Racun yang Tersenyum

“Ada yang datang bukan untuk tinggal,
hanya untuk mengingatkan betapa beracunnya kenyamanan palsu.
Jika kebaikan tiba-tiba muncul dari tangan yang dulu melukai,
jangan buru-buru bersyukur — mungkin itu hanya cara lain untuk menagih.”

.

Jakarta menggelinding seperti roda raksasa: terang, licin, dan tidak pernah benar-benar berhenti. Di lantai empat puluh dua menara kaca Sudirman, Hamzah menatap kemacetan yang berkedip-kedip seperti nadi. Ruangan rapat baru saja kosong; aroma kopi sisa, kursi yang kembali ke posisi semula, layar LED memantulkan angka-angka yang belum sempat ia padamkan.
Di ujung meja, tanda tangan di atas perjanjian pendanaan mengering pelan.

Nusirwan menyentuh bahu Hamzah sebelum keluar. “Kau anak baik,” katanya, senyum tipis seperti pisau lipat. “Dunia suka anak baik yang tahu diri.”

Hamzah balas tersenyum. Dari balik kaca, ia melihat bayangannya sendiri—kemaja r putih yang rapi, dasi biru yang agak miring, mata yang terlihat lelah. Ia menepuk kantong celana: ponsel bergetar—pesan dari Maya.

Aku turun di Dukuh Atas. Kalau sempat, mampir. Aku antar teh.

Teh. Kata sederhana yang memanggilnya pulang.

.

Maya menunggu di bangku beton dekat terowongan seni. Jaket krem, ransel kecil, rambut diikat. Ia mengangkat dua gelas kertas. “Teh hitam, tanpa gula. Seperti biasa. Kau baik?”

Hamzah duduk. “Baik.” Di belakang mereka, remaja-remaja mengambil foto di lorong bercahaya. “Kita resmi dapat pendanaan lanjutan. Cabang baru bisa dibuka.”

“Dan harga kejujuran?” tanya Maya, menatapnya.

Hamzah menghela napas. “Masih bisa ditawar.”

Maya menatap mata Hamzah lama-lama—tatapan yang tidak menginterogasi, tapi menyilakan ia jujur. “Kau tahu aku selalu ada,” katanya. “Tapi ada hal-hal yang harus kau dengar dari suaramu sendiri.”

Hamzah meminum teh. Panasnya memulangkan ingatan ke dapur ibunya, Adaninggar, yang dulu tiap subuh menyiapkan sup bening dan nasi hangat. Dapur adalah lab. Meja makan itu sekolah, kata ibunya. Kalimat yang ia jadikan fondasi bisnisnya: UrbanHearth—ruang komunal bagi keluarga urban; perpaduan dapur kelas, perpustakaan mini, kelas STEAM anak, dan coworking bagi orangtua.

UrbanHearth tumbuh cepat. Dari satu rumah di Menteng menjadi empat cabang: Bintaro, Pondok Indah, Kelapa Gading, Surabaya Barat. Di Instagram, konsep “supper club untuk keluarga” menggoda para profesional muda: CFO yang pulang larut dan ingin tetap dekat dengan anaknya, dokter yang butuh ruang berkumpul, arsitek yang merindukan meja makan dengan obrolan hangat. UrbanHearth memberi resep, kelas, komunitas, juga kebanggaan baru: keluarga sebagai proyek terbaik.

Lalu datanglah Nusirwan—pengusaha gaya hidup yang memiliki saham di beberapa jaringan retail, butik wellness, dan portal parenting. Awalnya ia menolak, menyebut visi Hamzah “terlalu klinis, kurang drama”. Dua tahun kemudian, di tengah gelombang modal yang mencari narasi ramah keluarga, ia kembali dengan wajah ramah. “Kau butuh panggung. Aku punya lampu,” katanya.

Sejak itu, lampu menyala—terang; kadang terlalu terang.

.

Umar, sahabat SMA yang kemudian menjadi COO, menepuk pundak Hamzah di ruang pantry kantor. “Kita ditawari vendor interior yang ‘disarankan’ investor,” bisiknya. “Daftar harganya melambung. Aku menolak. Besok invoice kita ditahan.”

