Di Antara Kabut dan Waktu

“Suatu hari nanti kamu akan takjub menyaksikan bagaimana Tuhan membalikkan keadaanmu dalam sekejap—hanya untuk menjawab doa-doa yang selama ini kamu bisikkan dalam gelap.”

Sore di Surabaya selalu seperti kaca yang menampung serakan lampu. Dari lantai dua puluh sebuah office tower di Jalan Raya Darmo, Jayengrana memandangi deretan mobil yang merayap pelan. Di bawah sana, sirene ambulans melintas sekali-kali, memecah gumam hujan yang jatuh seperti jarum pendek. Di meja Jayengrana, dua monitor ultrawide menampilkan dashboard performa fintech yang ia dirikan tiga tahun lalu: kurva biru turun, angka churn rate merah menyala. Di sudut ruangan, espresso machine berdengung—ritual kecil yang menunda rasa kalah.

Ia lahir dari keluarga Malang yang menengah ke atas: ayahnya, Wiraguna, arsitek senior yang bertahun-tahun merancang landmark kota; ibunya, Retna Sari, dosen psikologi Universitas Brawijaya yang dikenal tegas sekaligus berparas teduh. Jayengrana pindah ke Surabaya saat lulus dari ITS, bekerja di venture capital, lalu lompat membuat fintech pinjaman mikro untuk pelaku UMKM kreatif. Produknya rapi, pitch deck gemilang, advisors kelas dunia. Ia percaya teknologi bisa menambal yang terkelupas dari nasib—sampai badai datang.

Badai itu bernama kepercayaan yang runtuh. Satu mitra di Jakarta menyelewengkan dana; satu lagi kabur ke luar negeri. Cashflow beku, headline media menggigit. Di malam-malam paling senyap, Jayengrana berdiri di balkon apartemennya di Citraland, menatap langit Surabaya yang kusam, bertanya apakah kota sebesar ini masih menyisakan ruang untuk memulai dari awal.

Ia menutup laptop, memijit pelipis. Pesan Slack dari Umar Maya (co-founder sekaligus teman kampus) muncul: “Client exit. Legal minta kamu siapkan pernyataan.” Hujan menebal. Ia menghela napas, mengambil ponsel, membuka notes. Alisnya mempertemukan kepedihan. Lalu, dengan gerak yang seperti meraba jurang, ia mengetik kalimat yang tidak pernah ia bayangkan akan menulis: “Kami, manajemen, memutuskan…”

Jantungnya tertarik ke bawah.

.

Di Malang, rumah keluarga di kawasan Ijen masih menyimpan bau kayu jati dan kembang setaman yang selalu diganti saban Senin. Retna Sari sedang menyiapkan teh tubruk saat suara pintu depan berderit. Jayengrana masuk dengan payung basah dan bahu miring.

“Mas pulang nggih?” sapa Retna pelan, tahu betul sorot mata anaknya ketika dunia tidak sejalan.

Jayengrana meletakkan payung, memeluk ibunya erat—erat yang bukan sekadar rindu. “Bu… aku gagal.”

Retna tidak menjawab. Ia menepuk punggung anaknya, lalu menuntunnya ke kursi tua menghadap jendela. Hujan di halaman seperti tirai tipis. Di atas meja, ada kue cucur kesukaan Jayengrana; di dinding, foto ayahnya tersenyum di depan maket jembatan.

“Di rumah ini,” kata Retna, “kamu tidak ditanya berapa valuasi perusahaanmu, tapi seberapa lapang hatimu.”

Jayengrana memejam. Ia teringat doa yang sering ia bisikkan ketika masih mahasiswa: Tuhan, izinkan aku jadi orang yang berguna. Doa itu kini terasa seperti kalimat asing dari buku lama.

Malamnya, rumah Ijen jauh lebih sunyi daripada Surabaya. Jayengrana membuka jendela, membiarkan hawa basah menggerus gelisah. Di altar kecil, di samping foto kakek, ada lilin yang baru dinyalakan ibunya. Ia duduk, menatap nyala kecil itu, dan untuk pertama kalinya ia membiarkan air mata turun tanpa perlawanan.

