Yang Tidak Mengaduk Jangan Mencela

“Mereka yang tidak ikut mengaduk adonan, sering paling keras mencicipinya.
Padahal rasa sejati hanya diketahui oleh tangan yang sabar di dapur perubahan.”

.

Hujan awal November jatuh seperti huruf-huruf tak selesai di langit Malang. Dari kaca jendela lantai dua sebuah kafe di koridor Kota Tua Ijen, Ragil Kuning memandang trotoar yang memantulkan lampu. Bajunya krem, rambut disanggul seadanya; ia baru saja pulang dari kampus tempatnya mengajar desain pengalaman—mata kuliah baru yang menggabungkan arsitektur, psikologi pengunjung, dan bisnis pariwisata. Di meja, ada buku sketsa, kalkulator saku, dan daftar angka dari tiga jenis pekerjaan yang kini menjadi satu hidup: konsultan ruang kota, pemilik toko kue daring “Kuningan Pastry”, dan mentor program beasiswa untuk anak-anak barista.

Ragil selalu mencatat angka—bukan karena ia rakus pada laba, melainkan karena angka adalah doa yang bisa dihitung. Ia tumbuh dari keluarga pedagang kecil di kepanjen; ayahnya, Gunungsari, membuka kios besi tua di Pasar Klojen, ibunya, Sekarjati, membuat rengginang yang tak pernah putus resapan matahari di selasar rumah. “Kalau kamu ingin naik, naiklah bersama orang lain,” kata ayahnya. Di rumah, kalimat itu seperti jam dinding: terdengar setiap jam, menyetel telinga hati.

Sore itu, ponsel Ragil bergetar. Pesan dari Panji Asmara—teman masa SMA yang kini menjadi kepala strategi di sebuah perusahaan rintisan mobil listrik di Surabaya: “Gil, kau sempat lihat jembatan kaca yang baru dibuka di Batu? Direksi minta pendapatmu. Ada rencana kolaborasi tur edukasi—tapi opini publik campur aduk. Ada yang tak ikut nyusun, tapi paling ramai menghakimi.” Lalu tautan: video viral orang-orang yang menilai jembatan itu sebagai proyek narsis, tak ramah warga, bahkan disebut “jebakan selfie”.

Ragil menatap hujan. Dunia digital bergerak lebih cepat dari drainase kota. Opini deras, lubang-lubang logika cepat tersumbat. Di kepalanya, ia mendengar suara ibunya: “Ora melu nguruni, ora usah nyacati.”

.

Malamnya, Ragil bertemu Panji di sebuah kedai rawon yang berenang dalam aroma kluwak. Panji datang terlambat, wajahnya dirundung gelombang notifikasi. “Board minta cepat,” ujarnya sambil menaruh helm. “Mereka ingin Malang–Batu jadi laboratorium clean mobility dan experience economy. Tapi jembatan kaca itu jadi kambing hitam. Ada pedagang kecil yang sepi, ada warga komplain soal kemacetan. Di sisi lain, ribuan UMKM merasakan dampak pengunjung. Kacau. Kau tahu, semua orang bicara, hanya sedikit yang mau duduk menyusun.”

Ragil mengangguk. “Besok pagi kita naik,” katanya. “Siapkan surat jalan, dan izinkan kita bertemu warga, pedagang, pengelola. Bukan cuma manajemen.”

Keesokan harinya, jam tujuh, mereka berkendara menembus kabut. Jalanan menanjak ke Batu seperti garis nadi kota yang berdetak sabar. Jembatan kaca itu membentang di atas lembah kecil, menautkan dua tebing bekas perkebunan apel. Kaca beningnya memantulkan wajah langit; di bawah, tumbuhan paku dan aliran air tipis menulis puisi yang tak usai.

Di pintu masuk, seorang perempuan berkerudung cokelat, penjaga tiket, menyapa hati-hati. Namanya Ragil juga—Ragil Ayu—warga setempat yang dulu bekerja di pabrik keripik tempe. “Sejak ada jembatan ini, saya pulang jam tiga sore, bisa jemput anak,” katanya. “Tapi beberapa kali saya juga jadi sasaran makian pengunjung yang protes harga, padahal saya hanya pegawai.”

