Jawaban yang Tak Diucapkan

“Kadang, jawaban paling tajam adalah bekerja diam-diam, menata napas, lalu membuktikan dengan hasil.”

.

Lampu-lampu kota menyapu kaca mobil seperti garis-garis putih yang ditarik tergesa. Jakarta baru selesai hujan; aspal masih basah, langit memantulkan neon yang ragu. Di kursi belakang, Jaya Anggara menyalakan voice note Retna. Suara perempuan itu lembut dan tegas sekaligus—seperti seseorang yang paham caranya menegur pakai pelukan.

“Mas, ingat pitutur simbah, tata, titi, titis. Kalau mereka berteriak bahwa kamu tak cukup baik, buktikan dengan pekerjaan yang cukup benar.”

Jaya memejam. Sore tadi, sebuah potongan video dari forum investor beredar di mana Suta Wirang—anak emas media, pendiri agensi yang sedang naik daun—melempar kalimat-kalimat yang menusuk, meminjam energi massa seperti seseorang yang tahu panggung sedang memihaknya.

“Kamu tidak cukup baik.”
“Kamu berubah.”
“Tidak ada yang peduli pada kamu.”
“Kamu gagal.”
“Kamu biasa-biasa.”
“Kamu tidak akan sampai ke mana-mana.”

Enam kalimat seperti peluru karet: tidak mematikan, tapi membekas. Potongan videonya ditonton ratusan ribu kali. Komentarnya lebih ganas dari hujan deras di tol Cikampek.

Jaya menghela napas. Di layar ponsel, notifikasi berkedip: Board Update — Jingga Venture. Rapat lanjutan besok pukul delapan. Ia harus menenteng presentasi untuk Sekar Kedaton, proyek hotel butik yang akan menggarap segmen executive staycation—sebuah gagasan yang seperti garis tipis di antara seni dan excel.

.

Di apartemen, Retna sudah menunggu. Ia baru pulang dari RS—dokter anak yang sedang merampungkan riset gizi perkotaan. Rambutnya disanggul seadanya. Di meja makan, dua cangkir chamomile mengepulkan napas.

“Mas, apa yang kamu ucapkan besok akan menentukan lebih dari yang kamu kira,” kata Retna. “Tapi jangan mengutuki kegelapan. Nyalakan lilin.”

“Kamu masih percaya pada Sekar Kedaton?” tanya Jaya.

“Yang kutanya bukan hotelnya. Yang kutanya, kamu percaya pada dirimu?”

Jaya tertawa kecil, hambar. “Suta bilang aku biasa-biasa.”

“Biasa-biasa itu bagus untuk jantung,” Retna menukas, menatap raih. “Yang buruk adalah pamer-biasa. Kamu pilih yang mana?”

Mereka tertawa; ketegangan meleleh perlahan. Di luar, suara kota kembali beredar.

Malam itu, Jaya membuka catatan digital. Ia menulis enam kalimat balasan—bukan untuk dikirim, hanya untuk diarsipkan dalam dirinya.

  1. “Kamu tidak cukup baik.”
    “Syukurlah aku tidak butuh persetujuanmu untuk hidup.”

  2. “Kamu berubah.”
    “Ya. Itu namanya tumbuh. Kamu sebaiknya mencoba.”

  3. “Tidak ada yang peduli padamu.”
    “Itu bagus. Aku tak berniat jadi favorit semua orang.”

  4. “Kamu gagal.”
    “Aku gagal ke depan. Setidaknya aku bergerak, saat kamu diam.”

  5. “Kamu biasa-biasa.”
    “Lebih baik daripada mudah dilupakan.”

  6. “Kamu takkan sampai ke mana-mana.”
    “Tetaplah menonton. Kata-katamu akan kamu telan sendiri.”

Ia menutup laptop. Retna menyandarkan kepala di bahunya. “Besok, jangan diucapkan semua. Pilih satu. Kalimat paling sunyi.”

“Yang mana?”

“Yang tidak menampar orang lain, hanya membangunkanmu.”

.

Pagi berikutnya, langit ijo pupus seperti kain lurik basah. Lift kantor Jingga Venture bergerak naik tanpa kompromi. Lobi yang minimalis menampilkan patung kuda terbang dari akrilik; investor menyukai simbol yang mengajak orang percaya pada hal paling purba: harapan yang bersayap.

Di ruang rapat, Maya Umar sudah duduk. Ia pengacara transaksional terbaik yang Jaya kenal—Umarmaya, orang-orang memanggilnya begitu sejak SMA. Di sebelahnya, Adi Umar, adiknya, chef yang menukar open kitchen dengan open spreadsheet saat memimpin tim F&B Lotus Rooftop.

“Jangan bawa dendam,” bisik Maya begitu Jaya datang. “Bawa data. Aku di belakangmu.”