“Ini permainan lama,” kata Hamzah.

“Lama, tapi masih laris.”

Hamzah menggeleng. “Tender terbuka saja. Kita punya arsitek bagus. Dumilah bisa pimpin.”

Dumilah, istri Umar, memang arsitek interior piawai. Ia yang menggambar UrbanHearth seperti rumah yang selalu matahari—bahkan saat hujan. “Lampu harus seperti pelukan, bukan sorotan,” katanya.

Keputusan itu seperti menggeser kursi di ruangan yang diam—gemerincingnya terdengar sampai lorong-lorong dimana investor biasa berjalan. Telepon dari Nusirwan datang malam harinya.

“Anak muda,” suara Nusirwan seperti kain sutra. “Ada jalur cepat yang tak tertulis. Kau tak perlu berpura-pura suci.”

“Aku tidak suci,” kata Hamzah pelan. “Aku hanya ingin bisa tidur.”

“Saranku: belajarlah tidur dengan lampu menyala.”

Panggilan terputus. Hamzah memandangi layar telepon lama-lama. Maya mengirim stiker daun.

Jangan biarkan lampu orang lain menyilaukan hatimu, tulisnya.

.

Di kelas sup anak, Hamzah mengiris wortel bersama sepuluh murid. Pisau kecil mencium talenan. Aroma tumisan bawang menari. Anak-anak berseragam celemek oranye memandang dengan mata yang bulat. “Bentuk irisan mempengaruhi rasa,” ujar Hamzah. “Dan rasa mempengaruhi ingatan.”

“Seperti ingatan pada ibu?” tanya seorang anak, Roro namanya.

Hamzah tersenyum. “Seperti itu.”

Selesai kelas, seorang perempuan menunggu di pojok. Namanya Zubaidah. “Saya asisten rumah tangga di Cilandak, Mas,” katanya. “Saya ingin ikut kelas beasiswa. Saya pengin masak yang sehat untuk anak majikan. Sekalian untuk saya, siapa tahu bisa buka katering kecil.”

“Bisa,” kata Hamzah. “Pelatihan dimulai bulan depan.”

Kata-kata itu menenangkan. Tapi malamnya, Umar mengirim email “Confidential”. Ada spreadsheet—angka-angka berlipat di proyek cabang PIK. Vendor A terhubung ke B dan C dengan cara yang tidak etis. Tangan-tangan tak terlihat memungut koin sebelum koin itu masuk kas.

Hamzah membaca sampai pagi. Setelah subuh, ia pergi ke tepi pantai Ancol. Ombak memalu beton. Ia menelpon Nusirwan: “Aku ingin audit independen.”

“Santai. Itu menghambat laju,” jawab lawan bicara. “Kalau kekurangan dana, kita tambah. Tapi jangan bikin drama.”

“Aku tidak cari drama. Aku cari nafasku sendiri.”

“Baik,” ujar Nusirwan, nada suaranya lembut tapi menutup pembicaraan. “Kau akan dapat auditor—yang proper.”

Auditor datang, memaparkan temuan “tidak ada masalah berarti”. Umar menyerahkan amplop berisi rekaman telpon dan bukti transfer. “Aku tak bisa tenang,” katanya. “Kalau kita teruskan, kita berubah jadi yang bukan kita.”

Hamzah meremas kertas. Di telinganya, suara ibunya membisik: Kejenuhan paling mengerikan adalah jenuh pada nurani sendiri.

.

Hamzah mengumumkan penundaan ekspansi. Investor mendengus. Pekerja bagian komunikasi memutar otak meredam rumor. Maya menawari diri menyunting pernyataan publik. “Kau tak butuh kalimat pemenang,” katanya. “Kau butuh kalimat manusia.”

Pernyataan itu sederhana: Kami memilih memperbaiki dapur daripada menambah meja makan. UrbanHearth juga membuka Program Adaninggar—beasiswa memasak dan gizi untuk asisten rumah tangga, tenaga kebersihan, dan ibu pekerja lepas. “Orang-orang ini adalah tulang punggung kota yang tak berfoto,” tulis Hamzah.