Ragil Kuning mencatat. “Berapa pedagang yang pindah lapak?” tanyanya. Ragil Ayu menyebut angka. “Berapa pelatihan keselamatan kerja? Berapa jam? Siapa pelatih?” Ragil Kuning menanyakan detail yang sering dilupakan poster-poster promosi: lokasi pos air, rambu kapasitas beban, protokol cuaca ekstrem.

Mereka berjalan ke sisi jembatan. Di bawah, dua pekerja sedang memeriksa baut-baut pengikat panel kaca, suara kunci momen terdengar seperti doa mekanik. Seorang pria berkumis—namanya Klana—mengawasi dengan mantel plastik hijau. “Yang ramai di video itu bukan kejadian di sini,” katanya. “Itu repost dari negara lain. Tapi kami kebagian sumpah serapah. Kami juga warga. Kalau ada cacat, kami pertama yang jatuh.”

“Bolehkah saya melihat logbook perawatan?” tanya Ragil.

Klana terdiam sejenak, lalu mengajak mereka ke ruang kecil di samping pos jaga. Ada rak map, ada papan tulis berisi jadwal. Ragil memotret dengan izin. Ia tak mencari kesalahan; ia mencari titik lemah untuk diperbaiki agar kota tak ikut patah.

Di ujung jembatan, sekelompok anak muda membuat konten. Salah satunya, memakai hoodie hitam, berteriak, “Guys, ini serem banget, bisa patah! Don’t try this at home.” Ragil mendekat. “Kamu sudah tanya teknisinya?” Ia tersenyum, mengucapkan nama, memperkenalkan diri. Anak itu kikuk, mengangkat kamera. “Konten kami edukatif kok, Kak.” Ragil mengangguk, lalu menunjuk papan kapasitas beban. “Edukasi dimulai dari membaca,” katanya pelan. “Kalau belum ikut menguruni—meracik, mengaduk, menyusun—setidaknya jangan memulai dengan nyacati.”

Anak-anak muda itu saling pandang. Panji menahan senyum. “Kita ajak tur backstage sebentar?” usulnya pada Klana. “Biar tahu proses.”

Sore menjelang, kabut turun seperti lipatan kain putih. Dari ketinggian, kota Malang tampak seperti miniatur kesabaran. Ragil duduk di bangku kayu, menulis kerangka rencana: Pasar Warga – Tur Pengetahuan – Jalur Sunyi – Kelas Singkat Dokumenter – Zona Tenang – Kuota Harian – Pelatihan Pedagang. Ia menamai proyek itu “Jembatan yang Mengajar”.

.

Dua minggu berikutnya, ruang pertemuan kecil di Balai RW menjadi sekolah paling pragmatis di kota itu. Ragil memfasilitasi pertemuan lintas kelompok yang biasanya hanya bersua di kolom komentar. Ada pedagang wedang ronde yang kehabisan pelanggan di jam-jam tertentu, ada pengusaha vila yang khawatir harga turun karena bising, ada pengelola jembatan, ada warga muda yang ingin jadi pemandu wisata berlisensi. Ada pula Sekarjati, ibunya Ragil, datang dengan rengginang sebagai penawar tegang.

“Mulai pertemuan ini dengan menimbang,” kata Ragil. “Apa yang memberatkanmu? Tuliskan satu kalimat. Lalu kita timbang bersama.” Di papan, kalimat-kalimat berdiri seperti orang yang ingin saling memahami: Macet. Sampah. Harga. Pengunjung tak sopan. Tak ada ruang sunyi. Kurang pelatihan.

Panji menambahkan spidol baru: Kurang duduk bersama. Ia tertawa kecil. “Kita terbiasa berlari mendahului data. Kali ini, kita menunggu data mendahului langkah.”

Diskusi berlangsung padat; Ragil menahan arah agar tidak terjerumus ke jurang saling menyalahkan. Dari pertemuan itu, lahir tiga kebijakan kecil, namun terukur: 1) Pasar Warga Pagi—dua jam sebelum jembatan dibuka, lorong menuju pintu masuk diisi kios komunitas, menjual produk lokal dengan kurasi sederhana; 2) Jalur Sunyi—setiap hari, pukul 13.00–14.00, jembatan dibuka tanpa musik, tanpa teriakan promosi, hanya bunyi langkah dan angin; 3) Kelas Baca Rambu—pendek, 10 menit, sebelum pengunjung masuk, pemandu mengajak semua membaca rambu keselamatan, memahami kaca, beban, dan etika memotret.

