Bangkit: Ketika Keberhasilan Bukan Lagi Headline

“Bangkit itu bukan tentang menolak jatuh, melainkan memeluk tanah, menata ulang napas, lalu berjalan lagi—meski dunia pura-pura tidak melihat.”

.

Angin dini hari Jakarta selalu punya kebiasaan lama: menyapu sisa-sisa malam dari atap gedung, menurunkannya ke trotoar penuh daun kering, lalu menghilang di balik deretan kafe yang cahayanya belum dinyalakan. Hamzah berdiri di balkon apartemen lantai 23, memandangi jalan arteri yang sebentar lagi sesak. Di bawah sana, mobil-mobil akan mengeja ambisi; di atas sini, ia baru saja menutup berkas hasil due diligence investor yang lagi-lagi menunda keputusan.

“Bangkit!!! Tidak ada yang peduli cerita kamu, kecuali kamu berhasil,” tertera besar-besar di sticky note yang ia tempel pada cermin sejak setahun lalu—sejak pernikahannya putus, sejak bisnisnya tumbang oleh api kecil yang menjalar pelan dari salah perhitungan, sejak ayahnya tak lagi yakin padanya, sejak sahabat-sahabatnya memilih konferensi lain karena sponsor lebih besar.

Hamzah mengusap tengkuk, menegakkan bahu. Di meja kerjanya, ada tiga benda yang membagi nasib ke dalam tiga garis: sebungkus kopi bubuk Aceh kiriman Wakhid dari Banda Aceh (“buat menambah keberanian”), kartu nama Zubaedah (“kita pernah saling percaya, mungkin bisa lagi tapi tanpa mengulang luka”), dan flyer inkubator kampus tempat Nurhayati mengajar (“daftar batch terbaru, tak ada umur untuk memulai ulang”).

Ia menghela napas panjang. Lalu memilih menjerang air.

.

Bagi sebagian orang, Jakarta adalah mesin. Bagi Hamzah, Jakarta adalah cermin yang jujur: menampakkan wajah terbaikmu ketika kamu menolak menyerah, dan memantulkan lelahmu ketika kamu menyangkal patah hati. Ia tumbuh di gang kecil yang kini berubah jadi lorong apartemen, kuliah dengan beasiswa di Bandung, sempat kerja di Singapura, pulang membawa mimpi membangun platform pemetaan UMKM kuliner agar bisa tersambung ke rantai pasok hotel dan kampus. Ia menyebutnya “Jelajah Rasa”—aplikasi yang menghubungkan dapur rumahan dengan kantin, kafe, dan event korporat.

Pada awalnya, semua terlihat seperti grafik yang dicetak di presentasi: user naik, merchant mendaftar, investor melirik. Lalu, sebuah kontrak logistik besar batal di menit terakhir karena kebijakan baru; ada isu keamanan data; ada satu event gagal kirim tepat waktu; ada vendor yang merasa tersisih; ada komentar pedas di linimasa; ada doa dari orang-orang yang tak tahan melihatnya melesat terlalu cepat. Semua kecil, tapi mematikan bila terjadi sekaligus. “Bencana itu kadang hanya matematika yang malas menjelaskan kenapa angka-angka saling menolak,” kata Hamzah pada diri sendiri.

Di malam ia menutup kantor, Zubaedah duduk di depannya, menatap tanpa dramatis.

“Kita tidak sedang kalah. Kita sedang belajar cara lain untuk tidak mati,” ucapnya.

“Tapi semua orang sudah pergi, Zub.”

“Yang tinggal justru yang kamu butuh untuk pulang.”

Dan sejak itu, mereka jarang bicara. Menjaga jarak dari keintiman yang kilat jadi rumor. Masing-masing kembali menjadi manusianya sendiri.

.

Pukul delapan, kota resmi menyalakan lampu. Hamzah turun ke lobi, menyapa satpam yang hafal ritme seduhannya, dan berangkat ke coworking space di Sudirman. Di lift, ia berpapasan dengan seorang perempuan berkerudung yang menenteng maket bangunan. “Perdana launching proyek hunian terintegrasi kampus,” tulis label kecil di mapnya. Dunia seperti merayakan orang lain yang berhasil. Ia tersenyum tipis. Baiklah, hari ini ia akan menghubungi Nurhayati.