Adi menyodorkan flat white. “Minum. Nanti kalau kamu grogi, lihat aku. Aku akan pura-pura menguap supaya kamu merasa lebih menarik.”

Mereka tertawa. Tawa yang menggelindingkan beban.

Rapat dimulai. Suta duduk di ujung meja, selesai small talk dengan salah satu partner. Ada tatapan yang terlalu percaya diri, seperti orang yang terbiasa berkelahi di panggung.

“Baik,” kata ketua dewan, “kita mulai dari update Sekar Kedaton.”

Jaya berdiri. Slide pertama menampilkan peta kota: radius lima kilometer dari pusat keuangan, sebaran sekolah internasional, co-working yang padat, tiga rumah sakit, satu performing arts center. Life map kelas menengah atas yang dikelilingi amenities.

“Sekar Kedaton bukan hotel yang menjual marmer,” ujar Jaya. “Kami menjual napas: tidur yang jernih untuk pekerja yang waktunya dicincang kota.”

Slide berikut: room mix, proyeksi ADR, okupansi konservatif. Data USALI, sensitivity analysis untuk rupiah melemah, skenario staffing yang melindungi GOP di 48% pada tahun kedua. Lalu peta brand partnerships: butik kopi Kendi; studio yoga Tirta; speech lab tempat eksekutif belajar presentasi yang bernapas; learning room untuk webinar. Di pojok kanan atas ada program giving back: Makan Siang Gratis dari Senin–Jumat bekerja sama dengan jaringan relawan.

“Bagaimana rencana mitigasi reputasi?” Suta memotong. “Proyek ini dikomandoi seseorang yang baru kemarin sore pindah ke hospitality. Menurut saya, not good enough.”

Ruangan mengerut. Jaya menatapnya—sekejap saja. Ia teringat pesan Retna: pilih kalimat paling sunyi.

“Terima kasih masukannya,” ucap Jaya. “Kami tidak membutuhkan persetujuan pribadi siapa pun untuk hidup. Tapi untuk proyek ini, kami membutuhkan persetujuan data. Izinkan saya lanjutkan.”

Ia menekan klik. Muncul lembaran due diligence independen: feasibility dari konsultan yang pernah mengawal beberapa properti besar; rekomendasi halal compliance untuk dapur; sustainability checklist; proyeksi cash flow yang merangkitkan sisi skeptis siapa pun yang waras.

Sejak saat itu, rapat berjalan seperti sungai yang menemukan undakannya. Ada pertanyaan tajam—soal debt service coverage, soal flex space yang bisa berubah jadi private dining, soal capex reserve. Jaya menjawab tanpa tergesa, sesekali menyebut Adi, memberi panggung pada Maya. Mimik Suta tak banyak berubah, tetapi suaranya tak lagi menonjok.

Sampai ketua dewan menutup sesi: “Baik, kami akan siapkan term sheet sementara. Ada conditions precedent yang harus dipenuhi, terutama legalitas lahan dan operator MOU. Tapi secara prinsip, kami menyukai pendekatan purpose-driven— profit yang menghormati publik.”

Usai rapat, Jaya berjalan ke teras. Hujan sudah beres; kota mengilap. Maya memeluknya singkat. “Kamu tadi tidak membalas, tapi menang.”

“Menang apa? Ini baru permulaan.”

“Menang terhadap dirimu kemarin.”

Adi menepuk bahunya. “Ayo makan soto. Kalau due diligence bikin lapar, soto yang paling mengerti.”

.

Bulan berganti. Term sheet menjadi definitive agreement. Sekar Kedaton dimulai: tukang-tukang menyiapkan mockup room, tim Adi menguji roti gandum yang tidak menggumpalkan hati, Maya memastikan dokumen berjalan satu per satu: SPLU untuk EV charging, PKP2B untuk lingkungan, pendaftaran halal untuk kitchen.

Jaya memilih satu hal kecil yang disebutnya “proyek sunyi”: menata sirkulasi housekeeping. Ia meminta jalur khusus untuk linen, sistem pengecekan jamur pada kamar yang jarang dipakai, pengaturan amenities yang bisa diisi ulang agar tidak menjadi sampah kecil yang rapi.

Di titik yang sama, Retna menjalankan studi gizi—ia menemukan pola anak-anak perkotaan yang sarapannya manis tetapi siangnya kosong. Ia menawari Jaya ide: Lunch for Hope. “Satu porsi nasi, satu porsi kesempatan,” tulisnya dalam deck kecil.

Adi menyusun menu murah gizi tinggi; Maya membuat MoU dengan komunitas. Jaya meletakkan program itu di jantung brand story Sekar Kedaton—bukan untuk pencitraan, melainkan untuk diingatkan setiap hari bahwa hotel ini harus memberi makan juga, bukan hanya menagih.

