Senja di Apartemen Retna
“Tidak semua yang hadir di hidupmu pantas kau selamatkan.
Ada yang dititipkan untuk diajari, ada yang dihadirkan untuk menguji,
dan ada pula yang sekadar mengajarkan arti melepaskan dengan hormat.
Sisanya, cukup jaga hatimu agar tetap bisa mendoakan.”
.
Matahari hanyut di antara gedung-gedung kaca seperti emas yang meleleh. Di jendela apartemen menghadap barat, secangkir kopi Retna mengepulkan uap setipis doa. Di atas meja, sebuah Alkitab bersampul kain tergeletak seperti relung untuk menyandarkan resah. Kota ini—Jakarta yang sibuk, Surabaya yang cekatan, Bandung yang gampang rindu—sering membuat manusia percaya bahwa berlari adalah satu-satunya cara untuk tidak tertinggal. Retna pernah percaya itu. Sampai suatu senja ketika kata-kata di ponselnya terasa lebih berat daripada petang.
“Jayeng, kita perlu bicara.”
Jayeng Arga—temannya sedari kuliah, kini mitra di perusahaan konsultan merek dan hospitality—membalas, “Di rooftop jam tujuh? Kelaswara dan Adaninggar juga datang.”
Retna menatap cermin. Rambutnya disanggul sederhana. Ia menyukai kesan rapi pada dirinya, sesuatu yang selaras dengan kebiasaan mencatat detail: jumlah pesan, jam tidur, file revisi, dan daftar doa. Sejak kecil, ia belajar bahwa keteraturan adalah jaring pengaman. Namun bahkan jaring yang rapat pun tak selalu sanggup menahan jatuhnya kepercayaan.
.
Rooftop itu seperti panggung di mana kota menjadi penonton. Di kejauhan, kerlip lampu kendaraan membentuk garis-garis seperti notasi musik tak terlihat. Jayeng berdiri di dekat pagar kaca, jaket linen warna tanah menempel lembut pada bahunya. Di sebelahnya, Kelaswara—yang kerap dipanggil Kelas—menyalakan proyektor portabel. Adaninggar, dengan gaun hitam dan sepatu sneakers, memeriksa draft kontrak di tabletnya.
Mereka berempat berasal dari ruas jalan yang berbeda. Retna pernah menjadi dosen pemasaran di universitas swasta, lalu beralih menjadi fasilitator pembelajaran untuk UMKM dan hotel independen. Jayeng adalah eks-manajer hotel yang kini menjadi konsultan narasi merek dan pengembangan layanan. Kelas memulai hidup kerja sebagai barista, kemudian membuka studio kecil yang mengurusi desain ruang dan pengalaman tamu. Adaninggar dulunya jurnalis perjalanan; kini ia investor yang cermat, gemar bertanya tajam sebelum menaruh modal.
Ketika pandemi memaksa pintu-pintu kedai ditutup, mereka membuka satu pintu baru: program “Kota Teduh”, sebuah jaringan kelas singkat untuk pekerja hospitality, barista, frontliner, humas, hingga manajer revenue yang kehilangan jam kerja. Sekarang, setelah kota memantul lagi berdiri, “Kota Teduh” tumbuh bagai taman yang tak terduga. Ada hotel-hotel menengah ke atas yang meminta pelatihan pelayanan berempati, ada restoran yang minta kurasi cerita menu, bahkan ada sekolah yang minta modul life-skill untuk anak SMK pariwisata.
Namun beriring dengan pertumbuhan datang pula tawaran yang gemuk—dan syarat yang rumit.
“Ini dari kelompok Cempaka Holdings,” kata Adaninggar, menunjukkan kontrak. “Mereka mau injeksi dana yang bisa mempercepat skala nasional. Kita bisa buka pusat pelatihan di tiga kota sekaligus. Tapi…”
“Tapi?” Retna bertanya, menahan napas.
“Mereka ingin mengatur kurikulum agar sesuai standar proyek properti mereka. Mereka juga minta lisensi data peserta. Dan…” Adaninggar menatap Jayeng, “…mereka mau kita menghentikan program makan siang gratis yang kamu jalankan di Kampung Kali, alasannya karena ‘tidak relevan dengan positioning premium’.”
