Sunyi dan Keramaian

“Orang yang tampak tenang bukan berarti tak bergejolak; ia hanya memilih gelombang mana yang layak dilayari.”

.

Di balik jendela kaca yang memantulkan garis langit Jakarta, Jayengrana berdiri dengan kedua tangan menyilang—bukan sebagai sikap menolak, melainkan cara khasnya menata jarak dari keramaian. Di lantai empat puluh sebuah hotel bisnis bintang lima—tempat ia bekerja sebagai kepala konsep pemasaran—ia mengamati arus orang yang berlalu di lobi: jas melambai, gaun berkilat, tawa yang sengaja ditinggikan. Ia menamai dirinya “otrovert”—bukan introvert, bukan ekstrovert—melainkan sesuatu di tengah, yang tenang tapi bukan penyendiri, yang hadir tapi tidak larut.

Jam di pergelangan tangan menyalakan notifikasi: rapat pukul sembilan dengan tim kreatif; pukul sebelas sesi pitching dengan investor properti untuk proyek hotel butik baru di Seminyak; sore hari, kurasi konten kampanye “Hospitality as Healing” untuk hotel grup di Surabaya; malam hari, mengajar daring kelas “Emotional Branding for Tourism” bagi mahasiswa MBA pariwisata.

Hidup kelas menengah ke atas kota besar selalu seperti itu: ruang rapat berpindah jadi ruang kelas, lalu berubah menjadi ruang sunyi di mobil yang melaju. Namun di balik jadwal yang rapat, Jayeng selalu menyediakan sepetak sunyi untuk mengukur tempatnya di dunia. Sunyi itu tak pernah kosong; di sana bersemayam orang-orang yang menandai hidupnya: Rengganis, kekasihnya yang merancang interior restoran; Umar Maya, sahabatnya sejak kuliah yang kini menjadi pengacara bisnis; Umar Madi, rekan lama yang banting setir menjadi konsultan ESG untuk hotel dan destinasi; Adaninggar, chef muda yang menolak sekadar mengejar bintang Michelin, dan memilih menganyam narasi lokal pada piring keramik.

Mereka beraneka latar, tetapi dipertemukan oleh kota yang sama: kota yang menuntut hasil sekaligus membisikkan janji; kota yang menyodorkan cahaya di atas menara juga bayangan di kaki gedungnya. Dan di antara mereka, Jayeng menjadi semacam pengikat: bukan karena paling keras bersuara, melainkan karena paling peka terhadap yang tak diucapkan.

.

Pagi itu, ruang rapat beraroma kopi dan kayu manis. Di layar LED, terpampang frase gagasan yang ia tulis dengan font tipis: “Menginap adalah mengingat.” Jayeng memulai presentasinya pelan, seperti seseorang yang memutar kunci musik sebelum lagu berdentang.

“Kita menjual kamar, benar,” katanya, “tapi orang memesan pengalaman untuk disimpan di dada. Yang mereka cari bukan tempat bermalam, melainkan tempat bersemayam—dengan tenang dan secukupnya.”

Timnya diam, tapi mata mereka menyala. Rengganis duduk di ujung meja, menggambar cepat pada kertas kraft: pola lampu, kontur sofa, bayangan yang mudah memeluk. “Kalau begitu,” katanya tanpa mengangkat kepala, “kita turunkan langit hotel ke ketinggian tatapan manusia. Lobby jangan lagi seperti altar yang membuat orang segan, melainkan ruang tamu kota.”

Adaninggar mengangguk; ia baru selesai riset tentang padi varietas jadul dari Karawang dan kopi robusta dari Jember. “Kalau di restoran,” katanya, “menu per kota akan menjadi ‘peta rasa’. Tiap suap membawa tamu pada lintasan memori—bukan sekadar rasa lezat, tapi rasa yang mengajak pulang.”

Umar Madi menambahkan dari sisi keberlanjutan: “Kita gunakan pemasok yang adil; bukan 100% lokal demi slogan, tapi 100% masuk akal—agar silsilah makanan bisa dijelaskan tanpa berbohong.”

Jayeng berjalan pelan ke papan tulis, menggambar lingkaran-lingkaran yang saling berpotongan: tamutimkota. “Brand,” katanya, “adalah pertemuan tiga lingkaran yang tidak dipaksa. Tamu bukan raja, tim bukan budak, dan kota bukan latar. Semuanya saling memuliakan.”