Suta? Ia menghilang dari radar beberapa minggu. Sampai sebuah berita menyengat: agensi yang dibangunnya tersandung masalah false reporting. Klien menuntut. Kantor ramai, timeline senyap. Banyak staf mengirim CV.

Suatu sore, Suta duduk di lobi proyek—bukan dalam setelan mahal, hanya kemeja yang belum disetrika benar. Ia menatap lantai, bisa jadi untuk mengingat kaca-kaca yang mungkin pecah dalam dirinya.

“Aku salah hitung, Jay,” katanya tanpa prelambang. “Aku butuh bantuan. Bukan untukku—untuk anak-anak di kantor. Mereka bagus. Jangan biarkan kesalahanku menenggelamkan mereka.”

Jaya menelan ludah. Ada bagian dirinya yang ingin mengulang enam kalimat balasan. Sakit wajar ingin jadi teater. Namun ia melihat Retna yang berdiri di belakang meja reception mockup, menyortir brochure. “Nyalakan lilin,” bisik bayangan suaranya.

“Ada lowongan untuk content & community di sini,” ujar Jaya. “Sisihkan 12 orang terbaik. Untuk yang lain, Adi butuh tim F&B buat pre-opening. Maya bisa bantu pendampingan hukum pro bono—tapi kamu harus terbuka.”

Suta mengangguk. Matanya berair sebentar—bukan karena drama, lebih karena sesuatu yang akhirnya menyerah pada gravitasi.

“Terima kasih,” katanya singkat.

“Kamu tidak sedang kuampuni,” jawab Jaya pelan. “Kamu sedang kuberi pekerjaan rumah.”

.

Soft opening Sekar Kedaton tiba seperti matahari muncul dari balik gedung. Bendera kecil berkibar, band pembawa suasana menyiapkan jazz yang tidak menggurui. Tamu-tamu datang: para arsitek yang menyukai garis, para venture partner yang menyukai angka, para kawan yang menyukai cerita.

Di rooftop, langit sore seperti ombre teh melati. Retna berdiri di sisi bar, memeriksa daftar donasi untuk Lunch for Hope. Anak-anak penerima program datang—berseragam sederhana, mata mereka lebar. Di sudut, seorang barista mengajari mereka menggambar hati di atas latte—degupnya terasa.

Jaya naik ke panggung kecil. Ia menatap kota; di kejauhan, jalan layang memanjang seperti penggaris yang berusaha meluruskan sesuatu yang bengkok dalam hari.

“Terima kasih sudah datang,” katanya. “Kota ini menuntut banyak hal dari kita—energi, waktu, bahkan cara kita bermimpi. Sekar Kedaton lahir dari kondisi itu. Kami ingin menyediakan hal-hal sederhana yang sering kita lupakan: tidur yang jernih, makan yang tidak membohongi tubuh, dan ruang untuk belajar bernapas lagi.”

Ia berhenti sebentar, menatap Retna, menatap Maya dan Adi, menatap para staf yang wajahnya campuran cerah dan lelah.

“Beberapa bulan terakhir, saya belajar bahwa kebisingan paling keras datang dari keraguan yang kita pelihara. Saya nyaris membalasnya dengan kebisingan yang sama. Tapi saya memilih hal lain: bekerja.”

Ia tidak menyebut nama siapa pun. Ia tidak mengutip kalimat-kalimat yang menolak. Namun di layar, muncul enam kalimat bukan sebagai “balasan”, melainkan sebagai “mantra kerja”—diubah sedikit agar lebih memeluk.

  1. Tak perlu persetujuan untuk hidup — butuhkan data untuk bekerja.

  2. Berubah itu tumbuh — tumbuh itu mengajar.

  3. Tak semua orang harus menyukai kita — cukup mereka yang merasakan manfaatnya.

  4. Gagal maju — sebab berhenti bukan opsi.

  5. Menjadi biasa yang bermakna — lebih baik daripada gemerlap yang kosong.

  6. Terus melangkah — agar kelak yang meragukan belajar rendah hati.

Tamu-tamu mengangguk; beberapa menyeka mata, entah karena kata-kata, entah karena angin. Adi memberi isyarat pada chef—hidangan kecil datang: sup labu, roti gandum, tape cheese. Tidak mewah, tapi tulus.

Setelah itu, malam mengalun. Para investor berbincang; staf tertawa; anak-anak menempelkan lencana kecil Lunch for Hope di seragam mereka. Di antara kerumunan, Suta berdiri agak jauh, memeluk map. Ia menatap Jaya dan mengangkat tangan—sapaan yang menandakan jenis keberanian lain: mengakui.

Ketika acara usai, Jaya turun ke back-of-house. Jalur linen rapi; aroma tangerine dari housekeeping tidak berlebihan. Ia menanyai seorang staf yang baru seminggu bekerja—mantan copywriter agensi Suta.

