Senyum Simpul Jayengrana

“Di kota, luka tak selalu berdarah; kadang ia berwujud rencana yang tak jadi—dan keberanian adalah cara kita menepati janji pada diri sendiri.”

.

Di lantai tiga puluh satu sebuah gedung kaca di bilangan Sudirman, Jakarta, Jayeng berdiri menatap hujan yang mengguratkan kaca seperti naskah kuno. Di bawah sana, lampu-lampu merah mengantre seperti doa yang sengaja ditahan. Kantornya—sebuah agensi pengalaman merek yang ia bangun dari nol—hari itu ramai dengan koper-koper kecil dan kardus bekas monitor. Ia baru saja mengumumkan restrukturisasi. Angka-angka menekan seperti tangan raksasa: biaya sewa, gaji, biaya produksi konten, lisensi, infrastruktur cloud. Di layar, laporan keuangan berpendar getir.

Di ponsel, pesan dari Maya berdenting: “Sabar, Eng. Tak semua jatuh menghancurkan. Ada jatuh yang menyembuhkan.”

Maya—nama lengkapnya Umarmaya, panggilannya tetap “Maya” sejak SMA Malang—kini partner di firma konsultan investasi yang suka menyelamatkan bisnis-bisnis perhotelan dan F&B. Jika Jayeng ibarat panggung, Maya adalah penjahit tirai: tak terlihat, tapi tanpanya panggung jadi pelataran.

“Gue ke tempat lo jam lima. Jangan pulang dulu,” tambahnya.

Jayeng meneguk kopi dingin. Di dinding, ada poster tua Topeng Malangan yang ia beli di Tugu, Malang, bertahun lalu. Wajah Jayengrana—raja yang anggun namun tajam—menatap balik. Di poster itu, ada tulisan tangan seniman: “Wajahmu, topengmu. Topengmu, wajahmu juga.”

Pulang ke rumah di BSD, ia tak ingin memperlihatkan duka. Ada Raras—istri yang ia panggil Rara atau Retna—yang sedang menyusun kurikulum baru untuk sekolah desain yang didirikannya setahun lalu. Ada Kelas—Kelaswara, anak semata wayang mereka—yang sedang sibuk mempersiapkan pameran tugas akhir SMA: kota masa depan dalam bentuk kota mini dari kertas dan akrilik. Dan ada Madi—Umarmadi—sepupu Jayeng, arsitek urbanis yang sedang bolak-balik dari Yogyakarta untuk proyek ruang terbuka hijau di Jakarta Timur. Mereka, bertiga, adalah jejaring tak terlihat yang selama ini menahan tubuh Jayeng agar tidak ambruk.

Maya datang tepat saat sore menggulung langit. Kaus polos, blazer abu, sepatu tanpa bunyi. Ia memandangi ruang yang setengah kosong. “Kamu tahu, Eng, topeng Jayengrana itu bukan sekadar tegak,” katanya. “Dia punya senyum kecil di sudut yang tidak terlalu kau perhatikan. Senyum yang bilang: ada cara lain.”

“Aku sudah memangkas banyak,” sahut Jayeng, setengah mengaku, setengah bertahan. “Tapi tetap saja…”

“Bukan memangkas,” potong Maya. “Mengalihfungsikan.”

Maya membuka ranselnya, mengeluarkan beberapa print-out: diagram alur, analitik, sebuah proposal retensi talenta. “Agensimu ini kuat di storytelling dan hospitality branding. Sektor itu sedang bergeser ke edukasi pengalaman. Orang tak cuma butuh kampanye, mereka butuh kurikulum—yang bisa langsung menambah omzet, menambah keberanian, menambah makna. Kamu punya Rara dengan sekolah desainnya. Kamu punya Kelas yang mengerti generasi Z lebih daripada semua rapatmu. Dan kamu punya Madi, yang tahu cara kota bernafas. Mengapa tidak kita satukan?”

“Maksudmu?” Jayeng mengerut.

“Bikin City Lab,” kata Maya. “Kota sebagai studio. Hospitality sebagai kurikulum hidup. Bisnis sebagai proyek akhir. Buka untuk korporasi kelas menengah ke atas—karyawan mereka tidak hanya training, tapi memetakan dampak. Kita jual bukan kelas, tapi transformasi. Kita gabungkan praktik, teori, dan proyek nyata. ‘Belajar sambil menghidupkan sudut kota’.”

