Memaafkan Tanpa Membuka Pintu
“Jangan memelihara ular yang sudah pernah menggigitmu.
Kulitnya mungkin berganti, tetapi bisanya tetap sama.”
.
Aku bertemu Jaya Engrana pertama kali di sebuah kafe di bilangan Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Udara sore diserap tirai rami, kopi single origin menebar aroma tenang, dan di meja depan, seorang lelaki berkepala dingin sedang memeriksa arsitektur angka di layar tablet: proyeksi cash flow delapan belas bulan, turunan EBITDA tiga skenario, dan deretan nama vendor yang seperti parade bendera dalam perang kecil bernama bisnis. Di tepi tablet, ada buku catatan bersampul kain batik warna tanah—di punggungnya tertulis: “Retna.”
“Nama anak?” tanyaku.
Jaya tersenyum miring. “Nama yang menyelamatkan.”
Ia menutup tablet, menyalakan sinyal hening di antara kami, lalu bercerita—tentang kota yang dibentuk oleh teras rumah yang rapi, sekolah internasional, kursus coding untuk anak-anak, dan brunch pada hari Minggu; tentang para pemilik karier mapan yang menyulap garasi menjadi studio konten, ruang tamu menjadi ruang rapat, dan kopi menjadi mata uang kesabaran. Ini adalah dunia kelas menengah ke atas di perkotaan Indonesia: percaya pada jadwal, pada progres report, pada rating sekolah, pada pilot project investasi. Keindahan dan jebakannya menyaru menjadi satu.
Kisah Jaya dimulai di Surabaya. Putra sulung keluarga Engrana, pemilik beberapa ruko dan sebuah perusahaan distribusi bahan pangan premium, Jaya tumbuh bersama sepupunya, Umar Maya. Dari SD sampai kuliah, mereka seperti dua sisi uang yang sama: Jaya tenang, Umar cekatan; Jaya menunggu data, Umar mengejar peluang seperti kucing mengejar sinar laser. Saat Jaya lulus dari kampus bisnis di Bandung lalu mengambil sertifikasi manajemen perhotelan, Umar–yang berhenti kuliah di semester akhir–menjalankan e-commerce daging premium dari freezer bekas di rumah nenek. Akun Instagramnya meledak; unggahan plating steak dan unboxing bumbu herb mengumpulkan ribuan komentar. Nama Umar melambung sebagai pengusaha muda. Mereka berdua—kembar yang tak pernah terlahir—memutuskan melebur dalam satu perusahaan.
Merek yang mereka bangun, Retna Gourmet, dinamai oleh Jaya—katanya terinspirasi tokoh dari kisah-kisah Menak yang gagah namun lembut. Retna Gourmet menjual makanan rumahan rasa hotel, katering sehat korporasi, dan coffee cart untuk event—disain logonya sederhana, garisnya bersih, warnanya percaya diri. Dalam setahun, mereka mendapat kontrak katering untuk dua perusahaan multinasional, membuka dapur satelit di Jakarta, dan menutup tahun dengan margin mengejutkan.
Namun kota besar jarang memelihara persaudaraan tanpa syarat. Pada awal 2020, ketika dunia terguncang, Umar—yang gemar menambah risiko—mengajak Jaya membuka lini bisnis baru: tiny-house staycation di halaman belakang klien-klien kaya. “Orang tak bisa pergi jauh; kita bawa liburan ke rumah mereka,” katanya. Jaya ragu. Ia mengusulkan uji coba kecil, audit izin, dan membaca Perda. Umar memilih bergegas: memborong tiga kontainer bekas, menyewa arsitek muda, menggandeng micro-influencer, dan menandatangani MoU dengan sebuah brand furnitur. Retna Gourmet, yang awalnya bermain aman di ranah konsumsi, kini bertualang di properti kecil-kecilan.