Respon datang seperti arus deras. Sebagian memuji. Sebagian mengejek: “Romantis, tapi bodoh.” Portal bisnis mengirim notifikasi judul: Pendiri Start-up Gaya Hidup Tolak Ekspansi, Pilih Bagi Beasiswa. Investor Galau. Telepon Nusirwan kembali berdering. “Kau tampak seperti aktivis,” katanya tenang. “Pasar suka pahlawan, tapi lebih suka laba.”

“Kami tidak ingin jadi pahlawan,” jawab Hamzah. “Kami ingin jadi rumah.”

Malam itu juga masuk email bertanda penting dari kuasa hukum Nusirwan: pemberitahuan pelaksanaan call option—klausul yang memungkinkan investor mengambil alih aset tertentu termasuk merek Kelas Sup. Hamzah terdiam lama, seperti baru mendengar panci retak di tengah lagu.

“Kau mau digugat?” tanya Umar.

“Kalau harus.”

“Kita tidak punya uang banyak.”

“Yang kita punya: kawan.”

Maya menatap mereka berdua. “Kita cari pengacara yang mau dibayar dengan sup,” candanya setengah sungguh. “Dan jangan lupa tidur.”

.

Gugatan dilayangkan. Sidang bukan arena heroik: hanya ruangan dengan lampu neon, file tebal, angka yang menjadi senjata. Media memetakan pro-kontra. Sebagian menyebut Hamzah “idealis yang cengeng”, sebagian menyebut “anak baik yang dikerjai”. Hamzah tak sempat membacanya semua; ia masih mengajar kelas setiap Sabtu. Di sela-sela persidangan, Zubaidah memintanya mencicipi soto bening. “Saya ingin ajar kelas, Mas. Boleh?”

Hamzah tersenyum. “Boleh. Bukan murid—pengajar.”
Nama Zubaidah menjadi judul kelas. Tiket ludes. Orang-orang datang bukan untuk teknik saja, tapi juga untuk mendengar kisah: tentang kos, tentang kirim uang ke kampung, tentang memaafkan diri sendiri.

Di rumah, ayah Maya di Blitar menelepon. Suaranya parau. “Maya, Bapak bangga. Tapi Bapak minta kau hati-hati. Di kota, pisau bisa berbentuk angka.”

Maya pulang beberapa hari, membuatkan teh untuk ayahnya, membacakan esai yang sedang ia tulis: “Racun yang Tersenyum.” Esai itu terbit dan menyebar seperti kabar baik: pelan tapi mendalam. Kotak masuk Maya penuh pesan pekerja muda yang mengaku selama ini takut menamai ketidaknyamanan di kantornya. Ada yang bilang: Terima kasih. Kini aku berani bilang cukup.

Hamzah membaca esai itu malam-malam, matanya basah. Terima kasih telah menuliskan pintu, balasnya. Maya menuliskan satu kalimat: Pintu selalu ada. Kadang kita lupa memutar gagangnya.

.

Putusan majelis hakim turun pada pagi yang mendung. Klausul call option dianggap cacat karena unconscionable—mendorong ketidakadilan kontraktual. Merek Kelas Sup kembali pada UrbanHearth. Tetapi ganti rugi hanya sepotong kecil dari yang diminta. Keuangan UrbanHearth babak belur. Hamzah memutus kontrak sewa kantor menara dan pindah ke ruko dua lantai di Kramat. Tangga sempit, cat terkelupas, AC hanya di ruang depan.

“Ruang belajar tidak butuh marmer,” kata Dumilah, menata lampu-lampu gulung. “Ia butuh orang-orang yang percaya pada cahaya.”

Tim yang tersisa mengecat dinding bersama. Umar memutar musik dari ponsel. Zubaidah datang membawa panci besar. Sore itu, orang-orang makan sambil duduk di lantai semen—tertawa karena lelah, bukan karena kemenangan.

Hamzah mengirim pesan pada seluruh pelanggan: UrbanHearth pindah. Lampu kami mengecil, tapi hangatnya sama. Balasan berdatangan. Ada ibu bekerja yang menawarkan donasi buku anak. Ada barista yang meminjamkan mesin kopi. Ada guru pensiunan yang menawarkan kelas membaca dongeng. “Kota ini tidak sepenuhnya dingin,” kata Maya.

