Sebelum Kita Hilang

“Yang kecil bukan sisa; ia inti yang luput dilihat.”
“Kadang-kadang kita mengejar yang besar sampai lupa: secangkir teh hangat bisa menyelamatkan hari, dan tatapan orang yang mencintai kita adalah rumah yang tak pernah tutup.”

Pagi itu Jakarta seperti seseorang yang bangun terlalu cepat dari mimpinya sendiri. Langit biru setengah pucat menggantung di atas Kuningan, dan rel MRT melintas seperti garis yang menarik garis bawah pada kalimat yang tak sempat selesai. Dari balkon lantai dua puluh satu, Jayengrana memandangi kota yang seakan tak pernah menawar sunyi. Kopi di tangannya kehilangan asap dua menit lalu, tapi notifikasi ponselnya tetap mengepul: funding update, legal memo, board moved to 10.00, draft partnership, 4 unread from Sabrang.

Di dapur, Retna Muninggar mengetuk sendok pada dinding panci—ritual kecil untuk meredakan degup jantung yang selalu terlalu siap siaga. Ia menakar gula untuk teh, memasukkan roti ke pemanggang, dan memeriksa tumpukan kertas tugas mahasiswa di meja makan: patient journey, human-centered care, leadership in clinical setting. Hidup mereka sudah bertahun-tahun berjalan seperti koreografi: ia—CEO startup keuangan yang sedang tumbuh; ia—manajer rumah sakit swasta sekaligus dosen manajemen layanan kesehatan. Dua pusat gravitasi yang saling tarik-menarik, kadang saling menahan agar tidak jatuh ke lubang hitam ambisi.

“Mas, sarapan bareng?” suara Retna pelan, tapi tegas.

“Nanti di mobil,” jawab Jayan, masih menulis balasan: let’s sharpen unit economics; keep the floor humane.

Ia mendekat, mencium kening istrinya seperti orang menandai buku pada halaman yang akan dibaca lagi—sekilas tapi sungguh. Lift menurunkannya bersama pantulan dirinya sendiri pada dinding logam: kemeja biru, mata kurang tidur, senyum formal yang menggantung seperti jas hujan di balik pintu.

Di lobi, satpam menyapa. Jayan mengangguk. Mobil listriknya meluncur senyap, menembus pagi yang berkabut AC. SCBD ditempuh empat belas menit. Penyiar radio menyebut kata yang seolah jadi nama belakang zaman: efisiensi. “We’re living in a season of cuts and mergers,” katanya. Jayan menurunkan volume, bukan karena tak ingin mendengar, tapi karena ia sudah hafal.

Ruang kerja di lantai tujuh co-working berbau kopi, spidol papan tulis, dan sesuatu yang samar-samar mirip harapan muda. Di sana, Sabrang menunggu dengan wajah rapi dan tatapan yang selalu lurus; orang bank yang belajar menakar risiko sambil menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada kisah. Di seberang, Amby—bekas chef hotel bintang lima—mendongakkan kepala dari laptop tua. Ia kini mengelola bistro dan dua gerai kecil; utang dan impian berimbang, seperti dua panci di atas kompor yang sama.

“Kita di sini untuk saling menyelamatkan atau saling memperindah kebodohan?” Amby tertawa pendek.

“Kalau bisa, dua-duanya,” Sabrang menimpali, dingin seperti data yang telah diproses.

Mereka menamai pertemuan itu Serikat Pelari—klub yang tak pernah benar-benar berlari, kecuali dalam batin masing-masing. Mereka datang dari dunia berbeda, tapi menyandang luka yang serupa: mengejar sesuatu begitu lama sampai tak yakin apa yang tertinggal.

“Investor minta efisiensi tiga puluh persen,” kata Jayan. “Tanpa menyentuh inti layanan.”

“Intinya apa?” Sabrang menatapnya seperti menatap neraca yang harus seimbang.

Jayan mendongak, sejenak menatap jendela kaca yang berembun. “Agar pebisnis kecil tidak merasa sendirian,” jawabnya pelan.

“Kalau begitu,” Amby menepuk bahunya, “ingat: inti butuh kulit. Kita sering mengirit di kulit, lupa itu yang melindungi.”

.

Retna tiba di rumah sakit pukul delapan. Di ruang briefing, ia menyapu pandang laporan perawat—angka demam, saturasi, catatan obat—lalu menengok cermin kecil di saku untuk memastikan wajahnya terlihat seperti orang yang bisa dipercaya. Setelah rapat, ia membuka Google Classroom: mahasiswa menulis tentang patient journey. Retna meninggalkan catatan kecil di dua paragraf: “Sentuhan kecil sering lebih menenangkan daripada pengumuman besar. Ingatkan dirimu untuk menyapa sebelum bertanya.”