“Gimana?” tanya Jaya.

“Berat, Mas,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Tapi buat pertama kalinya, tulisanku bukan caption kosong. Aku menulis SOP sarapan. Ternyata, menyusun antrian telur mata sapi yang tidak gosong itu juga cerita.”

Jaya merasa dadanya hangat. Bukan hanya karena pekerjaan berjalan, tetapi karena cerita-cerita itu menemukan rumah.

.

Pada dini hari ketika semua tamu pulang, Jaya dan Retna duduk di tepi kolam renang, memandangi lampu-lampu kota yang menyusut jadi titik-titik sabar.

“Kamu tadi tidak bilang apa-apa tentang kemenangan,” kata Retna. “Padahal kamu punya semua alasannya.”

“Karena kemenangan yang aku mau sederhana,” jawab Jaya. “Bisa pulang tanpa marah, bisa tidur tanpa merasa ingin membuktikan apa pun.”

“Kamu tahu,” Retna menyenggol lengannya, “kalimat paling sunyi itu akhirnya menenangkan kota di kepalamu.”

“Kalimat apa?”

“Bekerjalah. Lainnya akan menyusul.”

Jaya tertawa. “Itu bukan sunyi. Itu mesin. Tapi terima kasih.”

Mereka terdiam lagi, membiarkan angin menyisir malam.

Di bawah lampu temaram, Jaya membuka catatan digitalnya. Ia menambahkan satu paragraf, untuk dirinya sendiri, suatu hari jika ia lagi lupa:

“Hidup kota memaksamu berlari; tapi yang membuatmu sampai adalah langkah yang tetap memelihara hati. Balas dendam paling elegan adalah keseharian yang berguna.”

Ia menutup ponsel. Retna menyandarkan kepala di bahunya. Dari kejauhan, suara azan Subuh gelombang pertama menetes melalui gedung-gedung.

Malam memberi mereka ruang terakhir untuk tidak mengatakan apa pun—hanya bernapas, melipat hari, dan percaya bahwa besok akan punya panggung baru yang lebih ramah.

.

Beberapa bulan kemudian, angka-angka tidak membohongi. Kamar terjual lebih dari yang diperkirakan, ADR melampaui asumsi konservatif. GOP menari di angka yang membuat CFO tersenyum. Di sisi lain, Lunch for Hope memperpanjang baris anak-anak; para tamu justru ikut menyumbang. Pada hari Jumat, beberapa eksekutif bahkan turun tangan membungkus nasi; mereka menyadari, membungkus makan siang kadang-kadang lebih menenangkan daripada membungkus kesalahan dalam rapat.

Maya, yang biasanya berurusan dengan pasal-pasal, mengajar satu sesi public speaking untuk staf front office. Adi melatih tim dapur tentang tehnik sederhana: mengukus sayuran tanpa keras kepala. Retna mengumumkan hasil riset: anak-anak penerima program mengalami kenaikan berat badan yang sehat, sekaligus prestasi belajar meningkat.

Pada hari ke-99 sejak soft opening, Jaya berjalan sendirian menyusuri koridor. Di dinding, foto-foto kota dalam warna sepia berjajar, bukan untuk romantisme, melainkan sebagai pengingat bahwa yang indah sering lahir dari kesabaran yang lama. Di depan housekeeping, ia berhenti. Ada papan tulis kecil, di situ tertulis:

“Hidup itu seperti turn down service: tidak mengubah kamar, hanya menyiapkan tidur yang lebih baik.”

Jaya tersenyum. Ia memotret papan itu dan mengirimnya ke Maya, Adi, Retna. Lalu, tanpa sadar, ia mengirimkan juga ke Suta.

“Nice line,” balas Suta. “Aku sedang merintis studio kecil. Namanya Urai. Mungkin suatu hari kita kolaborasi?”

“Hubungi Maya,” jawab Jaya. “Aku open.”

“Terima kasih. Dan… maaf.”

“Semua orang salah. Tidak semua orang berani memperbaiki.”

Di layar, tiga titik kecil menari. Lalu berhenti. Jaya meletakkan ponsel di saku. Ia berjalan lagi, menatap lampu yang menuntun ke lobi—ke ruang di mana orang datang dengan hidup masing-masing, dan berharap pulang dengan hidup yang sedikit lebih tertata.

Pada akhirnya, ia tahu: kata-kata akan selalu bergema di kota. Namun kota yang hendak ia percayai adalah kota yang memberi tempat pada orang-orang yang memilih kalimat paling sunyi—kalimat yang bentuknya sederhana, namun suaranya panjang: bekerja.

.

.

.

Malang, 16 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #KotaDanKita #HospitalityStory #Entrepreneurship #GrowthMindset #MenakMalangan #MenakJawa #Resilience #Storytelling #Indonesia

Leave a Reply