Kota yang Menyimpan Nama Kita

“Kadang yang berakhir bukan cinta atau persahabatan, melainkan cara lama kita memandang diri sendiri. Hanya setelah itu, kota pun memberi jalan pulang.”

.

Hujan turun seperti garis-garis miring di kaca mobil Panji, menyalin kota menjadi teks miring yang sukar dibaca. Lampu-lampu SCBD pecah jadi bintang-bintang kecil, lalu menghilang di wiper yang menyapu cepat. Di kursi penumpang, Sekar menatap ke luar jendela, memeluk tas kanvas berisi buku catatan dan kamera. Mereka baru keluar dari sebuah peluncuran produk fintech—gala kecil yang dipaksakan glamor—sedangkan hati mereka sesungguhnya letih oleh angka, target, dan senyum yang harus diulang.

“Besok kamu ke Surabaya?” tanya Sekar, suaranya mengambang di kabin, sebagaimana aroma kopi sisa di cupholder.

“Subuh,” jawab Panji. “Investor dari Singapura minta aku present ulang. Mereka mau pivot ke lending mikro. Katanya, ‘follow the pockets of resilience’. Kita disuruh lebih ‘mendengar’ pasar.”

Sekar tertawa pelan. “Lucu ya. Orang jauh menyuruh kita mendengar yang dekat.” Ia menoleh, seolah ingin menangkap wajah Panji sebagaimana fotografer mencari cahaya terbaik. “Kamu sudah lama mendengar dirimu sendiri?”

Pertanyaan itu seperti bunyi logam kecil jatuh di lantai parkir—nyaring, terukur, tak bisa diabaikan. Panji menghela napas. Ia tidak pandai menjawab pertanyaan yang mengenainya sendiri. Ia lebih fasih bicara tentang UX funnel, CAC vs LTV, atau bagaimana menghilangkan gesekan dalam onboarding. Dirinya? Terkadang seperti laman “About” yang belum sempat diperbarui.

.

Mereka bertemu tiga tahun lalu di kampus yang sama, namun di acara yang berbeda. Sekar mengkurasi pameran foto “Kota yang Menyimpan Nama Kita,” sementara Panji mewakili startup yang mensponsori talkshow. Sekar, keturunan keluarga pengrajin batik dari Kediri, membawa darah lama yang lirih ke masa kini: ia mengelola podcast kecil “Sora Sekar”, mengajak orang berbincang tentang pekerjaan, keluarga, kesunyian. Panji, orang Bogor yang besar di Bekasi, naik kereta dewasanya di Jakarta—rapat, pitch deck, malam panjang.

Nama-nama mereka seakan ditarik dari wayang panji: Panji Asmarabangun yang tak pernah lelah mencari Sekartaji. Bedanya, zaman kini memberi mereka akun e-wallet, tagihan kartu kredit, dan sebuah kota yang berkemampuan menyembuhkan sekaligus menelan.

Candra—sahabat lama Panji—masuk dalam lingkaran itu. Arsitek yang kemudian menggawangi properti butik di Yogyakarta, juga merintis usaha arsitektur sosial: merenovasi posyandu, membangun ruang baca, dan tempat singgah bagi pekerja kreatif dengan tarif semampunya. Di tangan Candra, garis-garis bangunan seperti kaligrafi yang menulis ulang harapan orang.

Lalu ada Galuh, dokter gigi yang belakangan belajar manajemen rumah sakit; dan Angreni, public relations yang tumbuh dari agency ke agency seperti lompatan-lompatan batu pijakan di sungai deras. Mereka berlima seperti simpul-simpul di peta pulau: Jakarta, Surabaya, Yogyakarta—ditautkan oleh jadwal penerbangan, chat grup, dan doa masing-masing.


Surabaya, pagi berikutnya. Panji berdiri di depan layar lebar, memperlihatkan grafis naik turun. Kata-kata “risk grading” dan “behavioral scoring” berputar seperti kipas angin di ruang rapat ber-AC dingin. Investor mengangguk pada bagian yang mereka anggap menarik, dan melirik jam pada bagian yang mereka anggap terlalu panjang.

Usai presentasi, seorang investor—pria Singapura dengan kemeja biru muda—berkata, “Produk Anda bisa jadi jembatan bagi pedagang pasar yang belum bankable. Tetapi jembatan yang baik harus bertumpu pada dua tepi: data yang jujur, dan manusia yang dihormati. Ingat, angka adalah catatan masa lalu; tapi manusia bergerak.”

