Mata yang Menyala di Ruang Kelas Kota
“Melatih itu bukan panggung untuk bersinar, melainkan jendela untuk melihat orang lain menemukan cahayanya.”
“Bekerja dengan gairah membuat jam tak terdengar. Metodologi yang tepat membuat pesan tak hilang.”
.
Jayeng turun dari TransJakarta di halte Gelora, pagi yang belum sepenuhnya siang. Gedung-gedung memantulkan matahari seperti kaca mata kucing—tajam, waspada. Di pinggir trotoar, genangan sisa hujan semalam memantulkan papan iklan: “Future Leaders Bootcamp—Belajar, Tumbuh, Berkarya.” Itulah proyek besar bulan ini, tempat ia—seorang trainer independen—mempertaruhkan reputasi, waktu, dan jantung yang sering berdetak seperti drum marching band. Ia mengajar bukan karena tak bisa kerja lain; ia mengajar karena di ruang kelas, ia merasa pulang.
Gedung pelatihan ada di lantai delapan. Lift mengantar suara-suara kecil: dering notifikasi, tawa yang setengah ditahan, napas yang terburu. Di lobi, panitia sibuk menempelkan name tag. Nama-nama yang terasa akrab sekaligus asing: adaninggar, kelaswara, rengganis, wiraguna. Adaptasi nama dari kisah lama, pikirnya—seolah kita semua aktor yang memindahkan epos ke kota tanpa bintang malam.
“Mas Jayeng, projector barusan nyala-mati. Teknisi lagi di jalan,” ujar kelaswara, panitia inti yang cekatan, rambut pendek, mata yang cerdas—seperti selalu menakar solusi, bukan masalah.
“Tenang,” balas Jayeng. “Kalau mati total, kita pakai metode papan tulis manusia.”
“Papan tulis manusia?”
Jayeng mengangkat alis, setengah bercanda. “Semua peserta saya jadikan slide. Mereka bergerak, saya menjahit makna.”
Kelaswara tertawa kecil, lalu matanya melirik daftar kehadiran. “Trainee kita heterogen sekali, Mas. Ada anak fresh graduate, ada barista yang mau pindah karier, ada pegawai pabrik, ada ibu rumah tangga yang baru berani kuliah lagi. Dan ada wiraguna—manajer yang disuruh ‘ikut’ supaya paham generasi baru.”
Jayeng mengangguk. Dalam bayangannya, ia membentangkan benang-benang cerita yang akan menyatukan mereka: konsistensi mengalahkan intensitas, kerja tim tak bisa lahir dari ketakutan, kritik adalah lampu sorot—bukan senjata. Ia menarik napas.
Di ruang kelas, ia menulis besar di flipchart:
**Tujuan hari ini:
-
Menemukan alasan bangun pagi.
-
Belajar metode belajar.
-
Saling menyalakan.**
“Pagi!” serunya.
“Pa—gi…” jawab beberapa suara malu.
“Pagi!” serunya lagi. “Kota boleh bising, tapi jiwa kita butuh aba-aba. Sekali lagi, dari hati.”
“PAGI!” Suara kompak. Ada yang menepuk meja, ada yang tertawa, ada yang menggigit ujung pulpen menahan gugup.
Jayeng menatap sekeliling. “Saya Jayeng. Kerja saya melatih. Bukan untuk jadi yang paling pintar, tapi supaya yang lain semakin mampu. Saya percaya dua hal: gairah—passion—dan metodologi. Yang satu bensin, yang satu setir. Tanpa bensin, mobil tak berangkat. Tanpa setir, mobil menabrak.”
Ia melempar spidol ke udara dan menangkapnya lagi. Beberapa mata membesar, beberapa bibir melengkung. Mengajar, baginya, adalah koreografi kecil antara perhatian dan harapan.
“Sekarang, kita mulai dengan permainan ‘Asal Bunyi Boleh, Asal Makna Ketemu’. Saya bagi menjadi empat kelompok. Setiap kelompok punya satu kata kunci: Keberanian, Kesabaran, Konsistensi, Kolaborasi. Kalian bikin definisi sendiri dalam satu kalimat. Tak perlu benar menurut buku. Benar menurut pengalaman kalian.”