Angin malam seperti menahan suara. Jayeng tertawa lirih, bukan karena lucu. “Mereka menyebut program itu charity noise.”
Retna teringat wajah-wajah di antrean program makan siang itu—ojek daring, cleaning service, satpam, juga dua pelajar yang sering datang sepulang sekolah. Seorang ibu penjual bunga selalu menitipkan dua batang mawar untuk ditempatkan di meja makanan, katanya supaya “siapapun yang makan merasa dianggap ada.”
“Bukan sekadar charity,” jawab Retna akhirnya. “Itu fondasi kenapa kita memulai. Agar keterampilan tidak jadi ruang elitis. Agar orang datang bukan sekadar belajar, tapi merasa dimanusiakan.”
Kelas mematikan proyektor. “Kalau kita menolak, kita akan bergerak pelan. Kalau kita menerima, kita kehilangan sebagian jati diri.”
“Tidak semua yang ada di sekelilingmu pantas kamu jaga,” gumam Retna, mengulang kutipan yang siang tadi dibacanya di layar ponsel. “Rangkul yang sejalan. Temani yang menghargai.”
“Dan doakan yang memanusiakan,” sambung Jayeng.
Mereka terdiam, seperti memberi jalan pada makna.
.
Sepekan berikutnya, kota tetap sibuk. Di lobi hotel lima bintang di Sudirman, para tamu bisnis menunggu kendaraan seperti prajurit modern yang siap perang. Di sebuah sekolah internasional di Bintaro, ibu-ibu yang hangat dan ayah-ayah yang tajam berdiskusi tentang masa depan anak mereka yang diukur dengan Excel. Di coworking space di Surabaya Barat, dua founder debat tentang ROI vs niat baik.
Di salah satu ruang training hotel butik di Menteng, “Kota Teduh” menggelar kelas “Service Recovery for Real People.” Jayeng membuka sesi.
“Kita tidak menghafal kalimat maaf,” katanya, “kita belajar memulihkan martabat orang lain—juga martabat diri sendiri.”
Ia mengajak peserta mempraktikkan skenario: tamu komplain tentang sarapan dingin, pelanggan marah karena kamar belum siap, pemesan acara resepsi panik karena dekorasi terlambat. Para peserta—front office, barista, supervisor banquet—menyusun kalimat, nada, dan gerak tubuh. Pelan-pelan, mereka belajar bahwa memulihkan keadaan sering kali berarti mengakui luka kecil yang sering diremehkan.
Pada jeda makan siang, Retna menerima pesan dari nomor tak dikenal.
“Bu Retna, saya mewakili Cempaka Holdings. Kami tunggu jawaban final. Kami percaya program seperti ‘Kota Teduh’ bisa tumbuh besar dengan kami. Verify your values: apakah Anda ingin berdampak besar, atau hanya merasa baik?”
Kata-kata itu menusuk. Retna menutup ponsel. Di kaca jendela, ia melihat bayangannya sendiri—perempuan yang belajar rapi agar hidupnya tak diacak-acak dunia. Tapi rapinya lembar Excel tak selalu bisa menahan badai harga diri.
Dalam hati, ia membalas: Kami memilih berdampak besar tanpa kehilangan rasa baik. Karena rasa baik adalah kompas yang mengarahkan dampak.
Namun hati masih gamang. Malamnya Retna berjalan ke gereja kecil di dekat apartemen. Di halaman, angin menyapu daun-daun kering. Remang lampu memberi ruang untuk pertanyaan larut.
“Kalau kita menolak,” bisiknya pada Tuhan yang seperti duduk di bangku kosong, “apakah itu kebodohan? Atau justru jalan yang dirapikan dari atas sana?”
Setelah pulang, ia menulis pada secarik kertas dan menempelkannya di kulkas:
“Yang membuat rumah menjadi rumah bukan marmernya, melainkan keberanian berkata tidak pada hal-hal yang mengusir nurani.”
.