“Jika masih ada arah, tunjukkan, Tuhan,” bisiknya. “Kalau harus memulai lagi, ajari aku caranya—bukan untuk menang, tapi untuk pulang.”

.

Pagi-pagi, Umar Madi—adik dari Umar Maya yang menekuni branding kuliner—datang menawari sarapan di warung soto dekat Kampung Kajoetangan. “Masih ingat waktu kita ngayuh motor dari Dinoyo ke Coban Rais cuma buat foto-foto?” tanya Umar sambil tertawa kecil. “Dulu kita nggak mikir angka.”

Jayengrana tersenyum sayu. “Dulu kita nggak punya tanggungan karyawan.”

“Mas, aku lagi bantu Adaninggar,” lanjut Umar, menyebut teman lama mereka, pengusaha kopi dan pemilik roastery kecil di Lowokwaru. “Dia mau bikin coffee academy yang serius, bukan kelas-kelas instan. Butuh orang buat rancang model bisnis dan fundraising. Mau ketemu?”

Jayengrana mengangkat alis. Kopi bukan bidangnya, tapi kata “academy” menyentuh wilayah yang ia rindukan: edukasi yang menyala.

“Aku coba,” katanya akhirnya.

Adaninggar berdiri di depan roaster berwarna hijau pupus, rambutnya diikat asal, hoodie hitam dan bibir mengilat aroma robusta. “Aku percaya,” ujarnya cepat, “kopi itu bukan cuma rasa, tapi ekosistem: petani di lereng Semeru, anak magang dari SMK pariwisata, barista yang ingin kerja ke Bali, ibu-ibu pengajian yang butuh penghasilan dari baked goods. Kita mau bikin academy yang menghubungkan semua itu. Kamu bantu di sisi impact dan keuangan.”

Jayengrana memperhatikan whiteboard yang penuh sketsa kurikulum: farm visit, cupping session, latte art, entrepreneurship. Di pojok ada tulisan tangan tebal: “Kopi yang baik harus mengangkat martabat.”
Ada sesuatu dalam kalimat itu yang menghantamnya. Ia menyetujui bergabung tiga bulan sebagai konsultan pro bono dahulu, disusul opsi saham bila pilot berhasil.

Hari-harinya kembali padat—tapi tidak lagi penuh rapat di co-working berkarpet tebal. Ia naik motor pinjaman Umar, berkeliling dari sekolah ke sekolah, menawarkan program beasiswa barista untuk siswa kurang mampu. Ia menyusun deck baru, kali ini memuat lebih banyak wajah daripada grafik. Di malam-malam sepi, ia belajar sensory analysis, membaui cupping spoon seperti berdoa.

Dan untuk pertama kalinya selepas badai, Jayengrana merasakan tidur yang utuh.

.

Di ujung semester, pilot coffee academy diselenggarakan. Dua belas anak dari SMK, empat ibu rumah tangga, tiga barista freelance, dan seorang mantan karyawan hotel yang baru di-PHK ikut kelas. Retna Sari datang sebagai pembicara tamu, bicara tentang mindfulness; Wiraguna menyumbang desain pop-up café dari bambu; Umar Maya mengajar financial literacy sederhana. Roastery itu penuh tawa, milk pitcher berdenting, dan aroma cairan cokelat yang membangun cuaca baru.

Malam penutupan, listrik padam sebentar. Telapak tangan membekap ruangan. Ada yang berseru kecil. Saat lampu menyala lagi, peserta class bertepuk tangan dalam lega. Entah siapa, seseorang berbisik, “Wayahe padhang”—sudah waktunya terang.

Jayengrana menahan sesuatu yang hangat di dadanya.

Esoknya, kabar datang dari Kelaswara, sahabat kuliah yang kini menjadi impact investor berbasis di Singapura. Tanpa sengaja ia melihat unggahan foto academy Jayengrana di LinkedIn. “Kirimkan aku proposal,” tulisnya. “Aku sedang memetakan fund untuk vocational upskilling. Kopimu punya aroma yang pas untuk pasar Asia Tenggara.”

