Sikap yang Kita Simpan

“Kadang yang kita kejar bukan orangnya, melainkan versi diri yang pernah kita janjikan di hadapan cermin—yang berani jujur, bertanggung jawab, dan pulang dengan kepala tegak.”

.

Rintik hujan tipis membasuh wajah Jakarta ketika Jayeng pulang terlalu larut untuk disebut wajar dan terlalu cepat untuk disebut tumbang. Di dashboard mobil listriknya, notifikasi rapat pagi sudah berderet seperti barisan semut yang tak pernah lelah mencari gula. Ia baru saja menutup negosiasi akuisisi startup logistik ramah lingkungan; angka-angka berdering di kepalanya seperti alarm yang tak kunjung mati. Di sebelah, kursi penumpang kosong. Sudah lama kosong. Kosong yang rapi, terlipat, dan wangi penyegar kabin.

Di apartemen lantai tiga puluh, Kelaswara menunggu. Bukan menunggu Jayeng, sebenarnya—ia menunggu dirinya sendiri yang sedang menempuh S2 manajemen pendidikan jarak jauh sambil mengelola learning hub kecil di Tebet. Kelaswara menyalakan lampu-lampu kuning yang hangat, menata gelas kramik, dan menjadwal kelas “Public Speaking untuk Anak SMA” esok sore. Di antara semua jadwal, ada satu catatan kecil yang hanya ia mengerti: “Latihan kata-kata yang tidak menyakiti.”

Umar tiba-tiba mengirim pesan di grup “Bala Kota”—grup sahabat lama sejak kuliah. “Besok pagi di kafe Ganis jam 9? Aku perlu kalian. Serius.” Ada stiker wajah tegang dan secangkir kopi. Umar, arsitek yang belakangan beralih fokus ke desain ruang publik, memang jarang meminta tolong. Ketika ia bilang “perlu”, biasanya ada gedung yang hendak runtuh—atau hati.

Ganis membaca pesan itu dari bar kopinya di Sudirman. Kafe kecil dua lantai dengan jendela lebar menghadap jalur sepeda, namanya Rengganis Roastery. Di bawah papan nama kayu, sebuah tulisan kecil terpasang: “Tempat pulang bagi yang belum selesai.” Ia baru saja menutup mesin espresso ketika Madi, sahabat masa SMA yang kini mengelola venture studio untuk bisnis keluarga, datang tanpa janji. “Ada menu baru?” tanya Madi, mencoba santai. Ganis menatap mata Madi yang menampung hujan. “Ada. Tapi kamu butuh cerita dulu atau kopi dulu?” Madi tersenyum tipis. “Cerita tanpa kopi tak ada nadanya.”

.

Pagi berikutnya, kota cerah dengan sisa-sisa dingin hujan malam. Di kafe, mereka berkumpul: Jayeng dengan kemeja biru yang tak pernah kusut, Kelaswara dengan tote bag berisi modul, Umar dengan kertas-kertas sketsa, Madi dengan mata yang kurang tidur, dan Ganis yang memimpin udara dengan aroma biji kopi baru hasil roasting dini hari.

“Aku dapat proyek revitalisasi alun-alun di Jember,” Umar membuka, “Ruang publik yang mau dihidupkan lagi. Ada dana, ada kemauan pemerintah, ada maunya warganet, tapi tak ada waktu panjang. Aku butuh otak kalian.”

Jayeng mengangkat alis. “Kenapa kami?”

“Karena kota ini selama bertahun-tahun membentuk kita. Kita yang tahu cara menyalakan lampu tanpa membuat rumah terbakar,” jawab Umar, menatap satu-satu. “Dan karena aku tak mau proyek ini jadi sekadar konten. Aku mau tempat yang bisa memijahkan dialog.”

“Dialog apa?” tanya Kelaswara.

“Antara pulang dan pergi,” kata Umar.

Seketika, Ganis menaruh lima cangkir. “Aku menyeduh blend baru. Aku namai Ragil Kuning—dari varietas yang tumbuh di lereng yang tak mentolerir grasa-grusu.” Ia menatap mereka. “Mari bicara sambil minum. Kalian boleh tidak setuju satu sama lain, tapi jangan menyakiti.”