Itu gaya Jayeng: merangkai konsep menjadi kalimat pendek, lalu memberi ruang bagi orang untuk menafsirkannya. Dan rapat-rapat selalu berakhir bukan dengan serentetan target angka, melainkan tugas-tugas yang lahir dari kesepakatan batin.

.

Siang hari, di sebuah ruang konferensi hotel, ia memaparkan konsep hotel butik Seminyak kepada investor: properti empat puluh kamar, atap terbuka dengan kebun rempah, kamar tanpa TV tapi dengan rak buku kurasi, spa yang lebih mirip ruang perenungan daripada pabrik pijat, layanan sarapan yang menggabungkan roti ragi alami dan nasi gurih daun jeruk.

“Kenapa tak ada TV?” seorang investor bertanya, setengah menguji.

“Karena suara paling kita rindukan sebenarnya datang dari dalam,” jawab Jayeng. “Dan kami ingin tamu mendengarnya kembali.”

Investor lain, perempuan paruh baya yang tajam, menatap excel di tabletnya. “Return of investment? Kita di bisnis, bukan komunitas meditasi.”

Jayeng tersenyum. “Justru karena bisnis, Bu. Orang akan kembali ke tempat yang menenangkan, apalagi ketika kota makin berisik. Tenang yang jujur adalah komoditas paling langka sekaligus paling dicari. Kami menjual kelangkaan itu dengan harga wajar—harga yang tamu rela bayar berulang.”

Angka-angka mengalir di layar: proyeksi okupansi, rata-rata harga kamar, struktur biaya, lintasan promosi digital. Di balik semua itu, Jayeng menyisipkan peta emosional: apa yang dirasakan tamu ketika menyentuh gagang pintu, ketika pertama kali menyalakan lampu tidur, ketika berjalan ke arah balkon dan kota seperti mengecil. Investor diam lagi; beberapa bersandar. Mereka tak sepenuhnya paham, tetapi bisa membayangkan: ada narasi yang tak bisa dihitung yang justru menggerakkan hitungan.

.

Petang, jalanan memadat dengan lampu merah yang putus-putus. Jayeng memutar setasiun radio favoritnya, menurunkan volume agar suara kota bisa terdengar: dengung mesin, gerimis yang menepuk-nepuk kaca. Telepon bergetar: sebuah pesan dari Rengganis—“Pulang agak larut. Aku ke gudang kayu di Ciputat, cari pintu bekas untuk proyek lobby. Biar tamu merasa masuk rumah.” Pesan lain dari Adaninggar—“Ada pemasok telur kampung yang jujur di Bogor. Mereka kirim foto kandang. Butuh perjanjian tertulis standar ESG.” Dan dari Umar Maya—“Kasus sengketa merek kita dengan pihak agen perjalanan gelap sudah masuk mediasi. Aku jaga agar nama brand tak redup di tangan mereka.”

Jayeng menyadari: kombinasi karier, bisnis, dan pendidikan yang membentuk hidup kelas menengah ke atas bukan sekadar daftar di LinkedIn. Itu adalah tarian di tengah hujan: kaki menapak aspal licin, tangan bebas—kadang memayungi orang lain. Ia sendiri dulu bukan siapa-siapa, anak dari kota pelabuhan dengan ayah pedagang sembako dan ibu guru SD. Menempuh kuliah pariwisata dengan beasiswa, magang di housekeeping, naik ke sales dan marketing, lalu jatuh bangun saat pandemi; ia pernah memimpin tim yang separuhnya mesti dirumahkan. Malam-malam ketika telepon karyawan berdering, minta saran tentang cicilan, adalah malam yang menua cepat.

Di sanalah ia belajar bahwa pemasaran bukan parade slogan, melainkan cara memerdekakan martabat orang. Ia memutuskan menjadi panutan—bukan karena sempurna, melainkan karena berani mengakui cacat strategi dan mengganti arah. Orang menyebutnya “guru marketing,” tetapi ia menolak gelar; ia memilih tetap Jayeng, seseorang yang membuka ruang agar orang lain menjadi versi terbaik.

.