Jayengrana gemetar. Ia menatap layar ponsel lama-lama, merasakan doa-doa yang pernah ia bisikkan seperti kembali dari hutan. Ia menulis cepat hingga subuh: arsitektur kurikulum, cashflow konservatif, proyeksi social return. Saat matahari mendorong jingga dari Gunung Panderman, proposal terkirim.

Seminggu kemudian, panggilan Zoom berlangsung singkat tapi padat. Kelaswara menyetujui seed funding dengan syarat: academy harus memperluas program lintas kota—Malang, Surabaya, dan—kalimat ini membuat Jayengrana tertegun—Batu. Di sinilah kenangan lamanya melintas: rencana hotel butik yang dahulu membeku. Tanahnya masih ada, tiang-tiang beton berlumut di tepi jalan menuju Museum Angkut. Selama ini ia menghindari tempat itu seperti seseorang menghindari kuburan yang masih terasa suam.

“Kenapa Batu?” tanya Jayengrana.

“Karena kamu punya masa lalu di sana,” jawab Kelaswara tenang. “Dan karena masa lalu yang belum dipulihkan sering menagih kita pulang.”

.

Bersama Adaninggar, Jayengrana menunggang mobil sewaan menuju Batu. Udara lebih ramah, pohon pinus bergesekan pelan, langit lebih dekat. Di lokasi yang dulu menjadi proyek hotel, tiang-tiang beton masih berdiri, dikerubungi lumut dan tanaman liar. Jayengrana turun, menempelkan punggung tangan ke beton yang dingin.

“Aku dulu merasa dikhianati tempat ini,” gumamnya.

Adaninggar menatap tiang-tiang itu seperti membaca kenangan yang bukan miliknya. “Tempat tidak pernah menghianati. Ia cuma menunggu kita datang dengan niat yang lain.”

Jayengrana menoleh. “Bagaimana kalau kita jadikan ini campus satelit? Kelas farm-to-cup, chocolate pairing, kewirausahaan—anak-anak dari SMK bisa magang di pop-up café yang menatap bukit. Di sampingnya kita bangun tiny lodge dari modular cabins, sustainable, bukan hotel besar yang minta tepuk tangan.”

Adaninggar tersenyum. “Aku suka ide ‘bukan hotel yang minta tepuk tangan’.”

Tiga bulan berikutnya adalah riuh yang jujur: bertemu lurah, menegosiasikan izin, mengajak warga membuat co-op pemasok bahan baku. Wiraguna menggambar masterplan dengan halaman hijau yang bisa dibongkar pasang. Umar Maya mengatur struktur saham; Umar Madi merancang branding: Batu Bumi Academy. Adaninggar menggiring jaringan roastery di Jawa Timur menyumbang alat. Retna Sari menulis modul soft skills: resiliensi dan etos kerja. Mereka tertawa, berdebat, dan kadang-kadang saling diam. Tidak ada glamor, tapi ada kegembiraan yang bergerak seperti air jernih.

Di malam pembukaan campus satelit, kabut turun tebal, lampu-lampu kecil berpendar di jalur pejalan. Di panggung bambu, seorang siswa—Rengganis, anak penjual bakso dari Dinoyo—membacakan testimony: bagaimana ia dulu takut bicara, bagaimana ia belajar menyeduh rasa sabar dari kopi, bagaimana ia kini ingin pulang mengajar adik kelasnya.

Jayengrana berdiri di belakang panggung, dadanya riuh. Ketika tepuk tangan meruyak, ia menoleh ke belakang. Di sana, pada tiang beton paling tua, seseorang menempelkan plakat kecil dari kayu: “Di sinilah mimpi yang dulu runtuh diremajakan kembali.” Tidak ada yang tahu siapa memasang. Mungkin salah satu warga, mungkin Umar, mungkin Adaninggar. Jayengrana mengusap plakat itu. “Terima kasih,” katanya pada udara yang bau pinus. “Terima kasih, Tuhan.”