Esoknya, mereka bertemu kembali—kali ini di sebuah kafe kecil di Kemang. Kelas membawa sketsa desain tempat belajar dengan jendela-jendela besar; Adaninggar membawa data proyeksi; Jayeng membawa buku catatan kulit dengan banyak halaman terlipat.
“Sebelum memutuskan,” ucap Jayeng, “aku ingin bercerita tentang seseorang bernama Kartala.”
“Kartala?” Retna mengernyit. Nama itu seperti keluar dari kisah Menak Jawa yang dulu sering didongengkan kakeknya.
Jayeng mengangguk. “Tahun lalu, aku bertemu Kartala saat memotret gang kecil tempat kita menggelar makan siang. Ia satpam yang baru di-PHK. Ia tidak datang untuk makan, tapi untuk menjadi relawan cuci piring. Katanya, ‘Kalau saya sibuk, saya lupa sedih.’ Dua bulan kemudian, ia mendapatkan pekerjaan di sebuah apartemen di Kuningan. Kemarin dia mengirim pesan: ‘Bang Jayeng, kalau Kota Teduh butuh keamanan buat acara besar, bilang saya ya. Saya gratis.’”
Adaninggar menatap meja. “Investasi kami biasanya dihitung dari angka. Tapi kisah seperti Kartala mengganggu rumus itu.”
“Rumus perlu diganggu,” kata Kelas ringan. “Kalau tidak, ia jadi tiran.”
Retna tersenyum kecil. Ia terpikir pada tokoh-tokoh wayang Menak yang dulu ia baca: Wong Agung Jayengrana yang menolak takhta demi tujuan lain, Dewi Retna Kencana yang menjaga martabat meski tertarik oleh gemerlap, Adaninggar Setya yang keras kepala namun setia pada keyakinan.
“Baik,” ucap Retna akhirnya. “Keputusan kita?”
Mereka bertiga saling memandang. Sebuah keberanian kecil bergerak dari dada ke bibir.
“Kita menolak tawaran Cempaka,” kata Jayeng. “Kita akan bertumbuh pelan, tapi jujur.”
Adaninggar menarik napas, lalu tertawa pendek. “Investor mana pun paling takut pada kalimat ‘tidak’. Tapi mungkin itulah kalimat yang menyelamatkan.”
Kelas mengangkat cangkir. “Untuk ‘tidak’ yang menyisakan ruang bagi yang ‘ya’.”
Retna menambahkan, “Dan untuk kota yang menunggu cara-cara baru untuk menjadi teduh.”
.
Keputusan itu tak otomatis membuat hidup lebih mudah. Dalam tiga bulan, dua klien korporat membatalkan kontrak alasan “penyesuaian anggaran.” Sewa ruang latihan naik. Di media sosial, beberapa akun menuduh mereka playing victim. Namun di tengah krisis kecil itu, pintu lain terbuka cara yang tak terduga.
Seorang kepala sekolah vokasi pariwisata di Cimahi mengundang mereka melatih guru tentang “empati yang terukur.” Seorang pemilik hotel di Jember mengajak kolaborasi membuka “kelas malam” untuk karyawan yang ingin naik jenjang karir tanpa meninggalkan jam kerja pagi. Seorang pengusaha katering di Makassar meminta kurasi cerita menu tradisi agar lebih “hidup” di mata generasi muda.
Di setiap kota, mereka bertemu manusia yang tidak hanya ingin sukses tapi juga berarti. Dan dari pertemuan-pertemuan itu, “Kota Teduh” menemukan ritmenya sendiri.
Retna, yang dulu selalu rapi pada angka, belajar rapi pula pada perasaan. Ia membangun “Ruang Rasa”—lokakarya singkat bagi pekerja lini depan untuk memetakan lelah emosional dan cara merawatnya. Di sesi terakhir, ia meminta peserta menulis satu kalimat yang ingin mereka dengar dari diri sendiri. Seorang housekeeper menulis: “Terima kasih sudah kuat tanpa hendak terlihat kuat.” Seorang barista menulis: “Kamu layak dihargai, bukan karena performa, melainkan karena dirimu.”
Setiap kali membaca kalimat-kalimat itu, Retna merasa kota—dengan segala kecepatan dan saringannya—masih menyisakan halaman kosong untuk ditulisi belas kasih.