Di ruko itu, UrbanHearth menjadi lebih jujur dari sebelumnya. Tanpa lampu sorot, yang tampak adalah wajah. Tanpa marmer, yang terasa adalah napas. Kelas-kelas kembali penuh. Perpustakaan kecil terbuka hingga malam; anak-anak mengerjakan PR sementara orangtua menyelesaikan deadline. Di papan pengumuman, terpasang jadwal: Kelas Sup, Kelas Bekal Kantoran, Kelas Gizi Remaja, Kelas Keuangan Keluarga, Kelas Desain Cahaya Rumah. Diversifikasi yang lahir dari kebutuhan nyata—bukan dari presentasi investor.

Pada ulang tahun UrbanHearth, halaman ruko didekorasi seperlunya. Ada lampion kertas, ada gitar Umar, ada puding jeruk karya Zubaidah. Maya membacakan sebuah kalimat yang menjadi benang merah tempat itu: Bahagia bukan tentang di mana kamu berada, tapi dengan siapa kamu dianggap ada.

Hamzah menatap langit. Ia tahu, hutang masih harus dicicil, laporan pajak menunggu, sewa ruko perlu dinegosiasi. Tapi matanya tenang. Ia memeluk Maya. “Terima kasih tetap tinggal saat dunia tampak tak ramah.”

“Yang menyembuhkan bukan dunia,” balas Maya. “Yang menyembuhkan adalah cara kita menatapnya.”

.

Beberapa bulan sesudahnya, kepala perpustakaan kota menghubungi Hamzah: “Kami punya ruang dapur kecil yang lama tak dipakai. Ingin bekerja sama?”
Hamzah datang melihat: jendela berdebu, ubin retak, ventilasi sempit. Tapi lokasi strategis. “Kita bisa hidupkan lagi,” katanya. Dumilah mengangguk, sudah membayangkan lampu-lampu hangat. Mereka menandatangani kerja sama sederhana: UrbanHearth mengisi kelas keluarga, perpustakaan memperpanjang jam buka.

Grand opening tidak disiarkan portal besar. Hanya poster fotokopi di papan pengumuman perpustakaan, unggahan Instagram apa adanya, dan pesan berantai di grup ibu-ibu kantor. Tapi antrian tetap ada. Kelas “Bekal Kantoran Sehat 20 Menit” diserbu analis bank dan staf firma hukum; kelas “Masak Anak Kos Anti Menyesal” dipenuhi mahasiswa baru; kelas “Membaca Kota Melalui Dapur” dihadiri arsitek muda, penulis, dan seorang dokter gigi yang baru pulang praktik.

Di kelas terakhir itu, Maya menjadi moderator. Hamzah bicara tentang kota yang membentuk rasa: pedas untuk lalu lintas, manis untuk lampu malam, asin untuk berita yang menempel di lidah. “Kita mengira kesuksesan adalah restoran yang selalu penuh,” katanya. “Padahal mungkin, kesuksesan adalah ketika seseorang belajar membuat satu mangkuk sup, lantas memakannya pelan-pelan, dan untuk pertama kali dalam sebulan, ia merasa aman.”

Seusai sesi, perempuan paruh baya bernama Ranggini menghampiri. “Anak saya autisme ringan,” katanya. “Di sini, ia mau duduk dan memotong roti satu-satu. Terima kasih.”

Hamzah mengangguk, tenggorokannya tercekat. “Kami yang berterima kasih.”

.

Suatu malam, ketika Hamzah sedang mengunci pintu perpustakaan, ponselnya bergetar. Nomor Nusirwan. Ia menatap layar lama, lalu mengangkat.

“Saya dengar kau membuka cabang di perpustakaan,” suara di seberang ringan, seolah-olah yang terjadi beberapa bulan terakhir hanyalah hujan yang sudah reda.

“Begitu adanya,” kata Hamzah.

“Kau menang kecil, tapi kalah besar. Kau bisa kembali besar, kalau mau. Kita buat jaringan nasional. Kau lebih cocok di panggung gede.”

“Aku sudah di panggung yang tepat,” kata Hamzah. “Kecil, tapi jujur.”

