Malam Ketika Kota Mengembuskan Napas
“Yang kita pegang adalah ikhtiar, yang kita lepaskan adalah hasil.
Apa yang kita rawat, akan pulang sebagai buah.
Apa yang kita abaikan, akan hadir sebagai pelajaran.”
.
Hujan jatuh seperti benang-benang tipis yang melapisi kaca jendela apartemen. Dari lantai dua puluh satu, kota membentang seperti papan sirkuit: riuh, berpendar, dan tak pernah repot menunggu siapa pun. Sekar berdiri memeluk mug cokelat panas, menatap ke bawah pada arteri jalan yang tak lelah menggeser lampu-lampu. Ia baru pulang dari rapat kurator di galeri yang ia dirikan dua tahun lalu—galeri kecil dengan kelas-kelas seni untuk anak-anak pekerja migran dan pameran komersial untuk para kolektor. Di meja, ponselnya bergetar: pesan dari Inu.
“Aku di bawah. Mau naik?”
Sekar melihat jam. 21.14. Ia teringat percakapan terakhir mereka tiga hari lalu—tentang rencana beasiswa kecil untuk siswa SMA daerah pinggiran, tentang sponsor yang batal karena prioritas pasar berubah. Tentang janji menua bersama yang entah sejak kapan diucapkan tanpa rencana yang benar-benar dibereskan.
Ia membalas, “Naiklah.”
.
Pintu lift terbuka, Inu masuk dengan aroma hujan di jaket denimnya. Rambutnya yang mulai memutih di sisi telinga membuatnya tampak seperti lelaki yang hidup di dua waktu: masa muda yang belum selesai dan masa dewasa yang enggan dilambungkan. Inu mengelola cloud kitchen yang menampung lima merek kuliner; ia lulusan sekolah bisnis yang lebih suka turun tangan di dapur. Kakinya mengingat cara mengiris bawang lebih baik daripada menghafal rumus valuasi. Pandemi mengajarinya bahwa angka di spreadsheet bisa ombak, namun roti gandum hangat di tangan pelanggan adalah pulau.
“Macet parah,” katanya, merogoh saku untuk menaruh kunci motor di mangkuk kecil. “Tapi malam ini aku ingin melihat lampu-lampu kota dari sini. Rasanya seperti menatap peta nasib.”
Sekar tertawa pelan. “Jangan mulai mem-personifikasi nasib. Nanti kita ribut lagi.”
Inu memandang sejenak. “Kita sudah lama tidak bertengkar baik-baik.”
“Pertengkaran yang baik itu yang bagaimana?”
“Yang membuat kita paham bukan hendak menang, melainkan hendak mengerti.”
Malam itu, di ruang tamu dengan lampu temaram, mereka kembali ke percakapan yang selalu mereka tunda: apakah “kita” adalah cerita yang ingin diselesikan bersama atau hanya tokoh-tokoh yang kebetulan bertemu dalam bab yang sama.
.
Cerita mereka bermula dari sebuah pameran foto kecil lima tahun lalu. Sekar, kurator pemula yang baru pulang dari beasiswa pendek di Yogyakarta, menata karya anak-anak pinggiran di ruang seluas ruko. Inu datang sebagai pemasok kudapan, tetapi ia tertahan lama di depan foto seorang anak perempuan yang memotret rak sepatu bekas. “Kebanyakan orang mengejar sepatu baru, tetapi anak ini memotret rak—tempat pulang sepatu,” katanya waktu itu, sebelum bertanya apakah Sekar percaya pada kurasi yang mendekatkan barang bagus pada niat yang baik.
Sejak itulah mereka berjalan. Bersisian, kadang berseberangan, namun diam-diam saling membangun jembatan. Inu menyisihkan laba untuk dapur komunitas. Sekar menukar fee kurasi dengan beasiswa kursus desain. Di kota yang mewah dan beku, mereka mencoba membuat kantong-kantong hangat.
Namun belakangan, kota meminta ganti. Pengembang baru yang membeli gedung galeri Sekar mengubah arah negosiasi. Cloud kitchen Inu ditinggalkan dua brand yang menggandakan margin dengan modal investor yang lebih gemuk. Di tengah kejar-mengejar cicilan, rencana pernikahan berubah menjadi pertanyaan terbuka.
“Kalau semua ini tidak untuk kita, mungkin seharusnya kita ikut arah lain,” kata Sekar, menatap pantulan lampu di jendela. “Aku lelah menyusun rencana dan mengurainya sendiri.”