Madi menatap cangkirnya, lalu berkata lirih, “Aku akan menikah bulan depan. Lalu batal kemarin malam.” Semua menoleh. “Bukan karena kami tak saling cinta. Kami hanya menghitung dengan excel hal-hal yang mestinya dihitung dengan dada. Kami gagal berkarir sebagai manusia.”

Hening menyusun dirinya. Di luar, sepeda listrik melaju pelan. Jayeng meraih bahu Madi. “Kita sering menyangka grafik selalu naik. Padahal hidup itu candlestick.”

“Kalau gitu,” celetuk Ganis, “tolong jelaskan, kapan volume meningkat?”

Mereka tertawa kecil. Umar meneguk kopi. “Jadi begini, alun-alun Jember akan jadi ruang belajar terbuka—kelas publik. Aku ingin Kelaswara mengkurasi program literasi dan vokasi akhir pekan. Ganis, kamu mengkurasi UMKM makanan lokal tapi sehat. Jayeng, kamu bantu model bisnisnya supaya sustain. Madi—kamu ajari anak-anak muda cara membaca jawab-tidak jawab dalam proposal hidup.”

“Proposal hidup?” Kelaswara mengerling.

“Ya. Kita semua menulis proposal hidup waktu umur dua puluh—kita kirim ke semesta, harapannya di-approve. Ternyata semesta membalas: ‘tolong revisi tujuan, metode, timeline, anggaran emosional.’ Lalu, kita lupa baca feedback,” ujar Umar.

Jayeng menyandarkan badan. “Aku ikut—dengan syarat. Kita bangun governance yang transparan. Tak ada ‘orang dalam’. Aku bosan lindap-lindap.”

“Disetujui,” kata Umar. “Aku tak punya waktu untuk gelap.”

Ganis mengangkat alis. “Kalau program ini jalan, artinya aku harus sering ke Jember. Rasanya seperti memutar kenangan balik: sawah basah, angin garam, motor-motor yang tertawa.”

“Kota besar butuh desa yang tak mudah menyerah,” Kelaswara menambahkan. “Dan desa butuh kota yang tak sombong.”

Madi tersenyum, untuk pertama kalinya sejak masuk. “Kalian berhasil memberiku alasan bangun besok pagi.”

.

Mereka mulai bekerja seketika. Siang itu juga, Kelaswara mengajak tim kecil menyusun kurikulum mikro: kelas personal finance untuk mahasiswa rantau, public speaking untuk santri, food hygiene untuk pedagang kaki lima. “Kita tidak menjadikan orang kecil sebagai panggung heroisme kita,” katanya dalam rapat. “Kita hanya menyodorkan mikrofon.”

Ganis menyeleksi UMKM yang akan kurasi. Ia mendatangi dapur-dapur berlantai semen, mencium aroma dapur yang jujur. “Kita perbanyak protein, kurangi minyak. Jauhkan micin berlebihan, dekatkan sayuran. Rasanya tetap Indonesia, tapi tidak menipu tubuh,” katanya pada seorang ibu penjual soto. Ibu itu menangis kecil, “Terima kasih, Nduk, karena kamu mengajariku tanpa merendahkanku.”

Jayeng menyusun model bisnis: kombinasi dana CSR, tiket konser mini akhir pekan, pasar seni, dan crowdfunding transparan. Ia membangun dashboard publik yang bisa diakses siapa saja, menayangkan pemasukan-pengeluaran, timeline program, dan indikator dampak. “Kita menolak romantisasi kemiskinan,” tulisnya di landing page. “Yang kita bangun adalah martabat.”

Madi merancang kelas “Menawar dengan Bernilai” untuk anak-anak muda. Ia mulai dari hal-hal remeh: cara menulis surel yang tidak merendahkan diri tapi juga tidak arogan. Cara menawar pekerjaan tanpa merasa sedang mengemis. “Kalian harus paham: value itu gabungan antara apa yang kalian kuasai, integritas, dan konsistensi,” katanya. “Dan jangan lupa: orang baik pun butuh strategi.”