Jayeng menyusun modul “Storyselling for Hospitality,” mengajarkan cara menyampaikan nilai melalui kisah yang benar, bukan melebih-lebihkan. Ia sering memulai kelas dengan kalimat: “Di dunia yang keras, lembut itu bukan kalah; ia memilih tidak melukai.” Para peserta belajar mengubah narasi: dari menjual kamar menjadi menawarkan tempat pulih, dari menjual menu menjadi menyuguhkan kenangan, dari mengejar rating menjadi membangun kepercayaan.
Kelas merancang ruang-ruang belajar pop-up dengan material sederhana—kayu bekas palet, lampu sorot dari bengkel, kursi lipat yang nyaman. Ia percaya bahwa keindahan bisa dibangun oleh niat baik di tangan yang terampil. Di sebuah halaman masjid di Yogya, ia mengubah pendopo kecil menjadi kelas malam dengan alas tikar pandan dan papan tulis bergambar kopi, gunung, dan jejak kaki. Orang-orang datang karena ingin belajar, tetapi pulang dengan sesuatu yang lain: rasa memiliki.
Adaninggar, yang biasanya mencatat angka, kini rutin menulis catatan harian: “Pelajaran modal hari ini: modal paling besar adalah dipercaya. Trust compound interest.” Ia juga mengontak jejaringnya dan memperkenalkan “saham gotong royong”: donasi berlangganan untuk membiayai kelas gratis setiap pekan. Nominalnya kecil, tapi stabil. Di rapat bulanan, ia tersenyum melihat layar: ratusan nama dengan angka yang mungkin tampak biasa, namun jika dibaca dengan pelan, terasa seperti barisan orang yang berdiri di belakang mereka.
“Pertumbuhan yang lambat bukan berarti tanpa arah. Ia hanya menolak berjalan di jalan tol yang banyak pintu keluar menuju lupa.”
.
Musim kemarau tiba. Udara kota jadi tipis. Di sebuah sore yang melelahkan, Retna menerima telepon dari ibunya di Malang.
“Ndok, kapan pulang? Bapakmu rindu nasi goreng buatanmu.”
Retna tertawa. “Aku pulang akhir bulan. Bawa teman-teman ya?”
Malamnya mereka naik kereta. Di gerbong yang penuh, Retna duduk di dekat jendela, kepala bersandar pada kursi. Jayeng membaca buku tipis puisi, Kelas membuat sketsa jalur kereta, Adaninggar bermain gim kecil di ponsel. Kereta meluncur, lampu-lampu kampung bergeser seperti bintang yang memilih turun.
Di Malang, rumah Retna menyambut dengan wangi kenanga. Bapaknya sudah menunggu di teras, tangan gemetarnya memegang cangkir teh. Ibu menyiapkan meja dengan piring kecil: tempe kering, sambal terasi, dan krupuk udang. Di antara suapan, mereka bercerita. Tentang kota, tentang sewa, tentang orang-orang yang datang dan pergi.
Bapak mendengarkan dengan mata keriput yang lembut. “Kalian ini seperti tokoh-tokoh Menak yang dulu Bapak kenal dari buku wayang garing. Wong Agung Jayengrana, Retna Kencana, Adaninggar, Kelaswara. Mereka bertarung banyak hal, tapi yang paling besar bukan musuh, melainkan diri sendiri yang gampang silau.”
Retna memeluk lengan Bapak. “Bapak, kami menolak investasi besar.”
Bapak tersenyum. “Bagus kalau itu membuat kalian tetap bisa tidur nyenyak. Rezeki itu bukan hanya angka. Ada rezeki bernama tenang.”
Malam itu, di teras rumah, bintang-bintang terasa rendah seperti bisa diraih. Jayeng menatap langit. “Kita akan kembali ke kota dengan kepala yang sama?”
“Tidak,” jawab Retna. “Dengan hati yang lebih jelas.”
.
