Ketika Lampu Padam Siapa yang Duduk di Sampingmu?

“Orang yang salah sering datang di musim tenang, lalu pergi meninggalkan badai. Tapi orang yang tepat justru tiba di tengah reruntuhan—dan memilih tetap tinggal.”

.

Nama saya Panji. Dulu orang-orang memanggil saya “anak mentari”—bukan karena saya selalu cerah, melainkan karena saya terbit terlalu cepat. Hidupku bergerak seperti kota: lampu menyala sebelum mata terjaga, dan rapat dimulai sebelum kopi sempat mendingin. Di Jakarta, kecepatan adalah mata uang; yang melambat, menjadi korban.

Aku tumbuh di keluarga kelas menengah atas yang percaya pada dua altar: pendidikan dan kerja keras. Ayah mengajar arsitektur; ibu mengelola butik kebaya. Mereka tidak pernah memberi gelar ketika menyebut namaku—cukup Panji, agar aku ingat bahwa selapis identitas paling mewah pun akhirnya kembali pada manusia yang telanjang di depan cermin. Ibu yang sederhana itu suka menaruh kalimat-kalimatnya di kulkas, dalam bentuk catatan kecil. Satu yang paling sering kubaca: “Yang kuat bukan yang paling keras menolak jatuh, melainkan yang paling lembut memeluk dirinya saat jatuh.”

Kalimat itu akan menjadi kompasku, bertahun-tahun kemudian, ketika hidupku terbakar seperti ban belakang sepeda motor di flyover Semanggi.

.

Aku memulai usaha lintas sektor: agensi brand yang menulis kisah untuk perusahaan-perusahaan rintisan; sebuah kedai kopi kecil yang kemudian bermultiplikasi—tiga cabang, lima, tujuh—di sudut-sudut mal premium; dan satu unit properti coliving untuk profesional muda. Di samping itu, aku menjadi dosen tamu di beberapa kampus swasta tentang storytelling bisnis—sejenis hobi yang dibayar, kata orang.

Di lingkaran pertemanan, aku dekat dengan Anggreni, peneliti pendidikan yang senang mengukur hal-hal tak kasat mata: kehangatan guru, kepercayaan diri siswa, dan arti rumah di kepala anak-anak urban. Ada pula Sewandana, rekan dari bangku SMA yang beralih dari dunia musik ke kapital ventura—manusia yang selalu punya alasan menghitung risiko sambil tertawa.

Kami bertiga memanggil diri “komplotan siang hari.” Bertemu di atap gedung selepas makan siang, menjahit masa depan sambil memandangi barisan gedung kaca.

Pada suatu sore, Sewandana memperkenalkan Jingga, investor flamboyan dengan senyum yang memantulkan lampu-lampu gedung. “Ia bisa mempercepat pertumbuhan cabang kopimu jadi dua puluh dalam setahun,” katanya. Jingga memaparkan skema: ekspansi cepat, kampanye digital agresif, sinergi dengan layanan pesan-antar, program saham karyawan. Di papan presentasi, grafiknya menanjak seperti kembang api.

Di lift turun, Anggreni membisiki, “Terlalu cepat itu seperti huruf yang belum kering; gampang luntur.” Aku mengangguk, tetapi angka-angka di kepalaku bersorak. Aku lupa bahwa angka—seterang apa pun—tidak bisa menghalau bayangan.

.

Kami menandatangani kesepakatan. Dana masuk. Mesin gilingan berputar. Barista dilatih. Papan nama baru berkilat. Orang-orang memotret latte art berbentuk sayap. Aku, si anak mentari, semakin cepat. Ibu menelpon menanyakan kabar; aku menjawab singkat, “Tenang, Bu. Semuanya terkendali.” Sejujurnya, hidupku terasa seperti permukaan air di kolam hotel: licin dan memantulkan langit.

Jingga ada di semua layar. Ia memuji tim, memotret tumpukan gelas, menggenggam tangan para pegawai seolah sedang menaklukkan gunung. Di balik itu, perjanjian kecil-kecil muncul: kontrak impor kacang yang harganya membengkak, klausul eksklusivitas digital yang membatasi mitra, serta target penjualan yang menuntut promosi di luar etikaku. Aku membujuk diri: ini hanya transisi.

