Yang Menjaga Malam
“Pada akhirnya, kita tidak benar-benar pulang ke alamat,
melainkan ke diri yang berani jujur pada luka dan mimpi.”
.
Hujan memulai ceritanya sebagai titik-titik kecil di kaca jendela, menggumam pada lampu kota yang tak pernah mau padam.
Jaya berdiri di balik kaca itu, di lantai dua puluh satu, memandangi arteri jalan yang mengilat seperti ular perak.
Di bawah sana, Jakarta menggeliat dengan ribuan masuk-keluar: rapat ditutup, invoice dikirim, janji ditunda.
Di punggungnya, sebuah ransel kulit yang tak pernah benar-benar dibongkar sejak kepindahan terakhir—sebagian hidupnya memang terus berpindah: kos mahasiswa, apartemen sewa, rumah kontrak, dan kini unit kecil yang baru ia cicil bersama Saka.
“Kalau kita kalah hari ini, besok kita belajar cara kalah yang lebih anggun,” tulis Saka di chat, disertai foto secangkir kopi yang buihnya membentuk hati yang sedikit retak.
Saka, yang pagi ini mempresentasikan rencana pivot edutech mereka pada investor terakhir yang masih membuka pintu.
“Bagaimana?” tanya Jaya.
“Sedang antre giliran pitch. Doakan.” Balasan singkat, sependek napas yang tertahan.
Jaya menutup ponsel. Di meja makan, kertas-kertas blueprint berserakan: rancangan kampanye omni-channel untuk klien F&B yang hendak re-launch sebagai comfort dining pascapandemi; jadwal kurasi konten untuk platform belajar karyawan hotel; costing untuk pop-up store batik kontemporer milik Umar; rencana kolaborasi dengan Praba untuk pameran fotografi bertema Orang Kota Pulang ke Hutan.
Malam itu, apartemen kecil mereka bukan sekadar tempat tinggal. Ia berubah menjadi tempat bernafas di antara deru kota; tempat dua manusia belajar menjaga harapan tanpa berisik. Di sinilah mereka menemukan ritme baru—pukul sembilan malam, lampu utama diredupkan, bukan untuk tidur, melainkan untuk mendengar: cerita, ketakutan, mimpi, dan diam yang tak ingin disembunyikan.
Saka menyebutnya kebiasaan sederhana.
Jaya menyebutnya: Yang Menjaga Malam.
.
Jaya lahir di keluarga pedagang di pesisir utara Jawa. Ayahnya, Kencana, memiliki toko alat pancing yang setiap akhir pekan berubah jadi pos ronda berbagai cerita para nelayan.
“Jika angin berubah, kita ganti layar,” kata Kencana. “Jangan marah pada laut.”
Dari Kencana, Jaya belajar membaca tanda: bagaimana wajah pelanggan yang tampak ragu sebenarnya menawar; bagaimana remaja yang membeli kail paling murah diam-diam menyimpan keseriusan untuk menjadi pelaut; bagaimana orang kota yang mampir membeli jala hanya butuh alasan untuk merasa dekat dengan air.
Nama “Jaya” diberikan bukan untuk minta selalu menang, melainkan doa agar ia menyukai proses menempuh. Di SMA ia menulis cerpen di dinding mading, di kampus ia menjadi koordinator acara fotografi. Lulus, ia mencicipi agensi periklanan, lalu berbelok ke hospitality marketing, lalu menyelinap ke konsultan digital untuk merek-merek yang sedang mencari napas baru. Hidup terasa seperti susun puzzle yang sebagian kepingnya ia temukan di jalan, sebagian lagi disodorkan waktu.
Ia bertemu Saka di sebuah workshop “Storytelling for Service.” Saka muncul sebagai fasilitator tamu, membawa presentasi yang tidak berisik, tapi menggandeng hati: bukti, data, dan kisah nyata saling berpelukan.
Seusai kelas, Jaya menghampiri. “Kamu menuturkan angka seperti menaruh handuk hangat di bahu orang yang masuk dari hujan,” kata Jaya.
Saka tertawa. “Sebenarnya aku sedang gugup.”
“Gugupnya rapi,” balas Jaya.
Sejak hari itu, mereka saling mengantar pulang—pada alamat masing-masing, dan pada diri sendiri yang lebih jujur.
.
