Segelas Kopi Sepotong Malam
“Segelas kopi, sepotong malam; selebihnya keberanian untuk percaya esok tetap datang.”
.
Hujan turun di Jakarta seperti sumbu yang dipantik. Sekejap jalanan berubah menjadi cermin kusut yang memantulkan lampu-lampu kendaraan, iklan neon, dan wajah-wajah yang memilih menunduk. Dari balik kemudi mobil sedan tua yang kini jadi taksi daring, Wiraraja menatap derasnya air seperti menatap kalender yang selalu meminta tanggal baru. Wipernya mengibas-ngibas gelisah. Order malam itu sepi. Di peta aplikasi, titik-titik biru pengemudi berjejalan; titik-titik oranye penumpang seperti rasi bintang yang enggan muncul.
Wiraraja—orang-orang memanggilnya Wira—menghela napas. Jam di dashboard menunjukkan 22.47. Ia menepi di bawah jembatan layang dekat stasiun, menutup order, lalu mengetik pesan cepat pada sahabatnya: “Ras, aku ke warungmu. Kopi pahit dua.”
Warung tenda milik Adirasa berdiri persis di sisi trotoar, bersebelahan dengan kios koran tua dan gerobak bubur yang, konon, tidak pernah kehabisan pelanggan meski rasanya biasa saja. Spanduknya memudar, tertulis: Kopi Adirasa – Panasnya Bikin Tabah, Manisnya Bikin Ingat Rumah. Di bawahnya, lampu bohlam menggantung, memantul di genangan kecil yang mengitari kaki-kaki meja.
“Ra,” sapa Wira, tubuhnya setengah basah. “Pahit dua. Satu buat rindu, satu buat akal sehat.”
Adirasa tersenyum—senyum yang lebih dekat pada keberanian dibanding bahagia. “Rindu biasanya habis, Wira. Akal sehat yang sering sulit kuserahkan.” Ia menuang air panas, mengaduk pelan. Tangannya penuh bekas luka kecil akibat menahan panas panci, tanda-tanda kerja yang ia banggakan.
Malam menua. Kereta terakhir melintas; deru besinya seperti doa panjang yang tak selesai. Di bangku kayu paling ujung, seorang lelaki setengah baya berteduh, memeluk ransel lusuh. Ia mengusap wajah dengan punggung tangan, menatap gelas mereka lama, lalu menunduk lagi. Wira dan Adirasa saling melirik. Kota besar selalu punya cara mempertemukan orang-orang asing tanpa menanyakan tujuan.
“Order?” tanya Ras.
“Seret,” sahut Wira. “Bensin naik. Cicilan mobil minta jatah. Ibu di Bangkalan juga nanya, ‘kapan pulang?’ seolah pulang itu perkara harga tiket.”
Adirasa tertawa pendek. “Ibuku juga begitu. Katanya, ‘kalau capek, pulang. Rumah selalu ada.’ Mereka lupa, di kota ini rumah adalah angka.”
Mereka diam. Hujan meredak, tapi dinginnya tinggal. Dari radio kecil di pojok tenda, seorang penyiar membacakan kabar-kabar yang sudah basi sejak sore: banjir di beberapa titik, razia knalpot brong, perdebatan panjang tentang stadion. Wira memandang langit, seolah menembus atap jembatan. “Kadang aku merasa Jakarta ini semacam mesin raksasa,” ujarnya, “yang membuat kita terus berjalan meski pelan, agar kita tak punya kesempatan bertanya ‘mengapa’.”
Adirasa tak menjawab. Ia menambah gula di gelas Wira kedua—bukan karena Wira minta manis, tetapi karena malam itu pahit sudah kebanyakan tamu.
.
Nama Wiraraja ia warisi dari kakek buyut yang tukang perahu di Kalianget. Menurut ibu, nama itu berarti “orang yang tak mudah dipatahkan”. Tapi hidup punya cara membuat nama terlihat berlebihan. Ayahnya meninggal saat ia kelas dua SMP, meniru sebagian besar kisah tetangga: jatuh dari atap gudang garam, tertinggal upah yang tidak seberapa. Wira merantau ke Jakarta seusai SMA, bekerja serabutan, hingga akhirnya mengemudi—di kota yang mengukur umur bukan pada tahun, melainkan pada cicilan.