“Untuk kita, atau untuk dirimu yang ingin tetap bisa memilih?” tanya Inu.
Sekar menghela napas. “Aku ingin memilih tanpa harus membatalkan diriku.”
“Dan aku,” ucap Inu, “ingin kau tahu: kita selalu bisa merapikan arah, asal percaya ada yang lebih besar dari hasil yang kita taklukkan.”
“Kau dan takdirmu yang romantis itu,” sahut Sekar, separuh mengejek, separuh terpikat.
Inu mendekat ke jendela. “Kau tahu, Sekar. Di dapur, ada hal sederhana yang membuatku selalu pulang: ragi. Kau memberi makan ragi, ia akan hidup. Kau abaikan, ia mati. Nasib—barangkali—seperti ragi. Kita beri makan dengan ikhtiar, ia mengembang. Kita serahkan pada suhu yang tepat, ia matang. Tapi kita tidak bisa memaksa roti tumbuh dalam waktu kita sendiri.”
“Jadi kau berharap aku menjadi roti?”
“Tidak,” Inu tersenyum. “Aku berharap kita tetap menjadi tangan yang sabar.”
.
Besoknya, pagi bahkan belum selesai menggosokkan cahaya ke balkon apartemen ketika pesan lain masuk ke ponsel Sekar. Dari Jayang—teman SMA yang kini menjadi konsultan properti, rambutnya selalu rapi, dan ucapan “kita lihat dulu datanya” seperti salam wajib.
“Sek, aku dapat kabar gedungmu masuk daftar penundaan pembongkaran. Ada celah negosiasi. Mau kupertemukan dengan Ragil? Dia direktur pengembangan kawasan.”
Sekar tercekat. Ragil adalah mantan teman kuliah yang pernah menjadi cermin, lalu menjadi jarak. Anak konglomerat yang bersekolah di luar negeri, pulang dengan mimpi mengubah kota dengan estetika kaca dan besi. Mereka sempat menulis mimpi pada post-it warna-warni: kota yang punya trotoar lebar untuk kaki-kaki kecil, ruang baca di setiap kelurahan, kafe tanpa daftar harga yang menghakimi. Semua catatan itu berakhir di kotak sepatu.
Sekar mengetik balasan pelan: “Atur. Aku siap.”
Pertemuan berlangsung di lobi hotel yang dinginnya seperti ruangan operasi. Ragil datang dengan setelan krem, senyum penuh seminar. “Sekar. Lama,” katanya, seolah waktu adalah jalan pintas yang bisa ia miliki.
“Kau bilang ada celah negosiasi?” Sekar langsung menaruh map di meja. Di dalamnya: rencana program komunitas, daftar siswa, proyeksi kelas, kolaborasi dengan start-up pendidikan, bahkan potret para orangtua yang menitipkan upah harian mereka untuk kursus mingguan.
Ragil membolak-balik. “Aku bisa tahan pembongkaran enam bulan. Tapi kau tahu permainan ini; investor ingin angka. Aku butuh alasan komersial, bukan sentimental.”
“Kelas-kelas kami memproduksi karya yang laku. Pameran kami dikunjungi dua ribu orang dalam tiga hari. Dan kau pernah—kalau belum lupa—mendukung kue pasar yang tak memiliki label artisanal jadi menu di kafe pribadimu.”
Ragil tersenyum menahan. “Kau masih fasih membolak-balik kata-kata.”
Jayang melirik jam. “Aku bawa kopi,” katanya, menghilang memberi ruang yang sejak semula rapuh.
“Ragil,” Sekar menatap lurus. “Aku tidak mengemis. Aku sedang mengusulkan skema yang menguntungkan kota dan investor. Kita buat lantai satu tetap untuk publik—kelas, pameran, dan pop-up market UMKM. Lantai dua dan tiga bisa untuk ritel, co-working, atau apapun yang kau dan investormu sukai. Tapi jangan isi seluruh bangunan dengan toko perhiasan semata. Biarkan anak-anak dari gang sebelah naik lift tanpa merasa menjadi tamu tak diundang.”
Ragil terdiam. “Kau tahu, Sek, yang paling sulit dari memimpin tim pengembang adalah menerjemahkan kata ‘untuk semua’ ke dalam bahasa return on investment. Kadang aku seperti menawar moral.”
“Tawaranku sederhana: campurkan laba dengan makna. Kau tidak akan rugi.”