Umar, teman lama Jaya, kini mengelola tiga usaha sekaligus: roastery kecil di Kemang, lini batik dengan motif klasik berpadu warna tegas, serta program makan siang gratis untuk masyarakat sekitar.
“Aku ingin roastery yang wangi kopinya tidak membuat orang lupa lapar orang lain,” katanya. “Bisakah marketing menjaga rasa peduli?”
“Bisa,” sahut Saka, “asal kita mau menukar sebagian sorotan menjadi jembatan.”
Mereka lalu mendesain program: setiap cangkir Kopi Umar Maya menyisihkan seribu rupiah untuk dana makan siang di lapak pinggir kali. Poster kegiatan tidak menonjolkan foto orang mengantri, melainkan kisah: daftar belanja harian, harga bumbu, dan secuplik catatan rasa syukur para ibu yang memasak. Di akun media sosial, alih-alih menampilkan wajah orang yang menerima, mereka memotret tangan: yang mengaduk sayur, menata piring, menyalakan kompor.
“Kita ingin menampilkan kerja, bukan iba,” ujar Jaya.
Praba menambahkan jepretan diam-diam: sepasang tangan tua yang merapikan meja makan darurat, bayangan sendok pada panci, embun yang kembali setelah matahari condong. Foto-foto itu kelak menjadi poster pameran kecil di rumah Jaya dan Saka.
.
Saka tumbuh di keluarga guru musik. Ibunya mengajar piano, ayahnya biola. Rumah mereka selalu wangi kayu dan buku not. Saat Saka memutuskan pindah ke dunia edutech, orangtuanya tidak bertanya kenapa.
“Ajaklah nada-nada itu pindah rumah,” kata ibunya. “Teknologi juga butuh telinga.”
Startup yang Saka dirikan—bersama dua kawan, Laila dan Reva—bermula dari keresahan sederhana: banyak pekerja layanan kehilangan semangat belajar karena modul pelatihan di tempat kerja terasa kering. Mereka menciptakan format “3-5-7”: tiga menit video kisah nyata, lima menit praktik singkat di meja kerja, tujuh pertanyaan refleksi yang tak menuduh, hanya mengajak.
Dalam enam bulan, tiga hotel di Bandung dan dua restoran di Surabaya telah menerapkan program mereka. Tapi uang darurat menipis. Investor pertama menarik diri.
“Kalau gagal, kita akan gagal di antara orang yang kita hormati,” kata Saka. “Dan itu kemenangan yang lain.”
Jaya mengangguk. “Kegagalan yang mengajarkan tata krama.”
.
Pameran Orang Kota Pulang ke Hutan dibuka pada Jumat sore. Rumah sewa mereka di Kebayoran berubah jadi galeri tiga hari. Foto-foto Praba menggambarkan manusia kota yang mencari ulang akar: seorang barista menanam cabai, resepsionis berdoa sebelum shift, ibu rumah tangga menulis puisi di sela masak. Caption-nya pendek, tapi tajam seperti bayangan sore: “Tangan yang menata piring, juga menata doa.”
Kencana datang tanpa kabar, membawa kejutan di tengah pameran. Ia menatap foto tangan yang memilih cabai dan berkata pelan, “Ibumu akan suka ini.” Lalu menatap Jaya, “Kamu hidup, Nak. Itu sudah cukup.”
Hujan di luar jatuh seperti tepuk tangan yang tulus.
Malam itu Jaya menempelkan sepotong kertas di pintu kulkas:
“Yang paling berharga dari malam adalah kesempatan untuk mendengar yang tak sempat berbicara di siang.”
.
Beberapa hari setelah pameran, investor memberi kabar: mereka ingin berinvestasi, tapi dengan syarat program hospitality diganti menjadi pelatihan sales finansial. “Pasar lebih besar,” kata mereka.
“Kalau kita ikutkan dana ini,” ujar Saka, “nada pertama harus mengalah.”
“Kalau begitu,” jawab Jaya, “kita cipta dua nada. Melodi tak harus satu.”
Mereka sepakat mengambil setengah dana, mempertahankan divisi hospitality. “Lebih baik berjalan kaki di jalur kita,” kata Saka, “daripada naik kendaraan orang lalu turun di kota yang tak kita kenal.”
Umar mengangguk. “Keputusan paling mahal adalah tetap setia.”
