Duri yang Menjadi Doa

“Kebencian itu bara api; kau bisa memilih menggenggamnya sampai hangus, atau meletakkannya dan menyalakan pelita.”

.

Nama yang Menghitam di Ujung Lidah

Ada satu nama yang menempel di dadaku seperti paku berkarat: Sabrang. Ia begitu lantang membuat kebohongan tentangku, mengajak orang-orang membenciku, memelintir satu kesalahan kecil menjadi gelanggang untuk menari di atas harga diriku. Di warung kopi yang biasa kami datangi, namaku berubah jadi bahan cemooh; di grup percakapan kerja yang dulu dipenuhi foto kucing dan menu makan siang, kini ada tautan-tautan blog gelap yang menyebutku licik, pembajak ide, penikam dari belakang.

Aku pernah, pada malam-malam tertentu, berdoa agar hidupnya hancur. Doa yang tidak diajarkan siapa pun, selain rasa sakit yang tak punya meja untuk duduk. Lalu ada suara kecil—suara yang barangkali mirip suara ibuku ketika menidurkan masa kecilku—berbisik: mungkin dia manusia yang tidak bahagia. Maka kubiarkan ia bermain dengan kebodohannya, sementara aku belajar menata ulang diriku yang seperti lemari tumbang.

Jakarta, tempat semuanya berlangsung, tidak pernah menunggu orang yang sedang membenahi lemari di dalam kepalanya. Ia terus berderak: KRL menghela suara besi, ojek daring menyilangkan garis di peta, lampu-lampu reklame bersahut dengan azan magrib dan dentang gelas di bar. Di kota ini, reputasi bisa berubah lebih cepat dari cuaca. Dan aku, Joyo, hari itu menyadari, kerja keras hanyalah satu dari sekian banyak mata uang yang berlaku; selebihnya adalah cerita—dan siapa yang paling cepat menaburkannya.

.

Rusun, Mie Instan, dan Mimpi yang Tergesa

Dulu aku dan Sabrang tinggal di rusun yang sama, kamar berhadap-hadapan, masing-masing dua kali tiga meter yang dindingnya tipis seperti kertas. Kami merantau: aku dari Jember, dia dari Pamekasan. Kami sama-sama bertahan dengan mie instan yang kadang kami bagi dua, sama-sama memotong mimpi menjadi potongan yang bisa ditelan. Kami bekerja di yayasan kecil bidang pendidikan; tugasku menyusun strategi komunikasi dan acara, sementara Sabrang piawai menembus pintu-pintu penting. Ia jago menyapa pejabat, ahli menyusun rapat yang terdengar manis di telinga sponsor. Kami saling melengkapi—begitu pikirku—sampai proyek Bunga Beton datang.

Bunga Beton adalah gagasan sederhana: kelas membaca sore di permukiman bantaran kali, perpustakaan mini yang dijaga para ibu, pelatihan menulis untuk remaja. Aku turun berbulan-bulan: menyusuri lorong-lorong sempit yang dindingnya bersuara, duduk mendengar ibu-ibu yang letih, mencatat kebutuhan. Sabrang sibuk di sisi lain: mengumpulkan dukungan, memotret sesi-sesi lucu untuk katalog sponsor. Saat proposal harus dipilih, panitia memilih versiku. Di ruang rapat itu, aku melihat matanya berubah—bukan lagi mata sahabat, melainkan mata orang yang merasa dirampas.

Mulai hari itu, gosip kecil beredar seperti nyamuk: sukar dilihat, gampang terasa. Katanya ide awal Bunga Beton adalah miliknya; katanya aku dengan sengaja membelokkan rapat; katanya aku memanfaatkan kelembutannya. Potongan notula diunggah, dicoret-coret, diberi panah merah, dibagikan di grup-grup. Wandan—direktur kami yang kepala botaknya licin dan mulutnya setajam pena—berkali-kali berkata, “Jangan dilayani.” Tapi bagaimana mungkin tak mendengar suara yang mengetuk dari semua arah?

.

Gang yang Dipenuhi Gonggongan

Pada suatu malam yang habis hujan, aku bertemu Kerta di kedai teras kayu di Menteng. Ia perancang grafis, kawan dari awal merantau, pengoleksi kaset pita yang gemar menyetel jazz di jam-jam yang tidak jazz sama sekali. Setelah memesan kopi tubruk dan tempe mendoan, ia membuka percakapan tanpa jeda.