“Biayanya…” gumam Jayeng.

“Di sinilah aku masuk,” ucap Maya ringan. “Aku bawa mitra. Bukan utang. Revenue sharing. Kamu bagi resiko, bagi upside. Kamu tidak lagi memaksa kantormu jadi pabrik konten. Kantor ini jadi kampus sementara. Dan murid pertamamu? Tim-tim yang tadinya ingin kamu PHK.” Ia berhenti, menatap lurus. “Jangan pecat mereka. Tawarkan jalur baru. Sulit? Ya. Tapi nama ‘Jayeng’ itu menanggung ‘menang’. Menang yang berubah bentuk.”

Jayeng tertawa pendek, tapi matanya basah. Kata-kata Maya membentur ruang kosong dalam dirinya. Ia menoleh ke poster Topeng Malangan itu: sudut senyum Jayengrana—benarkah ada?—seperti berpendar sesaat.

.

Di rumah, Rara sedang menyetrika lembaran-lembaran print tugas murid. Ia punya ketenangan seorang pelabuhan: di pundaknya, kita boleh menaruh kapal. “Aku punya berita buruk dan baik,” kata Jayeng, duduk di karpet. “Mana dulu?”

“Yang buruk,” jawab Rara.

“Restrukturisasi harus tetap jalan. Tapi—” Ia menarik napas. “Maya menawarkan kita jalan bermartabat.”

Rara menaruh setrikaan, menatap suaminya seperti menatap bayi yang baru belajar berjalan. “Dari awal kita menikah, Eng, aku tahu kamu suka maraton. Tapi hidup juga punya lari estafet. Ini saatnya menerima tongkat.”

Kelas muncul, membawa maket kota akriliknya. “Pa, aku butuh opini jujur,” katanya. “Di sini aku bikin jalur sepeda yang terhubung dengan stasiun LRT. Di sisi kanan ada ruang seni kontemporer yang jadi tempat kolaborasi. Di bawahnya, kios UMKM yang bayar sewa pakai persentase omzet. Too idealistic?”

“Tanpa idealisme,” sahut Madi yang baru masuk sambil menenteng ransel, “kota cuma jadi parkiran ambisi.”

“Lihat?” kata Rara. “Kita sudah punya tim City Lab sejak lama, cuma belum mau menamai.”

Jayeng tersenyum. Di meja, ponsel bergetar lagi—kali ini dari Jingga Baskara, klien lama yang kini CTO di startup properti-layanan: “Eng, kita mau buat program ‘Servis yang Menyentuh’ untuk tenant premium. Butuh partner yang bisa bikin training real dan berdampak. Ada waktu?”

Ia mengangkat wajah. Rara menangkap sinyalnya. “Kamu hubungi Jingga,” kata Rara. “Kelas, kamu siapkan presentasi kecil. Madi, tolong bantu memetakan lokasi-lokasi yang bisa jadi living lab. Aku susun modul visual-nya.”

“Dan aku…” Jayeng menarik napas. “Aku minta maaf kepada tim besok, lalu menawarkan mereka kelas pertama: Rancang Ulang Diri dan Kota.”

.

Rapat dengan tim berlangsung di ruang yang kini diset sederhana: kursi melingkar, papan tulis, kopi yang diseduh Rara sendiri. “Aku tahu kabar buruk sudah beredar,” buka Jayeng. “Sebelum semua jadi rumor, biarkan ini jadi cerita. Kita akan menutup beberapa lini layanan, tapi bukan menutup hidup. Kita membuka sekolah proyek. Kalian semua—jika sudi—bukan karyawan lagi, melainkan fellows. Kita belajar, kita membangun, kita berbagi hasil. Kita akan mengerjakan proyek transformasi layanan untuk klien yang peduli pada manusia dan kota. Yang ingin pergi, kupersilakan. Yang ingin bertahan, ayo bersama.”