Keputusan itu membuat jadwal mereka lebih padat. Siang, Saka mengurus pipeline klien baru; sore, Jaya memimpin tim kecil kreatif; malam, mereka standup dengan Laila dan Reva melalui layar, sambil menjemur ide di antara sisa bising hari.
.
Suatu Sabtu, telepon berdering. Nomor tak dikenal. Suara di ujung sana terburu-buru: Kencana pingsan di pelabuhan kecil. Jatuh saat membantu mengangkat peti es.
Jaya memesan tiket tercepat. Saka menutup laptop, memasukkan baju dan beberapa power bank ke tas, menyambar umbrella lipat, menatap hujan yang membingkai jendela.
“Pergi,” katanya. “Aku menyusul besok.”
Perjalanan darat lebih dari sepuluh jam karena badai di tol. Lampu-lampu rest area seperti lilin ulang tahun yang menolak padam. Di kursi bus yang terlalu tegak, Jaya membuka note di ponsel, menulis kalimat-kalimat yang ingin ia sampaikan pada Kencana, jika nanti sempat:
Ma, Pa—aku minta maaf atas dendam kecil yang tak perlu. Terima kasih atas kata-kata sederhana yang menyelamatkan aku dari marah pada laut. Aku tidak hebat, tapi aku hidup dengan sungguh-sungguh. Itu punahkah?
Keesokan siang, ia sampai. Kencana sudah sadar, duduk di kursi plastik klinik kecil, sepatu sandal swallow basah tergantung di jemuran. “Kamu hidup?” tanya Kencana, setengah bercanda.
“Masih,” jawab Jaya. Mereka tertawa, menukar hujan di mata dengan angin yang masuk dari pintu.
Di perjalanan kembali ke Jakarta, Jaya mampir ke tepi pantai. Angin membawa bau garam dan solar. Ia menelepon Saka, menceritakan semuanya pelan-pelan. “Aku ingin pulang,” katanya.
“Pulanglah,” jawab Saka. “Tapi jangan ke alamatku. Ke dirimu dulu.”
Kalimat itu seperti jembatan yang tidak terlihat tapi bisa diinjak. Jaya mematikan telepon, menatap langit yang berat, lalu tersenyum. Pulang bukan rute; pulang adalah cara memanggil diri sendiri.
.
Minggu berikutnya, pekerjaan datang dalam bentuk yang aneh: sebuah boutique hotel meminta kampanye “No Plus-Plus, Just Pure Comfort.” Mereka ingin menegaskan bahwa kenyamanan tak harus mahal, bahwa service bukan soal extras, melainkan hati yang belajar mengunyah pelan-pelan. Jaya menulis copy yang hangat, Saka merancang modul “Kelas Tangan yang Menata Pagi” sebagai paket pelatihan staf.
Video-videonya sederhana: wajah nyata, suara asli, tanpa pemeran pura-pura. Kalimat penutup tiap video: “Jabat tangan itu hangat; tolong kamu duluan yang percaya.”
Sebuah surel singkat datang dari resepsionis di Jember: “Saya dulu takut menatap mata tamu. Sekarang saya belajar bilang terima kasih dengan tulus. Tamu itu menangis dan bilang ‘Kamu ingatkan saya pada rumah’.”
Surel-surel semacam itu semakin sering berdatangan. Dari supervisor resto di Bandung, dari barista di Malang, dari room attendant yang meminta izin menempel satu kalimat di back office: “Pekerjaan ini mungkin rutin, tapi sapamu tidak pernah sama.”
Investor mereka, melihat angka retensi dan testimonial yang pelan tapi pasti, akhirnya menerima klausul dua nada. Saka tersenyum, melepaskan napas panjang yang selama ini disimpannya di bawah bantal.
.
Umar menempelkan kutipan di dinding roasterynya:
“Kapal tidak diciptakan untuk terus di dermaga.”
Dan menambah satu garis tipis di bawahnya: “Kopi lebih enak jika tidak lupa berbagi.” Setiap Senin, mereka mengunggah daftar belanja program makan siang: harga beras, sayur, tempe, telur. Kolom komentar tidak dibanjiri pujian, melainkan pertanyaan rincian: “Hari ini butuh berapa porsi, Mas?” Di situ, harapan belajar berjalan sambil menenteng panci.