Mereka bubar dengan kain tipis bernama harapan. Enam bulan—itu waktu yang bisa ditawar-tawar dengan banyak doa.
.
“Yang paling aku takutkan bukan kehilangan gedung,” kata Sekar beberapa hari kemudian, menatap wajah Inu yang lelah di kursi dapur. “Yang paling aku takutkan adalah kepercayaanku pada kota ini runtuh satu batu demi satu.”
Inu sedang mengaduk kaldu. “Kota hanya berdiri sejauh kita mau menahannya. Kau lupa kita pernah meminjam ruang parkir untuk kelas sablon? Atau memindahkan kelas menggambar ke food court pusat perbelanjaan karena hujan menembus atap? Kota itu lentur kalau kita paksa lentur.”
“Kau selalu punya cerita yang membuatku terasa mampu,” Sekar berbisik.
“Karena kau memang mampu.”
Di dapur itulah rencana baru matang. Inu mempercepat peluncuran merek keenam: Ragil Kuning Kitchen—nama yang tanpa sengaja seperti memanggil dua sahabat lama. Merek ini khusus mengajak siswa-siswi Sekar membuat menu mingguan. Produk dijual melalui aplikasi dan jaringan co-working yang dimiliki Jayang. Sebagian laba kembali untuk beasiswa.
“Kalau kita tidak bisa memenuhi janji pada dunia, setidaknya kita bisa merawat janji pada satu sama lain,” kata Inu.
Sekar tersenyum; untuk pertama kalinya dalam seminggu, ia bisa bernapas panjang.
.
Hujan pindah ke bulan berikutnya. Di gedung galeri, Sekar memulai program “Kelas Lampu Kota”—kursus fotografi ponsel yang mengajarkan anak-anak sekolah menengah mengubah jalan pulang menjadi studio. Jayang mengurus sponsorship tripod murah; Ragil—yang muncul seperti bayangan—mengirim dua lampu softbox tanpa kartu nama.
Suatu sore, seorang gadis bernama Anggra berdiri di depan hasil fotonya: potret ibunya yang menjahit, ditemani radio yang penuh tape adesif. “Aku ingin bilang pada ibu bahwa tangan yang lelah pun cantik,” tulis keterangan fotonya. Pengunjung memadati ruangan; beberapa menawar cetakannya. Sekar menatap Inu—di matanya, ada cahaya kecil yang lama mengungsi.
Di saat yang sama, kendala juga datang dengan presisi. Pabrik roti mitra Inu terbakar kecil. Pengiriman telat. Pelanggan menulis ulasan pedas di aplikasi. Namun alih-alih menyalahkan keadaan, Inu membuka dapur pada malam-malam gasak: “Siapa saja boleh datang bantu, makan gratis.” Ratusan orang masuk bergantian; beberapa mahasiswa, beberapa pekerja malam, dan beberapa orang asing yang kebetulan lewat. Dapur menjadi aula pertemanan.
“Yang paling melegakan,” tutur Inu pada Sekar saat mereka merapikan meja di pukul dua dini hari, “bukan karena kerugian tertutup. Tetapi karena kita bisa menguji apakah kelelahan masih punya ruang untuk berbagi.”
Sekar menatap kedua tangan Inu yang memerah. “Kau mengubah kata lelah menjadi lembut,” katanya.
“Tidak. Aku hanya belajar dari roti; mengembang ketika diberi waktu.”
.
Di bulan ketiga, kabar datang dari Ragil. “Investor setuju dengan skema campuran. Kita punya setahun untuk membuktikan bahwa lantai publik itu bisa ramai.” Pesan singkat itu membuat Sekar menubrukkan tubuhnya ke sofa, tertawa seperti anak kecil menemukan sepeda di beranda.
“Kita tidak menang,” katanya pada Inu, “tapi kita punya waktu.”
“Hidup memang bukan soal menang,” jawab Inu. “Hidup itu soal memenuhi.”
“Memenuhi apa?”
“Memenuhi ruang-ruang kosong di hati kita sendiri.”
.
Musim berganti. Kota menaikkan suhu. Program beasiswa kecil milik Sekar—“Bunga Tepi Trotoar”—mengirim empat siswa mengikuti kursus desain grafis daring. Sementara itu, Ragil Kuning Kitchen semakin rapi; Anggra menjadi content creator, membuat video resep dengan suara ibunya. Jayang menghubungkan mereka dengan coworking di Medan dan Makassar—kelas memasak hibrida menjadi cara baru orang berjejaring.
