Buku Manual Keheningan
“Jangan salah paham: diamku bukan tunduk. Diamku adalah rem tangan di turunan yang licin.”
“Di dunia yang bising, kadang yang paling berani bukan yang berteriak paling keras,
melainkan yang memilih diam—agar batinnya tetap utuh.”
.
Lampu-lampu Jakarta tampak seperti jaring bintang yang ditebar di tanah. Dari atap apartemen di Kuningan, Zubaidah berdiri mematung. Di belakangnya, pintu geser kaca terbuka separuh, menggiring angin malam ke ruang tamu yang rapi: sofa kain abu, rak buku yang disusun dalam tiga warna, dan meja kopi dengan cangkir teh melati yang mulai dingin. Di ponsel, sederet notifikasi masih menyala—namanya disebut di grup bisnis, unggahan lamanya dikutip di akun gosip industri, dan ada satu pesan yang baru saja masuk: We need to talk. Dari Hamzah.
Ia mematikan layar. Sunyi, pada akhirnya, adalah hak yang harus diperjuangkan.
.
Zubaidah lahir dari pasangan yang percaya pada dua hal: kerja baik dan reputasi baik. Ayahnya, Arif, arsitek yang mengajar paruh waktu; ibunya, Halimah, mendirikan creative school kecil yang mengajarkan anak-anak menulis jurnal harian. Rumah mereka dulu di Surabaya Barat, taman depan dengan kamboja putih, dan meja makan yang selalu bising oleh perdebatan ide. Zubaidah tumbuh bukan sebagai pemenang lomba pidato, melainkan pendengar yang menyalin gerak mata orang. “Kalau kau mau memenangkan hati,” kata Halimah, “dengarkan sampai orang berhenti curiga.”
Ia berkuliah di Bandung, mengambil Ilmu Komunikasi. Lalu, seperti banyak anak kelas menengah atas yang lincah memadukan kuliah dengan kerja paruh waktu, Zubaidah menjadi publicist untuk galeri seni, copywriter lepas untuk brand fesyen lokal, dan pengajar workshop etika digital di kampus-kampus. Portofolionya bersih, caranya bicara sederhana, dan ia punya satu kelemahan: percaya bahwa ketulusan akan menemukan pantulannya.
Di sebuah konferensi kewirausahaan sosial di Jakarta, Zubaidah bertemu Hamzah. Lelaki itu membawa aura ruang rapat: kemeja putih berpotongan slim fit, sebuah jam tangan yang tak perlu dijelaskan harganya, dan tatapan yang memeriksa ruangan seolah semua kursi sudah menandatangani kontrak dengannya. Hamzah sedang membangun platform donasi mikro berbasis blockchain. Ia bercerita tentang transparansi, tentang menghapus kebocoran, tentang membalik nasib para pekerja harian. Kata-katanya seperti lencana yang berkilau.
“Investors like you,” Hamzah menunjuk catatan-presentasi Zubaidah yang lengkap dengan riset perilaku donatur, “adalah mitra yang saya cari. Kamu jujur. Dan honesty selalu menang.”
Zubaidah tidak tertarik menjadi investor. Ia tertarik pada why yang diucapkan tanpa gemetar. Malam itu, di after party yang penuh gelas tinggi, mereka berbicara sampai lampu-lampu ditinggikan. Zubaidah menawarkan bantuan sebagai konsultan komunikasi dan tata kelola reputasi. Hamzah menyambut. Di meja berikutnya, seseorang tersenyum menyaksikan pertemuan itu—Safirah, influencer yang dikenal karena konten lifestyle luas: yoga retreat, fine dining, dan ucapan-ucapan yang dirangkai seperti brosur.
Sementara itu, lingkaran inti hidup Zubaidah sesederhana tiga orang: Maya, sahabat sejak SMA yang kini memimpin LSM kecil untuk perempuan pekerja ritel; Madi, koki yang membuka bistro sehat di Tebet; dan Umar, kawan debat kampus yang kini menjadi pengacara di firma corporate. Mereka bertiga adalah pagar suara. Mereka merayakan keberhasilan kecil Zubaidah: satu kampanye donasi darurat banjir yang bersih dan cepat, satu lokakarya etika komunikasi untuk startup yang diisi gratis, satu artikel panjang yang viral tentang silent leadership.