Kepulangan ke kota membawa kabar baik yang bukan kebetulan. Seorang manajer HR dari jaringan hotel premium menghubungi mereka, menyatakan tertarik dengan pendekatan “Ruang Rasa”. “Kami menempati segmen kelas menengah ke atas,” katanya di telepon, “tamu kami berpendidikan, karier beragam, standar tinggi. Tetapi staf kami lelah menjaga standar tanpa ruang pulih. Bisa bantu desain program yang tidak hanya bicara SOP, tetapi juga bicara tentang manusia di balik seragam?”
Sesi pertama di hotel itu berlangsung di ruang ballroom kecil dengan karpet motif dedaunan. Retna membuka dengan menayangkan foto: secangkir kopi, buku terbuka, cahaya senja—seperti gambar yang dulu ia lihat di ponsel.
“Banyak dari kita bekerja di tempat yang cantik,” katanya, “tetapi lupa menyediakan ruang yang teduh untuk diri sendiri. Mari mulai dengan mengakui bahwa kelelahan emosional itu nyata. Lalu kita tata ulang: kapan meminta bantuan, kapan menolak, kapan menerima.”
Ia memberi tiga latihan sederhana:
-
Jurnal Dua Menit: sebelum shift, tulis dua kalimat tentang perasaan hari itu.
-
Kalimat Jujur: ajarkan staf kalimat perbatasan yang sopan—“Saya ingin membantu, tetapi saya tidak bisa melanggar aturan demi kenyamanan jangka pendek.”
-
Ritual Pulih: setelah shift, lakukan kebiasaan yang sama setiap hari—minum air hangat, merapikan meja, berdoa singkat, atau mengucap terima kasih pada diri sendiri.
Jayeng menutup dengan cerita. Ia menceritakan seorang tamu yang komplain karena sarapan datang terlambat. “Saya minta maaf,” katanya kepada tamu itu waktu dulu masih bekerja di hotel, “tetapi izinkan kami memperbaiki. Kami akan antar sarapan hangat dan secangkir teh jahe. Tidak akan kami klaim sebagai ‘kompensasi’, melainkan sebagai ‘pengakuan’.”
Tamu itu akhirnya menjadi pelanggan setia. Bukan karena diskon, melainkan karena rasa dimanusiakan.
Sesi itu berakhir dengan tepuk tangan—bukan yang ramai seperti konser, melainkan yang hangat seperti selimut. Di pintu keluar, seorang supervisor berkata pelan, “Terima kasih sudah mengajarkan kami untuk tidak menjadi mesin.”
“Pelayanan terbaik adalah keberanian untuk tidak menyakiti, bahkan ketika mengejar standar tertinggi.”
.
Namun hidup tak hanya berisi tepuk tangan. Satu malam, ketika Retna pulang dari kelas, ia menerima pesan dari teman lama: tautan artikel yang menuduh “Kota Teduh” menunggangi empati untuk marketing. Komentar-komentar menyertainya, sebagian sinis, sebagian sinyal bahaya.
Retna duduk di lantai. Di sampingnya, kopi dingin tidak diminum. Jayeng tiba, duduk tanpa banyak tanya.
“Kenapa orang gampang sekali menghakimi?” tanya Retna.
“Karena cermin paling jujur sering membuat orang marah,” jawab Jayeng tenang. “Kita fokus pada yang bisa disentuh.”
“Siapa yang bisa disentuh?”
“Yang mau mendengar. Yang mau belajar. Yang mau menumbuhkan.”
Retna menatap jendela. Kota tetap berkelip. Ia mengambil ponsel, menulis di akun organisasi:
“Kami tidak sempurna. Kami belajar dari keliru. Jika ada yang tersakiti oleh cara kami bekerja, izinkan kami meminta maaf. Kami akan menghubungi Anda satu per satu. Kepada semua yang percaya, mari kita lanjutkan pelan-pelan. Kepada yang tidak percaya, terima kasih sudah mengingatkan kami untuk tidak lengah.”
Esoknya, pesan pribadi berdatangan. Ada yang marah, ada yang memberi masukan, ada yang sekadar mengirim emoji pelukan. Retna membalas satu per satu. Sore hari, ibu penjual bunga dari Kampung Kali mengirim foto dua batang mawar. “Saya titip di meja makanan lagi ya, Bu. Biar yang makan merasa ada.”