Umar menyiapkan desain ruang: jalur pedestrian yang ramah keluarga, area duduk berbentuk setengah lingkaran untuk dialog, amfiteater kecil untuk pertunjukan komunitas, playground yang tak meminggirkan anak berkebutuhan khusus, dan taman baca dengan atap yang memeluk hujan. “Ruang adalah bahasa,” gumamnya sambil mengarsir. “Kita menulis paragraf yang mengundang orang duduk dan saling menatap.”

.

Malam, ketika kota menutup sebagian lampu, Ganis menutup buku kas dan membuka hati yang, tanpa izin, menoleh ke masa lalu. Bertahun-tahun lalu, ia dan Jayeng pernah mengira mereka akan tiba di altar yang sama. Mereka berakhir di persimpangan: Jayeng memilih pertumbuhan yang cepat; Ganis memilih pelan, tetapi berakar. Tak ada salah, tak ada benar. Yang ada hanya ritme.

Suatu sore, Ganis mendapati Jayeng duduk di bangku kayu kafe setelah jam tutup. Tak ada rapat. Tak ada notifikasi. Hanya senja. “Apa kabar?” tanya Ganis.

“Baik. Capek,” jawab Jayeng, jujur. “Kamu?”

“Baik. Takut.”

“Takut?”

“Takut suatu hari aku mengelola tempat pulang untuk semua orang—kecuali diriku sendiri.”

Jayeng menahan napas. “Kamu ingat waktu kita ke kampus lama, melihat tempat kita dulu berdiskusi sampai larut? Aku ingat kamu bilang, ‘Aku ingin membuat ruang yang menamai orang tanpa melabeli mereka.’ Kamu sedang mewujudkannya, Ganis.”

“Lalu kamu?”

“Aku sedang belajar pelan. Bisnis mengajariku melaju, hidup memaksaku melambat. Mungkin tujuan keduanya sama: sampai dengan waras.”

Mereka tertawa kecil. Di langit, lampu-lampu gedung menggambar garis-garis yang mengingatkan pada notasi lagu. Ganis menatap Jayeng. “Apakah kita menyesal?”

“Tidak,” kata Jayeng. “Kita hanya menua.”

.

Peluncuran program alun-alun Jember berlangsung pada Sabtu pagi. Panji, jurnalis independen yang selama ini menulis tentang kota-kota lapis kedua, datang meliput. Ia “anak kota besar” yang bosan pada klise metropolis. “Di sini rasanya orang-orang masih saling menyapa,” katanya pada Kelaswara, setelah menghadiri kelas literasi digital untuk orang tua. “Di Jakarta, notifikasi mengalahkan panggilan nama.”

Kelaswara tersenyum. “Kalau begitu bantu kami menuliskan cerita. Bukan untuk viral. Untuk arsip.”

Hari itu, food court kurasi Ganis penuh antrean rapi. Soto yang ditambah protein, rawon dengan porsi nasi yang tidak berlebihan, kopi lokal seduh manual dengan penjelasan origin yang sederhana. Seorang bapak sopir bus berkata, “Rasanya familiar, tapi enteng.” Ganis tertawa, “Seperti cinta yang sehat, Pak.”

Di panggung kecil, kelas Madi tentang “Negosiasi Tanpa Rasa Salah” dipadati puluhan anak muda. Ia membuka dengan permainan peran: bagaimana menolak tawaran kerja yang tak sesuai ekspektasi dengan tetap menjaga hubungan. “Kalian berhak memilih. Menolak bukanlah kriminal. Asal sopan dan jujur,” tegas Madi. Di ujung sesi, seorang gadis bertanya, “Bang, bagaimana kalau dituduh sombong?” Madi diam sejenak. “Sombong itu ketika kita merendahkan orang. Tegas itu ketika kita menghormati diri.”

Umar berdiri di dekat area bermain, memperhatikan anak-anak berlarian, termasuk seorang bocah dengan alat bantu dengar yang tertawa keras. “Beginilah seharusnya ruang,” katanya pada Jayeng yang berdiri di sampingnya. “Semua orang berhak mengokupasi udara.”

“Dan udara berhak bersih,” sahut Jayeng, menunjuk stasiun isi ulang air minum gratis, bank sampah yang rapi, dan panel surya di atap panggung. “Kita seirinakan etika dan estetika.”