Sunyi yang berat, lalu ketukan pelan. Tangan-tangan terangkat. Ada mata yang berkaca. Ada bahu yang menurun karena beban diturunkan—atau diubah bentuknya.

Seusai rapat, Kiran—desainer pengalaman tamu yang sejak awal setia—mendekat. “Mas, kalau gagal?”

“Kalau gagal,” sahut Jayeng, “kita akan mengakuinya lebih cepat daripada biasanya. Dan kita akan berubah lagi. Kita tidak akan menunggu bencana untuk jujur.”

Kiran mengangguk, mengulum senyum yang tumbuh pelan. Ia mengeluarkan buku sketsa. “Aku mau mulai dari peta empati pelanggan Jingga. Boleh?”

“Silakan,” jawab Rara yang tiba-tiba sudah di belakangnya. “Dan mari kita mulai dari pertanyaan: Kapan terakhir kali kita benar-benar menyapa?

Maya muncul di ambang pintu, memberi isyarat anggukan. Di tangannya, draft MoU dari investor. Di matanya, keyakinan yang tidak menggebu, hanya stabil seperti detak jam.

.

Minggu-minggu setelahnya berlari seperti film yang di-edit pada cuaca senja. Kelas pertama City Lab dibuka di ruang kantor yang disulap: tembok-tembok menjadi papan tulis, meja menjadi workshop station, pantry jadi coffee lab. Kelas-kelasnya berlapis: Hospitality Storytelling, Service Blueprint for Living Cities, Data for Delight, Ekonomi Peka, Etika Persentuhan, Mengolah Komplain, Menyusun Peta Rasa. Peserta datang dari perusahaan properti premium, restoran keluarga yang naik kelas, sekolah internasional yang ingin lebih lokal, dan UMKM yang berani membayar dengan revenue share. Beberapa diantaranya adalah teman-teman Jayeng dari masa lalu—tanda bahwa reputasi adalah tabungan paling tidak kasat mata.

Madi membawa peta-peta tata ruang, memproyeksikannya ke tembok. “Di sini,” ia mengarahkan laser, “ada jalur pedestrian yang bisa dipulihkan. Di seberang, kafe Jingga punya lahan sempit yang bisa jadi kebun mini. Kita ajukan ke pengelola gedung. Bayarannya bukan uang: mereka dapat cerita dan visibilitas.”

Kelas menyimak dengan mata bulat. “Jadi training ini bukan sekadar role play?” tanya salah satu peserta yang baru dipromosikan menjadi manajer operasional.

“Bukan,” jawab Jayeng. “Ini role live. Kita tidak sekadar mempraktikkan senyum di kaca, kita mengikat senyum itu pada sesuatu yang nyata: bangku taman yang lebih teduh, jalur sepeda yang terhubung, feedback loop yang benar-benar dikerjakan.”

Sementara itu, Rara membongkar cara menjahit estetika dengan etika. “Desain yang baik memudahkan manusia untuk baik,” katanya. “Maka kampanye ini bukan ‘Kunjungi kafe kami’, melainkan ‘Mari rawat sudut ini bersama kami’. Kontennya? Testimoni tetangga, bukan selebriti.”

Maya mengamati semua dari sudut, mencatat angka-angka: biaya, lead time, conversion, retensi. “Semua ini harus sustainable,” katanya pada Jayeng. “Kita tidak mau membuat katedral yang hanya indah di foto.”

Pada suatu sore, Jingga datang. Ia berdiri di depan ruang kelas, melihat living lab di selasar gedung: beberapa kursi baru yang bisa dilipat, pot-pot kecil dengan label “adopsi”, mural dengan narasi interaktif yang menampilkan sejarah kampung sebelum gedung dibangun, sebuah QR code yang mengajak orang-orang menyumbangkan ide. “Sederhana,” katanya, “tapi menggerakkan.”

“Kami sengaja,” balas Jayeng. “Tak semua penyembuhan harus dramatis.”

Jingga menatap lama. “Aku ingin menjadikan kalian mitra resmi,” ucapnya, akhirnya. “Bukan vendor. Ini perjanjian jangka panjang. Kita mulai dari empat properti premium, lalu meluas.”