Nurhayati adalah akademisi yang sibuk: mengajar di fakultas bisnis, mengelola inkubator UMKM, dan menulis kolom tentang moralitas di era startup. Di kelasnya, orang belajar menghitung laba sekaligus menghitung ulang niat. Ia pernah menjadi fasilitator program “social business accelerator” yang mempertemukan calon wirausaha dengan pemodal dermawan, bukan filantropi yang karitatif, melainkan kemitraan setara yang mengembalikan marwah. Sekali waktu, ketika nama Hamzah masih di halaman utama berita teknologi, mereka bertengkar karena definisi “cepat”: cepat untuk pengguna, atau cepat untuk laba?

“Kamu ingin menjadi pelari atau obor?” tanya Nurhayati waktu itu. “Obor butuh waktu untuk menyala sempurna, tapi ia menerangi pelari-pelari lain.”

“Kalau aku menunggu jadi obor, waktuku habis,” jawab Hamzah.

“Habis di mana? Di tujuan orang lain?”

Percakapan itu menggantung seperti lampu yang lupa dimatikan.

Hamzah menekan nomor Nurhayati. Suara di ujung telpon terasa seperti hujan di halaman kampus.

“Aku ingin daftar batch inkubator,” katanya. “Tapi dengan syarat.”

“Kamu datang dulu. Syarat-syarat kita taruh belakangan,” jawab Nurhayati.

Di kelas inkubator yang bau spidol dan sprei proyektor, ia bertemu orang-orang yang menyimpan versi rapuhnya di saku celana: Anwar yang mengonversi bengkel ayahnya menjadi layanan armada listrik untuk kampus, Zubaedah—ya, Zubaedah—yang kini memimpin unit bisnis catering sehat untuk pekerja korporat, dan Wakhid yang baru mendarat dari Banda Aceh membawa kopi, cangkir tanah liat, serta kisah tentang jembatan yang berdiri tegak karena orang memeluk hujan. Mereka semua datang bukan karena kota ramah, melainkan karena kota hanya tunduk kepada yang terus mencoba.

“Di sini,” kata Nurhayati membuka sesi, “kita tidak hanya bicara growth. Kita bicara gentong.” Ruangan mendadak sunyi. “Gentong itu menampung dan melahirkan ulang. Ia tidak cepat, tapi ia menyintesis. Kalau kamu datang untuk cepat, kamu akan pulang lebih dulu dari ketangguhanmu. Kalau kamu datang untuk bertahan, kamu mungkin lambat, tetapi kamu pulang dengan bentuk baru.”

Aneh sekali, batin Hamzah. Tapi untuk pertama kalinya dalam setahun, ia merasakan sejenis jemari yang mengangkat dagunya. Ia bersedia mencoba.

.

Kelas berjalan seperti film dokumenter: ada sesi keuangan yang getir tapi membuka mata, ada mentoring branding yang membongkar mitos “viral lebih penting dari nilai guna”, ada coaching tentang etika kerja, ada review kontrak yang selama ini hanya di-klik “agree”. Pada pekan ketiga, mereka diminta turun ke lapangan: memilih satu koridor kota yang padat—Blok M, Sudirman, Tebet, atau Senopati—lalu membuktikan tiga hal dalam sehari: 1) berani memperkenalkan diri pada orang asing yang relevan, 2) berani meminta kritik, dan 3) berani menawari solusi tanpa menurunkan harga diri.

Hamzah memilih Senopati. Pagi itu hujan rintik-rintik. Ia berjalan pelan, berhenti di depan sebuah butik yang kaca depannya memantulkan payung-payung plastik. Di dalam, seorang perempuan paruh baya menata gaun linen. “Kami tidak menerima proposal,” katanya bahkan sebelum Hamzah memperkenalkan diri.

“Saya tidak menawarkan proposal,” jawab Hamzah, menjaga senyum. “Saya menawarkan jalan keluar kalau Ibu ingin outlet pop-up di kampus dengan tenant kuliner—tanpa sewa, bagi hasil saja. Kita uji dulu seminggu. Saya yang urus logistik dan perizinan.”

Perempuan itu mendongak. “Kenapa kamu?”

“Karena saya pernah gagal memastikan orang lain makan tepat waktu. Saya ingin menebusnya dengan memastikan orang lain tidak telat menemukan barang yang membuat mereka merasa layak.”

Kalimat itu seperti melempar batu ke kolam. Tenang yang licin, pecah pelan.

“Bawa contoh rencana di email ya,” katanya. “Kalau bisa diseriusi, kita coba.”