Beberapa minggu kemudian, kampanye “Hospitality as Healing” diluncurkan secara serempak di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Video berdurasi dua menit menampilkan wajah-wajah orang biasa: satpam yang mengantar payung ke taksi, front desk yang menunduk sopan bukan karena rendah, melainkan karena tinggi hati akan tampak ganjil; chef yang menakar garam sambil menyenandungkan lagu ibu, room attendant yang memasang taplak meja seperti menata doa. Narasinya pelan tapi menusuk: “Di kota yang tak selalu mendengar, kami memilih menjaga dengar. Di dunia yang cepat, kami menawar pelan. Di tempat orang singgah, kami mengajak pulang—pada diri yang utuh.”

Responsnya meledak. Bukan viral heboh yang cepat lapar; lebih seperti bara yang menyusup ke malam. Email berdatangan dari komunitas pendidikan, rumah sakit, gereja, pesantren, kampus desain—bertanya apakah konsep itu bisa mereka terapkan di lembaganya. Jayeng menjawab satu per satu; ia selalu menyelipkan prinsip: “Mulai dari cara kalian memperlakukan yang paling tak terlihat.”

Sementara itu, investor Seminyak menyetujui tahap pertama. Jayeng membawa tim kecilnya meninjau lokasi. Mereka berdiri di tanah kosong yang dipagari tanaman pandan laut, aroma asin dari angin timur menyentuh kulit. Rengganis membentang sketsa: kamar-kamar menghadap kebun rempah; pavilion kecil untuk yoga; jalur setapak yang mengantar tamu dari parkir menuju lobby melalui kebun—“Supaya orang memasuki hotel dengan langkah perlahan,” katanya.

Adaninggar bercerita tentang petani vanila di Pupuan yang ingin diajak menanam bersama—“Kita beli dari mereka termasuk cerita di baliknya.” Umar Madi mengukur ketinggian pohon, memastikan bangunan tak merobohkan vegetasi. Umar Maya menghitung pasal perizinan, mengawasi agar tak ada yang tergelincir di antara aturan yang licin.

Jayeng memandang langit yang mulai ungu. “Kita bangun sesuatu yang tak memaki alam,” katanya. “Bila tamu datang, biarkan mereka merasa disambut semesta lebih dulu, baru manusia.”

.

Di tengah membaiknya kabar, datang satu badai kecil. Di media sosial, sebuah akun tanpa wajah mengunggah video pendek yang menggabungkan potongan kampanye “Hospitality as Healing” dengan gambar klinik spiritual palsu. Tuduhan: hotel memonetisasi kerapuhan manusia. Komentar mengalir; sebagian menggiring emosi. Sahabat-sahabatnya mengirim pesan: “Kau harus menggugat.” “Kita lawan.” “Kita jelaskan panjang.”

Jayeng duduk di meja kerja, menatap layar. Dunia digital kadang seperti kota lain yang padat: orang saling senggol untuk mempercepat laju. Ia menghela napas dan menulis balasan singkat di akun resmi hotel:

“Kami tidak menjual kesembuhan. Kami menyediakan ruang yang tidak menambah luka. Selebihnya, manusia menyembuhkan manusia.”

Balasan itu tak muda-mudi; tak memancing perang. Ia percaya: hujan paling deras pun pada akhirnya kehabisan air. Dan benar, dua hari kemudian arus komentar mereda; perhatian bergeser pada topik lain. Namun ia tak main-main: bersama tim hukum, ia mengarsipkan bukti, menghubungi platform, mengedukasi tim digital agar tak panik setiap kali badai sumbu pendek menyala.

.

Pada suatu malam, setelah memberi kelas daring tentang “Marketing yang Menjaga,” Jayeng menutup laptop dan tinggal sendiri di ruang kerja yang menghadap ke kota. Lampu-lampu menyalakan garis-garis kuning di udara. Ia menyalakan pesan suara dari ibunya: “Lekas pulang kalau sempat. Bapakmu menata ulang toko kelontong; katanya ingin rak yang lurus.”

Jayeng tersenyum. Toko itu kecil, tapi penuh makna; dari sana ia belajar akuntansi dasar: “untung sedikit asal langganan kembali.” Ia memutuskan pulang akhir pekan itu. Di kota pelabuhan, ia akan duduk di bangku plastik, memandangi dermaga, membiarkan tubuhnya dihampiri masa lalu. Sesekali, ia harus menurunkan langit ke ketinggian tatapan anak kecil yang dulu berdiri di sana.

