusan ribu penonton—bukan karena sensasi, tapi karena berguna.
Dan di apartemen menghadap sungai itu, di suatu dinihari, Jayeng kembali menatap jendela. Air masih hitam; lampu masih memantul. Ia mengetik pesan ke adik tingkatnya: “Besok kita rapihin dokumentasi. Habis itu, minta dosen pembimbing kritik habis-habisan. Juga, gue pengin coba pilot di kelurahan sebelah.” Ia menutup laptop, merebahkan punggung.
Sebelum mata tertutup, ia teringat dua kalimat yang menuntun langkah mereka selama ini:
Prestasi tak lahir dari drama, melainkan dari jam-jam sepi yang diisi belajar.
Dan kemewahan kelas menengah atas paling luhur adalah kemampuan menumbuhkan orang lain.
Kota di luar sana masih berlari. Tapi di dada, ada ketenangan baru: bahwa jarak lima puluh tahun itu, kalau dipecah jadi jam-hari-bulan-tahun, bisa disusul oleh orang-orang yang memilih merendah, menghitung, dan mengerjakan.
.
Catatan Kecil: Lima Luka, Lima Obat
-
Terlalu banyak drama → Batasan waktu debat, pindah ke log book, dan proof by prototype.
-
Kurang menghargai dosen → Jadikan dosen coach dan lead reviewer. Kritik dengan referensi, bukan suara.
-
Pendidikan bukan prioritas → Jadwalkan belajar sebagai default. Pesta bisa ditunda; deadline tidak.
-
Memakai, bukan mencipta → Sisihkan jam wajib untuk membuat—walau kecil—dan publikasikan open-source.
-
Kurang belajar berkelanjutan → Retrospective berkala: what worked, what didn’t, what next. Belajar jadi kebiasaan, bukan event.
Pada akhirnya, pendidikan bukan gelanggang untuk menunjukkan siapa paling pintar; pendidikan adalah dapur tempat kita belajar menyalakan api kecil setiap hari, agar suatu hari nanti rumah-rumah di kota ini tetap hangat meski hujan mengguyur berminggu-minggu.
.
.
.
Malang, 24 Oktober 2025
.
.
#PendidikanIndonesia #InovasiSosial #BelajarSeumurHidup #KotaDanIlmu #Edtech #LabMerdeka #KelasMenengahAtas #CerpenIndonesia