Ketika Kapal-kapal Berputar Haluan

“Damai sering lahir bukan ketika kita menang berdebat, melainkan saat kita berhenti memaksa dipahami dan memilih berjalan dengan langkah yang jernih.”

.

Pagi itu dermaga Tanjung Perak seperti layar kargo raksasa yang baru dibersihkan hujan. Jokotole berdiri di tepi beton yang lembap, menatap kontainer-kontainer warna tanah liat diangkat satu per satu seperti ingatan yang akhirnya berani disusun ulang. Di ponselnya, notifikasi rapat dari Pragalba—rekan bisnisnya—bergerak cepat, menuntut jawaban yang sama cepatnya. Namun Jokotole hanya menggeser layar, mengunci ponsel, lalu memejamkan mata.

Ia masih sama, pikirnya. Hanya saja, kali ini ia memilih tenang. Bukan karena sudah kebal, tetapi karena tidak ingin lagi menjadi versi yang memaksa hadir di tempat yang tak menghargainya.

Suara peluit panjang memecah udara. Seekor camar melintas rendah, menyambar sisa roti yang dilemparkan seorang kuli. Di kejauhan, kapal kargo dengan lambung hitam bermotif huruf-huruf asing berputar haluan, seolah mencontohi keputusan di kepalanya: berbalik bukan berarti kalah, kadang hanya cara lain menuju alamat yang semestinya.


Jokotole bukan nama yang asing di lingkaran kelas menengah kota. Lulusan teknik industri yang sempat menempuh S2 manajemen di Singapura, ia kembali ke Surabaya dengan koper penuh rencana. Ayahnya, Wirabrata, pensiunan bankir yang beralih menjadi konsultan investasi properti, selalu berkata, “Kota ini cepat lelah, To. Tapi yang mampu menakar lelahnya justru bisa membaca peluang.”

Mulanya Jokotole bekerja sebagai analis rantai pasok di perusahaan logistik multinasional. Gajinya memadai; bonus tahunan cukup untuk mencicil apartemen di pusat kota dan memberi ongkos sekolah adiknya, Retno, yang menempuh arsitektur di Bandung. Tapi pada suatu malam di rooftop, sambil memegang cangkir kopi yang mulai dingin, ia mengakui pada Rengganis—kekasih yang kelak menjadi istrinya—bahwa hidupnya terasa seperti gudang berisi kotak-kotak tertata rapi, tanpa kejutan. “Aku ingin membuka kafe roastery sendiri,” katanya. “Sederhana saja, tempat orang bisa beristirahat dari ambisi.”

Rengganis menatapnya lama. Perempuan itu berasal dari keluarga pengusaha batik kontemporer; terdidik, luwes, dengan kepekaan yang membuat orang-orang percaya curhatnya aman. “Kau tidak lari dari apapun, kan?” tanyanya.

“Tidak,” jawab Jokotole. “Aku justru ingin berhenti berlari.”

Setahun berselang, mereka membuka “Lumbung Kopi” di kawasan Rungkut—sebuah ruang bertembok bata, dindingnya dihiasi foto-foto hitam putih madrasah tua dan pasar ikan, menautkan masa lalu dengan hari ini. Di pagi hari, kafe itu menjadi kantor tanpa bilik: mahasiswa menulis skripsi, pekerja kreatif membuka layar-layar berlapis, para ibu selesai pilates memesan oat latte. Di sore hari, pebisnis properti bertemu broker, dan malamnya, pekerja shift lelah memesan minuman termurah sembari tertawa kecil, seolah menertawakan capek yang tidak punya jam pulang.

Lumbung Kopi bertumbuh. Dibuka cabang di Manyar, lalu Citraland. Jokotole mengajak Pragalba—teman semasa kuliah yang lincah berhitung dan lihai membaca selera Instagram—masuk sebagai partner. Mereka menyusun rencana ekspansi seperti menyusun peta maritim: arus uang, arah brand, solusi logistik. Di meja-meja rapat, angka bertaburan seperti bintang. Tak lama, sebuah perusahaan modal ventura lokal, Adikara Capital, menawarkan pendanaan seri A. Jumlahnya menggiurkan, dengan syarat: 40% saham dialihkan, dan manajemen diperketat.