Namun di bawah sorot terang, selalu ada bayangan.
.
Kampanye blockchain charity Hamzah berkembang. Para selebritas menyumbang. Media menulis. Safirah menjadi wajah publiknya, mengunggah video storytelling yang menyentuh. Dalam beberapa bulan, reputasi Hamzah terpasang rapi di papan-papan diskusi investor. Di ruang rapat yang dindingnya kaca bening, Zubaidah mempresentasikan framework tata kelola: pemisahan dompet digital, audit trail berkala, whistleblower policy, dan fail-safe komunikasi krisis. Hamzah mengangguk-angguk. “Kita akan jadi standar baru,” katanya.
Malam setelah presentasi, Hamzah mengirim pesan: Terima kasih. Kamu bukan hanya konsultan. Kamu inti. Lalu, satu demi satu, pesan yang lebih hangat, lebih pribadi, mencoba meminjamkan kata “kita” ke ranah yang lain. Zubaidah menata jarak. Ia balas dengan ramah, tidak lebih.
Suatu siang, Maya datang ke kantor membawa kabar. Ada pekerja freelance yang mengaku tidak dibayar untuk kampanye promosi awal. “Namanya disuruh pakai alias, Zub,” kata Maya, “kontraknya model barter exposure.” Zubaidah menelan ludah: itu bukan kebijakan yang ia setujui. Ia memeriksa email, menelusuri chat tim. Ada celah di manajemen influencer yang belum rapi; Safirah memegang sebagian besar koordinasi talent. Zubaidah menegur halus. Hamzah bilang akan membereskan.
Beberapa pekan kemudian, Zubaidah mendapati tanda-tanda lain: dashboard donasi yang dipamerkan ke publik tidak identik dengan dashboard internal; ada anomaly yang “akan kami sinkronkan setelah audit akhir” menurut tim keuangan Hamzah. Di rapat inti, ia mengangkat tangan. “Kita perlu third-party audit sekarang,” suaranya tenang, “dan transparency note untuk publik.” Hamzah tersenyum, memutar pena di antara jari. “Tenang. Kalau semua dibuka sekarang, pesaing akan mengambil narasi. Kamu terlalu ideal.”
Zubaidah diam. Yang ia dengar bukan alasan, melainkan permainan waktu.
Dalam seminggu, gosip kecil mulai beredar: “Kampanye ini cuma front buat cuci dana investor.” “Zubaidah ini naif, di belakang layar semua dipegang satu orang.” Di Twitter, thread anonim memajang potongan screenshot percakapan tanpa konteks. Akun gosip startup membuat judul yang memancing. Safirah, tanpa menyebut nama, mengunggah story: Ada orang yang tampak suci, padahal…—tiga titik yang pandai mengundang imajinasi orang. Hamzah tidak kunjung mengeluarkan rilis resmi.
Dan pada malam paling penat, Zubaidah mendapat chat nomor tak dikenal: foto dirinya sedang keluar dari apartemen, diberi tanda panah merah. Jangan sok benar kalau tidak kuat, tulis pengirim.
Ia duduk di lantai, punggung bersandar dinding. Angin dari exhaust AC berputar tanpa arah. Di kepalanya, ibunya membisik: dengarkan sampai orang berhenti curiga. Tapi malam itu, yang ia dengarkan hanyalah detak jantungnya sendiri. Zubaidah menutup mata, mengukur napas. Ia memutuskan: mundur.
.
Berita mundurnya Zubaidah tidak pernah ia umumkan sendiri. Ia hanya mengirimkan surat ringkas pada manajemen: menyerahkan semua asset, mencabut akses, dan merekomendasikan audit. Ia menulis satu paragraf yang utuh, tetapi tidak panjang. Di luar dugaan, surat itu bocor. Akun yang sama kembali menulis: Lihat, kalkun yang kabur dari dapur. Safirah menyukai unggahan itu dengan hati-hati—tanpa komentar, sambil menautkan konten lain.
Maya memeluk Zubaidah seperti memeluk adiknya yang keliru mengira baik itu pasti menang. “Kau baik, bukan keliru,” kata Maya. “Tapi baik yang tidak punya pagar adalah undangan.”
