Jeda
“Ketulusan yang terus-menerus dianggap kewajiban akan layu pelan-pelan;
bukan karena kehabisan cinta, melainkan karena ketiadaan penghargaan.”
.
Tentang ikhlas yang letih, cinta yang mencari ruang, dan ketulusan yang ingin kembali bernapas.
Di tengah gemerlap kota dan riuh ambisi, ketulusan bisa berubah menjadi kewajiban yang melelahkan. Jeda adalah cerita tentang seorang perempuan yang memilih berhenti sejenak—bukan untuk kalah, melainkan untuk menemukan kembali arti cinta yang sehat dan penghargaan yang tulus.
.
Di langit Jakarta yang pucat selepas hujan, Ambar Ninggar menatap reklame kafe yang memantulkan cahaya biru di kacamatanya. Ia biasa dipanggil Ning—seorang konsultan strategi merek yang hidup di antara proposal tujuh digit, penerbangan singkat setiap pekan, dan grup WhatsApp keluarga yang tak pernah sepi soal rencana arisan. Di apartemen 34 lantai yang menghadap kali buatan, ponsel Ning berdering lebih sering daripada bel rumah. Ramai, sibuk, berhasil—kata orang. Namun malam itu, tatkala lampu-lampu gedung memancarkan kilau yang seolah ramah, Ning merasa seperti berdiri di tengah panggung yang terus mendorongnya untuk tersenyum, sementara suara tepuk tangan tak lagi terdengar.
Amri Hambzah, pasangan Ning, datang terlambat seperti biasa. Kemeja linen putihnya masih menyimpan aroma ruang rapat dan kopi hitam. Amri adalah pendiri sebuah perusahaan rintisan yang menggabungkan data pariwisata dengan peta sentimen warganet. Ia cekatan dan fasih, mempunyai jaringan yang membuat pintu-pintu terbuka hanya dengan satu panggilan. Di matanya, masa depan adalah kurva pertumbuhan; dan keberhasilan, presentasi yang meledak di layar LED.
“Maaf, Ning. Investor minta revisi deck. Kita tinggal final,” katanya, mengunci ponsel dan meletakkannya telentang—sebuah gestur yang Ning pelajari sebagai tanda “aku hadir” walaupun pikirannya mungkin belum sepenuhnya sampai.
“Tidak apa,” jawab Ning. Kebiasaannya adalah merapikan nada kalimat sendiri agar tidak terdengar seperti keluh. Hidup mengajarkannya bahwa ketenangan memenangi lebih banyak perkara ketimbang pertengkaran yang benar.
Malam itu semestinya mereka merayakan ulang tahun hubungan. Ning menyiapkan sesuatu yang sederhana: seporsi pasta dari restoran langganan, setangkai lily putih, lagu kesukaan Amri di daftar putar. Ia juga menyelipkan sebuah amplop berisi rencana kecil—program pelatihan branding untuk UMKM milik ibu tunggal di pesisir, bagian dari janji lama mereka untuk “membayar kembali” kota. Tetapi di wajah Amri, ada kelelahan yang lebih tua dari usianya. Di sela-sela senyum, Ning membaca rasa bangga yang membutuhkan penonton lain selain dirinya.
“Lusa aku harus ke Singapura. Ada demo privat,” kata Amri. “Kamu bisa ikut menyusul? Biar sekalian kamu meeting sama klienmu di sana.”
Ning mengangguk. “Bisa. Nanti kuatur ulang presentasi Senin.”
Mereka makan. Percakapan berjalan rapi seperti daftar tugas. Di penghujung, Amri ingat memberi selamat. “Happy anniversary,” ucapnya, cepat, lalu mengalihkan cerita ke aktualisasi traction dan rencana pre-series A. Ning tertawa kecil, menyelamatkan momen, seperti biasa.
.