“Ini tiket kita jadi jaringan nasional,” kata Pragalba penuh api. “Bayangkan tiga puluh outlet dalam dua tahun.”

Jokotole menatap Rengganis. Ia teringat kata-kata ayah: peluang memang gemar menyamar sebagai adu cepat. “Kita bisa,” ujar Jokotole, “asalkan visi tak berubah: kopi sebagai jeda, bukan lomba.”

“Visi itu nanti mengikuti,” potong Pragalba. “Yang penting skala.”

Mereka menerima pendanaan itu. Dan seperti sebagian besar kisah urban yang tergesa, skala membawa serta hal-hal yang tak diprediksi. Direksi baru mendudukkan seorang operation head lulusan perusahaan waralaba internasional; semua harus distandardisasi: detik menggiling, gramasi syrup, juga intonasi menyapa. Nilai-nilai lama—keleluasaan barista meracik varian hari ini, jam khusus membaca puisi setiap Jumat—ditimang-timang sebagai “biaya kesempatan”.

“Kalau mau besar, sentimentalitas harus ditaruh di rak belakang,” ujar operation head pada suatu rapat. Pragalba mengangguk. Jokotole diam, seperti kapal menahan jangkar.

Rengganis melihat kegelisahan itu. Di rumah, ia sedang membangun studio kecil untuk bisnis batiknya, “Renggani”. Ia memilih kain dari perajin Tanjungbumi, memadukan motif parang dengan garis-garis minimalis. “Kita boleh modern,” katanya suatu malam, “tapi jangan sampai lupa berterima kasih pada tangan yang mewarnai kain.”

Jokotole tersenyum. “Aku senang kamu tidak berubah.”

“Aku tetap berubah,” balas Rengganis. “Hanya saja, semoga tidak lupa pulang.”

.

Puncak ketegangannya terjadi ketika Adikara mendorong strategi baru: kolaborasi dengan startup edutech untuk membuat “barista academy”—program singkat berbayar yang membekali anak muda keahlian kopi dan soft skill kerja. Di atas kertas, ide itu baik: memberi akses pendidikan praktis, memperluas brand, sekaligus membuka aliran pendapatan. Tapi di rapat perdana, Jokotole mendengar angka yang membuat tengkuknya panas: “Modul premium” dipatok mahal, dengan target lulus cepat untuk menutup biaya operasional. Materi budaya kopi lokal dipangkas, diganti paket motivasi produksi: “Berpikir seperti unicorn”, “Produktivitas tanpa drama”.

“Anak-anak ini bukan mesin,” bisik Jokotole seusai presentasi.

“Kita menyediakan jalan,” sahut Pragalba. “Kalau mereka mau berjalan cepat, itu pilihan mereka.”

Rapat berakhir dengan notulen yang memaksa: kurikulum harus siap sebulan lagi, pendaftaran dibuka serentak di tiga kota. Jokotole pulang dengan langkah berat. Di apartemen, retakan-retakan kecil di kepalanya menjadi lebih jelas daripada bunyi lift. Ia memandangi Rengganis yang tertidur di sofa, kain-kain motif menutup separuh tubuh, cat tangan masih menodai kuku. Di meja, boks kecil bertuliskan “Tes Kehamilan” mengingatkan bahwa dunia mereka akan bertambah satu.

Ia membuka pintu balkon, membiarkan angin masuk. Di kejauhan, lampu-lampu kontainer bergerak di sepanjang Kalimas. Dan di sana, di antara gemerlap dan gelap, ia merasakan sesuatu yang sederhana: keinginannya untuk melindungi. Bukan brand, bukan reputasi, melainkan ruang yang jujur bagi anaknya kelak, tempat ia bisa tumbuh tanpa disuruh menetap pada skala yang tak ia pahami.