“Joy, aku dapat pesan dari Sabrang.”
“Isi?”
“Dia kirim potongan dokumen rapat. Dibilang kamu yang membelokkan konsep.”
“Potongan apa pun bisa jadi cerita apa pun,” jawabku.
Kerta menarik napas panjang, seperti orang yang mengendurkan senar gitar. “Aku percaya kamu,” katanya, “tapi dunia digital tak pakai alat ukur kepercayaan.”

Aku pulang dengan kepala berdengung. Rasanya seperti berjalan di gang sempit dengan anjing-anjing menggonggong di kiri-kanan. Kau bisa berlari dan membuat mereka makin bernafsu, atau berjalan lurus menahan detak jantung. Malam itu aku memilih berjalan, meski kaki terasa memijak paku.

.

Hari Peluncuran dan Wajah di Balik Pagar

Peluncuran Bunga Beton digelar di lapangan bola yang sore-sore dipakai anak-anak menendang mimpi. Panggung kecil dari tripleks, spanduk yang dirancang Kerta seperti jendela biru, tikar yang dipinjam dari balai RW. Anak-anak berlari memeluk buku, ibu-ibu tertawa, wartawan datang memotret. Aku memegang mikrofon, menyusun kalimat seakan merapikan benang yang kusut. Ketika mataku menyapu pagar, aku melihatnya: Sabrang, berjaket gelap, berdiri di luar. Senyumnya tipis, ada seutas puas yang sulit kudiagnosis. Aku menahan diri untuk tidak menghampiri. Ada pertarungan yang lebih elok dimenangkan dengan tidak hadir.

Malamnya, linimasa kembali ramai. Ada pujian, ada hujatan, ada kalimat-kalimat yang ingin menunjukkan bahwa mereka, betapa pun, lebih tahu dari kami yang hadir di lapangan. Aku menutup ponsel, duduk di kasur busa tipis, menatap poster kecil bertuliskan: Bekerja untuk satu anak sama dengan bekerja untuk satu masa depan. Poster itu biasanya memberi tenaga; malam itu ia tampak seperti kalimat yang disetrika sampai rata, kehilangan lekuk-lekuk hangatnya.

Aku membuka buku catatan. Menulis satu kalimat yang kuyakin butuh rumah: Kebencian orang lain tidak harus menjadi identitas kita. Kututup buku. Di luar jendela, suara KRL seperti napas panjang kota yang payah.

.

Sekar, Kursi Plastik, dan Kuah Soto

Di warung soto Madura dekat Stasiun Gondangdia, aku bertemu Sekar. Rambutnya sebahu, matanya bening. Ia mahasiswa psikologi yang aktif menjadi relawan di kelas membaca. Kami duduk di kursi plastik, meja sedikit goyah, panci soto mengepul.

“Mas Joyo,” katanya setelah teh manis mendarat, “aku baca yang tentang Mas di internet. Tapi aku lebih percaya bertemu langsung.”
Aku tertawa hambar. “Capek jadi kata yang terlalu sopan untuk yang kualami.”
Sekar mengaduk soto, menatapku. “Di psikologi, ada projection. Orang menuduh orang lain melakukan apa yang diam-diam ia lakukan atau ia takut suatu hari akan ia lakukan. Mungkin Mas sedang menerima proyeksi yang bukan milik Mas.”
“Kedengarannya canggih,” kataku.
“Tidak. Sederhana saja: ada yang sedang takut kalah, lalu ia melihat cermin dan menyangka cermin itu musuhnya.”

Aku menatap sendokku. Kata-kata Sekar tidak membungkus lukaku dengan pita, tapi setidaknya membuatnya berhenti berdarah. Sejak malam itu, ia sering menemani di lapangan baca: mengajari huruf dengan lagu, duduk di tikar, mendengarkan anak-anak. Kadang ia hanya duduk diam di sampingku, dan diamnya terasa seperti selimut tipis di kamar ber-AC.

.