Mereka bergerak. Kursi berderit, kertas disobek, ponsel difoto, tawa meletup seperti popcorn. Rengganis—perempuan dengan tas kain yang sudah pudar—mengangkat tangan.
“Boleh tanya?”
“Tentu.”
“Kalau saya tidak pernah merasa berani… apakah saya boleh mendefinisikan keberanian?”
Jayeng menatapnya, pelan. “Keberanian bukan perasaan. Keberanian adalah keputusan yang diambil meski rasa belum sampai.”
Rengganis menunduk, menulis. Di bibirnya, sebuah senyum kecil lahir dan cepat ia sembunyikan.
Wiraguna, lelaki berkemeja putih rapi, berdiri dengan tangan disilangkan. “Metodologi apa yang Anda pakai untuk memastikan outcome pelatihan bisa diukur? Maaf, saya terbiasa dengan KPI. Output harus terlihat.”
Jayeng mengangguk. “Pertanyaan bagus. Hari ini kita pakai kerangka ‘lihat, latih, lacak’: lihat perilaku baru yang kita butuhkan, latih lewat simulasi nyata, lacak lewat metrik sederhana yang disepakati. Kita bikin dokumen tindak lanjut—bukan sekadar sertifikat.”
Wiraguna tak tersenyum, tapi ia duduk. Mata yang tadi tajam kini sedikit melunak.
Proyektor kembali menyala, lalu meredup, lalu mati lagi. Jayeng menutup laptop. “Sepertinya kita beruntung: tidak ada layar untuk membatasi tatap kita.” Ia mengajak semua berdiri. “Buat lingkaran. Lingkaran ini bukan sekadar formasi; ini simbol bahwa semua suara punya tempat.”
Ia menggambar kotak-kotak kecil di lantai dengan selotip: zona aman, zona tantangan, zona panik. “Nama kamu siapa?” tanya Jayeng pada seorang pemuda kurus dengan hoodie hitam.
“Adaninggar.”
“Kamu ingin jadi apa?”
“UI/UX designer, Mas. Tapi… saya kerja shift malam di pabrik. Belajar cuma pas bus pulang.”
“Langkah pertama apa yang bisa kamu ambil minggu ini?”
Adaninggar menghela napas. “Bikin portofolio kecil-kecilan. Satu aplikasi fiktif. Belajar Figma.”
“Kalau gitu, berdirilah di zona tantangan. Karena tak nyaman, tapi mungkin.”
Ia berputar, bertanya pada yang lain. Ada yang ingin keluar dari utang, ada yang ingin berhenti takut bicara, ada yang ingin memperbaiki hubungan dengan ayah. Setiap cerita mengisi ruang seperti musik latar yang berbeda tempo, tapi harmoni.
Di jeda istirahat, kota menyusup lewat jendela: klakson memanjang, ojek menunggu order, langit seperti halaman kosong yang menantang diisi. Kelaswara muncul membawa kopi dari vending machine.
“Mas,” katanya lirih. “Rengganis barusan cerita. Dia single parent. Anaknya enam tahun. Ia ikut pelatihan karena ingin promosi dari kasir jadi supervisor. Tapi dia takut—bosnya tipe yang nyinyir.”
Jayeng mengangguk. Ia tahu: pelatihan bukan penghapus masalah, tapi jembatan kecil. Ia menulis catatan tambahan untuk sesi sore: role-play menghadapi kritik toksik.
Sesi berikutnya ia membuka dengan pertanyaan: “Apa suara negatif yang sering kalian dengar dari luar maupun dari kepala sendiri?”
Tangan-tangan terangkat ragu. “Kamu siapa sih ngatur-ngatur?” “Kamu nggak akan bisa.” “Kamu cuma lulusan SMA.” “Kamu telat mulai.”
“Sekarang,” kata Jayeng, “kita balas dengan kalimat yang berakar di fakta.” Ia menulis di papan: Fakta, Bukan Fatamorgana. “Contoh: ‘Kamu telat mulai?’ Fakta: saya mulai hari ini, dan besok lebih jauh satu langkah.”