Keesokan pagi, Jokotole mengajukan revisi kurikulum: materi budaya kopi Nusantara dipulihkan, biaya modul disesuaikan dengan skema beasiswa dari laba cabang, kecepatan lulus tidak boleh mengorbankan nilai-nilai keselamatan kerja. “Kita tidak menjual mimpi instan,” tulisnya di catatan. “Kita menjual ketekunan yang manusiawi.”

Notulen rapat kemudian memantulkan sungai lain: Adikara menilai usulan itu “terlalu idealis”; operation head menyebutnya “kurang kompetitif”. Pragalba, yang biasanya menjadi jembatan, kali ini menjadi palu: “Kau terlalu lambat, To. Kita kehilangan momentum.”

Di sinilah sesuatu pecah. Jokotole tidak berteriak. Ia mengangguk, menutup laptop, lalu berkata pelan, “Kalau begini jalannya, barista kita akan menghafal kata ‘quality’ tanpa pernah menyentuh martabat dari kata itu.”

Pragalba mendesah. “Kau selalu ingin dipahami.”

“Aku berhenti memaksa dipahami,” ujar Jokotole. “Aku hanya tak mau berdamai dengan cara menjual yang tak kita percaya.”

Percakapan itu berakhir di dermaga: keputusan untuk mundur dari kursi CEO—tetap memegang saham kecil, tapi melepaskan kendali. Ia memilih menepi.

.

Kota menyambut dengan irama lain saat kita memilih menepi. Jokotole mulai mengajar paruh waktu di politeknik setempat—mata kuliah logistik perkotaan dan etika rantai pasok. Di kelasnya, ia mengganti studi kasus “konversi pelanggan” dengan kisah-kisah pekerja malam yang menimbang upah lembur, sopir truk yang tak pulang lebaran, pengrajin kain yang menunggu musim hujan untuk warna tertentu. “Rantai pasok bukan cuma jalur barang,” katanya kepada mahasiswa. “Ia adalah jalur nasib.”

Selain mengajar, ia dan Rengganis membuat ruang belajar kecil di belakang kafe cabang pertama—yang masih mereka kelola mandiri karena perjanjian lama. Mereka menamainya “Ruang Tenang”: perpustakaan mini, kelas membaca puisi, sesi mentoring karier tanpa biaya. Satu malam setiap bulan, mereka mengundang fotografer pelabuhan berbagi arsip visual, ekonom membahas harga beras, dan barista berpengalaman bercerita tentang menggiling biji sesuai kelembapan udara. Orang-orang datang; beberapa pulang dengan mata lebih lebar daripada saat datang, sebagian lain hanya menikmati roti pisang sambil mengangguk pendek—cukup.

Retno, adiknya, lulus dan kembali dengan portofolio rancangan ruang publik. Ia mengusulkan agar “Ruang Tenang” tidak sekadar ruangan, tetapi sebuah program ke kota: membangun parklet di depan kafe untuk pejalan kaki, menanam pohon ketapang kencana di sisi jalan, bekerja sama dengan RW agar anak-anak membaca buku selepas magrib. “Kita boleh urban,” kata Retno sambil menggambar sketsa, “tapi kita juga harus manusia.”

Di saat yang sama, kabar dari Lumbung Kopi versi baru tersiar: pertumbuhan cepat, pembukaan cabang di Bali, kerja sama dengan influencer. Di balik itu, juga laporan-laporan kecil yang berlarian: beberapa barista resign, kelas “barista academy” ramai tetapi lulusannya bingung mencari posisi yang sesuai janji. Pragalba menelepon sesekali—asing, tapi tidak memusuhi. “Kau baik-baik saja, To?” tanyanya pada suatu malam.

“Aku baik,” jawab Jokotole. “Semoga kau juga.”

Pragalba diam sejenak. “Kau tahu, kadang aku iri pada ketenanganmu.”