Suatu malam, pesanan bahan baku kacau. Satu pemasok gagal kirim. Aku menghubungi Jingga; ia tak membalas. Di dashboard, aku melihat skema pembiayaan yang aneh—biaya konsultan “keluarga” Jingga, biaya lisensi merek turunan, biaya seremonial pembukaan cabang yang sebenarnya kami tak pernah hadiri. Aku protes; ia tertawa di telepon, “Panji, ini cara kerja pertumbuhan. Percayalah.”

Sewandana menatapku ragu. “Kalau kamu tarik rem, semua orang akan kaget,” ucapnya. “Tapi kalau dibiarkan, kamu yang hancur.”

Aku memilih menunda rem. Di jalan tol, menunda rem berarti meminjam jarak yang tidak pernah bisa dibayar.

.

Lalu datanglah musim hujan yang panjang. Kondisi makro bergeser: biaya bahan bakar naik, daya beli melambat, dan isu kesehatan publik membuat mal kembali sepi. Cabang-cabangku berdiri seperti patung-patung kesepian. Jingga menghilang dari layar—teleponnya tak bisa dijangkau, surel tak dibalas. Dari tim keuangan, aku mengetahui nomor rekening perusahaan investment-nya berganti nama.

Di kantor pusat, aku berdiri di depan karyawan, mencoba sulit untuk tidak terlihat gemetar. “Kita akan bertahan,” kataku. “Kita tidak akan PHK massal. Kita cari skema kerja fleksibel.” Tetapi di dalam diriku, ada suara yang menjerit: Bagaimana cara mengajar orang berenang, ketika pelatihnya lupa bernapas?

Hari itu, aku pulang ke rumah kosong karena ia yang pernah kucintai—Alina, fotografer perjalanan—memilih pergi. “Kamu seperti hujan buatan,” katanya saat memungut jaket terakhir. “Indah di awal, lembab dan dingin di akhir.” Aku tidak menyalahkannya. Ia menyukai lelaki yang hadir di meja makan, bukan sosok bayangan di layar ponsel.

Aku duduk di lantai, punggung menempel pada kulkas. Di sana, catatan ibu menunggu—bertuliskan spidol hitam, agak luntur: “Ketika kacau, temukan satu hal yang bisa kamu rapikan dengan tanganmu sendiri.”

Esoknya, aku datang sebelum subuh. Menyapu lantai, mengganti bungkus sedotan, mengobrol dengan satpam yang anaknya sakit. Tangan—ternyata—mengingat sesuatu yang kepala lupa: pekerjaan yang mencintai manusia.

Namun, angka tetap kejam. Satu demi satu cabang terpaksa ditutup. Pada hari ketika kami menutup cabang ketujuh—cabang pertama yang dulu kurintis dengan menggadaikan mobil—aku menangis di gudang, di antara kardus sirup dan kardus kopi. Tangisku tidak keras; pelan, seperti orang menahan hujan agar tidak menjatuhkan langit.

.

Kabar kebangkrutanku menyebar lebih cepat daripada promosi bundling menu. Ada pesan masuk dari para “teman”—banyak menanyakan, sedikit membantu, sebagian mengirim link seminar motivasi. Ada juga yang menyebut namaku di pertemuan-pertemuan bisnis sebagai contoh “kegagalan mengelola pertumbuhan.” Aku mematikan notifikasi.

Suatu sore, aku bertemu Rengganis. Ia datang ke kedai terakhir yang masih bertahan, di sudut Pejaten, membawa buku catatan lusuh yang ditutup karet. Kami berteman sejak kuliah; ia pernah menjadi manajer program di LSM pendidikan, lalu beralih mendirikan sekolah kecil yang mengajarkan literasi finansial kepada anak SMA—bukan rumus kaya mendadak, melainkan cara menyusun mimpi yang membayar makan siang.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Rengganis. Nada suaranya seperti gerimis.

“Seperti orang yang masuk lomba lari estafet sendirian, tapi garis finis dipindah-pindah.”

Ia tersenyum kecil. “Kamu selalu jago memilih metafora ketika hidupmu berantakan.”

“Karena hanya metafora yang tidak menagih pinjaman,” kataku.