Ia menyalakan telepon.

“Mas, sudah makan?” tanyanya.

“Nanti habis rapat.”

“Kalau begitu, jangan lupa napas.”

Retna menutup panggilan, menatap lorong yang bermandikan lampu putih. Di nurse station, seorang petugas kebersihan bersenandung langgam Jawa lirih. Retna menahan langkah, mendengar sebentar, lalu melanjutkan. Ia belajar bahwa orang yang bekerja paling senyap sering menjadi alat musik yang menjaga tempo dunia.

Malam itu mereka bertemu di restoran Amby di Senopati. Lampu-lampu gantung menyisakan ruang bagi bayangan. Aroma daging bakar lengket pada baju seperti kenangan yang enggan lepas. Di sela clink gelas, ada kecemasan modern yang tak pernah kehabisan cara menyamar.

“Besok aku ke Surabaya,” kata Jayan. “Pitching investor. Mereka minta klarifikasi burn rate dan jalan ke profitabilitas.”

“Bawa yang sederhana,” ucap Amby. “Kadang yang mereka beli bukan ide, tapi kejujuran di mata.”

Sabrang datang terlambat dengan napas berat. “Jangan pura-pura kebal terhadap angka kecil,” katanya sambil duduk. “Bank selalu jatuh cinta pada rincian.”

Retna menatap jam. “Kita pulang naik taksi. Aku ingin jalan sedikit.”

Mereka menyusuri trotoar Senopati. Gerimis turun halus—seperti orang yang minta maaf tanpa kata. “Masih ingat pertama kali makan di sini?” tanya Retna.

“Amby masih sous chef,” Jayan tersenyum. “Kita pulang ke apartemen kecil dengan kasur gulung dan kipas angin.”

“Kita pernah sangat ringan,” ucap Retna. “Sekarang terasa berat. Bukan karena barang bertambah, tapi perasaan kita penuh.”

“Kasur bagus tak bisa melunakkan resah kalau kamu tak mau duduk,” tambahnya, setengah bergurau, setengah berdoa.

Dalam taksi, mereka tak bicara. Hujan merambat di kaca seperti huruf-huruf yang lupa alfabetnya. Ada jarak di antara mereka, tapi juga keheningan yang jujur: cinta tidak mati, hanya mencari bentuk baru untuk hidup.

Pitching di Surabaya berlangsung seperti ruangan ber-AC: dingin, terang, dan semua kata harus rapi. “Kalau tak melihat angka,” tanya seorang investor, “apa ukuran keberhasilan hidupmu?”

Jayan hampir menjawab: teh hangat buatan istriku, video anak-anak tertawa, pesan singkat bertuliskan “hati-hati di jalan.” Tapi bibirnya memilih kalimat yang bisa dipertanggungjawabkan: “Kepuasan pelanggan dan akses modal yang adil.”

Dalam perjalanan pulang, telepon Retna masuk. “Ibu Sumi masuk IGD. Hiponatremia. Aku ke sana.”

“Aku menyusul,” kata Jayan. Tapi hatinya sudah tiba duluan.

Di IGD, Retna duduk di kursi plastik, memeluk termos air hangat. “Ibu stabil,” katanya. “Aku takut.”

“Takut apa?”

“Takut lupa bersyukur,” ia menatap lantai. “Kita berlari terus, Mas. Padahal hal-hal kecil menunggu kita menengok.”

Mereka pulang menjelang subuh. Listrik apartemen padam. Lilin dinyalakan. Mereka duduk di lantai, membagi roti sisa malam. Retna tersenyum: “Aku suka listrik padam. Kita terpaksa saling mendengar.”

“Aku takut, Na.” Jayan menatap nyala kecil. “Takut menengok dan tak menemukan diriku sendiri.”

“Pulanglah sebelum kamu hilang,” bisik Retna.

.

Beberapa hari kemudian, Amby menelepon. “Aku menutup dua gerai. Penjualan masih jalan, tapi biaya berlari lebih kencang. Aku mau bernapas.”

“Sedih?” tanya Jayan.

“Takut. Tapi ada lega yang tidak bisa dibeli. Dan sekarang aku butuh rasa itu.”

Malam itu mereka kembali berkumpul. Sabrang membawa kabar pilot project penilaian UMKM, Retna membawa kisah dua pasien—satu pulang, satu tinggal. Amby membawa pie pisang yang harum.

“Dunia seperti pasar malam,” kata Amby. “Kadang paling nikmat duduk di bangku, makan jagung bakar, pulang dengan jari kehitaman. Yang penting, ada seseorang di rumah siap menyiapkan sabun.”

“Dan handuk hangat,” tambah Retna.