Hamzah menunduk sopan, lalu keluar, menghitung napas. Di trotoar, ia melihat Zubaedah di seberang jalan, mengenakan jas hujan transparan, rambutnya terikat. Mereka saling melambai, ragu mendekat, lalu akhirnya bertemu di bawah kanopi kafe.

“Kamu terlihat lebih… diam,” kata Zubaedah.

“Diam itu tangga. Biar napas tidak habis ketika sampai di puncak,” balas Hamzah.

Mereka duduk. Obrolan bergerak seperti jarum jam: sederhana, stabil. Zubaedah bercerita soal menu catering sehat yang ia susun bareng ahli gizi; tentang klien-klien korporat yang maunya ringkas, bergizi, dan instagrammable sekaligus; tentang prinsip halal yang ia garis tebal—bukan hanya sertifikat, tapi cara kerja—sebab, “semua ingin merasa aman di meja makan.”

“Ketika kamu jatuh dulu,” katanya pelan, “banyak yang bilang kamu terlalu idealis. Aku juga sempat berpikir begitu. Tapi belakangan, aku rasa yang membuatmu jatuh bukan idealismemu. Kamu hanya belum punya bahasa untuk menjualnya ke orang yang belum siap mendengarnya.”

Hamzah menatap hujan. “Jadi sekarang kita belajar bahasa?”

“Sekarang kita menulis ulang,” jawab Zubaedah.

.

Kota, seperti juga hati, sebenarnya tak meminta kita menjadi pahlawan. Ia hanya menuntut kita menjadi manusia yang menepati janji kecilnya. Dalam tiga bulan, Jelajah Rasa yang dulu memikul terlalu banyak beban, dipecah menjadi beberapa modul: satu tim khusus menata kurasi dapur rumahan dengan SOP higienis (bahkan mengadopsi standar HACCP sebagai rujukan, agar bisa sejajar dengan kafe-hotel), satu tim mengembangkan sistem pemesanan untuk koridor kampus-kantor, satu tim—yang paling kecil—mengolah data preferensi gizi pekerja agar paket makan siang tidak lagi menipu perut dengan keindahan foto. “Indah boleh, tapi kenyang itu hak asasi,” candaan Wakhid yang memegang kemitraan dengan petani kopi dan komunitas pasar.

Nafas Hamzah mulai teratur. Ia mengurangi tampil di forum-forum pamer kemenangan, lebih rajin hadir di kelas sore UMKM, menjadi fasilitator dadakan untuk anak-anak magang di kampus Nurhayati. Sekali waktu, ia diundang mengisi kuliah umum. Di depan ratusan mahasiswa, ia mengawali dengan kalimat yang dulu menyakitkan, kini seperti obat pahit yang menyembuhkan: “Bangkit!!! Tidak ada yang peduli cerita kamu, kecuali kamu berhasil. Itu benar. Tapi keberhasilan bukan cuma headline. Keberhasilan itu orang-orang yang tetap bisa menatapmu, dan kamu balik menatap, tanpa utang malu.”

Ruang kuliah hening. Lalu tepuk tangan pelan bertumbuh.

Di luar kampus, sore menua. Nurhayati menghampiri, membawa dua cup kopi hitam.

“Kamu tahu kenapa aku tidak pernah menyelamatkanmu ketika kamu jatuh?” tanyanya, menyerahkan kopi.

“Karena aku harus belajar jatuh tanpa menabrak orang lain?” tebak Hamzah.

“Karena satu-satunya belajar yang melekat adalah yang dilunasi dengan malu,” jawabnya. “Tapi jangan bingung: malu itu bukan kehinaan. Ia adalah alarm: bahwa kita belum tepat.”

Hamzah menyeruput kopi. “Jadi sekarang?”

“Sekarang kamu mulai tepat.”

.

Keramaian di sebuah gedung pameran di Kemang mengalun seperti orkestra yang sedang menyetel alat musik. Jelajah Rasa membuka booth kecil: meja kayu, banner putih, peta digital di layar, dan container berisi kotak-kotak makan siang bersegel. Di sampingnya, Wakhid menata kopi, menuliskan cerita singkat asal setiap biji di kartu kecil. Dua stan sebelah, Zubaedah memajang menu catering sehat—lauk lokal dengan komposisi gizi jelas, foto yang tidak menipu, daftar bahan baku dari produsen yang bisa dilacak.