Manusia bergerak. Kalimat itu menempel di kepala Panji saat ia menatap Jembatan Suramadu dari jendela mobil. Di kepalanya, ia melihat aplikasi miliknya sebagai jembatan. Tetapi apakah ia benar-benar tahu siapa yang menyeberang di atasnya?

Ia menulis pesan pada Sekar: “Aku ingin pulang, tapi bukan ke alamat.”

Sekar membalas: “Kalau begitu, pulang ke nama. Nama kita.”


Sore di Jakarta, Sekar mendapatkan telepon dari ibunya. Suara ibunya seperti kain yang lembut namun kuat. Ada kabar: usaha toko batik keluarga di Kediri menurun semenjak wisatawan berkurang, dan pesaing daring agresif. “Ibu tak apa,” kata ibunya. “Tapi kadang Ibu takut warisan kita tinggal cerita.”

Sekar berkata ia akan pulang akhir pekan ini. “Aku tidak ingin batik kita hanya jadi motif di baju promosi,” ujarnya. Dalam hati ia merasa tersindir oleh dirinya sendiri; beberapa kali ia meminjam motif keluarga sebagai latar konten, tanpa pernah duduk seharian di toko, menatap pembeli, mendengar alasan mereka membeli atau pergi.

Malam itu, Sekar menyiapkan rencana: menghubungkan pengrajin batik Kediri dengan ruang-ruang retail kecil yang digerakkan komunitas. Ia menelepon Candra di Yogyakarta. “Kamu masih punya jaringan ruang kreatif yang sewanya bergantung pada kemampuan tenant?”

“Tentu,” kata Candra. “Kota ini menampung banyak yang tumbuh pelan. Apa yang kamu butuhkan?”

“Ruang untuk bernapas,” jawab Sekar, “dan orang untuk percaya.”


Yogyakarta menyambut Panji pekan berikutnya dengan panas yang manusiawi. Ia bertemu Candra di sebuah bangunan baru: bekas gudang yang kini jadi ruang baca, kafe, co-working, dan toko kecil. Di dinding, kata-kata anak-anak kampung tergantung dalam pigura: “Kami tidak minta dibantu, kami minta diajak.” Panji membaca pelan, seperti mengaji.

Candra mengantar Panji berkeliling. “Orang kota selalu ingin cepat,” katanya. “Padahal yang ingin tumbuh seringnya butuh pelan, konsisten. Seperti merawat gigi, kata Galuh.” Mereka tertawa.

Di sudut ruang, ada acara kecil: peluncuran majalah zine bikinan komunitas—cerita-cerita pendek tentang tinggal di kota, tentang berutang pada kios sebelah, tentang menabung nama baik. Panji mendengar, dan sesuatu di dadanya mengendur. Angka-angka dalam kepalanya tetap ada, tetapi kini duduk berdampingan dengan wajah-wajah.

Malamnya, mereka bertemu Galuh dan Angreni yang kebetulan berada di kota yang sama. Di meja bundar warung gudeg, pembicaraan mengalir: tentang kerja yang lebih dari sekadar gaji, tentang bertahan dari gossip kantor, tentang influencer yang meminjam kata “empati” demi engagement.

“Empati itu bukan konten,” kata Angreni, “itu kerja seharian: membaca komentar kasar tanpa membalas, lalu tetap mengirimkan press release yang jujur. Kadang kehilangan klien, tapi menemukan tidur yang lebih panjang.”

“Dan gigi yang tak ngilu,” sambung Galuh, tertawa.

Panji menatap mereka, bersyukur pada bahasa yang membuat jarak menjadi jembatan. Ia teringat ucapan investor: manusia bergerak. Ia menulis di ponselnya: “Rencana pivot: dari data ke dengar; dari scoring ke sowing—menabur relasi.”


Sekar, di Kediri, duduk di toko batik yang mulai lengang. Ia menyalakan kipas angin, menata ulang kain-kain, lalu membuat poster sederhana untuk media sosial: “Batik yang Tumbuh Pelan—Dari Tangan yang Disayangi.” Ia menghubungi dua kurator kecil di Yogyakarta lewat Candra, dan satu pengelola butik di Surabaya via Angreni. Ia juga menyiapkan episode podcast khusus: “Mengukur Nilai di Luar Diskon.”