Wiraguna, yang sejak tadi lebih banyak diam, tiba-tiba angkat bicara. “Bagaimana kalau suara negatif datang dari atasan? Dariku, misalnya?”
Kelas terdiam. Angin AC seakan menahan napas. Jayeng menatapnya, jujur. “Berarti Anda berani duduk di kursi yang sulit: mengevaluasi diri. Anda bisa jadi sponsor perubahan, bukan tembok.”
Wiraguna tertawa pendek, ada getir di ujungnya. “Lanjutkan.”
Mereka latihan feedback sandwich versi realistis—bukan gula berlapis garam. Rengganis berperan sebagai dirinya sendiri; Jayeng memerankan atasan yang sarkastik. Adegan mengalir: kritik tentang stok yang sering meleset, jam kerja yang tumpang tindih, pelanggan yang protes.
“Coba ulangi,” kata Jayeng, “dan kali ini, gunakan struktur tiga langkah: terima, jelaskan, ajukan opsi.”
Rengganis menarik napas. “Terima kasih masukannya. Memang ada kekurangan di pencatatan stok. Saya sedang memperbaiki metode dengan template baru. Opsi saya: minggu ini saya uji coba di dua shift dulu. Jika efektif, saya keluarkan SOP sederhana. Tanggapan Bapak bagaimana?”
Hening sejenak. Wiraguna mengangkat kepala, seolah baru mendengar bahasa yang lama ia lupa. “Itu… cukup rapi,” gumamnya.
Kelas tepuk tangan. Rengganis sedikit merah di pipi.
Menjelang sore, lampu padam. Listrik di gedung drop karena beban. Panitia panik. Suara genset menggonggong di kejauhan. Kota mengirimkan gelap sementara, seperti menagih kemampuan adaptasi.
“Baik,” kata Jayeng, “kita pindah ke rooftop.”
Di atas, angin kota mengibas kertas. Dari sana, ia melihat jalan layang, rumah-rumah, antena-antenna kecil, dan langit yang perlahan melepaskan terang. Mereka melingkar lagi. Jayeng menaruh naskah di lantai, menatap wajah-wajah yang kini tak dilapisi cahaya lampu.
“Kalian tahu kenapa saya suka melatih?” tanyanya. “Karena kerja ini membuat saya merasa… tidak bekerja. Karena saya percaya kebahagiaan bisa muncul saat berdiri di depan kalian dan menyaksikan satu per satu lampu kecil menyala di mata. Tugas saya hanya dua: menjaga api itu tidak padam, dan menunjukkan jalan agar apinya tidak membakar, tapi menghangatkan.”
Ia mengeluarkan pulpen, menggambar peta kecil di kertas besar: Tujuan—Rencana—Kebiasaan—Pengukuran. “Metodologi ini seperti peta kota. Tanpa peta, kita hanya berputar-putar di lampu merah. Dengan peta, kita tahu kapan menepi.”
Angin membawa suara adzan dari masjid terdekat. Waktu berhenti sejenak, lalu berjalan lagi.
Setelah sesi, orang-orang turun satu per satu. Jayeng membereskan kertas, flipchart, dan selotip yang kini tak berguna. Rengganis menghampiri, memegang ponsel yang retak di sudut.
“Mas,” katanya pelan, “terima kasih. Saya merasa… bukan hanya diajari, tapi ditemani.”
“Latihlah dirimu dengan sabar,” kata Jayeng. “Konsistensi kecil akan mengalahkan ledakan semangat yang sebentar.”
Rengganis mengangguk, menelan sesuatu yang tak jadi air mata. “Saya akan mulai menulis SOP kecil malam ini.”
.
Dua minggu berlalu. Di antara jadwal yang bertumpuk, Jayeng menerima pesan dari adaninggar: Mas, saya kirim link portofolio. Belum rapi, tapi saya mulai. Lalu dari rengganis: Shift tumpang tindih berkurang karena template. Bos saya… lebih bisa diajak bicara. Ia tersenyum di layar ponsel, seperti menatap panas teh yang ia tahu akan menghangatkan kerongkongan.
Suatu sore, ia diminta mengisi kelas di sebuah hotel di Sudirman. Ruangan dingin, karpet tebal, coffee break terlalu manis. Pesertanya para supervisor. Di baris belakang, ia melihat wiraguna. Kali ini tanpa kemeja putih—lebih santai, tapi masih menaruh jarak.