Umar, setelah membaca dokumen yang Zubaidah bawa dalam map bening, duduk termangu. “Secara hukum, kau aman,” katanya, “tapi reputasi itu belantara. Kita bisa mengajukan somasi pada akun-akun gosip, meminta platform menurunkan konten, bahkan melaporkan. Tapi satu hal: memilih bertarung itu juga memilih menanggung ingar-bingar.” Umar menatap lama. “Apa yang kau pilih?”
Zubaidah menatap tangannya sendiri. Jari-jari yang dulu lincah memegang pena kini terasa gemetar kecil. Keinginannya bukan menang. Keinginannya: damai. “Kalau aku maju,” katanya, “mereka menang karena memaksaku masuk gelanggang yang mereka tentukan. Kalau aku diam, aku bisa menata ulang narrative di ruang yang aku pilih.”
“Diam itu bisa disalahpahami,” ujar Umar.
“Biarkan disalahpahami dulu,” kata Zubaidah. “Aku akan membuat buku manual untuk keheningan.”
.
Manual itu bukan buku sungguhan. Hanya daftar di buku catatan, ditempelkan di dinding: Batas. Ruang aman. Ritual pengembalian diri. Pagi, ia berolahraga dengan Madi di taman Tebet; siang, ia mendampingi Maya merancang pelatihan negosiasi upah untuk pramuniaga; malam, ia mengajar di kelas evening program tentang komunikasi krisis. Ia menonaktifkan komentar di beberapa unggahan, mengubah privacy setting, mengganti nomor telepon yang tersebar, dan melaporkan pesan intimidatif ke platform.
Selama berminggu-minggu, narasi ganda berseliweran seperti asap: ada yang menyebutnya whistleblower pengecut; ada yang memujinya karena tidak membalas fitnah. Zubaidah menjawab klien yang bertanya dengan satu kalimat baku: Saya memprioritaskan integritas dan ketenangan kerja; mari fokus pada pekerjaan Anda. Seseorang dalam dirinya mulai nyaman dengan sunyi. Sunyi ternyata bukan ruang kosong; ia ruang kerja yang tidak diumumkan.
Di tengah pemulihan itu, kabar datang dari Madi: bistro-nya akan mengadakan gala amal kecil—bukan megah, hanya undangan terbatas untuk mendukung beasiswa anak barista. “Zub,” kata Madi di telepon, “aku butuh kurator cerita malam itu. Kau yang paling bisa membuat orang percaya bahwa donasi bukan rasa bersalah, melainkan hak orang untuk berbagi.”
Zubaidah mengiyakan. Ia menyiapkan naskah emsi yang tidak menonjolkan dirinya, memilih foto-foto yang menampilkan mata para barista ketika mengendus aroma kopi untuk pertama kali. Ia percaya cerita yang baik selalu memuliakan subjeknya.
Tiga hari sebelum acara, undangan digital menyebar ke lingkaran kelas menengah atas: direktur kreatif, founder merek tas, dokter kecantikan, dosen teknologi pangan, developer properti, juga beberapa angel investor. Di daftar hadir, Zubaidah membaca satu nama yang membuat perutnya dingin: Hamzah.
“Dia diundang Madi juga?” tanya Maya.
“Dia pelanggan tetap,” jawab Madi. “Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Zubaidah menimbang. Fight, flight, freeze. Kali ini, ia memilih opsi keempat: flow. Ia akan mengalirkan acara dengan begitu rapi sampai setiap orang lupa ada sejarah yang belum dibicarakan.
.
Malam gala, langit Jaksel baru saja selesai diguyur hujan. Bistro Madi wangi roti panggang dan lemon. Dinding dipenuhi foto: tangan-tangan anak magang yang mencatat resep, tatapan serius di balik steam wand, sepatu yang kelelahan. Di panggung kecil, ada mikrofon yang menunggu.
Zubaidah muncul dengan gaun hitam sederhana. Ia membuka acara tanpa menonjolkan diri: terima kasih untuk waktu, untuk kepercayaan, dan untuk hak yang sedang ditunaikan malam itu. Ia bercerita tentang perjalanan satu barista yang menabung dari tip untuk membeli buku resep kopi, tentang manajer shift yang diam-diam membiayai fotokopi modul bagi anak magang. “Kita tidak sedang memindahkan rasa kasihan,” ucapnya, “melainkan menyambungkan daya yang memang sudah kalian miliki.”