Pada kuartal pertama, omzet memang naik; feed Instagram mereka jadi museum gaya hidup. Tetapi di kuartal berikutnya, pengaduan datang: tetangga yang terganggu, izin lingkungan yang belum lengkap, vendor yang belum dibayar karena rotasi kas tersendat. Dari sinilah serpihan-serpihan kecil kesalahan berubah menjadi pecahan kaca. Umar, merasa reputasinya harus dijaga, menyalahkan akuntansi. Ia menuduh CFO—yang merupakan sahabat Jaya—mendistorsi laporan. Jaya menolak tuduhan itu. Mereka bertengkar pada suatu malam di gudang—di antara kardus-kardus tisu gulung dan stok daging beku.
“Aku ini Jayengrana,” kata Umar, setengah bercanda dengan menyebut namanya sendiri. “Prajurit yang menaklukkan. Aku lahir untuk menekan pedal gas.”
“Tanpa rem, pedal gas hanya jalan menuju jurang,” sahut Jaya.
Kata-kata itu, yang terdengar seperti untaian dari naskah wayang madya, membelah keduanya. Esoknya, Umar memindahkan sebagian dana dari rekening operasional ke akun pribadi—katanya untuk emergensi vendor. Dua minggu sesudahnya, sebuah berita bersponsor tersiar: “Retna Gourmet dalam Sengketa Internal; Jaya Engrana Diduga Memanipulasi Anggaran.” Jurnalisnya menerima screenshoot laporan yang diubah; narasumber anonim memberi detail yang seolah akurat. Sekali lagi, ini kota. Kebenaran memerlukan argumen; sensasi cukup satu unggahan.
Jaya tak melawan di media. Ia memilih bersidang di ruang 3B Pengadilan Niaga. Ia memilih bicara pada auditor, lalu pada hakim, lalu pada tim kecil yang masih percaya padanya. Di tengah badai, hanya orang-orang tertentu yang memilih duduk di sampingmu. Retna—yang bukan anak Jaya, melainkan karyawan senior bagian kualitas, perempuan kelahiran Jember, lulusan Polteknik Pariwisata—adalah salah satunya. Retna menyiapkan air putih di meja rapat, menyusun berkas kronologis, mengingatkan Jaya mengalah saat marah, dan menutup pintu supaya suara mereka tidak jadi bahan gosip staf. “Yang penting, yang benar kembali ke tempatnya,” katanya, satu malam ketika lampu kantor sengaja dimatikan agar hemat listrik.
Di akhir sidang, jaksa menyerahkan bukti transfer yang tak sinkron dengan faktur; pengacara Jaya menunjukkan log perubahan Excel yang diunggah lewat remote desktop dari akun Umar. Hakim mengetuk palu: penggelapan dana oleh Umar, bukan Jaya. Namun putusan hukum jarang menyembuhkan reputasi yang sudah dibelah. Kontrak korporasi terhenti. Tiny-house dibongkar. Mitra vendor memilih jarak aman. Jaya kehilangan 40 persen pelanggan dalam dua bulan. Ia menjual dua mobil, menyewakan rumah ke ekspatriat, dan kembali bekerja dengan skala kecil.
Lalu, pada suatu dini hari, ibunya—Saraswati—menggigil di ruang tamu, menatap foto keluarga di dinding. “Kalau nanti Umar kembali, kamu maafkan.” Kalimat itu bukan perintah, melainkan doa yang kelelahan. Jaya diam. Di sudut lain, Retna menatapnya—mata yang tanpa tuntutan, hanya cermin yang mengembalikan wajah Jaya apa adanya.
Mereka memutuskan pindah ke Jember. Retna menawarkan: di kota itu, ada lahan kosong bekas gudang tembakau; kita bisa mengubahnya jadi studio produksi makanan sehat, melayani pesanan hotel dan instansi lokal. “Jember bukan pinggiran, Jay,” katanya saat mobil mereka melintasi garis pantai Papuma. “Ia adalah jeda yang mengembalikan ritme.”