Praba membuka kelas “kamera pinjam” untuk anak-anak pesisir. Kamera-kamera itu bukan baru, beberapa lecet, tapi lensa yang lecet tidak menghalangi mereka memotret senyum ibunya yang sedang menjemur ikan. Di pameran kecil berikutnya, foto-foto itu menempati dinding paling terang di ruang tamu Jaya dan Saka.
Kencana menelpon setiap malam Minggu, selalu dengan kalimat yang sama: “Kamu hidup?”
“Masih,” jawab Jaya.
“Kalau begitu, teruslah menjaga malam.”
.
Suatu malam, kira-kira setahun kemudian, listrik apartemen padam. Kota gelap mendadak seperti panggung yang ditutup tirai. Dari jendela, lampu kendaraan pelan-pelan memudar. Di kejauhan, genset beberapa gedung bernyanyi dengan suara berat.
“Tanpa listrik, apa kabar malam kita?” tanya Saka.
“Malam tetap malam,” jawab Jaya. “Kita yang harus belajar menjaga.”
Mereka duduk di lantai, menyalakan lilin kecil. Api menari di gelas teh, menyalakan bayangan di dinding. Lilley, kucing tetangga yang sering nyasar, mengetuk pintu dan mereka membukakannya. Lilley duduk di ambang, menatap lilin seakan turut berjaga.
“Dia seperti penjaga malam,” kata Saka. “Mengawasi agar kita tak lupa tersenyum.”
Di antara bayangan yang bergerak, mereka membicarakan hal-hal kecil yang selama ini tertunda: kemeja favorit yang mulai pudar, panci cast iron yang perlu disezon ulang, plant di balkon yang butuh tanah baru, keinginan menulis modul “Hospitality as Healing”—bukan slogan, melainkan kebiasaan yang bisa dipelajari.
“Kalau nanti kita punya anak,” kata Saka, “aku ingin ia tumbuh dengan malam seperti ini—tanpa riuh, tanpa notifikasi. Biar ia tahu, sunyi bukan musuh. Ia guru.”
Jaya tersenyum. “Dan aku ingin ia memanggil kakeknya hanya dengan nama ‘Kencana’. Supaya ia tahu, nama bukan panggung; nama adalah panggilan.”
Dari gelap yang hangat itu, Jaya teringat sebuah kalimat yang dulu ia tulis: “Jangan berenang melawan arus; mengapunglah, supaya bisa membaca langit.” Ia menatap luar yang samar, menambatkan pikiran pada suara hujan yang rapi.
.
Esok paginya, listrik kembali, dan bersama itu rutinitas. Email, rapat, spreadsheet, jadwal syuting. Di sela call dengan klien, Saka mendapat kabar: proposal mereka terpilih sebagai salah satu penerima micro grant untuk program pembelajaran pekerja layanan—skala kecil, tapi cukup untuk menambah kamera, mikrofon, dan membayar honor narasumber yang selama ini sukarela.
Malamnya, mereka merayakan dengan makan nasi uduk di warung bawah. Sambil menunggu pesanan, Jaya memandangi orang-orang yang lewat: seorang ayah menggendong anaknya yang tertidur, seorang kurir menepuk pundak temannya, dua perempuan tertawa terlalu keras untuk ukuran malam kerja, seorang petugas kebersihan menyandarkan sapu di sudut.
“Saat aku kecil, aku percaya kota diciptakan oleh orang-orang penting,” gumam Jaya. “Ternyata kota dijahit oleh orang yang tetap bekerja ketika yang penting sudah tidur.”
Saka mengangkat gelas teh tawar. “Untuk mereka,” katanya.
“Untuk mereka,” ulang Jaya. Dan di hati mereka, malam seakan bertambah satu lapis pelan yang lebih tebal: rasa syukur yang tidak keras, tapi sukar tanggal.
.
Waktu—seperti kucing tetangga yang bebas keluar-masuk—membawa kabar yang tak selalu bisa dipilih. Laila memutuskan pulang ke kampung halaman karena ibunya sakit. Reva menerima tawaran kerja di perusahaan teknologi besar. Tim mengecil, ritme berubah. Di sisi lain, pameran foto Praba mulai dilirik galeri independen, sedangkan Umar memindahkan roastery ke tempat yang lebih luas karena kelas cuppingnya penuh tiap Sabtu.
“Kita kembali ke formasi awal,” kata Saka, separuh menguatkan, separuh menguji diri.
“Formasi kecil itu seperti senter,” balas Jaya. “Cahayanya fokus.”