Ning tumbuh dari keluarga menengah atas yang disiplin. Ayahnya, Umar Madi—dipanggil Madi oleh sahabat-sahabat lamanya—dulu perwira sipil yang biasa memeriksa laporan keuangan daerah dengan tatapan yang dapat menembus kebohongan. Ibunya, Maya Umar, adalah dosen psikologi perkembangan. Dari mereka, Ning mewarisi dua hal: ketertiban catatan dan kebiasaan mengupas perasaan. Di rumah, meja makan menjadi istana kecil tempat wacana dan soto dibiarkan mendidih dalam api yang sama.
Kepada orang luar, keluarga ini tampak mapan: sebuah rumah tua yang direstorasi menjadi galeri foto kecil, anjing poodle bernama Joko Tole yang kesetiaannya seperti penjaga pura, dan koleksi buku yang seolah tak pernah habis diceritakan. Namun kemapanan tidak menghapus retakan halus: ayah yang pensiun kerap terjebak nostalgia akan ketegasan zaman, ibu yang pelan-pelan mengurangi jam mengajar karena darah tinggi, serta Ning yang setiap pulang selalu membawa kerjaan—bukan baju kotor.
Ketika startup Amri tumbuh dan ringkasan meeting makin panjang, Ning mengisi sela-sela hidup dengan proyek sosial. Ia mengenal pengungsi urban di Rusunawa Jatinegara, anak-anak pekerja migran di Tanah Merah, dan ibu-ibu yang memintal harapan dari panci besar di dapur komunitas. Ning percaya, kemewahan sesungguhnya adalah kebebasan untuk membantu tanpa memamerkannya. Di tempat-tempat itu, ia menamai programnya “Seroja”—sebab ketulusan seharusnya tumbuh bahkan di air yang keruh.
Namun ketulusan butuh ruang untuk bernapas. Di kantor, Ning terbiasa menjadi “penyelamat tenggat”. Di rumah, ia yang mengingatkan jadwal kontrol ibu, belanja vitamin, dan memilih kue ulang tahun keponakan. Di hubungan, ia yang menenangkan gelisah Amri, memoles pitch deck, dan menyambung percakapan dengan calon mitra. Ning merasakannya: ada semacam kelelahan yang tidak datang dari banyaknya pekerjaan, melainkan dari peran-peran yang diasumsikan orang lain sebagai kewajiban dirinya.
Suatu malam, saat menunggu taksi daring di depan rumah klien di Menteng, Ning menerima pesan dari Maya, ibunya:
“Nak, kamu kuat, tetapi kuatmu jangan sampai membuat orang lupa bahwa kamu juga manusia.”
Ning membaca dua kali. Jalan menyisakan bau tanah—baru saja hujan. Lampu-lampu kendaraan memantulkan wajahnya yang tampak tenang. Di dalam, sesuatu gemeretak pelan: keinginan untuk didengarkan tanpa harus membuktikan diri terlebih dahulu.
.
Amri mengundangnya menghadiri jamuan investor di sebuah restoran di SCBD. Di sana, Ning bertemu Wong Agung—nama panggilan akrab seorang taipan properti yang lebih tenar karena galeri seni dan beasiswa budaya. Wong Agung menatap Ning seperti menilai kualitas kain sutra.
“Jadi ini Ning, si kepala strategi yang diam-diam mengubah citra dua merek FMCG tahun kemarin?” katanya, separuh memuji, separuh riset.
Ning tersenyum. “Tim saya yang hebat, Pak.”
“Rendah hati,” Wong Agung tertawa. “Kamu tahu, dunia ini menyukai orang yang tahu tempatnya.”
Kalimat itu menempel di kulit Ning seperti cat tembok yang belum kering. Di akhir jamuan, Amri berkata, “Kamu dengar? Kita butuh dia. Kalau semua lancar, agaknya kita akan punya runway dua tahun.”
“Dengan syarat kamu tahu tempatmu?” Ning menggoda, tapi suaranya membawa riak kecil.