Sesi berjalan mulus sampai seorang peserta, pria muda bernama panji, memotong: “Jujur, Mas. Saya capek dengan kata-kata. Kami kekurangan orang, target melewati plafon, kompensasi telat. Training sering cuma hiasan.”
Kepala mengangguk-angguk. Seperti pintu yang menemukan kuncinya, keluhan mengalir. Jayeng mengizinkan. Membiarkan ruangan jujur dulu baru belajar.
“Kita tak akan menutup langit dengan payung,” kata Jayeng kemudian. “Masalah struktural harus diselesaikan struktural. Tapi ada ruang kecil yang bisa kita isi: bagaimana memimpin dua orang dengan sepenuh hati meski tim idealnya empat; bagaimana menyederhanakan laporan; bagaimana menjaga energi. Pelatihan bukan penghapus luka, tapi perban yang membantu berjalan.”
Ia memperkenalkan “Metode 3L”: Lepas yang tak penting, Luruskan ekspektasi, Lakukan perbaikan kecil tiap hari. Ia minta mereka menuliskan satu hal yang akan dihentikan, satu hal yang akan dikomunikasikan ulang, satu hal yang akan dikerjakan rutin 15 menit. Bukan resep ajaib—hanya langkah manusiawi.
Di akhir sesi, wiraguna mendekat. “Saya minta maaf untuk sikap saya di awal pelatihan lalu,” katanya, tanpa banyak basa-basi. “Saya… lupa bahwa orang butuh dituntun, bukan didorong. Anak saya semalam cerita tentang guru privat musiknya. Ia bilang, ‘Pak Guru duduk di samping, bukan di atas.’ Saya tersentil.”
Jayeng mengangguk, meletakkan tangan di dada. “Terima kasih.”
Wiraguna menatap layar ponsel, ragu. “Kami akan coba dokumentasi tindak lanjut. Boleh saya minta template 3 bulan? Saya ingin membuat ‘komitmen pelatihan’ yang realistis.”
“Mari kita buat bareng. Jangan cuma format; pastikan ada ruang umpan balik dua arah.”
Wiraguna tersenyum. Tipis, tapi tulus.
.
Malam itu hujan turun di Jakarta seperti tirai tebal. Jalanan memantulkan lampu merah, kuning, hijau—warna-warna rasa yang menggoyang hati. Jayeng naik ojek online, memeluk ransel yang berisi kertas-kertas berpeluh dan spidol yang mulai melemah. Di bawah jembatan, ia melihat seorang anak laki-laki—sekitar enam atau tujuh—bermain kejar-kejaran dengan adiknya. Rengganis melintas di benaknya. Jayeng menatap langit yang tak menampakkan bintang. “Tugas kita, mungkin,” gumamnya, “adalah menjadi bintang palsu sementara: menuntun arah sampai mereka menemukan bintang aslinya.”
Ia pulang ke rumah kontrakan di Tebet, menyalakan lampu kuning temaram, menyalakan ketel, membuka laptop. Di folder “Pelatihan,” ia membuat subfolder baru: “Tindak Lanjut—Rengganis, Adaninggar, Wiraguna.” Ia menulis catatan untuk masing-masing: pertanyaan kecil, dorongan singkat, rujukan bacaan. Ia tahu, hidup bukan film yang rampung dalam kredit penutup. Hidup adalah serial dengan episode pendek—kadang membosankan, kadang mengoyak.
Pukul sebelas, ponselnya bergetar. Pesan dari kelaswara: Mas, boleh cerita? Mereka bertukar suara lewat telepon. Kelaswara mengeluh tentang kelelahan panitia, tentang vendor yang telat, tentang komentar sinis di media sosial. Jayeng mendengarkan, tak menyisipkan nasihat sampai keluh itu menemukan titik koma sendiri.
“Aku takut, Mas,” ujar kelaswara akhirnya. “Takut capek ini mengubahku jadi pahit.”