Ketika mobilnya keluar dari basement, gerimis baru saja berhenti. Jalanan memantulkan neon. Jayeng memutar lagu lawas—melodi yang menenun kenangan. Ia tahu, besok pagi ia akan kembali pada rapat, pada tenggat, pada e-mail yang nyaris tak pernah kosong. Tetapi malam ini, ia memilih mendengarkan kota seperti seseorang mendengar napas orang yang tidur di sebelahnya: pelan, nyata, mengingatkan.

.

Semua mencapai puncak pada pembukaan cabang restoran hotel yang baru direnovasi: “menuku”—sebuah nama yang dikreasikan Jayeng untuk membuat tamu merasa akrab tanpa murahan. Rengganis menata meja dengan kesederhanaan yang hangat; gelas-gelas tidak seragam agar orang percaya bahwa keindahan bukan hanya pada kesamaan. Adaninggar menyuguhkan menu pembuka: roti panggang gandum pipih dengan selai kelapa dan garam asap; dilanjutkan sop iga yang diracik dengan rempah pranata mangsa; ditutup puding tape yang halus.

Undangan datang dari kalangan beragam: pengusaha, pengajar, dokter, perancang busana, pekerja kreatif, mahasiswa. Dalam pidato singkatnya, Jayeng tak membaca teks. Ia hanya menceritakan seorang tamu yang pernah menginap sendirian karena baru kehilangan ibunya. “Ia hanya minta satu: ‘Saya tidak ingin dihibur.’ Maka kami menawari keheningan yang bisa dipanggil: kami letakkan sepotong kue kesukaan ibunya di meja kamar—tanpa catatan, tanpa kartu nama. Pagi itu, ia mengetuk pintu front office dan berkata, ‘Terima kasih sudah tidak mendesak saya bahagia.’”

Ruang pun diam sejenak. Orang mengangkat gelas. Di tengah tepuk tangan, Jayeng menatap timnya. Ia tahu, tak semua hari semulia ini; ada hari ketika supplier terlambat, komplain tak adil, peraturan berubah, angka tak mencapai target. Tetapi malam ini mengajarinya sekali lagi: marketing terbaik adalah menjaga agar martabat manusia tidak jatuh di bawah garis laba.

Setelah acara usai, Jayeng berdiri di depan pintu, menyalami tamu satu per satu. Seorang ibu muda—mahasiswa MBA pariwisata—berhenti lebih lama. “Mas, saya memilih topik tesis tentang ‘otrovert leadership’ di industri hotel. Saya lihat Mas jayeng mempraktikkannya: hadir, tapi tak mendesak panggung. Boleh saya mewawancarai?”

Jayeng tertawa kecil. “Silakan. Tapi jangan jadikan saya tokoh. Jadikan tim saya halaman-halaman yang kau baca.”

“Kalimat itu akan saya kutip di tesis,” kata perempuan itu. Mereka saling berpamitan.

.

Beberapa hari kemudian, saat menyusun rencana triwulan, Jayeng menerima kabar: Rengganis mendapat tawaran magang arsitektur interior di Tokyo selama enam bulan. Ia bahagia sekaligus mendadak sepi—sepi yang manis seperti jeda antara dua dentang jam. Mereka duduk berdua di rooftop, memandangi kota yang berpendar.

“Pergilah,” kata Jayeng, “biar pulangmu membawa bahasa baru bagi ruang kita.”

“Kalau aku pergi,” balas Rengganis, “janji jangan menyendiri di tengah pesta. Temui orang-orang yang memercayaimu.”

Jayeng mengangguk. Mereka tak berbicara tentang jarak, tak juga membicarakan kepastian. Mereka mengizinkan masa depan mengalir seperti sungai yang tahu kemana ia bermuara. Karena mereka percaya: cinta di kota besar tumbuh bukan dari tatap tanpa jarak, melainkan dari saling mengizinkan menjadi diri sendiri—sekalipun di lintasan yang merenggang.

.

Suatu siang, saat evaluasi kampanye, seorang karyawan muda bertanya: “Mas, apa sebenarnya tugas seorang panutan di bidang marketing?”

Jayeng menatap wajah-wajah muda di hadapannya—mata mereka mengembun oleh harapan. Ia menjawab tanpa naskah, tapi seolah kalimat sudah lama berbaris di dadanya.