Jokotole menatap ke jalan di bawah. Seorang bapak mengepit helm sambil mengantar anaknya kursus musik. “Ketenangan bukan bakat,” katanya. “Ia kebiasaan memilih.”

.

Kabar kehamilan Rengganis makin nyata ketika perutnya membentuk lengkung kecil seperti senyuman. Mereka memotret perjalanan sederhana: baju-baju bayi di gantungan bambu, kain batik yang akan dijahit menjadi selimut, buku-buku parenting dengan judul terlalu ilmiah. Wirabrata, ayah, datang membawa buah dan cerita lama. “Dulu aku juga keras kepala,” katanya di teras. “Pikirku, naik jabatan adalah satu-satunya cara berbakti. Baru kusadari, pulang lebih awal pun bisa bentuk bakti—asal diisi dengan benar.”

Pada sore lain, Jokotole mengajak Rengganis ke dermaga yang sama. Langit memerah, seperti kain yang baru dicelup. Kapal-kapal menunggu anjuran berlabuh. “Aku ingin anak kita tumbuh di kota yang percaya bahwa kecepatan tidak harus menelan kehalusan,” katanya. “Kau pikir aku naif?”

Rengganis menggenggam tangannya. “Naif itu kalau kita menuntut dunia berubah dulu baru kita mau berubah. Kau sudah memilih berubah lebih dulu.”

Seorang penjual rujak cingur lewat, menyodorkan bungkusan. Mereka makan di bangku semen, tertawa saat cabe lebih dari yang dipesan. Di balik tawa, ada lega yang tak mereka ucapkan: mereka tak lagi sibuk membuktikan sesuatu.

Malamnya, Jokotole menulis kalimat di buku catatan—sebuah kebiasaan sejak remaja, saat ia sering menulis catatan kaki untuk dirinya sendiri:

“Kemenangan paling sunyi: berani mengosongkan kursi yang membuatmu berdusta pada dirimu sendiri.”

.

Tahun berganti. “Ruang Tenang” semakin penuh. Mahasiswa dari fakultas ekonomi datang untuk riset tentang kota ramah pejalan kaki; pengusaha kecil meminjam ruang untuk merancang kemasan baru; ibu-ibu mengadakan kelas finansial keluarga. Di salah satu sesi mentoring, seorang pemuda bernama Arya—lulusan “barista academy” versi jaringan besar—datang dengan raut campur aduk. “Bang, aku lulus cepat,” katanya. “Tapi ternyata di lapangan, aku ditempatkan di outlet tanpa pendampingan. Aku merasa sekadar alat.”

Jokotole duduk berhadapan dengannya. “Kau disuruh cepat karena sistem mengejar target. Dirimu bukan target,” ujarnya.

“Aku capek, Bang.”

“Kau boleh diam sebentar,” jawab Jokotole. “Diam bukan berhenti; ia salah satu bentuk belajar.”

Mereka menyiapkan magang tiga bulan untuk Arya: bukan di kasir, tetapi di bagian pemilihan biji, roasting, dan belajar cerita para petani. Di akhir program, Arya memutuskan pulang ke Jember, membuka kios kopi kecil di halaman rumah. Ia mengirim pesan: “Bang, aku bahagia. Mungkin kecil. Tapi hangat.”

Pesan itu Jokotole baca saat mengantar Rengganis kontrol kandungan. Di ruang tunggu klinik, televisi menyiarkan berita tentang “generasi tahan banting” dan “recipe sukses dalam 3 langkah”. Jokotole tersenyum miris. Ia lalu menatap layar USG: ada detak yang kecil, secepat hujan awal musim. Ia merasakan dadanya seperti dermaga: menunggu dan menampung, bukan menghakimi.

“Namanya siapa?” tanya dokter.

“Kalau perempuan, Gagar Mayang,” sahut Rengganis spontan. “Kalau laki-laki, Panji.”

“Panji?” tanya dokter.

“Nama lama,” jawab Jokotole, “tapi rasanya belum lelah.”

.