Acara ini diselenggarakan oleh jaringan alumni kampus dan asosiasi pengusaha muda. Ada panel diskusi, ada live music, ada sesi pitching. Hamzah tidak mendaftar pitching. Ia datang untuk bekerja sunyi: mencatat minat, menampung pujian tanpa meremehkan kritik, dan terutama, bertemu orang yang sejak lama ingin ia temui: Anwar, yang kini mengembangkan armada listrik untuk kampus-kampus di Jabodetabek.

“Aku butuh armada untuk rute pendek antar-kantin,” kata Hamzah ketika mereka berjabat tangan.

“Aku butuh muatan bermakna agar program kami tidak hanya ‘hijau’ di brosur,” balas Anwar.

Mereka tertawa, seperti menemukan jembatan yang sebenarnya sudah ada tetapi tertutup daun.

Sore itu, ada kejutan. Seseorang dari sebuah holding properti mampir, mencicipi, lalu bertanya sungguh-sungguh: “Bisa enggak kita buat pilot project di satu kawasan hunian-kampus? Kios UMKM, armada listrik, kurasi katering sehat, dan aplikasi pemesanan? Kita mulai dari satu koridor jalan.”

Hamzah menatap wajah-wajah di sekitarnya: Wakhid yang senyumnya selalu seperti doa selesai, Zubaedah yang matanya tak pernah menilai kecuali untuk mengingatkan standar, Anwar yang memijit pelipis karena kepala penuh angka. Ia mengangguk.

“Bisa,” jawabnya.

Malamnya, ia memandangi sticky note di cermin. Kata-kata itu masih ada; bunyinya belum berubah. Tapi di baliknya, ia mendengar kalimat lain yang ia tambahkan diam-diam: “Ada yang peduli prosesmu—mereka yang bertumbuh bersama hasilmu.”

.

Sebulan setelah pameran, koridor uji coba itu resmi berjalan. Lokasinya di pinggir Jakarta Selatan, tempat perumahan, ruko, dan kampus berdesakan tanpa sengketa. Ada jalur khusus armada listrik Anwar; ada kios-kios UMKM yang bergiliran, dikurasi oleh tim kecil; ada pusat validasi bahan baku agar semua aman dikonsumsi; ada sistem poin untuk mahasiswa yang membawa wadah ulang pakai; ada workshop rutin “Kuliah Makan Siang”—sesi singkat 30 menit tentang gizi, etika antre, dan cerita di balik lauk sederhana, diisi bergantian oleh Nurhayati, Wakhid, dan—sesekali—Zubaedah.

Hari pertama, cuaca mempermainkan. Hujan turun di jam sibuk. Plastik tenda berdebar. Armadanya melambat. Kios bakwan hampir habis gas, padahal antrian baru menebal. Satu per satu “kerikil” muncul, menguji apakah gentong yang diomongkan Nurhayati benar ada. Hamzah mengatur nafas. Ia menelpon vendor; koordinasi tim logistik; pindahkan sebagian menu ke titik yang kering; meminta Anwar siapkan armada cadangan; meminjam kompor dari dapur komunitas kampus; meminta maaf pada pelanggan yang menunggu dan mengembalikan uang pada dua orang yang tidak bisa menunggu.

Di sela repot, ia melihat seorang anak kecil bersama ibunya, berhenti di depan poster “Kuliah Makan Siang.”

“Ini apa, Bu?” tanya anak itu. Ibunya membaca pelan.

“Ini tempat di mana makan siang diajari bersyukur.”

Hamzah menoleh. Di kejauhan, Zubaedah membereskan kebocoran kecil di bungkus sup sayur, sementara Wakhid membagi kopi gratis untuk sukarelawan yang mengatur antrean. Anwar memberi isyarat dari jauh: aman. Hujan tidak jadi musuh. Ia hanya memaksa mereka berhenti sejenak, menata ulang.

Sore itu, di group chat, Nurhayati mengirim pesan satu baris: “Selamat, kamu tidak takut kotor.” Hamzah membalas dengan foto trotoar yang kembali bersih setelah acara.

.

Keberhasilan yang paling sunyi adalah yang membuat kita tidur tanpa insomnia dan bangun dengan gagasan yang tidak mengunyah perut sendiri. Sekitar tiga bulan sejak pilot, holding properti menawarkan kontrak lebih panjang—bukan hanya satu koridor, tapi tiga, dengan perjanjian yang lebih rapi: margin jelas, standar keamanan pangan yang disetujui, dan ruang eskalasi jika ada krisis.