Sederhana, tapi seperti ranting kering yang disiram hujan, kampung jadi beraroma kayu hidup.

.

Keresahan justru datang dari luar. Seorang pemilik kanal gosip wisata, yang tak pernah hadir di pertemuan, mengunggah thumbnail bombastis: “JEMBATAN KACA Malang = BENCANA?”; ia menaruh potongan video fiksi bencana dari luar negeri. Komentar meledak. Pedagang kembali ketakutan. Panji memandang layar, rahangnya mengeras. “Kita harus merespons,” katanya. “Kita buat dokumenter pendek. Bukan bantahan, tapi ajakan ikut menguruni.”

Ragil setuju. “Kita ajak dia juga. Yang vokal paling cocok pegang mikrofon—kalau ia mau pegang tanggung jawab.”

Tim kecil dibentuk. Narasi dikerjakan seperti adonan roti di toko kue Ragil: diuleni, didiamkan, lalu dipanggang pada suhu yang pas. Kamera merekam pekerja mengencangkan baut; pemandu menjelaskan beban; pedagang bercerita omzet turun-naik dengan jujur; warga menyusun jadwal sampah; anak-anak muda mempraktikkan vlogging bertanggung jawab. Adegan favorit Ragil adalah detik ketika seorang nenek—Namanya Nyi Jati, tetangga dekat jembatan—berdiri di jalur sunyi, menutup mata, menghirup angin, dan berbisik, “Ada doa di bawah kakiku.”

Video itu ditayangkan di balai kampung sebelum rilis daring; semua orang diundang, termasuk pemilik kanal gosip wisata. Ia datang, menenteng kamera, agak gelisah. Di akhir pemutaran, ia menatap Ragil. “Saya salah, ya?” tanyanya, suaranya merendah.

Ragil tidak mengangguk, tidak menggeleng. “Kita semua pernah salah,” jawabnya. “Besok, mau bantu mengajar kelas baca rambu sepuluh menit? Kalau mau mencicipi tepung, sekalian bantu mengaduk.”

Ia tertawa pendek, menurunkan kamera. “Besok saya datang.”

.

Di tengah proses yang mulai menenangkan, kabar buruk datang dari arah yang paling tidak diharapkan: Gunungsari, ayah Ragil, terjatuh saat menurunkan gulungan besi di kios. Patah tulang pinggul, harus operasi. Cashflow keluarga yang selama ini sehat, mendadak memiliki lubang. Ragil, yang terbiasa menalangi beasiswa barista dari laba toko kue, kini dihantam pilihan: menunda beasiswa atau mencari jalur baru.

Malam itu, Ragil duduk di dapur. Sekarjati membuat wedang jahe, asapnya seperti kabut yang hendak dipahami. “Kalau kamu ingin naik, naiklah bersama orang lain,” suara ayah menggema di benaknya, tetapi kali ini seperti datang dari ujung jembatan yang jauh. Ia menatap tumpukan pesanan kue, memandang layar gawai yang berisi invoice proyek penelitian jembatan kaca, dan chat anak-anak penerima beasiswa yang menanyakan apakah kelas akhir pekan tetap ada.

Ia memutuskan sebuah hal yang tak pernah ia lakukan: meminta tolong. Ragil menulis pesan ke grup pertemuan kampung: “Teman-teman, saya butuh back-up kelas minggu ini. Ayah saya operasi. Siapa yang bisa menggantikan saya mendampingi ‘Kelas Baca Rambu’ dan ‘Kelas Dokumenter’?”

Satu per satu, nama muncul. Panji mengatur jadwal, Klana mengirim foto logbook perawatan untuk materi, Nyi Jati menawarkan ruang tamu untuk rapat, pemilik kanal gosip wisata—yang kini memperkenalkan diri sebagai Rimba—mengajak followers-nya datang ke kelas bukan untuk heboh, tapi untuk belajar. “Jangan khawatir,” tulisnya di story, “kali ini kita ikut menguruni.”