Adirasa—Ras, begitu ia dipanggil—lahir dari keluarga penjual es kelapa yang berpindah-pindah trotoar. Ia mencintai kopi seperti orang jatuh cinta pada hal yang bisa menjelaskan hidupnya. “Kopi itu jujur,” katanya suatu hari pada Wira. “Kalau kau salah menyeduh, ia tak akan menolongmu. Tapi kalau kau sabar, ia jadi pengantar pulang bagi yang tersesat.”
Warungnya bertahan karena dekat stasiun; orang-orang singgah di antara tunggu dan terburu-buru. Di jam-jam sepi, ia menulis resep di buku catatan kecil: “Kopi Jahe Pengurang Sunyi,” “Kopi Susu Menghadap Gaji,” “Americano Jangan Menyerah, Pak.” Tulisan-tulisan itu membuat beberapa pelanggan tertawa dan kembali lagi. Humor, bagi Ras, adalah gula yang tak meninggalkan semut.
.
Suatu malam—dua minggu setelah hujan pertama—lelaki setengah baya yang sering berteduh itu duduk tepat di hadapan Ras. Tatapannya jernih, berbeda dari ransel lusuhnya. Ia memesan kopi hitam. “Tolong jangan disaring terlalu halus,” pintanya. “Aku suka serpihannya terasa di lidah—seperti mengingatkan, ada yang belum selesai.”
Ras menurut. Lelaki itu meneguk, menghela napas puas, lalu mengeluarkan kartu nama. Suryalaga – Pengelola Kedai Kopi Halaman Selatan. Ia bercerita singkat: “Aku lama mengelola kedai di Jakarta Selatan. Belakangan aku mencari tempat untuk kelas cupping kopi murah meriah, di luar wilayahku—agar lebih banyak orang mencicipi rasa tanpa harus membayar gengsi. Kopimu jujur. Kau mau kalau aku menitip kelas di sini tiap Sabtu malam?”
Ras menahan dagu dengan punggung tangan, pura-pura tenang. “Warungku tenda, Pak. Tak ada pendingin ruangan. Meja pun seadanya.”
“Justru itu,” Suryalaga tersenyum. “Kopi harus ramah pada hidup yang nyata.”
Usai Suryalaga berlalu, Wira melongo. “Ras… kalau ini jadi, warungmu bisa ramai. Aku siap nganterin alat-alatnya pakai mobil.”
Ras menutup wajah dengan celemek. “Wira… aku takut gembira. Gembira sering datang membawa tagihan.”
Wira tertawa, menepuk bahunya. “Kau ini. Tuhan biasanya menyusup lewat pintu kecil. Kita keburu pasang gembok karena mengira pencuri.”
.
Sabtu pertama kelas cupping, trotoar itu berubah jadi ruang belajar. Suryalaga membawa beberapa jenis biji kopi: dari Garut yang wangi cokelat, dari Sumenep yang asin-asin angin laut, dari Gayo yang tebal seperti kalimat panjang. Orang-orang berdiri melingkar, mengendus, menyeruput, mencatat. Ras tak menyangka, warungnya bisa menjadi tempat orang merasa cerdas. Wira sibuk mengatur parkir sepeda, meminjam senter pada tukang bubur.
“Enak ya, Ras,” kata Wira saat kelas bubar. “Trotoar ini jadi seperti halaman rumah.”
Ras mengangguk. “Halaman tempat kita menjemur penat.”
Suryalaga menghampiri mereka. “Kelas berikutnya, boleh kalau kita tambah? Aku punya teman yang bisa mengajar teknik seduh manual. Kau dapat bagian dari kontribusi peserta.”
Adirasa menatap bintang yang sesekali sempat keluar di sela awan. Ia tak menyangka, hidup bisa seindah poster pameran. Ia menepuk-nepuk meja, seolah memastikan kayu itu nyata.
Malam itu, untuk pertama kali dalam waktu lama, Wira mematikan alarm yang biasa ia pasang sebagai pengingat, “jangan berharap terlalu tinggi.” Ia biarkan harapannya tumbuh sampai menyentuh atap tenda.
.
Tapi hidup, seperti kata guru Bahasa Indonesia mereka dulu, selalu menuntut konflik di bab tiga.