Studio itu diberi nama “Larasati Kitchen”—masih sebaris dari dunia Menak dan panji-panji yang tumbuh dalam cerita rakyat. Jaya menerapkan sistem HACCP; Retna menulis SOP, mengatur shift, melatih staf. Mereka bermitra dengan beberapa UMKM: roastery kopi, kebun sayur organik, produsen rempah. Segala sesuatunya kecil namun rapi; tak ada yang heroik selain konsistensi. Pada malam-malam tertentu, Jaya naik ke atap, memandang bintang menempel di punggung gunung, merasakan sunyi yang tak pernah ada di Jakarta.
Dari Jember, nasib mengikuti mereka seperti angin meneruskan bau hujan. Seorang sahabat lama, Kelaswara, yang menjadi kepala komunikasi sebuah hotel, mengajak kolaborasi: memasok makan siang sehat untuk staf front office dan housekeeping. Seminggu kemudian, seorang kepala sekolah memesan 200 porsi untuk acara kelulusan. Perlahan, uang kembali menjadi alat, bukan juragan. Mereka mempekerjakan ibu-ibu yang suaminya kehilangan pekerjaan, memberikan beasiswa untuk dua anak karyawan, dan membuka kelas sabtu untuk remaja tentang keamanan pangan, public speaking, dan content creation—juga tentang bersikap rendah hati ketika brand mulai dikenal orang.
Tahun berganti. Pada pagi yang langitnya setengah abu, sebuah pesan masuk ke ponsel Jaya: “Aku di Jember, pingin ketemu. Umar.” Diikuti foto lobi hotel sederhana dan sebuah emoji jempol yang terasa ingin memimpin lagi. Jaya menatap nama itu seperti menatap bekas luka yang sudah rata: tidak sakit, tapi kulitnya tetap berbeda.
“Temui,” kata ibunya via telepon, suara lirih menyulam jarak. “Kalau bukan demi dia, lakukan demi hati ibu.”
Retna tak menambah apa-apa. Ia meletakkan cangkir teh di meja dan menunggu.
Siang itu, Umar datang dengan kemeja linen; jam tangan barunya menyala seperti testimoni yang belum dicari. Mereka duduk di balkon kafe menghadap kebun mangga. Bayang-bayang berjalan di pipi Umar ketika ia mulai bercerita: bisnisnya runtuh, investornya menarik diri, reputasinya berubah jadi kertas gosok yang mengikis persahabatan; ia mencari kerja di kota-kota, tetapi di era digital, nama adalah jejak yang tak bisa disapu.
“Aku salah,” katanya. “Aku kehancuran yang kubangun sendiri.”
Jaya menatapnya: ada sesuatu yang mirip dengan dirinya sendiri ketika dulu menutup lampu kantor; sesuatu yang rapuh. Namun di bawah itu, Jaya menangkap kilau yang pernah ia hapal: kecakapan mengubah kata. “Apa yang kamu mau, Mar?”
“Kesempatan. Kita mulai lagi. Retna Gourmet 2.0. Aku punya channel—orang-orang yang dulu menutup pintu akan kubuka lagi.”
Retna menghela napas kecil. “Satu-satunya hal yang lebih sukar dari membangun ialah menjaga.”
Umar menoleh cepat. “Aku paham. Aku akan ikut aturan.”
Jaya memasukkan telunjuk ke dalam cangkir—kebiasaan lamanya—memeriksa suhu kata-kata. Di kepalanya, ia memutar ulang sidang, berita bersponsor, tatap mata ibunya, dan wajah-wajah karyawan yang bergantung pada jadwal gaji. Di belakang semua itu, ada kutipan yang ia tempel di dinding dapur: “Jangan memelihara ular yang sudah pernah menggigitmu.”