Surat dari Rumah

Ibu menelpon dari Jember. Suaranya seperti air yang mengalir di selokan bersih. “Nak, orang kampung baca Facebook. Bapakmu bilang sabar.” Aku menutup mata, mendengar desau daun jati dari sela-sela kata. “Doakan, Bu. Aku baik.” Kalimat itu kuucap seperti orang menyodorkan kartu identitas di pintu pos penjagaan.

.

Kerikil Kecil yang Mengubah Arah

Gosip yang paling keras pun memiliki umur. Setelah beberapa minggu, sebagian orang mulai melihat bahwa pekerjaanku tetap pada jalurnya. Wandan menambah satu titik kepercayaannya. “Kamu jangan lari,” katanya suatu pagi. “Orang yang lari terlihat bersalah, bahkan ketika ia benar.” Aku mengangguk seperti murid yang baru sadar bahwa papan tulis sebenarnya cermin.

Sekar suatu sore bertanya, “Mas, kamu pernah benar-benar ingin membalas?”
“Pernah. Setiap malam.”
“Kenapa tidak dilakukan?”
“Aku takut pada versi diriku yang akan lahir setelahnya.”

Ia tersenyum kecil, menatap anak-anak yang tengah mengeja: ba-bi-bu-be-bo. “Berarti kamu masih sayang pada dirimu.”

.

Sabrang Jatuh, Kota Bertepuk Tangan

Kota ini lebih suka menonton jatuh daripada mendengar penjelasan. Ketika sebuah audit menemukan kejanggalan di proyek yang dikelola Sabrang, media dengan cepat menggali. Sponsor menarik diri, kolega mengatur jarak. Nama Sabrang tersuruk di kolom berita, diseret ke meja warganet yang haus.

Suatu senja di taman kecil dekat Cikini, saat langit berwarna air teh tua, Sabrang duduk di bangku beton beberapa langkah dariku. Ia menatap telapak tangan sendiri.

“Joy, kamu pasti senang.”
“Aku tidak punya waktu untuk gembira karena orang lain celaka.”
Ia tertawa tanpa suara. “Aku iri padamu,” katanya akhirnya. “Kupikir kalau kamu jatuh, pintu rejeki terbuka buatku. Aku salah total.”

Kata “maaf” tidak ia ucapkan, tapi ada yang tunduk dari bahunya. Aku memandang wajah yang pernah begitu kukenal di rusun: manusia yang mengantuk oleh mimpinya sendiri.

“Aku tidak butuh pengakuan salahmu,” kataku. “Aku cuma ingin damai. Dan anak-anak itu tidak kehilangan kelas bacanya.”
Ia mengangguk. Kami diam cukup lama untuk mendengar azan magrib yang menggelinding lembut dari masjid di seberang jalan.

.

Gendis dan Batu yang Menjadi Buku

Selesai kelas suatu sore, seorang anak perempuan bernama Gendis menarik ujung kemejaku. “Kak Joyo, aku titip surat.” Di secarik kertas berbau krayon, ia menggambar dua orang: satu memegang buku, satu memegang batu. Di atasnya ia menulis: Kalau mau melempar, lemparkanlah buku. Biar yang kena bisa membaca.

Aku memasukkan kertas itu ke dompet, menjadikannya azimat yang memeram sabar. Setiap kali godaan untuk membalas menyembul dari balik dada, aku membuka dompet: Gendis berdiri di sana, kecil dan tegar, menahan tanganku agar tidak mengambil batu.

.

Pulang: Atap Seng, Doa Ibu, Mata Bapak

Kabar datang seperti angin yang memasuki celah: Bapak sakit, stroke ringan. Aku pulang. Jember menyambutku dengan gelisah yang ia sembunyikan: bau tanah basah, pohon jati berderit, suara pasar pagi yang baru bubar. Ibu memelukku: tubuhnya kecil tapi pelukannya luas. Bapak berbaring, bibirnya miring sedikit, matanya jernih.

“Joyo,” katanya lirih, “kalau ada yang menuduhmu tanpa bukti, maafkan. Hidup terlalu pendek untuk dipakai membuktikan ke orang yang tak mau percaya.”
Aku menggenggam tangannya, merasakan peta keriput yang bercerita. Aku, yang sering menulis strategi perubahan perilaku untuk masyarakat, mendadak merasa seperti bocah yang baru belajar suku kata. Malam-malam di rumah diisi doa yang tidak aku ucapkan keras-keras: doa agar paku itu—nama Sabrang—tidak lagi menyalakan karat.