Mereka menyederhanakan modul, merapikan dashboard yang selama ini seperti meja makan habis pesta. Jaya menghilangkan tiga fitur yang jarang dipakai, menambah satu fitur voice note agar pekerja bisa mengirim refleksi tanpa mengetik. Saka menyisipkan sesi “dua menit hening” di awal setiap pertemuan online dengan klien—wanita HR dari hotel bintang empat di Setiabudi sampai pemilik kedai soto di Jagakarsa.
Awalnya canggung. Lama-lama, hening dua menit itu menjadi kursi kosong yang dihormati semua orang. Di situlah rencana yang terlalu keras suaranya ditenangkan, dan keberatan yang takut bicara diberi giliran.
.
Pada hari ketika Jakarta akhirnya menunjukkan langit biru yang jernih setelah berhari-hari hujan, Jaya dan Saka berjalan kaki menyusuri trotoar Sudirman yang baru dirapikan. Mereka berhenti di pocket park kecil, duduk di bangku beton, memandangi pekerja kantoran yang terburu-buru tapi tetap sempat membuka lunch box.
“Lucu,” kata Saka. “Kita dulu mengejar panggung yang lebih besar, sekarang kita memilih panggung yang lebih tepat.”
“Panggung yang terlalu besar membuat kita lupa mendengar,” balas Jaya. “Panggung yang tepat membuat kita ingat berterima kasih.”
Saka menuliskan sesuatu di notes: “Yang Menjaga Malam bukan acara. Ia adalah kebiasaan untuk menyalakan lampu kecil di hati, bahkan saat lampu kota padam.”
Jaya mengangguk, lalu menambahkan satu baris:
“Pulang bukan alamat; pulang adalah keberanian untuk tetap jujur.”
Di bawahnya, Saka menggambar garis. “Dan yang menjaga malam, adalah mereka yang belum berhenti percaya.”
Mereka pulang jalan kaki, menyusuri trotoar yang penuh pohon peneduh. Di depan apartemen, satpam yang selalu menyapa dengan senyum mengangkat tangan. “Malam, Mas, Mbak,” katanya.
“Malam,” jawab mereka. Dan pada salam sederhana itu, mereka mengerti: ada dunia kecil-kecil yang setia menyiapkan rumah, bahkan ketika kita terlalu lelah untuk merapikannya sendiri.
.
Bertahun kemudian, jika orang bertanya bagaimana semua ini bermula—program pelatihan yang menumbuhkan percaya diri pekerja layanan, pameran foto yang membuat orang kota menatap ulang tangan mereka, roastery yang menolak melupakan lapar tetangga—Jaya dan Saka akan menunjuk ke satu kebiasaan: mematikan lampu utama pukul sembilan malam.
Di sana, di dalam diam yang terlatih, mereka mengukur ulang suara. Di sana pula mereka memberi nama pada takut, mengucapkan selamat tinggal pada ambisi yang tak perlu, dan menyalakan lilin kecil untuk mimpi yang nyaris padam.
Malam akan terus datang, kadang seperti teman, kadang seperti ujian. Tapi selama ada yang menjaganya—dengan secangkir teh, dengan notebook yang terbuka, dengan kalimat pelan di dinding kulkas—kita akan selalu menemukan jalan pulang yang benar: bukan ke alamat, melainkan ke diri yang berani jujur pada luka dan mimpi.
Dan Jakarta, dengan lampu-lampunya yang lagi-lagi menyala, tetap kota yang sama. Hanya saja, Jaya dan Saka kini tahu: kota tidak dimenangkan; ia dirawat—malam demi malam, tangan demi tangan, napas demi napas.
.
.
.
Malang, 8 Oktober 2025
.
.
#Cerpen #Jakarta #KelasMenengah #Hospitality #Storytelling #PulangKeDiri #Harapan #LiterasiKota #KompasMingguStyle #NamakuBrandku
.
Quotes dalam cerita:
-
“Jika angin berubah, kita ganti layar. Jangan marah pada laut.”
-
“Yang paling berharga dari malam adalah kesempatan untuk mendengar yang tak sempat berbicara di siang.”
-
“Kapal tidak diciptakan untuk terus di dermaga.”
-
“Pulang bukan alamat; pulang adalah keberanian untuk tetap jujur.”
-
“Yang menjaga malam adalah mereka yang belum berhenti percaya.”