“Kau kukenal lebih dari separuh hidupku,” kata Jaya pelan. “Kau keluarga. Keluarga itu bukan tiket masuk tanpa pemeriksaan. Keluarga berarti aku ingin kau selamat. Dan keselamatanmu hari ini mungkin berarti tidak bersamaku dalam urusan uang.”
Umar tersenyum pahit. “Jadi ini penolakan.”
“Ini perlindungan,” sahut Jaya. “Untuk semua orang.”
Hening turun. Angin memindahkan daun. Di kejauhan, suara azan mengambang seperti pintu yang dibuka dengan sopan. Umar bangkit, merapikan kemeja. “Baik,” katanya, “setidaknya aku sudah mencoba.” Ia berjalan meninggalkan balkon, sosok yang tiba-tiba menjadi sangat ringan.
Ketika malam tiba, Jaya dan Retna duduk di atap studio. Kota tampak seperti peta bintang yang diubah menjadi lampu jalan. “Apa aku jahat?” tanya Jaya.
Retna menggeleng. “Kau hanya memilih tidak menoleh ke belakang sampai lehermu patah.”
“Aku takut jadi orang yang pahit.”
“Kau bukan pahit,” katanya, “kau matang. Pahit itu hanya rasa; matang itu keputusan.”
Mereka diam lama. Kemudian Retna menceritakan satu hal tentang dirinya yang belum pernah ia bagi: betapa di masa remaja, ayahnya sempat pergi dan kembali dengan janji—dan ibunya mengizinkan—dan rumah mereka kembali pecah karena janji yang sama. “Sejak itu aku mohon pada diriku sendiri,” bisiknya, “jangan kau ulangi jerat yang membuat ibumu lupa pada dirinya.”
Esoknya, Jaya mengumpulkan tim di ruang produksi. Ia menceritakan kedatangan Umar tanpa menyebut luka; ia hanya menegaskan prosedur: tidak ada kerja sama, tidak ada akses ke keuangan, tetapi jika Umar datang sebagai pelanggan, layani seperti pelanggan lain. “Kita memaafkan,” katanya, “agar hati bekerja tanpa beban. Kita tidak membuka pintu yang kemarin dipakai untuk merampok.”
Pada sebuah akhir pekan, Larasati Kitchen mengadakan pasar kecil di halaman. Ada live music akustik, stan kopi, sudut baca buku bekas, dan workshop plating untuk remaja. Anak-anak berlarian, orang tua memotret. Di sudut bangku, Umar berdiri—sendirian, seperti seorang penonton yang terlambat. Ia mengangkat tangan, Jaya membalas, dan tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Sebuah bab telah ditutup; bukan dengan bunyi palu, melainkan dengan keberanian berjalan terus.
.
Di Jakarta, kabar bergerak seperti getaran yang mencari tulang. Seorang jurnalis yang dulu menulis berita bersponsor menghubungi Jaya: meminta maaf, menawarkan cerita baru tentang “bisnis yang bangkit dari krisis.” Jaya menolak jadi narasumber hero. “Tulis tentang ibu-ibu yang bekerja di sini,” katanya. “Tulis tentang anak magang yang membayar kuliah dari honor videografis. Namaku tak penting.” Jurnalis itu terkejut, lalu tersenyum, lalu menulis. Artikel itu tayang dan diam-diam dibagikan di grup-grup WhatsApp kantor. Nama Larasati Kitchen menjejak tanpa gembar-gembor.
Musim hujan datang. Saat satu batch sajian harus diantar ke rumah sakit pada tengah malam, Retna mengikat rambutnya, menarik jaket, dan ikut mengantar. Di gerbang UGD, hujan benar-benar turun seperti suara tepuk tangan yang jujur. Seorang perawat muda memegang boks makanan, mengucap terima kasih. “Kami belajar dari dapur kalian,” katanya. “Tentang rapi dan sabar.”