Jayeng menelan ludah. Madi menatap ke langit-langit. Rara memejamkan mata sebentar, barangkali bersyukur. Maya, sambil menutup buku catatannya, berbisik: “Senyum kecil Jayengrana.”

.

Namun hidup, seperti kota, selalu menyimpan tikungan tajam. Pada pekan ketiga bulan berikutnya, muncul email dari regulator gedung: mural harus ditinjau ulang karena dianggap memicu kerumunan. Pot adopsi dianggap mengganggu jalur evakuasi. Jalur sepeda percobaan menuai protes dari tukang parkir yang kehilangan tip harian.

“Baik,” kata Jayeng, duduk melingkar bersama tim dan peserta. “Mari kita redesign. Tidak ada karya final dalam kota.”

Kiran mengusulkan sistem pot gantung yang mengikuti garis balkon, bukan menempati selasar. Madi menggambar ulang jalur sepeda agar meminjam garis tepi trotoar tanpa mengganggu parkir. Rara membuat sticker trail yang mengubah antrean masuk lift menjadi pameran kecil tentang kisah-kisah warga. Kelas kembali turun tangan. Protes berubah menjadi obrolan; obrolan melunak menjadi kolaborasi.

Sore itu, Kelas membawa kabar dari sekolahnya. “Aku dapat izin bikin pop-up city stage di halaman,” katanya bersemangat. “Wali kota akan datang.”

Jayeng mencium puncak kepala anaknya. “Kalau wali kota datang,” katanya, “tunjukkan padanya: kota bisa jadi sekolah. Dan sekolah bisa jadi kota.”

.

Pada hari panggung kota itu, matahari meminjam warna oranye dari rindang flamboyan. Siswa-siswi berdiri di samping instalasi yang mereka buat: miniatur jalur sungai yang disucikan dari sampah, replika halte yang ramah difabel, panel tenaga surya sederhana yang menyalakan lampu-lampu kecil. Kelas memandu tur seperti pemandu museum.

Wali kota datang tanpa rombongan besar, hanya beberapa staf. Ia menatap dengan mata letih namun jernih. “Siapa yang menggagas?” tanyanya.

Kelas menunjuk ke sudut di mana Jayeng, Rara, Madi berdiri. Wali kota menghampiri. “Saya dengar bapak-ibu menjalankan City Lab?” katanya.

“Bersama teman-teman,” jawab Rara, matanya menatap para siswa, para fellows, para peserta dari perusahaan-perusahaan. “Kami hanya menamai apa yang sebenarnya sudah dilakukan banyak orang baik di kota ini.”

Wali kota mengangguk. “Kota perlu model yang tidak menakutkan. Jika kalian bersedia, mari kita kembangkan pilot di dua kelurahan.”

Jayeng memandang Maya yang berdiri sedikit jauh, di bawah teduh pohon. Maya mengangkat dua jari: victory atau sekadar peace. Entah.

.

Malam hari, ketika semua berkumpul di rumah, Kelas melayangkan pertanyaan yang sejak dulu disimpan: “Pa, kapan Papa terakhir merasa benar-benar kalah?”

Jayeng menatap pendar lampu-lampu jauh, seperti bintang yang akhirnya turun ke bumi. “Hari aku hampir memecat orang-orang yang percaya padaku,” jawabnya, jujur. “Kalah karena aku memutus kepercayaan.”

“Mengapa tidak jadi?”

“Karena dipercaya itu lebih berat dari semua resiko,” sahut Rara. “Dan kami memilih mengangkatnya bersama.”

Maya tersenyum setengah, setengah lagi menyimpan gundah. “Besok tetap sulit,” katanya. “Kontrak bisa berubah. Regulasi bisa memutar. Pasar bisa dingin. Tapi kita sudah memilih cara berjalan: transparan, bekerja sungguh, mengukur dampak.”

“Dan menertawakan diri sendiri saat perlu,” tambah Madi. “Supaya tidak meledak.”

Semua tertawa. Tawa yang tidak keras, tapi menyatu seperti benang yang kuat justru karena tipis.

Di dinding ruang keluarga, sebuah topeng Malangan lain tergantung—kali ini Umarmaya, sang penasihat, dengan mata sipit sedikit terangkat. Seolah mengawasi dari masa lampau, memberi restu pada gerak kecil malam itu.