“Beginilah caranya semesta bekerja,” tulis Sekar pada buletin mingguan yang ia kirim ke para donatur. “Yang kita rawat menyapa yang kita butuhkan; yang kita lepaskan memberi jalan pada yang kita belum kenal.”
Namun hidup jarang membiarkan bab manis berjalan tunggal. Ayah Inu sakit, ginjalnya lelah. Inu—anak bungsu dari empat bersaudara—mendapati dirinya harus pulang lebih sering, menghadapi keluarga yang retak fungsi. Ada warisan yang tidak sepenuhnya tentang rumah atau tanah: warisan kebiasaan mengabaikan perasaan.
Suatu malam, setelah Ina—kakak perempuannya—mengabari bahwa ayah menolak cuci darah, Inu duduk diam di bangku kayu balkon apartemen Sekar. “Aku takut tidak bisa mengimbangi semuanya,” katanya. “Bisnis, beasiswa, ayah.”
Sekar meraih tangannya. “Kau tidak perlu mengimbangi semua. Kau hanya perlu hadir pada yang paling membutuhkanmu hari ini. Besok, kita atur ulang.”
“Kalau besok telat?”
“Kita tidak mengurus jam, Nu. Kita mengurus niat.”
Malam itu, Sekar menulis sebuah catatan di ponselnya: “Cinta bukan tentang siapa yang paling siap, melainkan siapa yang mau bertahan untuk menata ulang. Kita benar akan bertemu dengan hal-hal yang telah kita usahakan.”
.
Ayah Inu akhirnya setuju untuk perawatan. Inu mengatur jadwal jaga bersama saudaranya. Dapur malam tetap berjalan, namun dengan ritme yang lebih tenang. Sekar memindahkan beberapa kelas ke coworking Jayang; galeri sementara ditutup untuk renovasi ringan—soft opening lantai publik dijadwalkan tiga bulan lagi.
Di tengah putaran agenda, Sekar menerima surel dari universitas negeri: mereka ingin menitipkan mahasiswa magang untuk program kurasi komunitas. Sekar membaca tiga kali, lalu menatap lampu-lampu kota: jalan pulang bisa juga datang dari jalan yang belum kita tempuh, gumamnya.
Sore itu, di coffee shop kecil, mereka berlima duduk: Sekar, Inu, Jayang, Ragil, dan Anggra. Di meja, ada rencana soft opening: pasar buku murah, panggung kecil untuk musik, kelas foto kilat, dan booth dapur yang dikelola siswa.
“Aku ingin panggungnya menghadap ke pintu masuk,” kata Anggra, membentangkan sketsa. “Supaya orang yang lewat melihat bahwa musik milik semua, bukan hanya yang bisa beli tiket.”
Ragil memperhatikan. “Kau punya otak yang baik, Anggra.”
“Juga hati,” tambah Inu.
Jayang menepuk map. “Sponsor aman. Media lokal siap meliput. Tapi kita butuh sesuatu yang memikat—hook—yang membuat orang datang bukan sekadar karena FOMO.”
“Bagaimana kalau kita menulis kalimat di pintu?” usul Sekar. “Kalimat yang bukan ajakan belanja, tapi ajakan pulang.”
Mereka menatapnya.
Sekar mengeluarkan catatan ponsel dan membaca pelan:
“Aku mulai mencintai takdirku dengan tidak mempermasalahkan apapun yang terjadi di luar kendaliku.
Aku hanya percaya bahwa hal baik akan bertemu dengan yang baik pula, begitu pun sebaliknya.
Seperti itulah cara semesta bekerja. Kita benar akan bertemu dengan hal-hal yang telah kita usahakan.”
Hening yang jatuh setelahnya tidak kosong. Ada sesuatu yang mengembang, seperti roti pada suhu yang pas.
“Cetak besar,” kata Ragil.
“Cetak di hati dulu,” balas Inu.
.
Hari soft opening tiba. Kota panas, tetapi angin membawa hujan yang menyapa malu-malu. Lantai publik gedung itu bersih dengan lampu yang hangat. Di pintu, kalimat Sekar menunggu seperti tangan yang berjaga. Orang-orang berdatangan: keluarga dengan anak balita, freelancer dengan laptop, ibu-ibu dengan rambut diikat, pengantar paket yang singgah sebentar. Di sudut, ada pojok bacaan kecil dengan buku-buku sumbangan; di sisi lain, kelas crash course fotografi ponsel. Di panggung, Anggra menyanyi lagu lama yang baru.