Dalam perjalanan pulang, Jaya menepi di jembatan kecil atas sungai yang gelap. “Apa yang kita lakukan ini kecil sekali,” gumamnya.
“Justru karena kecil,” jawab Retna, “ia muat untuk ditukar menjadi berkah. Yang besar seringkali hanya memuat pamer.”
Jaya mengangguk. Ia menggenggam tangan Retna, merasakan kehangatan yang berbeda dari api unggun publisitas. Di luar, kota kembali menutup mata. Di dalam, mereka membuka yang selama ini sulit dibuka: sebuah keluarga baru yang tidak lahir dari nasab, melainkan dari tanggung jawab dan tangan yang saling menggenggam saat badai datang.
.
Suatu hari, di grup keluarga besar Engrana, Umar mengirim foto: ia membuka kios kecil bernama “Warung Jayengrana”—menjual bubur ayam, telur setengah matang, teh tarik. “Maaf, Jay,” tulisnya di bawah foto. “Aku pinjam namaku yang dulu kupuja. Boleh, kan?”
Jaya mengetik pelan: Semoga laris. Jaga kebersihan. Jangan utang dulu. Lalu ia menutup ponsel, tersenyum, dan menyiapkan daftar belanja sayur besok. Di ruang dapur, ibunya, Saraswati—yang datang ke Jember untuk beberapa minggu—mengupas bawang sambil menggumamkan kidung lama. Ia menatap putranya, dan dalam tatapan itu, Jaya tahu: memaafkan bukan berarti memanggil kembali; mengasihi bukan berarti membiarkan ular tidur di ranjang yang sama.
Pada dinding studio, kutipan itu tetap menempel. Bukan untuk Umar semata, juga bukan untuk dunia yang kerap menguji. Kutipan itu untuk Jaya sendiri—agar ia ingat: setia pada batas adalah bentuk tertinggi dari kasih sayang pada hidup yang ia pilih.
Akhir pekan berikutnya, Larasati Kitchen mengirim pesanan sarapan untuk konferensi pendidikan di sebuah hotel kota. Ada ratusan anak muda berkumpul, membahas masa depan kota: pendidikan vokasi, digital hospitality, dan etika kerja. Jaya diminta berbicara lima menit. Ia berdiri di panggung kecil, lampu sorot seperti mata yang tak berkedip.
“Belajarlah sebanyak mungkin,” katanya. “Tetapi jangan lupa, kedewasaan bukan hanya tentang kemampuan memeluk semua orang—melainkan juga tentang keberanian menjaga jarak dari yang berusaha meruntuhkanmu. Kita tidak perlu membenci untuk bisa menutup pintu. Kita hanya perlu ingat siapa yang duduk di samping kita ketika lampu padam.”
Aula hening, lalu hangat oleh tepuk tangan. Di baris depan, Retna tersenyum. Di sampingnya, Saraswati berdiri—kebaya biru yang dijahitnya sendiri tampak seperti langit yang merestui. Mereka bertiga tidak merayakan kemenangan, melainkan keberlanjutan: pagi-pagi berikutnya yang menuntut daftar belanja, jadwal produksi, dan catatan kecil di punggung buku kain batik warna tanah: “Jangan lengah pada hal-hal kecil. Kebahagiaan dan bencana lahir dari celah ukuran jarum.”
Dan Jakarta, Surabaya, Jember—tiga kota yang pernah menjadi panggung—berhenti berdebat di kepala Jaya. Ia mengerti kini: yang kita jaga bukan sekadar nama, melainkan hati yang bekerja. Dan hati yang bekerja tahu kapan memaafkan, kapan menutup pintu, dan kapan berjalan lebih jauh tanpa menoleh.
.
.
.
Malang, 9 Oktober 2025
.
.
#CerpenMinggu #SastraIndonesia #KelasMenengah #UrbanStory #BisnisKeluarga #Hospitality #Jember #Jakarta #BatasSehat #MaafTanpaKembali