Pagi itu, ponsel Ras berdering berkali-kali. Nomor tak dikenal. “Mas, ini dari puskesmas Arosbaya. Ibu Sumarah masuk. Tadi malam sesak napas. Kami rujuk ke RSUD.”
Suara di seberang berganti dengan suara tetangga: “Ras, kamu bisa pulang? Bu Sumarah nyebut-nyebut namamu.”
Ras menatap Wira yang kebetulan baru muncul dengan roti gandum bekal jalan. “Wira… aku harus pulang hari ini.”
Wira mengangguk cepat. “Aku antar. Kamu tak usah memikirkan bensin.”
Mereka berangkat siang itu. Jalan tol seperti garis panjang yang tidak mau selesai. Awan berarak, radio menyiarkan pengumuman lalu lintas yang tak relevan di saat kecemasan menjadi lampu hazard. Ras duduk dengan tangan mengepal, bibir bergerak tanpa suara. Di kaca spion, Wira melihat sahabatnya menjadi anak kecil yang mencari pangkuan.
Di Bangkalan, mereka langsung menuju rumah sakit. Bau obat menyergap seperti kenangan pahit yang tiba-tiba datang. Ibu Sumarah terbaring dengan selang oksigen. Matanya menggembeng. “Ras,” panggilnya begitu melihat mereka, “kau datang.”
Ras memegang tangan ibunya yang dingin. “Ibu, maaf aku telat. Warung…”
“Warung bisa menunggu,” potong ibunya pelan. “Usia tidak.”
Wira menahan diri di sudut ruangan. Ia mengirim pesan ke Suryalaga, mengabarkan keadaan. Balasan datang: “Urus Ibu. Kelas kita jeda. Warungmu bisa tutup, tak apa. Ibu adalah rumah.”
Tiga hari kemudian, Ibu Sumarah menjalani operasi kecil. Biayanya, kata petugas, cukup besar untuk ukuran tabungan warung. Ras menelan ludah. Wira menepuk bahunya. “Ambil tabunganku. Aku masih bisa narik malam.”
“Tidak, Wira. Aku tak ingin utang pada sahabatku.”
“Bukan utang,” bantah Wira. “Ini cara Tuhan memakai uangku agar tidak sombong.” Ia memaksa Ras menerima.
Di koridor rumah sakit, bau karbol bercampur tangis. Ada bayi lahir, ada nenek pergi, ada orang-orang yang berdoa tanpa tahu harus ditujukan ke arah mana. Ras menemukan dirinya melafalkan kalimat yang sejak kecil diajarkan ibunya: “Gusti mboten sare. Tuhan tidak tidur.” Di antara cemas, ia percaya: jika tak ada pintu, mungkin ada jendela; jika jendela tertutup, selalu ada genting yang bisa digeser sedikit untuk udara masuk.
.
Operasi berjalan lancar. Ibu Sumarah boleh pulang dua minggu kemudian. Tapi dana mereka hampir habis. Ketika kembali ke Jakarta, warung Ras kosong, tenda kusam seperti pundak yang menanggung hujan sendiri. Pelanggan berkurang. Kelas cupping tertunda. Beberapa alat seduh titipan Suryalaga harus dikembalikan dulu. Ras melipat tenda dengan hati yang sama-sama dilipat.
Malam itu, Wira datang membawa kue bolu kiriman Ibu Sumarah dan kabar yang tak kalah berat. “Perusahaan pemakai jasaku menunda kontrak. Katanya, kebijakan baru. Aku balik lagi ke sistem order biasa. Kau tahu artinya, kan? Gaji bulanan kembali jadi jarak tempuh.”
Ras mengusap wajah. Hening. Hujan turun lagi. Mereka duduk di bangku warung kosong. Lampu jalan memantulkan warna kuning pucat. Dari masjid kecil di seberang, azan Isya meluncur seperti benang yang mengikat detik-detik agar tidak tercerai berai.
“Wira,” kata Ras, “kau pernah merasa seperti dikhianati oleh doa?”