Amri tidak menangkapnya. “Tenang. Yang penting ‘closing’. Setelah itu, kita bisa lebih banyak bantu program sosialmu.”
Ning mengangguk, lalu menatap jendela. Di balik kaca, seorang perempuan muda menyapu lantai restoran dengan gerak yang hampir tak terdengar. Ketika semua memuji “visi”, ada tangan-tangan yang membersihkan sisa-sisa dari visi itu. Ning teringat Seroja.
.
Hari-hari berikutnya seperti gempuran notifikasi. Presentasi, perjalanan dinas, sesi coaching, video call lintas zona waktu. Ning memutar dirinya seperti baling-baling: menyuguhkan energi terbaik tanpa bertanya siapa yang mengisi kembali. Di sela-sela, ia mendesain modul Seroja untuk UMKM ibu tunggal: pembukuan sederhana, literasi digital, standar kebersihan, sampai cara menulis balasan sopan pada ulasan yang kejam. Ning menemukan kebahagiaan tenang saat seorang ibu bernama Adaninggar—mereka memanggilnya Ninggar—berhasil mendapat pelanggan tetap untuk katering rumahan.
“Kak Ning,” tulis Ninggar di pesan, “terima kasih karena ngajari kami menakar ulang harga, bukan cuma rasa. Ternyata kalau kita menghargai diri sendiri, orang juga belajar menghargai.”
Ning membaca kalimat itu saat berada di ruang tunggu bandara. Di sekeliling, orang-orang merencanakan liburan ke Raja Ampat, rapat di Bali, atau sekadar memesan kopi susu on the go. Ia tersenyum. Ketika pesawat lepas landas, Ning merasa sebagian dirinya ikut terangkat: harapan yang jernih, seperti melihat kota menyusut jadi gugus lampu di kegelapan.
.
Kerap kali, yang merobohkan rumah bukan badai, melainkan rembesan kecil yang dibiarkan bertahun-tahun. Pada Amri, rembesan itu berupa kata-kata ringan: “Nanti kita rayain kalau target tembus ya,” “Kamu kan lebih rapi urus ini,” “Tolong back up aku sekali ini,” “Kamu paling bisa, Ning.”
Pada awalnya, Ning menerima semuanya dengan bahagia. Ia bangga menjadi andalan. Namun pelan-pelan, kata-kata itu menumpuk dan memadat seperti batu karang. Ketulusan pun, bila tak diistirahatkan, akan menjelma tuntutan. Ning mulai sulit tidur. Di pagi hari, ia ingat bahwa ulang tahunnya mendekat. Di kalender, hanya ada satu catatan kecil: visit galeri foto ayah; pilih frame baru buat ibuk. Tak ada rencana selebrasi.
Suatu sore, usai mengisi sesi mentoring bagi mahasiswa, Ning kembali ke apartemen Amri. Ia menemukan meja makan berantakan, sisa rapat online. Di wastafel, piring kotor. Di sofa, catatan post-it dengan tulisan: “Ning, maaf ya. Meeting keburu. Dinner di luar. Love.”
Kertas kecil itu seperti petir tanpa suara. Ning menaruh tas, merapikan meja, mencuci piring, menyapu. Lalu ia duduk. Matahari menenggelamkan setengah kota. Di layar ponsel, grup sahabat SMA—Amir, Jati, dan Sekar—menawarkan tawa lama dan undangan reuni. Ning mengetik pelan: “Teman-teman, kalian pernah merasa ketulusan berubah jadi kewajiban? Gimana cara berhenti tanpa merasa bersalah?”
Balasan datang cepat.
Amir: “Ketika kita berhenti, baru terlihat siapa yang bertahan karena sayang, siapa karena nyaman.”
Sekar: “Kadang, meninggalkan bukan kekurangan cinta, tapi kelebihan luka.”