Di sela-sela itu, Sekar menulis pesan panjang pada Panji: tentang kecemasan, tentang harapan yang sering datang dengan baju kerja biasa. “Aku selalu takut dianggap memanfaatkan nama keluargaku,” tulisnya. “Padahal mungkin yang perlu kulakukan adalah menjaga, bukan mempertontonkan.”

Panji membalas dengan foto papan di dinding ruang komunitas: “Kita tidak minta dibantu, kita minta diajak.” Lalu ia menulis: “Aku ingin mengajak—bukan muncul sebagai penyelamat.”

Sekar memejamkan mata. Di luar, suara becak melewati jalan yang belum diaspal rata, mengantarkan sayur untuk keluarga. Kota kecil menggemakan pelajaran yang sama: manusia bergerak, tanpa kebisingan.


Kabar buruk datang seperti hujan deras yang jatuh tanpa pendahuluan. Startup Panji terkena imbas salah satu mitra agregator data yang dicabut izinnya. Produk mereka yang bertumpu pada integrasi itu tersedak. Investor menahan dana berikutnya. Di timeline, berita muncul dengan judul-judul yang terlalu gemar menyederhanakan.

Panji duduk hingga pagi di kantor, menatap plafon. Ia menghubungi tim, menyusun rencana bertahan: memotong biaya, menawarkan skema kerja paruh, mengalihkan fokus pada layanan konsultasi bagi koperasi simpan pinjam yang ingin digital. Ia menolak dorongan untuk “mengelabui” pengguna dengan copywriting adenalin. “Kita tidak boleh menggadaikan bahasa,” katanya di rapat tim. “Tugas kita bukan menyihir, tapi menjelaskan.”

Seusai rapat, Panji mengirim pesan pada Candra: “Aku takut ini akhir.” Balasan datang: “Kadang yang berakhir bukan usahanya, melainkan caranya. Arah yang sama bisa kamu capai dengan perahu lain.”

Sekar datang ke Jakarta. Mereka berjalan menembus hujan malam di Senopati. Sekar memberi Panji payung, dan Panji baru sadar betapa ia selama ini berjalan tanpa payung—bangga basah, menolak tampak payah. Mereka berhenti di depan etalase toko tua yang bertahan keras kepala di antara bar-bar baru. Di kaca, pantulan wajah mereka berdiri berdampingan, seperti dua orang yang baru selesai menyebut nama masing-masing dengan benar.

“Kalau kamu harus memulai ulang, mulai dari mana?” tanya Sekar.

“Dari mendengar,” jawab Panji. “Dari ruang yang dibangun Candra. Dari cerita yang kamu rekam. Dari koperasi yang punya nama, bukan sekadar nomor identitas.”

Sekar tersenyum. “Maka kota ini akan mengingat nama kita.”

.

Mereka membuat pertemuan di Yogyakarta: kecil, senyap, tanpa banner besar. Panji mempresentasikan “produk” baru yang lebih rendah hati—platform pendampingan untuk koperasi dan komunitas kecil; bukan aplikasi yang minta data, melainkan sistem yang melatih orang membaca data sendiri. Sekar mengisi sesi tentang bahasa—bagaimana menulis pengumuman iuran tanpa menakuti, bagaimana menjawab pertanyaan yang memuaskan martabat. Candra memperlihatkan rencana renovasi posyandu yang murah namun indah; Galuh berbicara tentang kesehatan sebagai literasi; Angreni mengajarkan mengelola kabar, bukan sekadar mencari “viral”.

Peserta datang dengan sepeda motor, bus kecil, dan harapan yang diikat dengan tali rafia. Mereka duduk di kursi plastik, minum teh panas, mencatat pelan-pelan. Setiap sesi diakhiri diskusi yang riuh rendah, bukan karena mikrofon memecah suara, melainkan karena orang akhirnya merasa diundang bicara.

Di penghujung hari, seorang ibu bernama Raras berdiri. Ia mengelola warung sayur di dekat pasar dan memimpin koperasi kecil tetangganya. “Selama ini, kami sering disuruh mengisi formulir oleh orang kota, lalu ditinggal,” katanya. “Hari ini, saya merasa diajak.”

Panji menunduk, bukan karena malu, melainkan karena rasa syukur yang berat seperti kain basah. Ia menulis di buku catatan: “Produk: mengajak.”

.