.

Dua tahun berlalu. Batu Bumi Academy menjelma jaringan kecil yang hidup: campus Malang untuk roasting & sensory, Surabaya untuk entrepreneurship & digital commerce, Batu untuk farm-to-cup & hospitality. Mereka menggandeng SMK Negeri, Politeknik Pariwisata, komunitas kreatif, dan koperasi petani. Lulusan-lulusan terbaik disalurkan ke resort di Banyuwangi, specialty café di Jakarta, dan kapal pesiar di Singapura. Sementara sebagian yang memilih kembali ke kampung membuka warung kopi mini, menyisihkan 1% laba untuk beasiswa.

Suatu pagi, Redaktur insert Minggu sebuah harian nasional—yang Anda tahu persis—menghubungi. “Kami mau menulis feature tentang model academy Anda. Ada waktu untuk wawancara?”

Jayengrana tertawa. “Boleh, tapi jangan terlalu melebihkan. Kami masih belajar.”

Di sela wawancara, pewarta bertanya: “Apa titik baliknya?”

Jayengrana mengingat malam listrik padam di roastery, surat-surat ibunya, kabut Batu, plakat kayu tanpa nama, senyum Rengganis, dan doa yang ia bisikkan di depan lilin. Ia menelan ludah.

“Titik baliknya ketika aku berhenti ingin menjadi pahlawan dan mulai ingin menjadi pelayan,” jawabnya. “Ketika aku berhenti meminta dunia segera pulih, dan mulai membiarkan Tuhan memulihkan diriku lebih dulu.”

Wartawan itu mengangguk, menutup buku catatan. “Kalimat yang mahal.”

“Tidak ada yang mahal,” kata Jayengrana, “kalau kamu belajar membayar dengan sabar.”

.

Sore itu, Retna Sari mengajak Jayengrana ke makam Wiraguna di pemakaman dekat Tidar. Angin memutar bau rumput. Retna duduk bersila, membaca doa, lalu menyodorkan selembar kertas kecil. “Ini tulisan bapakmu,” katanya. “Ia menulis sebelum sakitnya makin berat. Aku baru menemukan lagi.”

Tulisan tangan Wiraguna rapi, tegak, seperti garis bangunan:
“Nduk lanle, ing urip iki, sing paling kok goleki dudu prestise, nanging lantip ati. Ojo nganti gedhene omahmu ngungkuli ambenmu dewe—panggon sing paling jujur kanggo ngaso. Yen mbesuk kowe kesasar, ojo isin takon dalan.”

Jayengrana menutup mata. Ia merasakan ayahnya berdiri di samping, memegang helmnya seperti dulu mengajarinya menyeberang jalan. Air mata jatuh, bukan karena luka, tapi karena rasa pulang.

Di perjalanan pulang melewati Kayutangan yang kini heritage walk, Jayengrana menyadari sesuatu: ia tidak lagi takut pada tiang-tiang beton dalam hidupnya. Setiap tiang adalah saksi, bukan tuduhan.

Malamnya, ia menulis panjang di jurnal:

“Tuhan, aku tak lagi minta Engkau membuka semua pintu. Aku hanya mohon Engkau menuntun kakiku untuk mengetuk pintu yang tepat, dan menguatkanku bila pintu itu baru terbuka saat aku siap.”

.

Pada musim hujan tahun berikutnya, undangan datang dari pemerintah kota: Batu Bumi Academy diminta memimpin pilot project Youth Hospitality Lab di kawasan wisata Selecta. Mereka ingin model campus Jayengrana direplikasi untuk bidang housekeeping, front office, dan experience design yang memadukan budaya lokal. Anggarannya cukup, dukungan publik besar, ekspektasi menggunung.

Di tengah riuh persiapan, kabar buruk menyelip seperti jarum: Adaninggar didiagnosis kanker stadium awal. Dunia berhenti sekejap. Di ruang tunggu rumah sakit, Jayengrana menggenggam tangan Adaninggar.