Pada hari penandatanganan kontrak, Hamzah mengajak orang-orangnya berkumpul di rooftop gedung kampus. Angin sore mengeringkan keringat. Gedung-gedung seolah merapat, menyimak. Mereka membawa kotak-kotak makan siang dari mitra UMKM: sayur bening, ayam ungkep, oseng tempe kacang panjang, sambal yang pedasnya beradab, dan potongan buah yang jujur. Tidak ada wine, tidak ada cokelat mahal. Hanya remah-remah nasi yang jatuh ke lantai beton, lalu diterbangkan angin.

“Untuk semua patah yang tidak ingin disiarkan,” kata Hamzah mengangkat cangkir kertas. “Untuk semua diam yang lebih fasih dari janji-janji kita dulu. Untuk semua ‘bangkit’ yang artinya berjalan, bukan berlari menginjak.”

Mereka meneguk. Hening hangat. Di belakang mereka, kota menyala. Lalu Zubaedah mendekat.

“Aku tidak suka pidatomu tadi,” katanya.

Hamzah tertawa. “Kenapa?”

“Karena aku mau ikut menulisnya,” jawab Zubaedah, menatap lurus. “Kali ini, bukan di catatan kaki.”

Ada sesuatu yang perlahan pulih tanpa klaim: semacam janji untuk tidak menjanjikan apa-apa, selain hadir dan bekerja. Hamzah tidak lagi merasa perlu menuliskan “Bangkit!!! Tidak ada yang peduli cerita kamu, kecuali kamu berhasil” di cermin. Ia memindahkannya ke buku catatan kerja, di halaman pertama yang akan selalu terbuka di meja rapat.

Esoknya, ketika ia berjalan melewati koridor kampus yang hidup oleh kios-kios UMKM, ia melihat anak-anak muda yang tertawa dengan mulut penuh, para pekerja yang bergegas sambil tetap menatap mata penjaja, dan seorang ibu paruh baya yang baru pertama kali jualan di lingkungan seperti ini. “Rasanya seperti Lebaran, tapi setiap hari,” kata ibu itu ketika ditanya bagaimana rasanya kehabisan stok sebelum jam satu siang.

Hamzah mengangguk. “Lebaran itu merayakan pulang. Mungkin hari ini kita juga pulang ke cara kita bekerja.”

Di kejauhan, Nurhayati mengangkat tangan, isyarat kecil untuk tidak berlama-lama menikmati kemenangan. “Besok ada audit bahan baku,” katanya.

“Siap,” balas Hamzah.

Kemenangan, ia paham betul, bukan perayaan panjang. Ia adalah izin untuk mengerjakan bab berikutnya.

.

Malam itu, di balkon apartemen, Hamzah kembali menatap lampu-lampu kota. Dari sini, Jakarta tidak terlihat jahat atau manis. Kota hanya setia pada hukum sebab-akibat: siapa yang bangun lebih dulu, siapa yang menepati standar, siapa yang tidak meremehkan hal kecil, siapa yang menolak tergesa. Ia menulis pesan pada dirinya sendiri, bukan lagi dengan tiga tanda seru, melainkan dengan jeda:

“Bangkit itu kerja harian. Dan esok, kita kerja lagi.”

Di laci meja, sticky note lama tersimpan. Kata-katanya tetap menusuk, tapi tidak memerintah. Ia menutup mata, menertawakan kejujuran kecil yang baru ia terima: ternyata, yang paling peduli pada cerita kita bukan orang-orang yang menunggu kita berhasil. Melainkan orang-orang yang bersedia menjadi paragraf di tengah—tempat alur melambat, napas disusun, dan bab berikutnya memilih kata.

Hamzah mengirim satu pesan pada grup: “Besok jam tujuh, cek koridor. Bawa jas hujan. Jangan lupa sarapan sebelum marah-marah.” Reaksi tawa bermunculan. Wakhid mengirim stiker kopi. Zubaedah mengirim foto daftar belanja. Anwar mengirim rute armada.

Kota, yang tadi seperti cermin, kini terasa seperti halaman kosong. Ia meminjam pulpen dari angin malam, menulis kalimat pertama dengan huruf yang tidak lagi gemetar.

“Selamat datang, esok.”

.

.

.

Jember, 4 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Bangkit #CerpenKompasMinggu #KotaDanKita #UMKM #Hospitality #EtikaKerja #InkubatorBisnis #Jakarta #CeritaKelasMenengah #JelajahRasa

Leave a Reply