Namun perjalanan bukan tanpa retak. Di Jakarta, media tertentu menulis sinis: “Mantan anak emas investasi kini jadi trainer koperasi.” Salah satu mantan kolega menuduh Panji “menjual kemiskinan” untuk panggung. Komentar-komentar itu menohok, mengajak marah. Malam-malam tertentu, Panji hampir menulis balasan panjang—mencari pembenaran. Sekar menghentikannya.

“Bukan tugasmu menjelaskan pada semua orang,” kata Sekar. “Tugasmu menyelesaikan pekerjaan. Pegang siapa yang sedang diajak.”

“Kamu tidak lelah?” tanya Panji.

“Lelah adalah bagian dari latihan. Seperti menenun sehelai kain panjang—bahkan penenun terbaik pun menengok langit.”

Di hari lain, toko batik keluarga Sekar kena banjir kiriman. Stok yang baru selesai dicap basah. Sekar duduk di lantai, basah hingga lutut. Ibunya menepuk pundaknya. “Kita bisa menjemur. Kain yang mengering bersama matahari biasanya lebih sabar,” kata ibunya. Mereka tertawa di tengah lelah, dan tawa itu seperti perahu kecil di tengah genangan.

Candra, yang mengawasi proyek ruang baca di kota lain, mendapat kabar anggaran dipotong. Ia mengubah rencana, mengajak mahasiswa arsitektur merancang ulang rak buku dengan modul yang lebih murah. “Arsitektur adalah kemampuan bertahan,” katanya pada Panji lewat telepon.

Galuh berhadapan dengan pasien yang marah karena video edukasinya tentang gula viral dan mengganggu bisnis minuman tetangga. Ia memilih bertemu langsung, membeli segelas minuman, dan menjelaskan pelan. “Saya tidak menyalahkan usaha Anda,” katanya. “Saya hanya ingin orang tahu apa yang ia minum. Mari kita cari menu alternatif bersama.” Toko itu kini menjual minuman tanpa gula tambahan—tidak sepopuler yang lain, tapi dibeli oleh pelanggan yang sama setiap hari.

Angreni kehilangan klien besar saat menolak gimmick kampanye. Ia pulang ke kos dengan saldo menipis, lalu merapikan portofolio: “Kejujuran bukan strategi krisis, ia strategi hari-hari.” Dua bulan kemudian, ia dipercaya sebuah yayasan pendidikan untuk mengelola komunikasi. Gajinya tidak melonjak, tapi tidurnya panjang, seperti yang ia doakan.

.

Waktu mengalir tanpa kembang api. Setahun setelah “pulang ke nama”, kota-kota itu tetap ramai: Jakarta dengan rapatnya, Surabaya dengan pasar ikan yang menyanyi, Yogyakarta dengan sepeda yang sabar, Kediri dengan kain-kain yang mengering di halaman. Nama-nama mereka tidak besar di layar; tetapi di buku catatan, di papan pengumuman koperasi, di tag kecil di ujung kain batik, nama itu tercetak rapi.

Panji mengajar di kelas malam untuk pengurus koperasi: spreadsheet dasar, arus kas, menulis laporan yang enak dibaca. Ia mulai tertawa lebih sering, lebih pelan. Sekar membuka residensi kecil untuk penulis-pembelajar: dua kamar di lantai atas toko batik, meja panjang, dan aturan sederhana—siapa pun boleh tinggal tiga malam asalkan meninggalkan catatan untuk penghuni berikutnya.

Candra memperluas jembatan-jembatannya: dari ruang baca ke ruang dengar, dari rumah singgah ke dapur bersama. Galuh menulis buku kecil tentang kesehatan mulut yang bisa dibaca anak SD dan tukang ojek. Angreni membuat kanal komunikasi yang menghormati warga sebagai mitra, bukan target.

Mereka masih menghadiri pesta peluncuran sesekali—dengan baju yang disetrika rapi, dengan senyum yang tidak lagi lelah. Di lobi hotel, di bawah lampu gantung yang membelah malam, mereka berdiri berdampingan. Kali ini, jika seseorang bertanya apa pekerjaan mereka, jawaban mereka tidak saling bertabrakan. Jawaban itu punya benang—ditarik dari batik, dari buku, dari ruang yang mereka bangun—menjadi anyaman.

Di atas kota, pesawat lewat, lampunya berkedip. Panji menggenggam tangan Sekar. “Aku tidak bisa menjanjikan kota ini akan selalu lembut,” katanya, “tapi aku belajar mengingat namamu ketika orang bertanya ke mana aku pulang.”