“Aku takut bukan pada sakitnya,” katanya lirih, “tapi pada kemungkinan berhenti di tengah jalan.”

Jayengrana menatapnya, merasakan perih menyengat yang tak bisa ia logikan. “Kalau harus pelan, kita pelan. Kalau harus istirahat, kita istirahat. ‘Berhenti’ itu kata yang tidak kita kenal.”

Adaninggar tersenyum—senyum yang tegar seperti huruf tebal. “Kamu masih menghafal doa yang dulu kamu bisikkan di depan lilin?”

Jayengrana mengangguk, menahan air yang menumpuk di pelupuk. “Dan aku akan terus membisikkannya sampai Tuhan bosan mendengar, tapi tetap mengabulkan dengan cara-Nya.”

Perawatan berjalan, Youth Hospitality Lab berproses. Retna Sari mengorganisasi relawan konselor untuk kesehatan mental siswa; Umar bersaudara membentuk tim cadangan. Dan suatu malam, ketika hujan turun deras di Batu, ketika lampu-lampu di lab berkelip seperti kunang, ketika Adaninggar tertidur kelelahan usai kemoterapi, email datang dari akun yang bahkan Jayengrana lupa pernah mengirim deck ke sana: sebuah yayasan internasional yang fokus pada skills for dignity. Mereka menawarkan grant multi-tahun untuk memperkuat kurikulum, impact evaluation, dan teacher training.

Jayengrana menatap layar lama-lama. Dada terasa lapang, seperti jendela yang dibuka setelah berbulan-bulan tertutup. Ia menengadah. Di langit, hujan masih ribut. Di dalam hatinya, sesuatu yang jauh lebih ribut, namun kali ini suaranya adalah syukur.

Ia menulis balasan dengan tangan gemetar. Setelah send, ia berdiri di depan jendela, napas berat berangsur pelan. Kalimat di benaknya tiba-tiba terang—sebuah kalimat yang dulu ia baca di unggahan seseorang, lalu ia simpan tanpa tahu kapan akan menjadi nyata:

“Suatu hari nanti kamu akan takjub menyaksikan bagaimana Tuhan membalikkan keadaanmu dalam sekejap—hanya untuk menjawab doa-doa yang selama ini kamu bisikkan dalam gelap.”

Hari itu—ia mengaku pada dirinya sendiri—telah tiba. Bukan sekejap yang berdenyut di detik jam, melainkan sekejap yang menyatukan bertahun-tahun sabar menjadi satu klik yang mengubah alur.

.

Ketika Youth Hospitality Lab diluncurkan, Adaninggar berdiri di panggung—lebih kurus, mata lebih bening—mengenakan hoodie hitam yang sama seperti hari pertama mereka bertemu. “Dulu,” ucapnya, “kami ingin membangun hotel yang minta tepuk tangan. Sekarang kami ingin membangun manusia yang belajar menepuk pundak satu sama lain.”

Tepuk tangan bergulung. Di barisan belakang, Retna menatap Jayengrana dengan mata yang rahim. Ia mengangguk kecil seolah berkata, “Kamu sudah pulang.”

Di pojok ruangan, pada dinding bata ekspos, terpampang empat kalimat yang dipilih Jayengrana untuk menjadi napas lab:

  1. “Kadang yang kita kira penundaan, sebenarnya adalah perlindungan.”

  2. “Tuhan tidak mengabulkan semua doa. Ia memilih doa yang membuat kita tumbuh.”

  3. “Kemenangan paling tepat waktu adalah kemenangan setelah kita siap menanggungnya.”

  4. “Jangan membangun bangunan yang lebih besar dari ruang tenang di dadamu.”

Sore itu, matahari menyelinap di antara kabut. Di halaman, siswa-siswa hospitality memperagakan check-in ramah, menata amenities, memperkenalkan local experiences: jelajah kampung apel, kelas membuat jenang ketan, sesi mindful breathing di tepi sungai kecil. Di booth terakhir, Rengganis memimpin Latte Art Battle untuk anak-anak SMA; suaranya sudah tidak gemetar.