Beberapa bulan kemudian, badai kecil datang. Adikara Capital mengalami tekanan arus kas. Pemotongan biaya dilakukan; beberapa cabang Lumbung Kopi ditutup cepat. Di media sosial, rumor bergulir seperti banjir kanal; ada yang menyalahkan manajemen baru yang terlalu agresif, ada yang menertawakan idealisme lama. Nama Jokotole disebut-sebut—pujian sekaligus sinisme: “Enak ya bisa mundur tepat waktu.”

Pragalba menelepon dini hari. Suaranya serak. “Kau benar,” katanya tanpa basa-basi. “Kita menekan terlalu keras.”

Jokotole menarik napas. “Benar atau salah bukan intinya, Gal. Kalau kau butuh ruang untuk menata ulang, pintu kafe cabang pertama terbuka.”

Pragalba datang esoknya, duduk di pojok dekat rak buku. Ia tidak seperti CEO yang biasa pidato; kali ini seperti lelaki biasa yang berdamai dengan kepalanya. “Aku ingin belajar ulang,” katanya. “Bukan tentang kopi. Tentang mendengar.”

Rengganis menyuguhkan teh jahe. “Tidak ada yang terlambat,” katanya. “Yang terlambat biasanya hanya ego.”

Di kafe itu, tanpa seremoni, mereka menata ulang definisi ‘berhasil’. Mereka membuat program kecil bernama “Pulih”—kelas pendampingan untuk pekerja F&B yang terdampak PHK: menyusun ulang CV, rute karier, keterampilan lintas fungsi, kebiasaan tidur. Pikiran ‘besar’ kini hadir dalam bentuk ‘dekat’.

Wirabrata menyumbang modul literasi finansial; Retno merancang ruang konseling dengan furnitur sederhana; Arya—yang kini mengelola kios di Jember—kadang datang berbagi cerita via video call. Kota itu perlahan terasa masuk akal: bukan karena semua masalah selesai, tetapi karena orang-orang di dalamnya memberi waktu untuk bernapas.

.

Ketika Gagar Mayang lahir, hujan turun sebentar saja. Bayi itu membuka mata seperti seseorang yang baru saja setuju pada dunia meski belum paham seluruhnya. Jokotole memeluknya, merasakan berat yang ringan. “Selamat datang,” bisiknya. “Kami tidak akan menjanjikan jalan mulus. Tapi kami akan memastikan ada pelukan saat kau tersandung.”

Malam-malam menjadi pendek, tetapi anehnya, hati menjadi lebih panjang. Rengganis menyanyi pelan—lagu-lagu dari kampung, dari radio lama, dari mulut ibunya, dari memori yang menolak punah. Di sela-sela, Jokotole menulis kalimat di catatannya lagi:

“Kita tak bisa menahan orang untuk salah paham; yang bisa kita lakukan adalah tidak ikut salah paham pada diri sendiri.”

Suatu siang, mereka bertiga pergi ke dermaga. Gagar Mayang tertidur di gendongan; angin asin menempel di baju. Kontainer-kontainer bergerak, kapal-kapal menolak diam. Jokotole memandangi papan nama di lambung kapal—huruf-huruf asing yang tampak seperti doa. “Kau ingat?” tanyanya pada Rengganis. “Di tempat ini aku memutuskan untuk menepi.”

Rengganis mengangguk. “Dan menepi mengajari kita cara baru kembali ke tengah.”

“Kau ingin kembali?”

“Bukan kembali,” jawabnya. “Tumbuh.”

Di telapak tangannya, Rengganis menggambar garis-garis kecil seperti peta sungai. “Aku ingin ‘Renggani’ bekerja bersama penenun dari Madura—mendokumentasikan motif-motif yang belum sempat kau tonjolkan di kota. Kita jual lebih mahal, tetapi sebagian keuntungannya kembali ke kampung sebagai perpustakaan kain.”

Jokotole menatap laut yang berkilat. “Kita lakukan perlahan,” katanya. “Tapi mantap.”