.

Musim berganti. City Lab mulai menjelma kerja yang semakin sistematis. Mereka membuat toolkit evaluasi yang tidak rumit: skala perasaan warga, jumlah percakapan positif per pekan, perbaikan kecil yang dikerjakan dalam tujuh hari, dan micro-pledge—janji kecil yang diwujudkan publik dan swasta bersama. Mereka mengajarkan akuntabilitas sebagai kebiasaan, bukan forum. Mereka membuat kelas “Menyusun Angka yang Jujur” untuk manajer-menajer muda; bukan agar licin, tapi agar luwes dengan kenyataan.

Suatu siang, setelah sesi kelas, seorang peserta—Adaninggar, manajer pemasaran sebuah sekolah bisnis—menghampiri Jayeng. “Saya selalu diajari bahwa tujuan kampanye adalah membuat orang beli,” katanya. “Di sini saya merasa tujuan kampanye adalah membuat orang peduli.”

“Dua-duanya perlu,” jawab Jayeng. “Tapi peduli membuat beli tidak terasa seperti dosa.”

Adaninggar tersenyum, menyeka sudut mata. “Terima kasih,” ucapnya. “Saya seperti menemukan sekolah lagi, padahal kampus saya bertingkat lima belas.”

Di kantor, Kiran mengganti poster-poster hasil kerja dengan catatan tangan yang lebih personal: “Hari ini, ibu penjaga kantin bilang antrean jadi lebih tertib setelah sticker trail dipasang. Katanya, orang-orang jadi membaca kisah di lantai, lupa marah.” Di bawah, Rara menulis: “Desain yang memeluk.”

Maya menyusun laporan triwulan untuk para mitra. Angka-angka berpihak: retention up, churn down, NPS naik. Tapi ia menambahkan satu halaman yang bukan angka: daftar “cerap” atau tangible small evidences—potongan foto, kartu ucapan terima kasih dari petugas kebersihan, pot adopsi yang kini menggantung rapi, QR feedback yang benar-benar dijawab. “Ini return yang membuat angka punya jiwa,” tulisnya.

.

Pada suatu pagi di akhir tahun, telepon berdering. Kabar datang dari Malang: ayah Jayeng sakit. Jayeng dan Rara segera berangkat, Kelas menyusul dengan Madi naik kereta sore.

Di rumah kecil di dekat sawah yang kini separuh jadi perumahan, ayah Jayeng tertidur dengan napas rapat. Di dinding, topeng-topeng Malangan tergantung seperti garis keturunan. Ada Jayengrana, Umarmaya, Umarmadi, Retna Kencana. Ada catatan kecil di bawah masing-masing: kebijaksanaan, keluwesan, keteguhan, keanggunan. Rara mengelus kepala suaminya. “Kamu anak topeng,” bisiknya. “Tugasmu bukan memilih satu, tapi belajar menyalakan semuanya ketika perlu.”

Ayah membuka mata. “Eng?” suaranya serak. “Kota… jangan dilawan. Dia… diajak ngomong.”

Jayeng tersenyum, menahan banjir di pelupuk. “Iya, Yah. Kami sedang bicara dengan kota.”

Ayah menatap poster tua yang pernah mereka rebutkan harganya di pasar barang antik. “Wajahmu, topengmu. Topengmu, wajahmu juga,” gumamnya, mengulang kalimat yang dulu ia tulis.

Di malam yang dingin, ketika jangkrik masih berani menyanyi meski suara knalpot memotong udara, Jayeng menulis email panjang ke tim: tentang ayah, tentang kota, tentang cara memelihara yang rapuh. Ia menutup dengan kalimat: “Jika suatu hari kita tumbang, semoga yang tumbang adalah arogan kita—bukan harapan kita.”

.

Beberapa bulan kemudian, City Lab membuka kelas baru: Perawatan Harian. Bukan tentang kota, melainkan tentang diri. Mentor tamunya seorang psikolog komunitas yang memilih pulang dari Sydney, mengajar bagaimana tim melindungi diri dari letih emosional. “Empati bukan lomba,” katanya. “Ia ritme. Kita belajar menari, bukan berlomba lari tanpa henti.”