“Rasa pahit bisa jadi jamu jika takarannya pas,” kata Jayeng. “Tapi jangan dibiarkan jadi minuman harian. Besok pagi, lakukan satu hal kecil yang manis—meski cuma terima kasih tulus untuk anggota tim.”
Telepon berakhir. Hujan masih mengguyur. Ia menulis dua kalimat di buku catatan, seperti doa yang sengaja dibiarkan tanpa alamat: Jangan pernah mengajar untuk dikagumi. Ajarlah untuk membuat orang lain berani menatap cermin. Lalu ia memejamkan mata.
.
Bulan berganti. Kota terus sibuk, seperti mesin yang tak kenal kata istirahat. Di tengahnya, kelas-kelas kecil tumbuh seperti kebun-kebun di atap rumah beton. Kabar datang dari rengganis: Saya diterima jadi supervisor. Tidak spektakuler, tapi hati saya lega. Kabar dari adaninggar: Portfolio saya di-like oleh rekruter. Saya diajak interview. Kabar dari wiraguna: Template 3 bulan kita dipakai. Ada perlawanan, tapi ada progres. Ternyata, saya yang paling harus disiplin.
Hari penutupan program, ruang itu penuh. Bendera kecil di dinding: Terima kasih telah mau tumbuh. Jayeng berdiri di depan, belum berbicara. Mengamati saja. Wajah-wajah yang dulu ragu kini membawa tanda-tanda kecil keberanian: cara duduk yang tegak, mata yang menatap, tangan yang tak lagi gemetar saat memegang spidol.
“Teman-teman,” katanya, “kalau kalian berharap saya memberi pidato menggetarkan, maaf—kalian sudah punya suaranya sendiri.” Ia menghela napas, membiarkan kalimat berikutnya turun perlahan. “Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membuat kerja saya terasa bukan kerja—melainkan kebutuhan hidup. Saya hanya menjaga api; kalian yang membawa nyala itu pulang.”
Rengganis maju, membawa selembar kertas. “Ini SOP stok sederhana,” katanya malu. “Belum cantik. Tapi kami sudah tes. Komplain berkurang tiga puluh persen.”
Tepuk tangan. Wiraguna mengangguk. “Saya sudah minta unit lain mengadopsi.”
Adaninggar menunjukkan portofolionya di gawai. Tidak megah, tapi rapi: wireframe, alur, catatan kegagalan. “Saya belajar,” katanya, “bahwa konsistensi itu bentuk cinta pada masa depan.”
Jayeng menahan sesuatu di tenggorokannya. Ia tahu, jika dibiarkan, suara akan bergetar. Ia tersenyum saja, lalu menulis kalimat penutup di papan:
“Passion mengajak kita berangkat. Metodologi memastikan kita sampai.”
Mereka berfoto. Tidak ada musik meriah, hanya desis pendingin ruangan, tawa yang tak dipaksakan, dan secangkir kopi yang tak lagi terasa terlalu manis.
Di luar, kota tetaplah kota: macet yang sabar, pejalan kaki yang mencari celah, lampu-lampu yang berjanji tapi juga menagih waktu. Jayeng berdiri di trotoar, menatap arus kendaraan seperti menatap jam pasir raksasa. Ia mengirim pesan terakhir malam itu pada dirinya sendiri—kebiasaan yang aneh tapi menyelamatkan:
“Tetap jadi papan tulis manusia. Biarkan orang menulis mimpi di punggungmu, lalu ajari mereka memindahkannya ke langkah-langkah.”
Angin malam menyelinap lewat kerah jaket. Ia melangkah. Di kepala, satu baris panjang yang sejak dulu ia percaya—baris yang membuatnya bertahan ketika kelas kosong, ketika honor telat, ketika proyektor mati, ketika suara sumbang memanggilnya “motivator murahan.” Baris itu sederhana:
“Yang saya kejar bukan tepuk tangan, melainkan momen ketika mata orang lain menyala.”
Dan malam Jakarta, yang jarang sekali sepi, tampak mengangguk.
.
.
.
Jember, 16 September 2025
.
.
#TrainerIndonesia #PelatihanKerja #PassionMengajar #MetodologiPelatihan #Konsistensi #LeadershipHumanis #CerpenKompasMinggu #UrbanStory #PengembanganDiri