Wira menatapnya lama. “Pernah. Waktu Ayah meninggal. Waktu kau pulang dari rumah sakit dengan sisa uang yang membuatmu duduk lama di terminal. Tapi lalu… setiap pagi, ada roti murah di minimarket. Ada tawa anak kecil di KRL. Ada orang asing membukakan pintu lift. Mungkin doa bukan untuk mengubah keadaan, Ras. Doa mengubah kita agar kuat menghadapi keadaan.”
Ras mengangguk, tapi air matanya jatuh juga. “Aku lelah, Wira.”
“Capek itu bukan dosa,” ujar Wira. “Beristirahatlah. Besok kita berdiri lagi.”
.
Keesokan harinya, mereka bangun sebelum subuh. Ras membersihkan tenda, mencuci gelas-gelas yang muncul seperti kenangan. Wira menjemur kursi, membeli donat ayam diskon. Pagi di Jakarta adalah orkestra: pedagang sayur memanggil-manggil, tukang ojek batuk-batuk, ibu-ibu berlari mengejar anak yang menolak sekolah. Ras menyeduh kopi hitam pertamanya hari itu, meniup pelan. Ia membisikkan kalimat yang ia tulis di spanduk kecil di sisi tenda: “Segala sesuatu akan baik-baik saja.” Ia tidak tahu bagaimana caranya, tapi kalimat itu menolak berkompromi.
Sekitar pukul delapan, sebuah mobil berhenti di depan tenda. Pintu terbuka. Suryalaga turun bersama seorang perempuan berkacamata, membawa tas besar yang ternyata berisi biji kopi berbagai daerah, serta beberapa cangkir kertas.
“Kau tidak memberitahuku akan datang,” kata Ras.
“Kalau kuberi tahu, kau akan menolak,” jawab Suryalaga. “Ini bukan bantuan, Ras. Ini kerja sama baru. Temanku, Nawangwulan, penyiar radio komunitas. Kami akan bikin siaran live dari warungmu, tema ‘Kopi Trotoar, Rasa Rumah’. Kau siap?”
Ras menoleh ke Wira yang tidak pandai menyembunyikan kegembiraan. “Siap!” jawabnya untuk sahabatnya.
Siaran live itu berlangsung dadakan tapi hangat. Warga yang lewat berhenti. Nawangwulan bertanya pelan tentang kisah Ras dan Wira. Tentang kenapa mereka tidak menyerah. Tentang apa makna rumah bagi orang-orang yang tinggal di kota. Ras menjawab dengan kalimat pendek, jujur. Wira menyelipkan humor, membuat orang tertawa, membuat trotoar merasa lega.
Sore itu, hashtag #KopiTrotoar menjadi kecil-kecilan ramai di lingkaran radio komunitas. Beberapa pengikut Nawangwulan datang esok hari, lalu keesokan lagi. Mereka tidak hanya membeli kopi; mereka membeli cerita. Warung kembali bernapas. Tidak mewah, tapi cukup untuk mengingatkan: harapan itu seperti kompor kecil—kalau dirawat, ia bisa menghangatkan ruangan.
.
Tetapi badai paling dingin justru datang dari tempat yang tampaknya aman: rumah kontrakan Ras. Pemilik kontrakan mengabarkan kenaikan uang sewa hampir dua puluh persen. “Pasar naik,” katanya tenang. Ras menghitung cepat. Jika ia setuju, uang untuk membeli bahan baku akan tergerus. Jika tidak setuju, ia harus mencari tempat baru; perpindahan itu sendiri butuh biaya yang tak kecil.
Malamnya, Ras dan Wira menatap plafon tenda yang retak. “Kenapa kabar baik selalu berjalan bersisian dengan kabar buruk?” keluh Ras.
“Karena keduanya tetangga lama,” jawab Wira. “Tapi kita punya tetangga lain: sabar.”
Ras menarik napas panjang. “Aku tak cukup kuat, Wira.”
“Tidak ada yang cukup kuat,” balas Wira. “Kita saling meminjam kekuatan.”
Ia mengeluarkan amplop kecil. “Ini uang tip penumpang dan sisa tabunganku. Ambil. Aku tahu kau akan menolaknya. Jadi, kalau kau menolak, kuanggap kau menghina kebaikan hatiku.” Wira berusaha tampak galak, tapi matanya berkedip terlalu cepat.