Menjelang sore, awan menggembung, dan hujan turun. Bukan deras—cukup untuk menguji atap melengkung Umar. Orang-orang tidak bubar. Mereka bergeser ke bawah atap, menunggu rintik reda sambil melanjutkan obrolan. Ganis mengantarkan termos kopi ke panggung, Madi membantu orang tua memindahkan kursi, Kelaswara membagikan jas hujan tipis pada anak-anak, Jayeng menyalakan lampu-lampu kecil yang memantulkan cahaya ke genangan. Hujan menulis puisi yang kata-katanya bisa didengar.

Di pinggir, Panji memotret. “Aku suka momen ketika orang berkumpul bukan karena dipanggil influencer, tapi karena saling mengundang,” katanya. “Kota yang baik tidak merasa penting—ia membuat penduduknya merasa penting.”

.

Malamnya, mereka berlima duduk di lantai panggung, kaki menggantung, memandang alun-alun yang mulai sepi. Umar mengeluarkan sketsa awal proyek dari mapnya. “Lihat ini,” katanya. “Sketsa pertama: ruang yang rapi tapi kaku. Ia tampak cantik di atas kertas, tapi dingin. Lalu aku bertemu kalian. Kalian adalah garis koreksi yang membuatnya bernapas.”

“Tubuh kota itu seperti manusia,” ujar Kelaswara. “Ia butuh jantung (ruang yang menghangatkan), paru-paru (pepohonan), otak (perpustakaan), lambung (kuliner yang jujur), dan kulit (pelindung dari cuaca kebijakan).”

“Dan ia butuh tulang belakang: integritas,” sambung Jayeng.

“Dan ia butuh sayap,” kata Ganis, mengangkat wajah ke langit. “Bukan untuk kabur, tapi untuk kembali dengan cara yang lebih baik.”

Madi menatap teman-temannya. “Terima kasih. Hari ini kalian memberiku pelajaran sederhana: jika cinta adalah kerja, maka patah hati adalah istirahat. Besok aku akan melamar hidup sekali lagi—tanpa excel.”

Mereka tertawa. Hening sebentar. Lalu Panji menutup kamera dan berkata, “Apa yang kalian lakukan ini bukan heroisme. Ini cara baru menjadi warga.”

Umar menatap jauh. “Kalau nanti proyek ini diambil orang, dipolitisasi, dilupakan, lalu dihancurkan—kita buat lagi. Di tempat lain. Dengan cara lain. Kita orang dewasa: kita tidak punya kemewahan untuk putus asa lebih dari tiga hari.”

Hujan berhenti. Lampu-lampu temaram memantulkan warna madu di genangan. Musik akustik jauh terdengar dari sudut alun-alun.

.

Beberapa bulan kemudian, Rengganis Roastery membuka cabang kecil di dekat alun-alun. Ganis menamai menu unggulan “Jayeng Sunset”—kopi susu dengan hint rempah yang hangat. Di kaca jendela, ditempel selembar kertas: “Diskon untuk yang habis gagal, gratis untuk yang berani jujur.”

Kelaswara meluncurkan program “Bicara Baik” untuk orang tua dan anak: kelas yang mengajak keluarga belajar meminta maaf tanpa menyalahkan, memuji tanpa mengejek, menegur tanpa mempermalukan. Di pertemuan keempat, seorang bapak menangis, “Aku baru sadar, selama ini aku mengira kasih sayang adalah menyuruh banyak-banyak.” Kelaswara memeluknya dari jarak aman.

Madi kembali bekerja. Ia tidak buru-buru jatuh cinta. Tapi ia menulis buku kecil berjudul Menawar Hidup—sebuah kumpulan esai yang menggandeng pengalaman profesional dan luka-luka personal. Di halaman pertama, ia menulis: “Keberanian terbesar adalah meminta maaf pada diri sendiri karena terlalu lama membiarkannya di bangku cadangan.”

Umar mendapat undangan merancang kembali taman di kota lain. Ia menolak beberapa tawaran bernilai besar karena syarat yang tak sehat. “Setiap garis yang kutarik hari ini adalah warisan untuk anak-anak yang belum lahir,” katanya pada panitia yang memintanya “mempercantik” tanpa memperbaiki akses. “Aku tak menjual napas kota demi foto Instagram.”