Jati: “Lu ambil hari ini buat diri lu, Ning. Biar dunia menunggu.”
Ning mengunci ponsel. Ia menatap cermin di dinding. Di sana, perempuan dengan rambut diikat seadanya, kaus polos, dan urat di leher yang sedikit menegang. Ia menyukai perempuan itu: tenang, cekatan, sekaligus rapuh pada tempat yang benar.
.
Ulang tahunnya jatuh pada hari Kamis. Pagi-pagi, ayah dan ibu datang membawa tumpeng kecil. Mereka tertawa, berfoto bersama. Joko Tole, anjing tua kesayangan, ikut duduk tenang seperti mengerti. Di tengah makan, ayah menatap Ning lama-lama.
“Ambarmu itu artinya wangi yang bertahan, Ning,” kata ayah. “Tapi sekalipun wangi, orang tetap harus menjaganya. Jangan terbiasa menghapus diri sendiri”.
Maya menambahkan, “Hidup yang sehat itu punya ruang untuk mendoakan diri sendiri.”
Ning memeluk mereka. Manusia beruntung bukan yang tak pernah letih, tetapi yang punya tempat pulang. Seusai mereka pulang, Ning melihat ponselnya. Ada pesan dari Amri: “Selamat ulang tahun, Ning. Maaf banget lagi padat. Malam ini dinner bareng Wong Agung. Kamu bisa menyusul?”
Ning menatap layar lama-lama. Lalu ia mengetik balasan: “Terima kasih, Amri. Malam ini aku ada acara.” Titik.
Ia pergi ke Rusunawa Jatinegara, membagikan nasi kotak hasil kerja Seroja. Di aula kecil, Ninggar menyalakan musik dari gawai butut; anak-anak menari seadanya. Ada kebahagiaan yang tidak berutang kepada pembuktian. Di antara mereka, Ning merasa ulang tahunnya lengkap.
“Doa kami, Kak Ning,” kata Ninggar, “semoga orang-orang yang kamu sayang juga belajar menyayangimu, bukan hanya hasil kerjamu.”
Kalimat itu menembus Ning seperti cahaya yang menemukan celah jendela. Ia mengangguk, memegang lengan Ninggar sebentar. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Ning membiarkan dirinya menangis. Bukan sedih, melainkan lega.
.
Puncak dari segala yang dipendam sering datang sebagai peristiwa sepele. Pada malam pameran foto ayah—yang digelar di rumah mereka—Amri datang bersama timnya. Ia memuji tata ruang, memotret, lalu menyudut Ning.
“Ning, tolong pegang X-banner di sisi kiri. Nanti kita pakai ruang tamu buat shoot testimoni Wong Agung, ya?” katanya, setengah berbisik, setengah memerintah, seperti ini adalah acara perusahaan.
Ning menatapnya, tak percaya. “Ini pameran ayahku.”
“Iya, tapi kita bisa sekalian—”
“Amri,” potong Ning, suaranya rendah dan tegas, “malam ini bukan tentang startup-mu.”
Amri terkejut. “Kamu kenapa? Aku cuma minta bantuan. Kamu kan biasa nolong.”
Kamu kan biasa nolong. Kalimat itu, akhirnya, membuat sesuatu di dalam diri Ning patah—bukan karena Amri jahat, melainkan karena ia lupa bahwa ketulusan juga memiliki umur. Ning meletakkan X-banner pelan-pelan.
“Aku juga ingin didengar sebagai perempuan yang punya hidupnya sendiri, bukan sebagai alat bantu,” ucap Ning. “Aku ingin kemesraan yang tidak ditukar dengan rasa wajib.”
Amri menatapnya lama. “Oke, baik. Setelah ini, aku pulang saja.” Ia berbalik, wajahnya kaku. Timnya menyusul tanpa suara. Pameran tetap berjalan. Foto-foto hitam putih ayah—pasar tua, wajah pedagang, jembatan malam—menjadi saksi dari percakapan yang tak selesai.