Ras tertawa di sela tangis. “Baiklah. Aku pinjam. Ingat: pinjam, bukan minta.”
“Kau meminjamnya pada Tuhan,” tegas Wira. “Aku hanya kurir.”
.
Beberapa pekan setelah itu, kehidupan berjalan dengan ritme yang pelan tapi pasti. Kelas cupping kembali digelar setiap Sabtu malam. Nawangwulan sesekali menyiarkan obrolan singkat dari warung. Orang-orang yang dulu hanya melewati trotoar kini punya alasan untuk berhenti. Ras mulai berani menyimpan uang di kaleng biskuit bekas—nama kaleng itu ia beri: “Tabungan Pindah Kontrakan Tanpa Patah Hati.”
Sementara Wira, meski kontrak tetap tak kembali, menemukan pola kerja baru: ia menjemput anak-anak sekolah internasional di pagi hari, mengantar pekerja pulang malam, dan di sela-selanya mengantar alat-alat kopi Suryalaga ke berbagai tempat. Mobilnya—yang ia beri nama Lara—seperti memahami beban penumpangnya dan tidak banyak protes. Ia menempelkan stiker kecil di dashboard: “Pelan-pelan asal sampai dan selamat.” Di bawahnya, foto kecil ibunya dengan baju kebaya biru pudar.
Namun, ada satu malam yang tidak terlupakan. Jakarta diguncang hujan yang dianggap orang-orang sebagai “pembalasan” langit. Banjir datang bertingkat, seperti mall—lantai satu, dua, tiga. Tenda Ras nyaris roboh. Wira datang dengan jas hujan seharga semua koin di saku, menahan tiang tenda sambil tertawa: “Ini seperti adegan film yang kebanyakan dramatik.”
“Jangan bercanda!” Ras berteriak di tengah deru hujan.
“Justru bercanda, Ras! Kalau tidak, takutnya keburu tenggelam.” Mereka tertawa di antara gemuruh, menahan tenda dengan tubuh mereka sendiri. Suryalaga muncul membawa tali dan pasak tambahan, Nawangwulan mengirim pesan siaran darurat: “Jika kalian dekat stasiun—yang sudah mirip dermaga—silakan menepi di Warung Kopi Adirasa. Ada air hangat, ada biskuit, ada tawa yang tidak akan disegel banjir.”
Orang-orang berdatangan. Ada yang basah kuyup, ada yang menggendong anak, ada yang hanya ingin tempat kering untuk menenangkan telepon mereka yang menjerit-jerit. Ras membagikan kopi gratis. Wira mengatur tempat duduk sekenanya, menahan genangan agar tidak masuk. Malam itu, trotoar betul-betul berubah jadi halaman rumah besar. Listrik di beberapa blok padam. Warung Ras bertahan dengan lampu emergency kecil yang sinarnya serupa lilin dalam doa.
Seorang bapak berambut putih mendekat, menggenggam tangan Ras. “Nak, kau menyelamatkan malam kami.”
Ras menggeleng. “Tidak, Pak. Kami hanya tidak ingin takut sendirian.”
Ketika banjir surut menjelang subuh, orang-orang satu per satu pamit. Mereka meninggalkan uang seikhlasnya di toples donasi. Ras menghitung pelan—matanya berkaca. Bukan karena jumlahnya besar, melainkan karena ia merasa dilihat. Dalam hidup banyak orang, dikenali adalah kemewahan.
.
Kehidupan, seperti sungai, mengalir juga dengan kabar baik yang tulus. Kabar itu datang dari grup pesan daring. Nawangwulan menautkan artikel blog: “Warung Kopi Trotoar yang Menjadi Dapur Hangat di Malam Banjir.” Penulisnya memotret mereka tanpa eksploitatif, memuji tanpa membebani. Dalam beberapa hari, ada perusahaan kecil menyodorkan kerja sama program “Ngopi Amanah”—membayari sepuluh cangkir per hari untuk siapa pun yang membutuhkan. Ras menempelkan kertas di depan tenda: “Jika HARIMU BURUK, AMBIL SATU GELAS. Jika HARIMU BAIK, SISAKAN DUA UNTUK ORANG LAIN.”
Wira menatap tulisan itu lama. “Kalimatmu seperti ubin mushala: sederhana, tapi membuat kaki ingin berhenti.”