Seminggu kemudian, setelah Bapak stabil, aku kembali ke Jakarta. Di atas bus malam, aku memandangi jendela yang memantulkan wajah sendiri—lelah tapi tak lagi meletup-letup. Sekar menelpon, bertanya kabar, bercerita bahwa kelas baca berjalan tanpa hambat. “Pak Jingga menyumbang rak buku dari peti bekas,” tuturnya. “Kerta bikin poster baru. Warna biru menenangkan, katanya.” Aku tersenyum pada kegelapan di luar.

.

Forum, Pertanyaan, dan Jawaban yang Tak Tercatat

Di sebuah forum kecil tentang literasi warga, aku diminta menjadi pembicara. Di sesi tanya jawab, seorang pemuda dengan wajah yang belum selesai menjadi dewasa bertanya: “Bang, gimana rasanya difitnah? Gimana caranya abang nggak balas?”

Aku menatapnya lama, lalu berkata, “Rasanya seperti berjalan di gang sempit dengan anjing-anjing menggonggong. Kamu bisa lari dan mereka makin ganas, atau kamu berjalan lurus. Aku pilih yang kedua. Bukan karena aku suci, tapi karena aku ingin sampai.” Ruangan hening. Pemuda itu mengangguk, tapi yang mengangguk sebenarnya aku pada diriku sendiri.

.

Sekar dan Yang Kita Simpan

Hubunganku dengan Sekar berjalan seperti kota yang belajar sabar: ada lampu merah, lampu kuning, dan sesekali lampu hijau yang membuat kami tertawa tanpa alasan. Kami tidak pernah membicarakan “kita” dengan kata-kata, tapi kami menyimpannya di tempat yang bahkan kami berdua tak tahu namanya. Ia mengajarkanku membiarkan sesuatu belum bernama. Ia bilang, dalam terapi, ada fase di mana pasien diajak mengamati rasa tanpa harus langsung menamainya. “Nama kadang berubah jadi sangkar,” katanya. “Biarkan ia jadi udara dulu.”

Di lapangan baca, Sekar paling piawai menenangkan anak yang kesal karena kehilangan stiker. “Marah itu boleh,” ujarnya lembut. “Tapi setelah marah, kita cek: apa yang bisa kita lakukan?” Kalimat itu, belakangan, kucuri untuk menenangkan diriku sendiri.

.

Sumbangan Tanpa Nama

Sejak pertemuan senja itu, tak ada lagi kabar miring yang disebar Sabrang. Sesekali, kardus berisi buku tiba di lapangan baca tanpa nama pengirim. Di halaman pertama buku-buku itu ada bekas lipatan diagonal yang rapi—kebiasaan Sabrang—seakan ia ingin menuntun pembaca mulai dari sudut tertentu. Kami tidak membicarakannya. Kami mengizinkan kebaikan datang tanpa identitas.

.

Hujan di Cikini, Payung yang Terbuka dari Dalam

Hari besar Bunga Beton adalah ketika perpustakaan mini yang ketiga berdiri. Di acara kecil itu, Wandan menyampaikan kalimat yang menempel seperti stiker di kaca: “Kita tidak selalu bisa mengalahkan kebohongan dengan serangan, tetapi kita bisa menyempitkan ruang geraknya dengan pekerjaan yang baik.” Orang-orang bertepuk tangan. Aku menunduk karena mataku tiba-tiba terasa penuh.

Sekar mendekat, menyodorkan payung. “Hujan deras,” katanya. “Tapi kita punya payung yang dibuka dari dalam.”
“Dari dalam?”
“Iya. Namanya: tenang.”
Aku tertawa. Jakarta seperti mengecil, mampu ditampung di payung kecil yang kami pegang berdua.

.

Email yang Tidak Bertanda

Beberapa bulan kemudian, sebuah email masuk dari alamat aneh. Subjeknya “Terima kasih”. Isinya: Joyo, aku di Surabaya. Aku bekerja normal. Aku belajar dari salah-salahku. Terima kasih sudah tidak membalas kebencian dengan kebencian. Salam untuk anak-anak dan Sekar. Tidak ada tanda tangan, tapi aku tidak butuh. Aku menutup layar, meraba dompet, memastikan surat Gendis masih di sana.