Pau s. Hamzah mendengar bunyi es batu beradu gelas. “Kalau kau berubah pikiran, kau tahu nomorku.”

“Aku akan menyimpannya,” jawab Hamzah, “sebagai pengingat apa yang tak akan kubuka lagi.”

Ia menutup telepon. Maya berdiri di ujung lorong, menenteng dua gelas kertas. “Teh,” katanya. “Tanpa gula. Seperti biasa.”

Mereka duduk di tangga. Lampu koridor menyisakan cahaya tipis. Dari ruang baca terdengar suara seseorang mengeja nyaring. Di dapur kecil, Zubaidah dan dua peserta beasiswa membereskan peralatan, bercakap-cakap tentang harga cabai dan ongkos pulang.

“Kadang aku bertanya apa yang membuat kita bertahan,” kata Hamzah.

Maya memiringkan kepala. “Rasa. Rasa bahwa kita masih bisa tidur.”

Hamzah menatapnya, mengangguk. “Racun yang tersenyum, ternyata, paling mudah dikenali ketika kita berani mematikan lampu.”

Maya tertawa pelan. “Dan menyalakan kompor.”

Mereka berdiri. Hamzah mematikan lampu satu-satu, menyisakan penerangan lembut di rak anak. Kota di luar jendela berkelip. Bukan sorak kemenangan, melainkan napas panjang yang tidak lagi tercekat.

.

Kabar tentang UrbanHearth menyebar bukan melalui headline, melainkan dari mulut ke mulut. Seorang CFO mengajak seluruh divisinya ikut kelas “Makan Siang Tanpa Rapat”; seorang dokter spesialis merekomendasikan “Kelas Sarapan Anti Cemas” kepada pasiennya; kampus desain mengundang Dumilah memberi kuliah umum tentang cahaya yang tidak mencolok tapi menenangkan. Di luar kelas, komunitas kecil tumbuh: Klub Membaca Resep Nenek, Klub Jalan Pagi, Klub Menulis Ucapan Terima Kasih.

Dalam salah satu pertemuan, Umar berkata, “Kita mungkin tidak akan terkenal. Tapi mungkin ketenaran memang bukan tujuan. Tujuan kita: membuat orang tidak sendirian.”

Hamzah mengamininya. Malam itu, ia mengirim pesan di grup internal: Terima kasih sudah memilih api kecil yang jujur di tengah kota yang menyukai sorot. Kalau esok ada yang goyah, mari makan bersama.

Esoknya, seorang remaja laki-laki tinggi datang ke perpustakaan membawa proposal: program magang untuk siswa SMK tata boga. Hamzah menyambut. “Silakan duduk. Ceritakan mimpimu.” Remaja itu bercerita tergopoh-gopoh: ayahnya sopir truk, ibunya pedagang sayur, ia ingin jadi chef tapi takut kalah modal. “Modal yang paling mahal bukan uang,” kata Hamzah. “Modal paling mahal adalah kemampuan menolak saat disuruh menipu. Di sini, kau bisa mulai.”

Remaja itu tersenyum, mata berair. “Terima kasih, Mas.”

Hamzah memandang langit-langit perpustakaan yang mulai bebas debu. Ia teringat ibunya: Jangan takut dibilang kecil. Takutlah dibilang palsu. Ia menunduk, mengikat celemek. Di meja kerja, Maya menulis pelan, menyusun kalimat baru: Rumah adalah tempat kita memilih kebenaran yang bisa kita tanggung.

Di luar, Jakarta berjalan lagi. Orang-orang bergegas menjemput hidupnya. Lampu-lampu apartemen menyala bergiliran, seperti bintang yang ditemukan kembali. Dan di antara bintang-bintang itu, di sebuah perpustakaan kota yang tadinya sepi, kompor kecil menyala, menghangatkan mangkuk sup bening. Rasanya tidak spektakuler, hanya jujur.
Itu cukup—lebih dari cukup—untuk membuat seseorang ingin pulang.

.

.

.

Malang, 7 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#RacunYangTersenyum #CerpenKompasMinggu #UrbanHearth #EtikaBisnis #KeluargaPerkotaan #DapurSebagaiSekolah #Jakarta

Leave a Reply