Di sela keramaian, Sekar dan Inu bertemu pandang. Tidak perlu kata-kata—ada rasa selesai yang tidak identik dengan rampung.
Ayah Inu datang dibantu Ina. Ia duduk, mengamati. Saat Inu menyuapkan bubur hangat yang dibuat oleh dapur malam, ayah bergumam, “Roti apa saja bisa jadi enak kalau dibagi.” Inu menahan air mata; ayahnya jarang berbicara tentang rasa.
Menjelang magrib, Ragil berdiri di panggung kecil. “Kota ini,” katanya, “akan selalu menjadi pertarungan antara yang ingin menekankan selisih dan yang ingin memperbanyak persilangan. Hari ini kita memilih persilangan.”
Sorak tertahan. Jayang menambahkan, “Dan data menunjukkan—” orang-orang tertawa, “—bahwa menolong adalah strategi bisnis paling berkelanjutan.”
Malam merayap. Lampu-lampu menyala semesta kecil di bawah langit yang semakin ramah. Di gerbang, kalimat itu terus dibaca orang-orang, entah sambil masuk atau sambil pulang. Seseorang memotret dan mengunggahnya; dalam semalam, puluhan ribu orang membagikan—bukan karena kerapuhan yang ingin tampak kuat, melainkan karena kekuatan yang berani terlihat rapuh.
.
Beberapa minggu setelahnya, Sekar dan Inu berjalan di trotoar baru yang dibangun pemerintah kota, menghindari genangan kecil dan bercakap tentang hal-hal biasa: harga tepung, ide pameran, cuci darah ayah yang kini rutin, dan rencana pernikahan yang tiba-tiba terasa mungkin. Mereka berhenti di kios bunga. Sekar memilih buket kecil krisan putih.
“Kau akan menaruhnya di mana?” tanya Inu.
“Di meja kerja. Biar aku ingat bahwa hal-hal yang bersih tidak lahir dari ruang yang steril, tapi dari tangan yang bersedia kotor.”
Inu mengangguk. “Aku ingin menanyakan sesuatu.”
“Apa?”
“Kau mau menikah denganku, tanpa menunggu semuanya rapi?”
Sekar menatap wajah Inu. Ia ingat gemetar tangannya saat pertama kali membuka kelas di ruang parkir. Ingat sore-sore menjemput anak-anak yang orangtuanya pulang larut. Ingat malam-malam ketika dapur Inu menjadi padang ulang. Ia ingat bagaimana kota bisa menjadi musuh dalam satu minggu dan sahabat di minggu berikutnya. Ia ingat dirinya sendiri yang pernah memilih kabur ketika cinta menuntut pengertian yang lebih sabar.
Ia menarik napas. “Aku mau. Tapi izinkan aku tetap takut sesekali.”
“Kita nikahi juga ketakutanmu,” ujar Inu.
Mereka tertawa.
Di bahu langit, awan menyingkapkan sesuatu yang mirip jalan. Kota berderak; lampu-lampu kembali menyala. Di gerbang gedung lantai publik, kalimat itu masih ada—akan selalu ada—sebagai penyangga ingatan:
“Yang kita rawat akan pulang sebagai buah. Yang kita abaikan datang sebagai pelajaran.”
Dan pada malam ketika kota mengembuskan napas paling panjangnya, Sekar dan Inu tahu: mereka tidak sedang memenangkan apapun selain kemampuan untuk tetap percaya. Bahwa hal baik betul-betul mencari yang baik; bahwa kerja yang jujur memang akan bertemu rumah yang bersedia; bahwa takdir, pada akhirnya, adalah ragi yang mengembang di tangan yang sabar.
.
.
.
Malang, 16 Oktober 2025
.
.
#Cerpen #KompasMinggu #Kota #Ikhtiar #Takdir #Kolaborasi #Seni #Pendidikan #UMKM #DapurMalam #Kemanusiaan #Indonesia
.
Quotes Tambahan In-Story
-
“Cinta bukan tentang siapa yang paling siap, melainkan siapa yang mau bertahan untuk menata ulang.”
-
“Campurkan laba dengan makna, kau tak akan rugi.”
-
“Kota hanya berdiri sejauh kita mau menahannya.”
-
“Kita tidak mengurus jam; kita mengurus niat.”
-
“Yang kita rawat menyapa yang kita butuhkan.”