Di akhir acara, ayah duduk di teras. “Kau tahu, Ning? Kadang yang paling menyakitkan bukan ditinggal. Yang paling menyakitkan adalah terus bertahan di tempat yang membuatmu pelan-pelan tidak lagi mengenali dirimu.”
Ning menatap langit. “Kalau aku pergi, apakah itu berarti aku kalah?”
“Pergi bukan kalah. Pergi adalah keputusan untuk menjaga yang tersisa,” jawab ayah.
.
Beberapa hari hening. Amri tidak menelpon. Ia mengirim pesan dua tiga baris: “Aku sibuk. Nanti kita bicara.” Ning tidak memaksa. Di sela-sela, ia menuntaskan kurikulum Seroja, mengisi seminar, mengantar ibu kontrol. Ia menulis catatan untuk dirinya:
“Jangan biarkan yang tulus menjadi kuda beban.
Ketika penghargaan hilang, cinta berhak mencari ruang yang lebih terang.”
Sabtu siang, Amri tiba-tiba muncul di apartemen. Wajahnya sayu. “Maaf aku keras kepala,” katanya. “Aku terbawa arus. Kamu selama ini banyak bantu. Aku tahu.”
“Kamu tahu?” Ning mengulang, separuh berharap, separuh takut.
Amri mengangguk. “Tahu. Karena kamu berhenti nolongku, aku jadi sadar.” Ia tertawa singkat. “Ironi, ya?”
“Lalu?” tanya Ning.
“Aku ingin kita kembali seperti dulu.”
Ning menatap Amri lama-lama. “Dulu yang mana? Dulu ketika aku adalah mesin penyelamat? Atau dulu ketika kita berjanji membayar kembali kota ini bersama?”
Amri terdiam. Ada ketulusan di matanya, tetapi juga kebiasaan yang akan sulit berubah. Ning menghela napas. “Aku lelah menjadi ‘dulu’ yang tidak pernah diberi kesempatan untuk jadi ‘sekarang’.”
“Kamu mau putus?” Amri bertanya, suaranya pelan.
Ning tidak menjawab segera. Ia memandang jendela. Di jalan bawah sana, sepasang suami-istri paruh baya berjualan minuman dari bagasi mobil. Anak mereka membagikan sedotan dengan cekatan. Hidup sering kali bertahan bukan karena rencana besar, melainkan karena kerja kecil yang dihargai.
“Aku ingin jeda,” kata Ning akhirnya. “Bukan karena aku tidak cinta, tapi karena aku ingin rasa cintaku kembali sehat. Jeda bukan pintu keluar; jeda adalah jendela agar kita melihat lagi.”
Amri mengangguk, entah mengerti entah pasrah. “Baik. Aku menunggu.”
.
Jeda menjadi ruang sunyi yang berisik. Di malam-malam awal, Ning merasakan tubuhnya mencari-cari percakapan yang biasa. Tetapi seiring hari, ia menemukan ritme lain: bangun lebih pagi, mematikan notifikasi setelah pukul sembilan malam, memberi batas pada klien, dan—yang paling penting—mengizinkan dirinya menunda hal-hal yang tidak mendesak. Ia menulis jurnal harian dengan tiga kolom: Yang Dilakukan, Yang Disyukuri, Yang Dibiarkan. Kolom terakhir adalah pelajaran baru: tidak semua yang bisa dikerjakan perlu dilakukan.
Kabar baik datang seperti matahari yang disiplin—tiap pagi menunggu di balik tirai. Program Seroja mendapat dukungan dana dari sebuah yayasan. Wong Agung, yang diam-diam mengikuti gerak mereka, menawari kerja sama: ruang pelatihan di dua kota, beasiswa pelaku UMKM, serta eksposur di festival kulinernya.