Dan Jayeng—ia menulis ulang kontrak kerjanya sendiri. Mengurangi jumlah deal per kuartal, menggandakan waktu untuk due diligence etis, dan menetapkan satu hari dalam sepekan untuk mengajar business ethics di kampus lokal. Suatu pagi, ia mengantar rombongan mahasiswa untuk studi lapangan di alun-alun. “Kalian lihat,” katanya, “akuntabilitas itu bukan laporan tebal. Akuntabilitas adalah ketika seorang pedagang bakso tahu ke mana uang parkirnya mengalir.”

Setelah kelas, ia berjalan sendirian menyusuri jalur pejalan kaki. Di kursi kayu dekat taman baca, ia melihat secarik kertas kecil bertuliskan tangan: “Terima kasih sudah membuatku berani daftar beasiswa. —R.” Jayeng menatap hamparan manusia yang tidak sama tapi setara. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa pulang bahkan ketika tidak sampai di apartemen.

.

Suatu malam, kota kembali diguyur hujan. Ganis mengunci kafe lebih awal. Di sudut panggung alun-alun, musisi jalanan memainkan lagu lama yang liriknya hafal oleh payung dan selokan. Ganis, Kelaswara, Umar, Madi, dan Jayeng kembali berkumpul di bangku setengah lingkaran.

“Aku ingin kita mengarsipkan semuanya,” kata Kelaswara. “Bukan saja program dan angka. Tapi juga rasa.”

“Rasa apa?” tanya Panji yang kebetulan lewat, mengangkat kamera.

“Rasa ketika seseorang berani menyapa setelah lama diam. Rasa ketika pedagang menambah sayur karena paham nutrisi. Rasa ketika anak kecil dengan alat bantu dengar tertawa, dan orang-orang menertawakannya bersama—bukan karena mengejek, tapi karena ikut bahagia.”

Panji menurunkan kamera. “Kalau begitu, biarkan aku menulis bukan sebagai jurnalis, tapi sebagai saksi.”

Madi menatap langit. “Aku mengajukan satu resolusi kota: kita tidak lagi memamahi orang hanya dari pakaian, pengikut di media sosial, atau merek mobil. Kita mengukur dari cara mereka meminta maaf.”

Umar mengangguk. “Dan cara mereka memberi jalan.”

Jayeng menambahkan, “Dan cara mereka menjaga janji ketika tak ada yang melihat.”

Ganis menyeringai, “Dan cara mereka memesan kopi—dengan menyebut ‘tolong’ dan ‘terima kasih’.”

Hujan pelan. Mereka tertawa. Di atas kepala mereka, lampu-lampu putih kecil bergetar halus ditiup angin. Kota memeluk mereka seperti ibu yang akhirnya percaya anak-anaknya bisa menjaga diri.

Di ambang malam, mereka bangkit. Bukan menuju kemenangan besar, melainkan menuju kesediaan untuk mengulang kebaikan kecil-kecil setiap hari. Mereka bukan pahlawan, bukan pula legenda. Mereka warga yang—dengan cara mereka masing-masing—membubuhkan tanda tangan pada perjanjian lama: menjadi manusia yang utuh di tengah kota yang sibuk.

Sebelum bubar, Ganis menempelkan selembar kertas di papan pengumuman alun-alun:

“Kalau suatu hari kamu bingung menentukan arah, ingat: pulang bukan alamat, melainkan sikap. Dan sayap itu selalu ada—di lemari yang namanya keberanian.”

Dan pada malam itu, ketika hujan menyurut seperti napas panjang selepas nangis, kota menutup matanya pelan. Di balik kelopak, ia menumbuhkan sayap. Bukan untuk lari, tetapi untuk mengantarkan orang-orang kembali kepada diri mereka sendiri.

.

.

.

Malang, 23 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #KelasMenengah #RuangPublik #UMKM #EtikaBisnis #LiterasiKeluarga #Arsitektur #KopiLokal #Mentorship #Indonesia

Leave a Reply