Operasi berjalan lancar. Gunungsari pulang dengan tongkat, melempar senyum geli kepada cucunya yang—dengan serius—mencoba menirukan jalannya. Di ruang keluarga, Ragil membantu ayah melakukan fisioterapi sederhana sambil bercerita tentang jembatan kaca, tentang jalur sunyi yang kini menjadi magnet bagi orang-orang yang ingin berdoa di tengah turisme, tentang kelas baca rambu yang mempersingkat antrian marah. Gunungsari mendengarkan, matanya berair. “Kamu naik bersama orang lain,” katanya. “Ayah lihat itu.”

.

Seperti semua kota yang hidup, Malang belajar memberi dan menerima musim. Pada bulan ketiga program, angka-angka di buku Ragil membentuk pola baru. Pasar Warga Pagi mendorong omzet pedagang kecil naik 22%. Jalur Sunyi berimbas pada menurunnya komplain kebisingan 38%. Kelas Baca Rambu menekan insiden kecil—selip, sandal rusak, kamera jatuh—hingga setengahnya. Di saat bersamaan, jumlah konten “seram-seram” menurun, berganti vlog yang menunjukkan sisi belakang layar: baut, kaca, manusia.

Namun tak ada grafik tanpa anomali. Pada liburan panjang, jalan macet parah; sopir-sopir ojek daring protes karena jalur pick up berantakan. Rapat darurat digelar, dan keputusan pahit diambil: kuota harian pengunjung dipotong 15% pada jam padat, jalur ojek diberi marka klarifikasi, dan area drop-off dipindah sejauh 200 meter dengan papan rute pejalan kaki. Ada yang marah; ada yang lega. Di malam itu, Ragil kembali menulis kalimat yang menjadi tulang punggung semua proses: “Mereka yang tidak ikut mengaduk, mari kita ajak menyentuh tepung.”

Sebuah sore yang lembut, Ragil menuntun ayahnya berjalan di jembatan kaca. Pegangan logam dingin, kaca di bawah bening seperti air yang dibekukan. Dari sini, kota tampak kecil seperti mainan, tapi suara kehidupan menembus: klakson jauh, tawa dekat, seruput teh di kios.

“Takut?” tanya Ragil.

Gunungsari tertawa, tertelan angin. “Takut itu wajar. Bedanya, kita datang, bertanya, memeriksa, lalu melangkah. Bukan berteriak dari kejauhan.”

Mereka berhenti di zona tengah, di cekungan kaca yang memantulkan langit lengkap dengan pekat awan. Ragil memejamkan mata. Ia teringat kepada dirinya sendiri yang dahulu merasa cukup dengan pekerjaan yang rapi: mengajar, berbisnis, menulis laporan. Ternyata hidup memintanya menambah satu hal yang tak tercantum di job description: duduk bersama, menunggu yang lain selesai bicara, menimbang, lalu mengaduk.

.

Pada suatu Sabtu, program “Jembatan yang Mengajar” menggelar kelas spesial: Dokumenter Warga. Pesertanya campur: anak SMA, pedagang ronde, pemandu wisata, sopir ojek, mahasiswa arsitektur, juga Rimba dengan kameranya yang kini tak meledak-ledak. Mereka diminta memproduksi kisah 3 menit tentang satu sosok di sekitar jembatan. Ragil memilih mengikuti Sekarjati, ibunya, yang kini menolong di Pasar Warga Pagi: mengajari ibu-ibu lain menata stan, mencatat stok, menukar cerita resep.

Kamera merekam tangan Sekarjati merapikan rengginang, meraba permukaan kaca toples, menyeka uap dari termos teh. Wajahnya sederhana—seperti halaman rumah yang tak pernah menutup pintu untuk angin. “Dulu aku malu dagang di tempat ramai,” katanya di depan lensa. “Orang-orang kota tampak cepat; aku lambat. Tapi kalau lambat tidak apa-apa, asal tidak malas. Kalau tidak ikut membuat, tidak usah menjelekkan. Kalau sudah terlibat, menegur itu tanda sayang.”

Ketika dokumenter-dokumenter warga diputar, aula kecil meledak oleh tawa dan basah mata. Kisah seorang sopir yang menahan mobil saat remnya blong, cerita anak SMA yang menenangkan wisatawan cilik yang menangis, potret pedagang yang belajar menolak plastik sekali pakai. Di layar, jembatan kaca tidak lagi menjadi ikon yang jauh; ia menjadi ruang tengah rumah kota, tempat orang belajar mengatur nada.