Retna menangis kecil.
“Kebaikan tidak selalu keras bunyinya. Ia sering datang diam-diam, seperti mawar yang dititipkan tanpa nama.”
.
Tahun berganti. “Kota Teduh” kini menjadi jaringan kecil yang tersebar: kelas malam di Jember, sarasehan pagi di Makassar, klinik storytelling di Bandung, dan ruang rasa di Jakarta. Di setiap tempat, mereka tidak membawa layout yang sempurna, melainkan kompas yang sama: memanusiakan.
Kelas memotret ruang-ruang itu: tangan yang menulis pelan, mata yang kembali berbinar, bahu yang saling menepuk. Jayeng menulis esai pendek tentang “hospitality sebagai teologi kota”—bahwa menyambut tamu adalah cara paling sederhana untuk mengaku bahwa kita sesama. Adaninggar menyiapkan laporan tahunan yang tidak hanya mencatat laba rugi, tapi juga kisah-kisah yang lahir: Kartala yang kini menjadi kepala keamanan apartemen, housekeeper yang naik jabatan karena keberanian bicara, barista yang membuka kedai kecil bernama “Hening”.
Retna menutup laporan itu dengan kalimat:
“Kami memilih jalan yang lebih lambat, tetapi kami berjalan bersama orang-orang yang mau memuliakan manusia. Di antara kilau neon dan target bulanan, kami belajar membedakan yang perlu ditumbuhkan dari yang sebaiknya dilepaskan.”
Malam itu, di apartemen menghadap barat, secangkir kopi mengepulkan uap setipis doa. Di atas meja, sebuah buku terbuka. Senja menumpahkan warna ke dinding, seperti sorotan panggung yang lembut. Retna mengambil pena dan menulis lagi sebaris kalimat untuk dirinya sendiri—dan mungkin untuk siapa pun yang sedang membaca ini:
“Tetaplah berbaik hati, meski pelan, meski kecil. Karena di kota yang cepat, kelembutan adalah cara lain untuk bertahan menjadi manusia.”
Ia memotret secangkir kopi itu, mengirim pada grup kecil mereka. Jayeng membalas dengan emoji jempol dan puisi singkat. Kelas mengirim gambar sketsa ruang baru. Adaninggar mengirim tangkapan layar donasi bulanan.
Retna tersenyum. Kota ini tidak lagi menakutkan. Ia tetap bising, tetap bergairah, tetap tak selesai. Tetapi di antara gempita itu, ada halaman-halaman kecil tempat orang beristirahat. Tempat ‘tidak’ menjaga ‘ya’. Tempat kita memilih siapa yang layak dijaga—bukan karena kepentingan, melainkan karena nilai.
Dan jika esok hari ada yang kembali meragukan, Retna tahu apa yang harus diucapkan, pelan namun jelas:
“Rangkul yang sejalan. Temani yang menghargai. Doakan yang memanusiakan. Selebihnya… hati-hati.”
.
.
.
Malang, 14 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #KotaTeduh #Hospitality #Empati #Branding #KelasMenengah #CeritaPerkotaan #MenakJawa #RetnaKencana #Jayengrana #Adaninggar #Kelaswara
.
Catatan Praktik (Edukasi & Solusi)
-
Bangun perbatasan yang sehat dalam kerja layanan: kalimat jujur, jadwal pulih, dan hak menolak permintaan yang melanggar nilai.
-
Ukur dampak bukan hanya dengan angka, tetapi juga dengan narasi perubahan: siapa yang bertumbuh, siapa yang kembali percaya pada dirinya.
-
Skala boleh pelan, asal arahnya benar. Kebijakan yang memaksa mengorbankan nurani pada akhirnya merusak merek.
-
Jadikan empati sebagai kompetensi: latih, ulangi, dokumentasikan, dan dihargai seperti KPI lainnya.
-
Rawat diri sebelum merawat tamu: ritual pulih sederhana membantu standar tinggi tetap manusiawi.
“Pertumbuhan yang tidak memuliakan manusia adalah kemunduran yang dikemas rapi.”