Sekar tersenyum. “Kota ini memang menyimpan nama kita. Tugas kita hanya menuliskannya ulang tiap hari.”

.

Suatu siang yang terang, mereka mengadakan acara kecil di halaman toko batik Sekar di Kediri—syukuran kain yang selamat dari banjir, dan peluncuran buku tipis Galuh. Anak-anak dari kampung sebelah datang, duduk di tikar, mendengar cerita. Ibu-ibu menjemur kain di belakang, bapak-bapak menyiapkan mi goreng dalam panci besar. Candra memasang poster: “Ruang adalah apa yang kita bagi.”

Panji berdiri, memandang wajah-wajah yang ia kenal nama panggilannya. Ia berbicara pelan, tanpa presentasi—tentang ketakutan saat usahanya tersandung, tentang godaan memutar kata, tentang beruntungnya ia menemukan meja bundar ini. “Kalau ada yang bertanya apa pekerjaan saya,” tutupnya, “saya jawab: mengajak.”

Angin siang menggerakkan tirai pintu. Dari radio tetangga, lagu lama mengalun. Sekar memanggil anak-anak untuk memotret kain yang kering. “Foto itu bukan bukti,” katanya, “ia undangan untuk mengingat.”

Orang-orang pulang menjelang sore, membawa buku, kain kecil, dan satu kalimat yang entah bagaimana menempel di kepala: kita tidak minta dibantu, kita minta diajak.

Kota, pada petang itu, terasa seperti halaman kosong yang rapi. Mereka meletakkan nama-nama di sana dengan abjad yang sederhana: Panji, Sekar, Candra, Galuh, Angreni. Lalu menambah yang lain: Raras, Minto, Sari, Handoko, Lilis, Oka. Nama-nama yang tidak terburu menjadi “narasi besar”, tapi sabar menjadi pekerjaan kecil yang esok akan disambung.

Di kejauhan, hujan kembali turun. Tidak deras, hanya cukup untuk menambah lembap yang membuat pagi berikutnya wangi. Sekar menutup toko, memandang Panji yang menyalakan motor. Mereka melaju pelan melewati jalan kampung. Anak-anak melambai. Seseorang berteriak, “Mampir lagi, Mbak-Mas!”

Mereka mengangguk. Pulang ke kota, pulang ke nama, dan—tanpa mereka sadari—pulang ke diri yang tidak lagi menuntut tepuk tangan untuk percaya bahwa pekerjaannya berarti.

Dan kota, seperti janji yang tidak diucapkan tapi ditepati, menyimpan nama itu baik-baik.

.

.

.

Malang, 21 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #UrbanFiction #KelasMenengahAtas #ArsitekturSosial #LiterasiKesehatan #Batik #PRethics #Mentorship #KotaDanNama #CeritaKota

.

Catatan Reflektif (Edukasi & Solusi)

  1. Karier & Bisnis: Ketika model usaha terguncang, bedakan antara tujuan dan cara. Tujuan dapat sama; cara boleh berganti. Transisi dari skala “produk massa” ke “dampak komunitas” adalah pilihan strategis, bukan degradasi.

  2. Bahasa & Komunikasi: Jangan gadaikan bahasa. Copywriting bukan sulap; ia jembatan pengertian. Jawab pertanyaan paling manusiawi dulu: “Apakah aku menghormati yang diajak bicara?”

  3. Arsitektur Sosial: Ruang fisik memengaruhi keputusan warganya. Ruang indah yang sederhana mengundang partisipasi. Renovasi murah dengan desain cerdas sering lebih berdaya guna daripada monumen mahal.

  4. Kesehatan Publik: Literasi kesehatan perlu bahasa sederhana dan kebiasaan sehari-hari. Solusi terbaik sering lahir dari kolaborasi pelaku usaha—bukan saling menyalahkan.

  5. PR yang Etis: Kejujuran bukan hanya strategi saat krisis; ia strategi hari-hari. Reputasi adalah bunga dari konsistensi jangka panjang.

  6. Warisan & Edukasi: Menjaga warisan (batik, cerita, ruang) berarti mengajak generasi baru ikut mengelola, bukan sekadar memamerkan.

.

“Yang kita cari bukan tepuk tangan, melainkan ketenangan karena bekerja di tempat yang benar.”

Leave a Reply