Ia sengaja tidak menyebut blockchain, tidak menyebut gosip. Tapi orang-orang yang sudah punya cerita di kepala tak perlu diberi ulang.
Hamzah datang terlambat. Ia berdiri di dekat pintu, tersenyum seolah semua yang menyakitkan adalah bagian dari branding perjalanan. Safirah mengikuti beberapa langkah di belakang, wangi white musk mengambang. Tatap mereka tidak menabrak Zubaidah; justru menepi. Seperti orang yang tahu posisi kamera.
Sesi lelang foto dimulai. Zubaidah menjaga alur: cepat, bersih, hangat. Ketika seseorang menaikkan angka, ia mengimbangi dengan narasi ringkas yang membuat angka itu punya wajah. Semua berjalan mulus sampai satu isu muncul dari sudut ruangan—seorang influencer baru, temannya Safirah, mengangkat tangan. “Aku mau bertanya,” suaranya sengaja ditinggikan, “bagaimana transparansi donasi ini? Apakah ada audit pihak ketiga?”
Ruangan menoleh, udara berubah. Zubaidah bisa memilih menjawab teknis atau mengundang silang argumen yang lain. Ia memilih jalan yang ia siapkan: “Pertanyaan bagus,” katanya, “dan jawaban sederhananya—ada. Laporan malam ini akan diunggah terbuka dalam tujuh hari kerja dan dapat diperiksa oleh siapa pun. Kalau ada temuan, saya pribadi yang akan mengundang Anda kembali untuk coffee talk. Kita belajar bareng.”
Maya berdiri di belakang penanya, menepuk pelan kursi. Hamzah menatap, lalu mengalihkan pandang ke jam tangannya. Zubaidah tersenyum pada influencer itu, menambahkan: “Sebagai orang komunikasi, saya percaya kepercayaan bukan dibangun oleh pernyataan, tapi oleh kebiasaan. Silakan kritik. Kritik membuat kami tidak nyaman dengan kelemahan.” Suasananya luluh kembali. Lelang berlanjut. Malam ditutup oleh tepuk tangan yang tidak meledak-ledak, namun hangat seperti roti yang baru keluar oven.
Selesai acara, Hamzah mendekat. “Kau semakin pandai,” katanya lirih.
“Bukan pandai,” jawab Zubaidah, “hanya tidak ingin ke pandai-pandai-an.” Ia menatap mata Hamzah secukupnya, seperti orang yang belajar menyulam batas. “Semoga auditmu juga secermat senyummu.”
Hamzah mengerjap. Ada sepersekian detik di mana wajahnya tampak lelah menjaga narasi. “Kau tahu,” katanya akhirnya, “sunyi itu tidak selalu menyelamatkan.”
“Betul,” Zubaidah tersenyum, “karena sunyi bukan alat. Sunyi adalah rumah.” Ia melangkah pergi, melewati Safirah yang menatap seperti memeriksa filter wajah. Di luar, udara selepas hujan membasuh pipi. Zubaidah menengadah. Langit belum penuh bintang, tapi ia cukup.
.
Beberapa bulan berlalu. Di media, nama Hamzah tak lagi ajeg. Satu-dua kasus chargeback muncul, comment section menagih laporan. Ia menjawab dengan video panjang tentang “tantangan di industri filantropi digital”, memasang musik latar yang heroik. Safirah mendapat sponsor rangkaian wellness, terus menulis tentang boundaries dan self-love dengan font yang cantik. Jalan terus, narasi jalan.
Sementara Zubaidah memilih jalur yang lebih kecil, yang lebih bisa ia jaga. Ia bersama Maya membangun kelas private untuk perempuan profesional yang pernah melalui perundungan kantor. Mereka bertemu tiap Sabtu pagi di co-working Pancoran, membawa bekal pribadi, berdiskusi tentang cara mengatakan “tidak” tanpa menumpahkan rasa bersalah. Zubaidah tidak menulis nama siapa pun, tidak menandai prioritas apa pun. Ia hanya menyusun ulang manual keheningan yang dulu menolongnya: cara mematikan notifikasi tanpa mematikan kepedulian; cara berjarak tanpa berkhianat pada nilai; cara membaca permainan tanpa bermain.