Ia membuka buku catatannya. “Aku datang bukan untuk memberi teladan. Aku pun sedang roboh. Sekolahku kehabisan dana; orangtua murid kembali bekerja keras di luar kota, anak-anak kesepian di rumah. Tapi aku percaya sesuatu, Panji: pendidikan di kota ini bukan hanya tentang gelar; ia tentang membangun kebiasaan untuk bertahan.”

Kami bicara lama. Tentang bisnis yang dibangun dengan kecepatan, tentang keluarga yang membutuhkan kehadiran, tentang siapa yang disebut “teman” oleh kota.

Malam itu, ketika aku menutup kedai, Rengganis masih duduk di kursi sudut, menemani satpam yang baru kehilangan ibunya. Ia mengajar satpam membuat anggaran untuk pengobatan adik; ia menulis di kertas: pengeluaran bulanan, dana darurat, target kecil untuk membeli buku latihan matematika anaknya. Aku melihat itu, dan merasakan sesuatu menyala di dadaku—bukan euforia investasi, melainkan kebahagiaan yang tidak berisik: ada manusia yang mengikat manusia lain agar tidak terbang tercerai.

“Bantu aku mendesain ulang usahamu,” kata Rengganis esoknya. “Jadikan ini rumah belajar. Kopi tetap kopi; tetapi meja harus mampu mengajarkan orang membuat rencana.”

“Dengan apa? Aku tidak punya modal.”

“Dengan waktu. Waktu kita yang paling mahal; tapi justru itu yang orang kaya dan orang miskin sama-sama punya setiap hari.”

.

Kami memulai dari kecil. Di kedai yang sepi, kami buka kelas akhir pekan: “Budgeting untuk pasangan muda,” “Merawat karier di usia 30-an,” “Menyusun CV yang jujur,” “Mengenal investasi non-superhero.” Aku mengajar storytelling; Rengganis mengajar literasi finansial; seorang barista bernama Laras mengajar seni mendengar. Kursi tak pernah penuh, namun orang-orang pulang dengan mata lebih tenang.

Kabar itu menyebar pelan. Dua kampus meminta kami membuka kelas satelit. Sebuah perusahaan properti meminjamkan ruang co-working-nya di hari Sabtu. Seorang ibu yang putranya baru sembuh dari depresi datang membawa kue serabi; ia berterima kasih karena kelas “Memaafkan Bukan Melupakan” yang kupandu membuat anaknya berani kembali ke sekolah.

Di rumah, aku menata ulang semua hubungan. Aku belajar memasak sederhana, mengirim foto pada ibu: sayur asem yang terlalu asam, ikan bakar yang gosong di ujungnya. Ibu membalas dengan suara tertawa melalui telepon, lalu mengulang kalimat favoritnya: “Bahagia itu punya banyak bentuk; salah satunya ketika kita berhenti mengejar bentuk orang lain.”

Sementara itu, berita tentang Jingga mulai terdengar: ia pindah ke negara tetangga, menutup perusahaannya, menyisakan jejak tagihan. Beberapa pengusaha mengajukan gugatan; sebagian memilih diam karena malu mengakui kesalahan. Aku tidak mengajukan apa pun. Bukan karena pasrah; hanya karena aku memilih bekerja setiap hari, satu meja demi satu meja, mengubah kedai menjadi sekolah yang tidak menjual ilusi.

Suatu malam, Anggreni datang. Ia memandang papan jadwal kelas di dinding, mendengar tawa orang-orang, lalu berkata, “Kalau dulu kamu seperti teater yang megah, sekarang kamu seperti musala kecil—selalu bisa disinggahi untuk menenangkan diri.”

Aku berterima kasih. “Terima kasih dulu karena kau pernah mengingatkanku tentang huruf yang belum kering,” kataku. Ia tertawa. Aku tahu kami tidak akan kembali. Tetapi beberapa orang hadir agar kita tidak kehilangan kompas; begitu tugasnya selesai, mereka pergi—bukan meninggalkan, hanya melanjutkan hidup di peta lain.

.

Tahun berganti. Kedai-sekolah kami bertambah dua; bukan cabang, melainkan “ruang belajar”—kesepakatan kata yang dipilih Rengganis. Kami membikin beasiswa kecil untuk siswa dari sekolah negeri di sekitar; sebagian biaya diambil dari program “Bayar Sambil Belajar” di mana setiap cup kopi menyisihkan seribu rupiah untuk kelas persiapan karier.