Seekor camar kembali melintas, lebih dekat. Kapal kargo di kejauhan berputar, pelan tapi pasti. Dalam putaran itu, Jokotole merasa sesuatu di dalamnya memeluk ulang hidup yang berisik: ia menerima tidak semua orang akan sepakat, tidak semua rencana akan manis, tidak semua kapal akan tiba tepat waktu. Ia menerima juga bahwa dirinya tak harus berubah jadi orang lain untuk pantas.

Ia memandang putrinya yang tidur, lalu berkata pada dirinya sendiri—dan mungkin pada pembaca yang suatu hari menemukan kisah ini:

“Berhenti membuktikan bukan berarti berhenti berjuang. Kadang, justru di situ perjuangan paling jujur dimulai.”

.

Beberapa tahun setelahnya, kota masih dan tetap kota: macet pada jam yang sama, pusat belanja masih mengganti dekor sesuai musim, dan kursus-kursus baru bermunculan dengan janji-janji lama. Lumbung Kopi bertahan di beberapa titik; yang lain berubah nama, ganti kepemilikan. Pragalba memilih mengajar bisnis ritel di universitas negeri. “Aku lebih bahagia sekarang,” katanya pada pertemuan reuni kecil mereka. “Ternyata mengerem juga keterampilan.”

“Tidak semua manusia belajar,” Rengganis menimpali, “tapi semua bisa diajak belajar, asal tak dipaksa.”

Ruang Tenang semakin berjejaring: ada dokter muda yang rutin memberi materi kesehatan mental pekerja; ada guru SMK yang membawa murid-muridnya untuk belajar presentasi; ada perancang aplikasi yang menyediakan fitur donasi data untuk peneliti sosial. Di dinding, di antara foto-foto pelabuhan lama, terpasang kalimat yang ditulis tangan:

“Yang pergi, pergilah. Yang salah paham, silakan. Yang menilai buruk, itu urusan mereka. Kita tetap menumbuhkan yang baik, meski kecil, meski pelan.”

Pada suatu malam purnama, Jokotole duduk di bangku depan kafe. Ia menatap jalan, menghitung orang yang lewat tanpa tujuan selain melewati waktu. Di sampingnya, Gagar Mayang—kini bocah lima tahun—menggambar kapal dengan krayon biru. “Ayah,” katanya tanpa menoleh, “kenapa kapal di gambar adek selalu berputar?”

“Supaya tidak menabrak,” jawab Jokotole.

“Berarti berputar itu baik?”

“Kalau membuatmu selamat, selalu baik.”

Gagar Mayang berhenti menggambar, menatap ayahnya, menghafal jawaban itu entah untuk kapan. Di dada Jokotole, ada sesuatu yang juga berhenti sebentar: rasa cemas yang dulu mendorongnya berlomba tanpa memastikan kaki berpijak. Ia merasakan semacam damai yang tidak menyombongkan diri—damai yang memanggil orang-orang bukan dengan panggung, melainkan dengan ruang.

Dan pada malam itu, di kota yang selalu terburu tapi kadang mau mendengarkan, ia menulis satu kalimat lagi di catatan:

“Kita bisa tetap sama, hanya memilih lebih tenang.”

.

.

.

Malang, 9 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #KotaDanKita #LumbungKopi #RuangTenang #MenakMadura #CeritaUrban #JeffreyWibisonoStyle #KisahKelasMenengah #PilihanTenang

.

Kutipan-kutipan dari cerita

  • “Damai sering lahir bukan ketika kita menang berdebat, melainkan saat kita berhenti memaksa dipahami dan memilih berjalan dengan langkah yang jernih.”

  • “Kemenangan paling sunyi: berani mengosongkan kursi yang membuatmu berdusta pada dirimu sendiri.”

  • “Ketenangan bukan bakat; ia kebiasaan memilih.”

  • “Berhenti membuktikan bukan berarti berhenti berjuang. Kadang, justru di situ perjuangan paling jujur dimulai.”

  • “Kita bisa tetap sama, hanya memilih lebih tenang.”

Leave a Reply