Suatu sesi, datang peserta bernama Maya S—bukan sahabatnya. Ia bercerita tentang atasan yang gemar memancing isu di rapat lalu mengabaikan kenyataan saat makan siang. “Aku lelah,” katanya. “Tapi kalau aku berhenti, aku merasa mereka menang.”
“Kau sudah menang,” jawab Zubaidah, “karena kau memutus siklus.” Ia mengajarkan script kalimat sederhana: Terima kasih, akan saya balas tertulis. Saya butuh waktu memeriksa datanya. Saya menghargai pendapatmu; untuk saat ini saya memilih jalanku. Kata-kata yang tidak mencari perang tetapi tidak juga menurunkan pagar.
Kabar tentang kelas itu akhirnya menyebar justru karena hasilnya, bukan karena kampanye. Seorang dokter teman peserta menawarkan ruang kliniknya setiap Minggu sore untuk group therapy; seorang dosen membuka module pengantar literasi digital untuk ibu bekerja; seorang pengembang properti menyumbang untuk pengadaan buku-buku. Tanpa sengaja, Zubaidah sedang memelihara ekosistem kecil di tengah kota yang besar.
Pada ulang tahunnya yang ke tiga puluh dua, pagi datang seperti amplop putih di bawah pintu. Maya dan Madi mengajak sarapan di bistro. Umar menyusul, membawa kue mungil dengan lilin yang malu-malu. Mereka semua tertawa, membicarakan hal-hal remeh: aplikasi car sharing yang sering tersesat, harga alpukat yang naik-turun, perdebatan jenaka tentang siapa yang paling rajin bayar pajak tepat waktu.
“Buatku,” kata Maya, “kau sudah kembali jadi Zubaidah yang kita kenal, tapi dengan pagar yang cantik.” Madi mengangguk. “Keramahan yang tidak lagi jadi pintu terbuka dua puluh empat jam.” Umar menimpali, “Dan kalau ada yang menerobos pagar, hubungi pengacaramu ini dulu, bukan ke timeline.”
Zubaidah tertawa. “Baiklah,” katanya, “kalian menua denganku.”
Ia pulang siang itu dengan hati yang tidak lagi meminjam hukuman untuk menyebutnya kuat. Di apartemen, ia menulis satu bagian terakhir di dinding manualnya: Maafkan diri yang pernah percaya tanpa pagar. Ia yang membuatmu belajar cara menanam pagar dengan bunga. Lalu ia menambahkan satu kutipan yang akan ia tempel di pintu keluarnya:
“Keheningan bukan pelarian; ia adalah cara paling dewasa untuk memilih perang yang patut diperjuangkan.”
.
Pada suatu malam—malam seperti banyak malam lain, dengan kota yang tak pernah ingin tidur—Zubaidah menerima pesan dari nomor baru. Terima kasih untuk kelasnya. Untuk pertama kalinya aku merasa tidak harus marah untuk menjadi berani. —S. Nama itu mengingatkannya pada seseorang; tapi di manual yang ia tulis, ada satu bab yang jelas: Jangan mengecek masa lalu yang tidak memintamu kembali.
Ia mengetik balasan: Sama-sama. Jaga batas. Jaga diri. Lalu, seperti biasa, ia mematikan ponsel pukul sepuluh. Di luar sana, dunia mungkin tengah berdebat siapa paling benar; di dalam sini, Zubaidah hanya ingin mendengar suara seduhan teh dan detak jam dinding. Besok, ada kelas baru. Ada cerita-cerita baru yang menunggu ditenun tanpa mengorbankan tenang. Ia menutup mata. Bukan karena takut. Karena memilih damai daripada drama.
Dan, seperti lampu-lampu kota yang melambai jauh di bawah sana, ketenangan itu menyalakan dirinya dari dalam.
.
.
.
Jember, 4 Oktober 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #FiksiPerkotaan #KelasMenengahAtas #SilentLeadership #BatasSehat #EtikaDigital #JakartaStories #KisahEmosional