Di sebuah sore, hujan membasuh kota seperti jam tangan yang sengaja dimandikan. Seorang laki-laki berteduh di depan kedai, wajahnya pucat, matanya gelisah. Ia masuk, memesan air putih. Laras mengantarnya dan mengajak bicara. Namanya Tegar. Ia baru saja kehilangan pekerjaan sebagai manajer pemasaran di perusahaan otomotif. Tunangannya membatalkan pernikahan, keluarganya menuntut jawaban. Ia menunduk, memegang gelas seperti memegang satu-satunya pegangan di dunia.

Aku duduk di sampingnya. “Kalau kamu mau,” kataku, “kita ada kelas ‘Menyusun Ulang Hidup dalam 90 Hari.’ Gratis sampai kamu sanggup membayar. Tidak perlu malu.”

Tegar memandangku seperti anak kecil yang melihat lampu di ujung lorong. Ia pulang membawa booklet, menandai halaman-halaman target kecil: bangun pagi, olahraga sepuluh menit, kirim lima lamaran kerja seminggu, menulis jurnal syukur tiga baris setiap malam. Hal-hal sederhana yang, ketika diikat, membentuk jembatan untuk menyeberangi sungai.

Dua bulan kemudian, Tegar berdiri di depan kelas, menceritakan pekerjaannya yang baru di perusahaan teknologi pendidikan. Ia mengajak kami tertawa, lalu menangis ketika menyebut ibunya. Selesai bercerita, ia memeluk Laras dan berbisik: “Terima kasih untuk air putih hari itu.”

Rengganis menatapku, mata basah. “Inilah alasanku memilih tetap tinggal,” katanya pelan. “Karena hidup, pada akhirnya, tentang siapa yang mau duduk bersama ketika semua lampu padam.”

Aku mengangguk. Di dadaku, suara ibu berdesir: “Orang yang tepat adalah yang tetap.”

.

Pada ulang tahun kedai, aku menulis sesuatu di papan tulis, menyalin kalimat yang dulu ditempelkan ibu di kulkas: “Ketika kacau, rapikan satu hal dengan tanganmu sendiri.” Di bawahnya, kutambahkan: “Ketika beres, rapikan hati orang di sebelahmu.”

Acara kecil itu ramai. Orang-orang yang pernah ikut kelas datang membawa anak-anak, pasangan, bahkan anjing kecil yang diam di bawah meja. Kami membuka sesi berbagi pengalaman, bukan yang bombastis, melainkan kisah-kisah realis: perempuan pekerja bank yang baru belajar mengatakan “tidak” pada lembur beracun; mahasiswa yang berhasil menabung untuk kursus desain; ayah muda yang belajar merawat bayinya sendirian selama istrinya menempuh pelatihan perawat.

Di atas panggung kecil, aku bercerita tentang Jingga—tanpa mencaci, tanpa menutup-nutupi luka. Aku mengatakan, “Dalam hidup, kita akan bertemu orang-orang yang datang di saat tenang, membuat kita merasa tak terkalahkan, lalu pergi ketika badai datang. Kitaakan bertemu juga orang-orang yang datang saat kita jatuh, duduk di samping kita, tanpa memberi kuliah, tanpa menjanjikan apa-apa—hanya menatap bersama. Keputusannya sederhana: mereka memilih tetap tinggal.”

Orang-orang bertepuk tangan, bukan keras, melainkan hangat. Aku menatap Rengganis di barisan depan. Di sampingnya, ibu berdiri—baru pulang dari Surabaya—mengenakan kebaya biru yang dijahitnya sendiri. Ia tak perlu bicara; matanya memelukku seperti pagi memeluk jendela.

.

Beberapa waktu kemudian, teleponku berdering. Sewandana. Ia bilang ada investor baru, berbeda dari Jingga: transparan, sabar, ingin mendanai program beasiswa dan riset dampak sosial dari ruang belajar kami. Aku menghela napas. “Aku tidak anti investasi,” kataku, “aku hanya anti masuk ke dalamnya tanpa jiwa.”

Kami bertemu. Perundingannya jujur. Tidak ada grafik kembang api; yang ada adalah tabel sederhana: berapa kursi yang bisa menampung manusia, berapa jam yang bisa disediakan untuk mendengar. Kami memutuskan berjalan bersama—pelan, tetapi menjejak.