Ras tertawa. “Aku curi dari kepalaku sendiri.”
Tiba-tiba ponsel Wira berdering. Nomor asing. “Mas Wira?” suara perempuan di seberang. “Kami dari perusahaan transportasi yang dulu mempekerjakan Mas. Ada program baru pengemudi pendamping lansia—antar ke rumah sakit, pasar, tempat ibadah. Mas direkomendasikan oleh pelanggan. Mau gabung?”
Wira memejam sejenak. Bayangan ibunya melintas, juga tangan-tangan tua yang dulu ia pegang saat menyebrang jalan. “Saya mau,” jawabnya. “Saya mau sekali.”
Setelah menutup telepon, ia memeluk Ras. “Ras, sepertinya langit sedang membetulkan pintu rumahku yang miring.”
“Bilang pada langit,” ucap Ras sambil menepuk punggungnya, “jangan lupa rumahku juga.”
.
Di bulan yang sama, Ras memutuskan pindah kontrakan: bukan karena diusir, tapi karena ia menemukan halaman kecil di ujung gang yang menyisakan pohon belimbing di tengah. Tempat itu lebih murah sedikit, lebih sempit sedikit, namun sinar paginya lebih lebar. Suryalaga membantu mengecat papan nama baru. Nawangwulan meminjamkan mikrofon kecil untuk sesekali open mic puisi. Wira mengangkut barang-barang pakai Lara yang setia. Mereka menutup proses pindahan dengan makan nasi bebek di emperan, tertawa pada hal-hal remeh seperti kualitas sendok plastik.
“Ras,” kata Wira, “ingat kalimat ibumu? Tuhan tidak meninggalkan yang sabar dan sungguh-sungguh.”
“Ya. Aku juga ingat kalimatmu,” balas Ras. “Tuhan menyusup lewat pintu kecil.”
“Dan kita sudah berhenti memasang gembok,” sambung Wira. Mereka saling menatap, mengangguk. Di antara mereka, ada sesuatu yang tumbuh diam-diam: keyakinan yang tidak lagi perlu buktinya setiap hari, sebab bukti paling besar adalah mereka masih bisa tertawa.
.
Pada suatu sore, ketika matahari menggulung pelan ke balik gedung-gedung, seorang anak kecil berdiri di depan tenda, memperhatikan daftar menu dengan mata besar. Bajunya kumal, sandal jepitnya putus di jari. Ia memegang kertas seribu dan sekeping lima ratus. “Mas,” katanya pada Ras, “bisa beli kopi susu? Buat Ibu. Ibu capek.”
Ras dan Wira saling pandang. Ras berjongkok. “Bisa,” jawabnya. “Tapi kamu mau bantu tulis satu kalimat di kertas ini?” Ia menyodorkan spidol. Anak itu mengangguk.
“Tulis: ‘Ibu, terima kasih sudah kuat untukku.’”
Anak itu menulis dengan teliti, huruf-hurufnya miring tak teratur, namun rapi dalam niat. Ras memberikan dua gelas kecil: satu kopi susu, satu air hangat gula. “Sampaikan pada Ibu: jika harinya berat, silakan datang kemari. Kita punya kursi yang mau mendengarkan.”
Anak itu tersenyum dan berlari. Wira menatap punggung kecil itu sampai hilang di tikungan. “Kalau kau tanya padaku, Ras, inilah alasan kota harus terus dihuni: agar kita bisa menutup lubang-lubang di jalan hati orang lain.”
Ras mengangguk. “Dan agar orang lain menambal lubang-lubang kita.”
.
Beberapa bulan berselang, mereka menggelar Kopi Malam Doa—sebuah pertemuan sederhana setiap Jumat terakhir: orang-orang menuliskan doa, harapan, atau ucapan terima kasih pada kertas kecil, lalu dimasukkan ke dalam toples. Tidak ada khutbah, tidak ada kotbah; hanya musik gitar, uap kopi, dan kalimat-kalimat yang mengandung keberanian.
Di malam pertama, toples berisi kalimat-kalimat macam ini: “Semoga Ayah sembuh dari stroke.” “Semoga aku tidak takut lagi datang ke kantor.” “Semoga anakku berhenti marah pada dunia.” “Semoga bisa makan tiga kali tanpa hitung kembalian.” Ada juga yang menulis: “Terima kasih, Tuhan. Hari ini aku menangis karena lega, bukan kecewa.”