Tawa mereka lembut. Tak lama, ponsel Jayan bergetar: We like the team. Explore smaller round first. Bukan euforia yang datang, melainkan pengertian: kecil bukan berarti kalah. Mungkin ia sedang menyembuhkan maknanya sendiri.

Sejak itu, hidup tidak bertambah besar, tetapi menjadi lebih dekat.

Di kantor, Jayan membuat kebiasaan Rabu Tanpa Slide. “Satu hal kecil yang disyukuri minggu ini,” pintanya. Seorang staf berkata, “Bang tukang bakso depan sudah balik.” Yang lain, “Dapat duduk di MRT.” Mereka tertawa, dan di ujung tawa itu ada tenang yang tak bisa dibeli.

Retna memulai program mikro di rumah sakit: tiga menit jeda setiap dua jam, satu kalimat syukur di kertas kecil sebelum pulang shift. Dua minggu kemudian, dinding nurse station penuh tulisan tangan: “hari ini pasien tersenyum,” “kopi enak,” “tidak terlambat,” “bisa pulang sebelum gelap.”

Amby membuka kelas Dapur Mengajar Biaya di ruko kecilnya. Ia mengajarkan menghitung HPP lewat aroma dan durasi nyala kompor. “Biaya itu bisa kau cium,” katanya. Ibu-ibu tertawa, lalu mencatat. Di akhir sesi, ia membagi resep sup sederhana yang ia sebut “penjaga hati.”

Musim hujan datang tanpa gegap, seperti tamu yang selalu tahu kode pintu. Di hari Sabtu, Retna membawa rambutan yang diberikan keluarga pasien. “Biar tidak membeli bunga,” kata mereka. “Doa kami sama saja.”

Mereka makan di karpet. Biji-biji rambutan berkilau seperti kelereng kecil. “Besok ke Bangkalan?” tanya Retna. “Ibu Sumi ingin ketemu.”

“Berangkat subuh,” jawab Jayan.

Di jembatan Suramadu, angin laut mengelus wajah mereka. Lampu-lampu memantul di air, membuat garis-garis yang mengingatkan Jayan pada grafik pertumbuhan—naik, turun, lalu datar yang menenangkan. Ibu Sumi menyambut di teras rumah, matanya keriput seperti peta yang sudah sering dilipat.

“Kalian kelihatan capek,” katanya. “Capek itu bukan musuh. Ia tanda kamu masih berjalan. Kalah itu kalau kamu berhenti mencintai.”

Mereka minum teh manis dalam cangkir kecil bermotif bunga biru. “Kalau kalian mengajar banyak orang,” Ibu Sumi menatap mereka bergantian, “jangan lupa belajar dari satu orang di depanmu hari itu. Dunia selalu berawal dari satu.”

Perjalanan pulang terasa lebih pendek. Di tengah kegelapan, Jayan meraih tangan Retna—bukan sebagai janji, melainkan pengakuan. Ada damai yang tidak tercatat di laporan, dan barangkali di sanalah manusia diam-diam tinggal.

.

Beberapa bulan kemudian, ayah Sabrang jatuh sakit. ICU menjadi jam dinding baru: bergerak pelan, terdengar jelas. Jayan dan Retna datang bergantian. Amby muncul tiap malam dengan sup hangat. “Kau tak bisa menawar Tuhan,” gumam Sabrang. “Yang ada hanya belajar menunggu.”

“Menunggu pun bagian dari berjuang,” jawab Retna.

Ketika kondisi ayahnya stabil, mereka keluar ke parkiran. Hujan sisa sore membentuk genangan kecil. Amby memandang pantulan lampu, lalu berkata, “Dulu aku merasa gagal karena belum buka cabang luar negeri. Tadi perawat bilang supku bikin mereka kuat berjaga. Entah mengapa, aku merasa… cukup.”

“Cukup bukan berhenti,” Jayan menepuk bahunya. “Cukup itu berani duduk.”

Malam itu Jayan memandangi dinding kerja. Ada selembar sobekan majalah ditempel: foto laut biru hijau dan tulisan kecil: You think you need more, but you already have everything. Ia ambil ponsel, menulis catatan: “Besok, ingatkan aku untuk duduk.”

Retna datang membawa dua cangkir teh. “Kita tidak sedang berlomba, Mas.”

“Aku tahu. Hanya saja, kakiku hafal lintasan.”

“Kalau begitu,” Retna tersenyum, “biarkan aku jadi bangku di tikungan.”

Jayan tertawa—bukan karena lucu, melainkan karena lelah yang akhirnya mau menjadi jujur.

.

Hidup mereka tak berubah besar, tetapi berubah arah. Di kantor, Rabu Tanpa Slide menjelma cerita. “Apa hal kecil paling besar minggu ini?” tanya Jayan.