“Kenapa tiba-tiba?” tanya Ning ketika bertemu di sebuah kafe tua.
Wong Agung tersenyum. “Saya belajar dari kamu. Kamu tahu tempatmu, tapi tidak menyuruh orang lain menempati tempat yang tidak mereka pilih. Itu jarang di kota ini.”
Ning menyambar senyumnya dengan syukur. Hatinya ringan. Penghargaan yang tepat datang pada waktu yang koheren—tidak terlalu cepat sehingga jadi pujian kosong, tidak terlalu lambat hingga berubah menjadi penyesalan.
Seroja tumbuh. Ninggar menjadi koordinator wilayah. Para ibu tunggal belajar standar sanitasi, foto produk, hingga negosiasi harga. Dalam tiga bulan, omzet sebagian dari mereka naik dua kali lipat. Mereka menyiapkan makanan untuk acara kampus, peluncuran buku, bahkan syukuran kecil di kompleks apartemen. Ning tidak di tengah panggung; ia berkeliling, memastikan lampu menyala dan kursi tidak goyah.
Pada sebuah sore, saat audit sederhana, Ning mendengar ibu-ibu itu saling mengingatkan: “Hargai dirimu; jangan diskon tanpa alasan.” Ia tersenyum. Rasa tulus ternyata memerlukan pagar: bernama standar, kontrak, dan kata ‘tidak’. Itulah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri.
.
Suatu malam, Amri mengundang Ning ke sebuah restoran sederhana dekat Taman Suropati. Rombongan startup-nya baru melewati fase negosiasi yang krusial. Ia datang sendirian, tanpa nada urgent di wajah.
“Aku belajar,” katanya pelan, setelah pelayan selesai menaruh sup buntut. “Belajar bahwa mencintai bukan soal mengandalkanmu sampai kamu hilang. Aku minta maaf karena membuatmu pergi ke tempat yang mestinya kutemani.”
Ning tidak tergesa menanggapi. “Terima kasih sudah mengakui. Tapi maaf bukan untuk menambal masa lalu; maaf untuk menata masa depan.”
Amri mengangguk. “Aku ingin memperbaiki caraku menghargai. Bukan sebagai strategi agar kamu tinggal, tapi sebagai cara hidup yang seharusnya kulakukan.”
Mereka makan. Dalam hening yang tidak lagi dingin, Ning merasakan sesuatu yang jujur. Ia masih mencintai Amri—itu fakta—tapi sekarang ia juga mencintai dirinya dengan cara yang lebih terang. Barangkali cinta dewasa memang bukan menelan semua demi bertahan; cinta dewasa adalah belajar mencintai tanpa melukai diri sendiri.
“Kalau kita mulai lagi,” kata Ning, “aku ingin ini berbeda. Di meja kita harus selalu ada dua porsi: milikmu dan milikku. Di rumah, ada jadwal berbagi. Di percakapan, ada jam off. Di program sosial, jangan hanya donasi; turun, lihat, dengarkan.”
Amri tersenyum. “Deal. Aku belajar memegang sapu juga.”
Mereka tertawa. Di luar, pohon-pohon tua bergoyang pelan. Angin malam tidak meminta lebih dari yang sanggup dibawa.
.
Seroja meresmikan dapur komunitas di sebuah ruko kecil bekas butik. Di dinding, Ning memasang kaligrafi sederhana: “Lelahmu sah, ketulusanmu berharga.” Para ibu membawa makanan terbaiknya—rawon, laksa, pepes tongkol, puding karamel. Amri datang lebih dulu, membantu menempelkan label, mengatur kursi, dan—hal yang membuat Ning bahagia—mengisi tempat cuci piring dengan sabun baru.
Wong Agung membuka acara dengan pidato yang ringkas. “Di kota yang bergerak cepat,” katanya, “kita mesti belajar berjalan pelan untuk menghargai yang hadir. Tanpa penghargaan, yang tulus pun padam.”