Wira memasukkan secarik kertas: “Ibu, jalan kita tidak selalu mulus, tapi aku akan menggandengmu.” Ras menambahkan miliknya: “Ya Allah, aku ingin warung ini menjadi rumah bagi yang tak punya alamat di hati orang.” Mereka tidak perlu mengucapkan amin keras-keras; uap kopi sudah mengantarkannya ke langit yang mengerti bahasa sederhana.
Pada penghujung malam, Suryalaga berdehem. “Aku dan beberapa teman sepakat membantu biaya kerja untuk warung ini, Ras. Tidak besar, tapi rutin. Kami percaya pada hal kecil yang konsisten.” Ras menunduk, matanya basah. “Terima kasih,” ujarnya. “Sungguh.”
Nawangwulan menyalakan perekam suara. “Boleh aku minta kau ucapkan satu kalimat, Ras, untuk pendengar?” Ras mengangguk. Ia menatap mikrofon seolah menatap wajah kawan lama. “Kepada siapa pun yang mendengar,” ucapnya pelan, “jika kau sedang lelah, silakan duduk. Kopi kami mungkin tidak menyelesaikan masalahmu, tapi kami ingin kau pulang dengan dada lebih lapang. Segala sesuatu akan baik-baik saja. Kalau belum baik, berarti belum selesai.”
.
Waktu bergerak seperti rel KRL: lurus dengan kejutan belokan di beberapa titik. Warung bertahan, lalu tumbuh, lalu melebar—bukan pada fisik, melainkan pada jaringan orang saling peduli. Wira menjalani pekerjaannya sebagai pengemudi pendamping lansia dengan sepenuh hati: ia hafal jadwal cuci darah Pak Kertarupa, tahu titik belanja paling teduh untuk Bu Candrakirana, dan menyiapkan putar balik yang tidak membuat pusing Pak Lembu. Ia menempelkan kertas kecil di belakang kursi penumpang: “Kalau Bapak/Ibu ingin berdoa, saya akan pelankan musik. Kalau ingin cerita, saya akan jadi telinga.”
Pada suatu siang, setelah mengantar Bu Candrakirana kontrol ke rumah sakit, Wira menerima pesan yang membuatnya duduk lama di kursi kemudi. Ibunya berpulang di Bangkalan. Tidak ada kecelakaan. Tidak ada drama. Hanya usia yang sudah selesai. Wira menutup wajah dengan telapak tangan. Lara terasa sempit. Ia menghubungi Ras; dalam beberapa jam mereka sudah di kapal menyeberang.
Pemakaman sederhana itu seperti menutup bab yang halamannya sudah kuning. Wira memegang tanah yang masih basah, bersujud lama. “Bu,” bisiknya, “aku mengantarmu sejauh yang bisa. Sisanya, biar Tuhan.”
Sepulang dari Bangkalan, pada malam pertama tanpa ibu di dunia, Wira duduk di bangku warung. Ras menaruh dua gelas kopi pahit. Tidak ada kata-kata. Angin menyentuh tenda—pelan, seperti ibu yang mengusap kepala anaknya. “Wira,” kata Ras akhirnya, “kau ingat kalimat yang selalu kita pegang?”
“Segala sesuatu akan baik-baik saja,” jawab Wira dengan suara pecah. “Tapi bagaimana jika yang baik-baik itu artinya melepaskan?”
“Berarti kita belajar makna lain dari baik,” ucap Ras. “Baik itu bukan selalu tenang. Kadang baik adalah mata bengkak, dada sesak, tapi kita tetap memilih bangun esok pagi.”
Wira mengangguk. Ia meminum kopinya. Pahitnya menjejak seperti kalimat yang jujur. Ia tidak berusaha mengurangi. Malam itu, ia menulis di secarik kertas dan memasukkannya ke toples doa: “Terima kasih, Ibu. Aku akan melanjutkan cara Ibu mencintai, yaitu tidak membiarkan orang merasa sendirian.” Di bawahnya ia tambahkan: “Amin.”
.