Malam itu, kami memutar film dokumenter buatan Kerta tentang perjalanan Bunga Beton. Tidak ada aku sebagai pahlawan, hanya orang-orang biasa yang menambah setitik terang. Setelah acara bubar, Sekar berbisik, “Jangan lupa bahagia.”
“Bahagia itu apa?” tanyaku.
“Bahagia adalah ketika kau bisa tidur tanpa meminta dunia berubah terlebih dulu.”

.

Saat Kota Menjadi Rumah

Kini, setahun lewat sejak puncak badai. Kota masih bising, tetapi bunyinya seperti lagu yang akhirnya kupelajari nadanya. Bunga Beton tumbuh pelan: para ibu bergiliran menjaga perpustakaan, para remaja membikin zine sederhana, anak-anak menempelkan stiker di halaman favorit. Di dinding kontrakan, kutempel tiga kalimat—seperti doa harian:

  1. Kebenaran yang dikerjakan lebih kuat dari pembelaan yang berteriak.

  2. Orang yang bahagia jarang menyebar kebencian.

  3. Maaf bukan tentang melupakan, melainkan tentang memilih masa depan.

Kadang malam-malam sepi masih membawa kembali bayangan blog gelap, tangkapan layar, bisik-bisik yang tajam. Aku membiarkan ia lewat seperti angin yang menyusup dari celah jendela; ia boleh lewat, tidak boleh tinggal. Saat rasa lama menggedor, aku memegang surat Gendis, mengingat senyum Sekar, menelepon Ibu menanyakan cuaca, lalu menghela napas panjang. Napas adalah cara paling murah untuk berdamai.

.

Duri yang Menjadi Doa

Suatu pagi, sebelum berangkat, aku menulis satu kalimat di belakang poster Bekerja untuk satu anak…: “Semoga setiap orang yang pernah menyakitiku menemukan alasan untuk tidak lagi menyakiti dirinya sendiri.” Aku terkejut oleh tulisanku sendiri—seolah tangan orang lain meminjam tubuhku. Tapi mungkin memang begitu. Dendam, ketika tidak diberi makan, perlahan berubah menjadi sesuatu yang tidak menyerupai dendam. Ia menipis, melarut, lalu, entah bagaimana, menjadi doa.

Aku berjalan ke halte TransJakarta. Kota berderak. Di kaca gedung-gedung tinggi, langit menolak biru sempurna; ia memilih putih susu yang ramah. Di bahu jalan, seorang pedagang koran tertidur di balik tumpukan berita. Aku memotret dalam kepala: Jakarta yang tidak selalu galak, kadang-kadang juga ibu yang, kalau kau sabar, bersedia menaruh tangan di kepalamu.

Di perempatan, lampu merah menyala. Di balik kaca mobil, mungkin ada orang yang baru saja dihujat dan ingin membalas. Di kursi bus, mungkin ada yang sedang memaafkan tanpa tahu itu namanya. Di trotoar seberang, mungkin ada Sabrang—atau orang lain yang seperti dirinya—yang sedang belajar melipat halaman pertama buku-buku baru.

Aku menatap ke depan. Ketika lampu berubah hijau, aku melangkah. Tak ada musik mengiringi, tak ada konfeti. Hanya suara kota yang sedikit lebih pelan di telinga. Dan jauh di dalam, paku berkarat itu akhirnya tanggal tanpa merobek dinding. Yang tersisa adalah bekas kecil, tempat aku menempelkan kalimat pendek: terima kasih telah mengajarkanku cara menjadi manusia.

.

“Kebohongan bisa berlari, tetapi kebenaran tahu jalan pintas ke hati.”

“Maaf adalah pintu yang pertama kali membebaskan pemberinya.”

“Kalau mau melempar, lemparkanlah buku—biar yang kena bisa membaca.”

.

.

.

Jember, 27 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #SastraKompasMinggu #Kota #Fitnah #Pengampunan #Literasi #Mengharubiru

Leave a Reply