Kelas hening dan hangat. Ada yang mengangguk sambil menahan tangis, ada yang tertawa kecil pada bagian “tips istirahat lima menit”, ada yang menulis tulisan besar: “Tidak semua chat harus dijawab detik itu juga.”

Maya, yang jarang bicara pada sesi-sesi seperti ini, mengangkat tangan. Ia bercerita tentang ketakutan kehilangan klien, tentang cemas melihat bilik angka, tentang lelah yang tidak pernah ia beri nama. “Kita memerlukan hammock di antara dua pohon,” katanya, “bukan dinding yang memantulkan suara kita sendiri.”

Rara menambahkan: “Kita memerlukan circle kecil yang berani saling menegur lembut.”

Madi menutup: “Dan humor. Humor memindahkan beban dari kepala ke perut. Setelah itu, keluarkan.”

Semua tertawa, kali ini lebih lepas.

.

Pada perayaan ulang tahun kedua City Lab, mereka tidak mengadakan gala. Mereka menggelar piknik di taman kota yang dulunya kumuh, kini disemai warga. Para peserta, alumni, mitra, tetangga berdatangan membawa makanan. Kelas menampilkan pop-up stage—pentas kecil yang menutup prolog masa lalu, membuka bab baru tanpa gegap gempita.

Jingga berdiri di mikrofon. “Kita memulai ini sebagai proyek pilot,” katanya. “Kini, ia lebih menyerupai cara hidup. Di setiap properti premium, aku ingin ada sudut yang ‘mencerahkan’. Tidak perlu besar. Yang penting, publik merasa dilihat.”

Wali kota mengirim pesan suara: “Lanjutkan. Sadar tata kelola kami tidak sempurna, tapi yang kalian lakukan membuat kami tidak malu mencoba.” Pesan itu diputar di antara semilir—suara yang manusiawi, tanpa slogan.

Jayeng maju paling akhir. Ia tidak pandai berpidato panjang. “Terima kasih,” ujarnya. “Untuk kota yang mau diajak bicara. Untuk orang-orang yang mau diajak tumbuh pelan-pelan. Untuk jatuh yang menyembuhkan.”

Ia menunduk. Tepuk tangan datang bukan sebagai ombak, melainkan hujan sore di atap seng: satu-satu, jujur, lama-lama rapat.

Di sisi panggung, topeng-topeng kecil dari kertas—dibuat oleh anak-anak—tergantung di tali. Ada yang tersenyum terlalu lebar, ada yang cemberut lucu, ada yang matanya miring. Kelas memotret satu demi satu, memberi keterangan: “Wajah kota hari ini: lugu, lelah, lucu.”

Rara menggenggam tangan Jayeng. “Kita tidak lagi sendirian,” katanya.

“Tidak sejak awal,” balas Jayeng. “Kita hanya lupa menamai teman.”

Maya berdiri tidak jauh, menatap suasana seperti arsitek yang melihat sketsa pertamanya menjadi lapangan. Madi menenteng drone, memotret dari atas: orang-orang berpincuk, pot-pot gantung, jalur sepeda baru yang melingkari taman, mural kecil yang apik, raut-raut yang saling menyebut nama.

Sore membawa pulang semua yang berlebihan. Yang tinggal hanya inti: orang-orang yang saling menyangga, kota yang akhirnya mendengar, dan beberapa kalimat yang ingin diingat:

“Kesuksesan bukan ‘punya banyak’, tetapi ‘membuat banyak orang merasa punya tempat’.”
“Kita bukan ditimpa masalah—kita dipanggil untuk bertumbuh.”
“Belajar tertinggi adalah berbuat baik yang bisa diukur kecil-kecil.”

Ketika matahari akhirnya turun, lampu-lampu tidak lagi tampak seperti antrian doa. Mereka tampak seperti guliran bintang yang setia: pelan, tapi pasti, menyalakan jalan pulang.

.

.

.

Malang, 18 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #KelasMenengahKeAtas #HospitalityBranding #CityLab #TopengMalangan #EdukasiPraktis #BisnisBergerak #CeritaMengharubiru #KotaSebagaiSekolah

Leave a Reply