Ning berdiri di belakang, mengamati ibu-ibu yang tertawa. Ia menatap Amri yang mengangkat panci besar bersama Ninggar. Ada jenis kebahagiaan yang tidak memekakkan telinga, tapi menenangkan dada. Di sana, Ning mengerti: pengakuan bukan untuk menepuk dada, melainkan untuk menghindarkan hati dari retak yang tak perlu.
Sore itu, ia menerima pesan dari ibunya: “Jangan lupa makan.” Ning membalas dengan foto piringnya: nasi putih, rawon, sambal, kerupuk. “Sudah, Buk. Rasanya seperti rumah.”
.
Waktu mengalir. Ada hari baik, ada hari bising. Ada target yang tercapai ria, ada pengajuan yang ditolak mentah-mentah. Ada sore-sore ketika Amri lupa menjemput kemeja di laundry, ada pagi-pagi ketika Ning masih ingin menarik selimut. Tetapi kini mereka belajar menyebut lelah dan memeluknya bersama. Mereka menulis di pintu kulkas: “Tidak apa-apa menunda agung untuk menghargai kecil.”
Ning kerap diundang bercerita di kampus atau komunitas. Ia selalu memulai dengan kalimat yang lahir dari pengalaman sendiri:
“Setulus apa pun kamu memberi, tetap ada batas ketika lelahmu tak lagi dipahami.
Hargai dirimu terlebih dahulu agar orang lain punya contoh untuk menghargaimu.”
Setiap mengucapkannya, Ning teringat malam di wastafel dengan piring menumpuk, pesan Selamat Ulang Tahun yang dingin, dan air matanya di aula rusun. Lalu ia teringat juga tawa di dapur komunitas, Joko Tole yang setia mengamati, dan Amri yang perlahan menjadi pasangan yang hadir—bukan perencana yang menuntut.
Di atas meja kerja, Ning menempel sebuah kutipan dari buku catatan ayah:
“Pergi bukan kalah.
Kadang, pergi adalah cara tersantun untuk menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan.”
Pada akhirnya, cinta yang bertahan bukan yang paling keras bersuara, melainkan yang paling tekun menghargai—membuat tempat untuk jeda, memberi lampu hijau untuk keterbukaan, dan mengingat bahwa setiap ketulusan berhak pulang dalam keadaan utuh.
Dan ketika langit Jakarta kembali pucat selepas hujan, Ning berdiri di balkon apartemen, memandang kota yang tidak pernah sepenuhnya tidur. “Terima kasih,” bisiknya kepada dirinya sendiri, kepada orang-orang yang mau belajar, kepada hidup yang tak selalu mudah namun tak pernah berhenti menawarkan kesempatan.
Di bawah sana, lampu-lampu menyusun kalimat tanpa huruf: ketulusan yang dihargai adalah rumah. Ning tersenyum. Malam menjadi ramah.
.
Malang, 7 Oktober 2025
Jeffrey Wibisono V.
NamakuBrandku Academy| Telu Learning & Consulting
Penulis, mentor, dan praktisi hospitality yang menggabungkan kearifan lokal dengan filosofi global.
.
#CerpenKompasMinggu #Ketulusan #Penghargaan #UrbanJakarta #HubunganDewasa #Startup #UMKM #DapurKomunitas #Seroja #MenakMadura
.
Highlight Kutipan Kunci
-
“Ketulusan pun, bila tak dihargai, akan layu pelan-pelan.”
-
“Pergi bukan kalah; pergi adalah cara tersantun untuk menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan.”
-
“Jeda bukan pintu keluar, melainkan jendela agar cinta bisa kembali bernapas.”
-
“Hargai dirimu terlebih dahulu, agar orang lain belajar memberi penghargaan yang sama.”
-
“Tidak apa-apa menunda agung, demi menghargai hal-hal kecil yang membuat hidup tetap manusiawi.”