Pada penutupan, Ragil membacakan catatan kecilnya:

“Kita selalu punya pilihan untuk melihat dari kaca atau menatap menembus kaca. Dari kejauhan, semua tampak seperti ilusi—rapuh, mengerikan, menyebalkan. Dari dekat, kita melihat tangan-tangan mengencangkan baut, membaca rambu, menurunkan volume. Dari dekat, kritik punya alamat. Dari dekat, cinta punya pekerjaan.”

Lalu ia menambahkan, pelan namun jelas:

“Ora melu nguruni, ora usah nyacati.”
“Kalau belum ikut mengaduk, jangan paling dulu mencela.”

Orang-orang berdiri, tepuk tangan memantul di dinding.

.

Sebulan setelahnya, sebuah undangan datang dari Jakarta: Ragil diminta mempresentasikan “Jembatan yang Mengajar” dalam forum lintas kota tentang pariwisata berkesadaran. Di gedung kaca di Kuningan—kaca lain, ketinggian lain—Ragil membuka presentasi dengan foto-foto yang tidak dramatis: logbook perawatan, papan rambu, takar sendok untuk gula wedang, wajah-wajah yang tidak bersolek untuk kamera. Ia bercerita tentang kota yang memilih konten paling sederhana: mendengarkan.

Usai sesi, seorang peserta—pengusaha co-living—menghampiri. “Cerita Anda mengubah cara saya menilai,” katanya. “Saya biasanya tergoda percaya yang paling gaduh. Sekarang saya ingin cari siapa yang memelihara baut.”

Ragil tersenyum. “Kalau Bapak tidak sempat mengaduk, cukup percaya pada yang mengaduk. Kalau sempat, mari turun ke dapur.”

Malamnya, di kamar hotel yang sunyi, Ragil membuka pesan dari Panji: foto ayahnya duduk di bangku jembatan, tongkat sandar di paha, wajahnya menghadap matahari sore. “Gunungsari bilang, kalau kamu ingin naik, naiklah bersama orang lain. Kita semua membaca itu hari ini.” Ragil menutup ponsel, memejamkan mata. Di dalam kelelahan, ia merasa kota memeluknya seperti kaca yang menahan langkah, bukan untuk memamerkan ketinggian, melainkan untuk mengajari cara menatap ke bawah tanpa jatuh ke dalam kesombongan.

.

Beberapa tahun kemudian, jembatan kaca itu mungkin akan tergeser oleh ikon baru. Begitulah kota: selalu bergerak, selalu ingin nama lain. Tapi yang tinggal tak pernah sekadar bangunan. Yang tinggal adalah cara orang-orang duduk, cara suara turun volumenya saat jam Jalur Sunyi, cara anak-anak menunjuk papan rambu dan mengeja angka-angkanya, cara pedagang menukar resah menjadi resep.

Di hari baik yang tak diiklankan, Ragil berjalan sendirian melintasi jembatan. Ia menyentuh pegangan logam yang dinginnya ramah. Kabut menggulung dari lembah, menuliskan kalimat yang tak akan pernah selesai. Di tengah, ia berhenti, membayangkan seluruh proses seperti adonan besar yang terus diaduk: kota, kerja, cinta, kritik, laba, doa. Ia tersenyum, lalu membisikkan kalimat yang sejak awal adalah sumbu dari semuanya:

“Kita bukan mencari yang menang; kita mencari yang menolong.”

Dan angin membalas dengan lembut, menabur ulang pepatah lama ke udara modern: ora melu nguruni, ora usah nyacati—tak ikut mengaduk, jangan paling dulu mencela.

.

.

.

Malang, 10 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #MalangBatu #JembatanKaca #EkonomiPengalaman #UMKM #KepemimpinanWarga #EtikaDigital #JalurSunyi #BudayaJawa #RagilKuning

.

Quotes dari cerita

  • “Kita selalu punya pilihan untuk melihat dari kaca atau menatap menembus kaca.”

  • “Kalau belum ikut mengaduk, jangan paling dulu mencela—ora melu nguruni, ora usah nyacati.”

  • “Kalau kamu ingin naik, naiklah bersama orang lain.”

  • “Dari dekat, kritik punya alamat. Dari dekat, cinta punya pekerjaan.”

Leave a Reply