Pada malam setelah tanda tangan, aku duduk di teras kedai. Kota melambat, kendaraan seperti ikan-ikan yang akhirnya menemukan kolamnya. Kulihat Rengganis membereskan papan tulis, Laras menutup mesin kopi, dan seorang petugas kebersihan yang biasa kami panggil Banyu menyapu halaman.

Banyu menatapku dan berkata, “Mas Panji, dulu saya berpikir orang baik adalah yang memberi uang. Sekarang saya tahu, orang baik adalah yang memberi arah.”

Aku menelan ludah yang tiba-tiba menjadi air mata. “Kalau begitu, kita semua sedang belajar menjadi baik,” jawabku.

Ia tersenyum, mengikat kantong sampah, dan melangkah menuju gerbang.

.

Beberapa bulan kemudian, sebuah surat sampai—tanpa cap pos, dititipkan oleh seorang kurir yang tak menyebut nama. Isinya pendek: “Maaf. Aku mengacaukan hidup banyak orang. Semoga suatu hari aku punya keberanian untuk meminta maaf langsung.” Tertanda: Jingga.

Aku tidak tahu apakah surat itu sungguhan. Aku juga tidak tahu apakah maaf semacam itu membuat kue-kue kembali ke rak. Tetapi aku membiarkannya di laci kasir, di antara kupon diskon dan kertas resi. Setiap melihatnya, aku ingat kalimat ibu yang lain: “Maaf itu bukan untuk membenarkan masa lalu, melainkan untuk membuka masa depan.”

Di papan jadwal, kami menambahkan satu kelas baru: “Mengenal Diri Setelah Bangkrut.” Kelas itu tidak populer, tetapi yang hadir pulang dengan punggung lebih tegak. Kami membicarakan hak untuk memulai lagi, cara menolak rasa malu yang tidak perlu, dan cara menghitung ulang masa depan tanpa kehilangan martabat.

Malam penutupan kelas itu, Rengganis menatapku dan berkata, “Kita ini bukan orang suci, Panji. Kita hanya orang yang pernah pecah, lalu saling mengumpulkan keping.”

Aku mengangguk. “Dan kita menikmatinya.”

Ia tertawa—tawa yang tidak menjanjikan apa-apa, tetapi membuatku ingin pulang menata piring di rak.

.

Beberapa tahun melompat seperti kucing di pagar. Usaha kami bertumbuh secukupnya: tiga ruang belajar, satu platform daring yang menyiarkan kelas-kelas sederhana, jaringan mitra di lima kota. Di kampus dan perusahaan, aku diminta berbagi tentang “brand dengan hati.” Aku selalu memulai dengan mengutip ibu: “Yang kuat adalah yang paling lembut memeluk dirinya saat jatuh.”

Lalu kuakhiri dengan kalimat yang menutup ceritaku hari ini:

“Di kota ini, yang salah kadang datang saat hidup kita tenang, lalu pergi meninggalkan kita berantakan. Namun orang yang tepat—entah ia bernama Rengganis, Laras, Banyu, atau ibu kalian sendiri—akan hadir ketika kita sedang hancur dan memilih tetap tinggal. Karena pada akhirnya, rumah bukanlah gedung atau kafe: rumah adalah siapa yang berani duduk di samping kita saat lampu padam.”

Aku menatap hadirin. Aku menatap diriku sendiri yang pernah hilang. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, aku benar-benar percaya bahwa mentari tidak perlu terbit cepat; ia cukup datang pada waktunya.

.

.

.

Malang, 9 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKota #KelasMenengah #BisnisEdukasi #LiterasiFinansial #Persahabatan #PulangKeDiri #JeffreyWibisonoVStyle #CeritaMengharubiru

.

Quotes dari isi dan pesan cerpen

  1. “Yang kuat bukan yang paling keras menolak jatuh, melainkan yang paling lembut memeluk dirinya saat jatuh.”

  2. “Ketika kacau, rapikan satu hal dengan tanganmu sendiri. Ketika beres, rapikan hati orang di sebelahmu.”

  3. “Maaf itu bukan untuk membenarkan masa lalu, melainkan untuk membuka masa depan.”

  4. “Orang yang tepat adalah yang tetap.”

Leave a Reply