Setahun berlalu sejak hujan pertama di cerita ini. Warung Adirasa kini memiliki papan kayu kecil buatan tangan dengan tulisan putih: “Kopi Halaman—Rumah untuk yang Kuat dan yang Letih.” Setiap orang yang duduk di bangku-bangkunya membawa pulang sedikit hal yang tak selalu mereka bayar: teman yang mau mendengar, kalimat yang meringankan, mata yang tidak menghakimi.
Pada suatu malam ulang tahun warung, Ras berdiri di depan tenda, memandang wajah-wajah yang pernah hadir dalam cerita mereka: Suryalaga yang masih setia mengajar kelas tanpa merasa guru; Nawangwulan yang menyalakan siaran live sambil sesekali menahan air mata; pelanggan-pelanggan yang kini punya nama satu sama lain; dan Wira, sahabatnya, yang duduk sambil menatap langit, mungkin mencari isyarat ibu yang pernah memintanya tidur siang.
Ras mengangkat gelas. “Terima kasih,” katanya. “Kepada kota yang keras, karena ia mengajarkan cara memeluk. Kepada hujan, karena ia membuat kita menepi. Kepada kopi, karena ia menjelaskan bahasa sederhana dari kesabaran. Kepada sahabat—” ia menoleh pada Wira “—karena kau membuatku percaya bahwa keajaiban tidak selalu besar; kadang ia adalah orang yang datang saat kita tidak ingin sendirian.”
Orang-orang bertepuk tangan. Lampu-lampu tenda berkedip seperti bintang yang lupa pulang. Musik gitar pelan mengalun. Wira berdiri, mendekat ke mikrofon kecil. “Aku tidak pandai berpidato,” katanya. “Tapi aku ingin mengucapkan satu kalimat yang dulu sering ibuku katakan: Tuhan selalu punya cara. Dan jika malam ini kalian butuh satu tanda, lihatlah sekeliling: kita sampai di sini bersama. Itu sudah lebih dari cukup.”
Malam itu, mereka menutup perayaan dengan menuliskan kalimat pada dinding papan yang baru dicat. Orang-orang menulis apa pun yang ingin diingatkan suatu hari nanti. Ras menulis: “Jangan takut gembira.” Wira menulis: “Pelan-pelan asal sampai dan selamat.” Suryalaga menulis: “Kopi harus ramah pada hidup yang nyata.” Nawangwulan menulis: “Jadilah halaman bagi orang yang kehilangan pintu.” Seorang anak kecil—yang dulu membeli kopi untuk ibunya—menulis: “Terima kasih karena tidak mengusirku.”
Ketika tenda ditutup jelang tengah malam, Ras dan Wira duduk di bangku kayu yang sudah berumur setahun dan sekian hari. Hujan turun lagi, lembut seperti kain batik tipis. Mereka memandangi jalan yang basah, lampu-lampu yang membias, dan bayangan mereka sendiri di genangan. “Wira,” kata Ras, “aku tahu besok kita tetap akan lelah.”
“Ya,” jawab Wira. “Tapi kita juga akan tetap tertawa.”
“Dan berdoa.”
“Dan bekerja.”
“Dan memaafkan hari yang tidak sempurna.”
“Dan percaya,” sambung Wira, “bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja.”
Mereka mengangguk, tidak saling menatap. Tidak perlu. Malam itu, kota tidak lagi terasa seperti mesin raksasa; ia berubah menjadi halaman rumah tempat orang-orang menjemur ketakutan. Di langit, awan bergerak perlahan, membuka sedikit ruang untuk bintang. Di hati mereka, kalimat sederhana berdiri tegak—sekuat tiang tenda yang dulu mereka pegang di tengah hujan: segala sesuatu akan baik-baik saja. Jika percaya, ucapkan pelan, bahkan jika hanya di dalam dada: amin.
.
“Segala sesuatu akan baik-baik saja. Jika belum baik, berarti belum selesai; jika sudah percaya, bisikkan amin—bukan untuk mengubah langit, tapi untuk menenangkan hati.”
.
.
.
Jember, 19 September 2025
.
.
#CerpenKompas #SastraIndonesia #CeritaKota #KopiTrotoar #Persahabatan #Harapan #Doa #Mengharubiru #NamakuBrandku