Jayengrana berjalan ke pinggir area, menatap tiang-tiang modul bambu yang berdiri menggantikan tiang-tiang beton tua. Ia menyentuh salah satunya—hangat oleh matahari—lalu menutup mata. Dalam gelap yang dipilih sendiri itu, ia mendengar suara yang tidak bersuara: Teruskan. Jangan terburu-buru. Aku memegang waktumu.

Ia membuka mata, mengangguk kepada langit.

Dan kota—dengan segala riuh, macet, angin AC, rapat, sisa hujan, tumpukan mimpi—terasa tidak lagi menakutkan. Kota sekarang serupa ruang kelas besar yang meminjamkan panggung bagi siapa saja yang mau belajar.

.

Beberapa tahun kemudian, Batu Bumi Academy menjadi rujukan banyak pemerintah daerah. Mereka diminta mengembangkan experience lab di pesisir Lamongan, culinary lab di Madura, dan heritage lab di Kayutangan. Jayengrana makin jarang tampil di panggung; ia lebih suka duduk di kelas, mendengarkan cerita anak-anak. Fintech-nya? Tidak kembali. Tapi dari sisa-sisa code dan tim kecil yang masih setia, ia merakit platform beasiswa berbasis pay-it-forward. Namanya JayengPay—bukan untuk hutang, tapi untuk harapan: setiap lulusan yang bekerja menyisihkan sebagian gaji untuk membiayai siswa berikutnya. Lingkaran itu berputar seperti ceremony yang tidak pernah usai.

Pada sebuah malam sunyi di Malang, Jayengrana kembali ke rumah Ijen. Retna sudah menua, rambutnya memutih dengan anggun. Mereka minum teh di beranda, lampu kota berpendar seperti doa yang menggantung.

“Mas,” kata Retna, “kamu ingat dulu datang sambil bilang ‘aku gagal’?”

Jayengrana menatap ibu yang di matanya selalu tampak seperti rumah. “Aku ingat. Dan aku bersyukur pernah merasakannya. Kalau tidak, mungkin aku tidak akan belajar bahwa gagal adalah cara Tuhan menambah kedalaman.”

Retna terkekeh. “Bapakmu akan bangga. Ia selalu percaya, orang yang berpendidikan itu bukan yang ijazahnya panjang, tapi yang sabarnya dalam.”

Jayengrana meremas tangan ibunya yang hangat. Di dalam dada, sesuatu teduh dan pasti, seperti kenyataan yang selesai dipahami.

Ia berdiri, menatap ke langit, dan mengucapkan kalimat yang sejak lama ia tunda:
“Terima kasih, Tuhan. Bukan karena Engkau membalikkan keadaanku, tetapi karena Engkau membalikkan hatiku agar siap menyambut keadaan apa pun.”

Dan malam itu, kota tertidur pelan. Di jendela-jendela apartemen, di kamar-kamar kos, di lounge hotel mewah, di rumah sederhana di gang-gang sempit, ada orang-orang yang juga membisikan doa: tentang pekerjaan, tentang kesehatan, tentang keluarga, tentang cinta yang patah, tentang mimpi yang belum juga sampai. Barangkali suatu hari nanti, pada waktunya masing-masing, mereka juga akan berdiri di jendela dan berkata dengan senyum: “Tuhan, ternyata Engkau selalu tepat waktu.”

.

.

.

Malang, 12 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #DoaDalamGelap #KisahUrban #MalangBatuSurabaya #HospitalityAcademy #Kebangkitan #NamakuBrandku #JeffreyWibisonoV

.

Quotes dari cerpen

  • “Kadang yang kita kira penundaan, sebenarnya adalah perlindungan.”

  • “Tuhan tidak mengabulkan semua doa. Ia memilih doa yang membuat kita tumbuh.”

  • “Kemenangan paling tepat waktu adalah kemenangan setelah kita siap menanggungnya.”

  • “Jangan membangun bangunan yang lebih besar dari ruang tenang di dadamu.”

Leave a Reply