“Dapat chat dari ibu.”
“Kucing tetangga datang ke balkon.”
“Ayah keluar dari rumah sakit.”
“Bisa beli buku untuk adik.”
“Nonton hujan dari jendela.”

Mereka tertawa. Di sela tawa itu, dunia terasa lebih ringan untuk ditanggung bersama.

Di rumah, Retna menempel foto lama: dua orang di apartemen bekas, kasur tipis, kipas angin berdengung—bahagia yang tidak menuntut pembuktian. “Supaya kita ingat,” katanya, “kita pernah cukup dengan sedikit.”

Jayan menyentuh bingkai. “Dan ternyata, kita masih cukup.”

.

Suatu malam akhir pekan, mereka bertemu lagi di bistro Amby untuk “pesta kecil.” Dinding bata, lampu kuning, dan menu yang ditulis tangan di papan hitam. “Hari ini ulang tahun bistro,” kata Amby. “Tidak ada promo. Hanya piring-piring pulang dalam keadaan kosong.”

Sabrang datang membawa kue. “Ayah tanya kapan aku libur,” ujarnya. “Kukira ia bercanda. Ternyata ia ingin aku duduk menonton hujan.”

“Duduk menua tanpa panik,” kata Retna. “Itu cita-cita baru kita.”

Di akhir malam, seorang pelanggan muda menghampiri Jayan. “Mas, saya pernah ikut webinar startup-mu. Terima kasih karena bilang bahwa tak semua hal harus cepat.”

Jayan mengangguk, merasa dilihat sebagai manusia, bukan posisi. Dalam hati, ia berbisik pada dirinya yang dulu: pelankan, agar kamu sempat mengenali wajahmu.

Teleponnya bergetar: pesan dari tim. “Mas, klien UMKM kita baru bisa bayar sebagian. Mereka janji melunasi bulan depan.”

Jayan mengetik: “Relakan skema cicilan. Yang penting, usaha mereka tetap hidup.” Ia menoleh pada Retna. “Kadang yang kita selamatkan bukan laporan, tapi napas.”

Retna mengangguk. “Dan napas itu, kalau dijaga, akan mendoakan kita kembali.”

.

Suatu pagi yang bening, Jakarta seolah sengaja melambat. Langit seperti kain yang baru disetrika. Retna menjemur handuk, Jayan menyiram monstera yang nyaris menyerah. Tiba-tiba alarm ponsel berbunyi: “Waktu untuk teh.”

Mereka tertawa—keduanya lupa pernah memasang pengingat. Retna menuang air panas ke cangkir. Uapnya naik seperti doa pendek. Mereka duduk di karpet, memandangi jendela.

“Jika suatu hari aku kembali berlari terlalu cepat,” kata Jayan, “ingatkan aku untuk duduk.”

“Aku akan memegang pundakmu,” jawab Retna. “Pelan-pelan. Kita ada.”

Di luar, dunia melaju. Di dalam, dua manusia duduk diam: belajar menjadi ada, bukan sekadar berhasil. Mereka menua tanpa panik, menaruh batu-batu kecil di tepi hari agar tidak terseret arus besar. Dan pada malam yang jinak itu, sebelum tidur, Jayan menulis di ponselnya:

Hari ini, aku cukup.
Jika besok aku merasa hilang, aku akan pulang lewat hal-hal kecil: teh hangat, lampu dapur, tawa yang tak menuntut jawaban.


Beberapa tahun kemudian—ketika bistro Amby menjadi sekolah kecil bagi para perantau rasa, ketika Sabrang memindahkan sebagian waktunya untuk mendampingi ayah, ketika program mikro Retna mengurangi kelelahan perawat yang tak pernah tercatat—Serikat Pelari tak lagi berlari. Mereka berjalan. Kadang berhenti. Kadang duduk. Sesekali menangis, lalu tertawa. Mereka paham, kita tak bisa menyelamatkan seluruh dunia, tapi bisa membuat satu meja menjadi rumah bagi tiga cangkir.

Dan sepanjang hidup mengalir, mereka menyepakati satu hal: yang kecil bukan sisa. Ia inti yang dulu luput dilihat—tempat kita menggantungkan nama, mengikat harapan, dan menata ulang arti pulang.

.
“Bahagia itu bukan ruangan mewah, melainkan sumur kecil di hati yang kita isi seteguk demi seteguk.”
“Cukup itu bukan berhenti; cukup adalah berani duduk ketika dunia memaksa berlari.”
“Yang kita selamatkan bukan laporan, melainkan napas—dan napas yang dijaga akan mendoakan kita kembali.”

.

.

.

Malang, 8 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #FiksiUrban #Jakarta #HalHalKecil #KebahagiaanSederhana #MenakMadura #NarasiFilmis #HumanCentered #SebelumKitaHilang

Leave a Reply