“Tugas panutan adalah mencipta ruang aman tempat orang lain tumbuh lebih tinggi darimu. Orang akan memanggilmu pemimpin, tapi yang paling kau lakukan sebenarnya mendengarkan. Pemasaran bukan tentang membuat orang membeli, melainkan membuat mereka percaya mereka tidak sedang dibeli.”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan: “Dan jangan lupa pulang. Pulang kepada keluarga, kepada kota asal, kepada dirimu yang pernah ragu. Karena orang yang lupa pulang akan lupa untuk apa ia berangkat.”

Karyawan-karyawan itu mencatat—bukan di buku, melainkan di tempat yang tak bisa dihapus: cara mereka kelak memperlakukan tamu, rekan kerja, pemasok, dan diri sendiri.

.

Waktu bergerak, proyek Seminyak mulai menampakkan bentuk; “menuku” menjadi tempat di mana orang mengadakan pertemuan yang tidak ingin gaduh; kelas-kelas daring Jayeng bertambah pesertanya; Umar Maya menang satu kasus penting; Umar Madi menulis panduan “Hotel yang Menjaga,” yang dikutip kampus-kampus; Adaninggar diundang ke festival kuliner untuk mempresentasikan “Peta Rasa Nusantara.”

Pada sebuah malam yang tak direncanakan, Jayeng kembali ke kota pelabuhan. Di toko kelontong, ayahnya menata rak, ibunya menakar gula. Ia membantu menempel label harga, menyalakan kipas angin yang gemerincing. Di luar, ombak tak tampak, tapi suaranya menyelinap lewat lorong-lorong rumah. Di situ, di antara rak mie instan dan botol kecap, Jayeng merasa ditarik ke pusat dirinya. Ia tahu, setiap kali ia berbicara tentang “pulang,” sebenarnya ia sedang memanggil aroma ruang ini.

Ketika ia akan kembali ke Jakarta, ibunya menyelipkan sesuatu ke saku kemeja: secarik kertas dengan tulisan tangan miring: “Bahagia itu sederhana; yang rumit adalah membiarkannya tetap sederhana.” Jayeng tersenyum. Ia meninggalkan kota pelabuhan dengan perasaan ringan, seolah memikul langit yang mendadak bisa dilipat.

.

Di jalan tol malam, lampu-lampu seperti garis putus yang disambung angin. Jayeng memikirkan masa depan: hotel yang lebih manusiawi, restoran yang jujur rasa, kampanye yang membiarkan orang bernapas, tim yang berani tidak sempurna. Ia memikirkan Rengganis di Tokyo, membayangkan ia menyusuri lorong-lorong kayu dan kereta yang tepat waktu; ia memikirkan karyawan muda yang menanyakan arti panutan; ia memikirkan tamu yang berterima kasih karena tidak dipaksa bahagia.

Kota bukan hanya tempat tinggal; ia adalah sekolah yang tak pernah selesai. Dan Jayeng, otrovert yang memilih gelombang mana yang layak dilayari, memutuskan untuk tetap belajar. Ia menurunkan volume lagu, membiarkan suara malam mengisi mobil. Dalam hati, ia mengulang kalimat yang dulu ia tulis di papan tulis:

“Menginap adalah mengingat.”

Dan ia tahu, pada akhirnya, yang akan diingat orang bukan nama hotel atau lezatnya sarapan, melainkan bagaimana mereka dijaga saat sedang paling rapuh. Itulah pemasaran yang ia ajarkan; itulah hidup yang ia ikhtiarkan.

Malam memanjang, jalan tol seperti pita yang mengantar. Di kejauhan, Jakarta bersinar—bukan memanggil, tetapi menerima.

.

.

.

Jember, 3 Oktober 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#HospitalityAsHealing #MarketingYangMenjaga #OtrovertLeadership #EmotionalBranding #HotelButik #PariwisataIndonesia #FoodWithStory #BrandStorytelling #JakartaLife #SeminyakProject

.

Quotes pilihan:

  1. “Kita tidak menjual kesembuhan; kita menyediakan ruang yang tidak menambah luka.”

  2. “Brand adalah perjumpaan tamu, tim, dan kota—tanpa ada yang menjadi latar.”

  3. “Pemasaran terbaik adalah menjaga agar martabat manusia tidak jatuh di bawah garis laba.”

Leave a Reply