Garam di Kota Basah
“Dimanfaatkan bukan berarti hina; justru di sanalah letak rahasia hidup: kita hadir untuk memberi arti, meski sering dilupakan setelahnya.”
.
Jakarta diguyur hujan tipis. Lampu-lampu kota mekar seperti kunang-kunang listrik di atas aspal yang basah. Dari kaca buram bus TransJakarta koridor 1, seorang lelaki menempelkan keningnya, membiarkan dingin menular ke tulang kepala. Namanya Prasena—lahir di pesisir Madura, merantau tujuh tahun lalu, dan sejak itu belajar mengeja kota dengan sela-sela kerja serabutan.
Di kursi keras itu, ia bertanya lagi—pertanyaan kuno yang datang seperti reklame berkedip: mengapa orang hanya datang padaku saat mereka butuh? Hujan di luar menulis jawaban yang ia tunda-tunda untuk percaya: karena kau masih berarti.
.
Suara Mesin, Suara Hati
Pagi berikutnya, Prasena melintasi trotoar Sudirman yang baru dibersihkan. Sepatu kanvasnya basah karena genangan licik yang menyaru kaca. Ia menuju ruang kerja seukuran kamar kos—co-working di Tebet—tempat ia meminjam meja kayu dan Wi-Fi, menjahit deadline sebagai desainer grafis lepas. Laptop bekas dengan sudut layar retak adalah rekan sehati, kopi sachet adalah sekutu, dan kalender proyek penuh garis merah adalah langit langitnya.
Notifikasi lewat tengah malam masih menggema:
“Mas, tolong desain urgent. Materi nyusul. Deadline besok pagi.”
Ia menghela napas. Jari-jarinya menari, bukan karena ingin, tapi karena ada yang menunggu. Ada tagihan kontrakan—ada utang pengganti kamera—ada janji pada dirinya sendiri untuk bertahan.
Ayahnya—seorang nelayan yang hafal arah angin—pernah berpesan di serambi rumah: “Orang Madura kayak garam, Sen. Tak terlihat, tapi tanpa kita, kuah hidup jadi hambar.” Kalimat itu menempel seperti bau anyir garam di baju—kadang hangat, kadang pahit, tapi selalu jujur.
.
Kafe Pinggir Rel
Sore di Gondangdia. Hujan berhenti, meninggalkan aroma tanah yang basah dan knalpot yang tak mau kalah. Di kafe yang pintunya berderit, Wandan duduk dengan jaket kulit dan tawa yang lebih mahal dari espresso. Mereka berpelukan ala perantau—punggung menepuk, mata cekung tertawa.
“Wajahmu itu-itu saja, Sen,” kata Wandan, “capek tapi tetap nampung orang.”
“Mungkin nasib,” jawab Prasena, memutar sendok kecil di dalam cangkir. “Orang datang kalau butuh desain, butuh kuping untuk curhat, butuh jasa potong harga. Habis itu hilang.”
Wandan menatapnya serius, tatapannya seperti paku ditembakkan pelan. “Coba pikir begini,” katanya, “lebih menakutkan mana: dimanfaatkan karena berguna, atau tak dicari sama sekali karena tak dipandang ada?”
Kata-kata itu jatuh ke dada Prasena seperti batu ke sumur. Ada kring nyaring di dinding sunyi.
.
Wirabrata: Luka Tanpa Parut
Tapi manusia adalah kulit tipis yang gampang sobek. Bertahun lalu, Wirabrata—kawan lama dari komunitas kreatif—datang dengan mata menyala.
“Bisnis merch menanjak, Sen. Kau desain, aku pasarkan. Modal? Pinjam dulu. Nanti aku kembalikan lipat.”
Prasena memberi—bukan karena percaya pada hitung-hitungan, melainkan pada ingatan saat mereka sama-sama tidur beralas kardus di studio sempit. Lipat yang dijanjikan tak pernah datang. Nomor Wirabrata lenyap, chat centang satu. Di halte busway saat hujan bagai ribuan paku, Prasena duduk basah kuyup, mengukur jarak antara kebaikan dan kebodohan dengan jemari gemetar.
“Apakah aku ini batu pijakan? Dilangkahi setelah seberang tercapai?”
Malam itu Jakarta terasa seperti planet lain—ramai tapi tak menoleh.
.
Ningrum dan Cahaya Pukul Dua
Di co-working itulah ia berjumpa Ningrum—barista yang setiap subuh menghidupkan mesin kopi, menghidupkan percakapan. Rambutnya dikuncir asal, senyumnya mirip tanda koma, mengundang kalimat berikutnya.
“Kau tampak kurang tidur,” kata Ningrum suatu dini hari.
“Deadline,” jawabnya pendek.
Ningrum menaruh Americano tanpa diminta. “Minum. Kau tak bisa menolong orang dengan gelasmu kosong.”
Kalimat itu sederhana tapi lentur, bisa digulung ke kantong dan dibawa pulang. Sejak saat itu, Prasena mulai memikirkan ulang batas-batas: kapan memberi, kapan menolak, kapan hanya menatap notifikasi dan membiarkannya jadi bunga plastik di lockscreen.
.
Pitch Deck di Lantai 17
Email subjek: Brand Reboot Presentation – Tomorrow 10 AM. Perusahaan rintisan dari anak orang berkuasa—katanya. Prasena diminta mempresentasikan identitas baru: warna yang bernafas, huruf yang punya punggung.
Di lantai 17 sebuah menara kaca, ia berdiri di depan layar yang sebesar dinding mimpi. Tangan berkeringat, lidah berat, tapi visual-visual itu—simpel dan keras kepala—berbicara untuknya: arsir garis menjadi nadi, ruang putih menjadi diam yang fasih.
Usai presentasi, hening turun seperti kapas. Lalu CEO muda mengangguk, bukan angguk basa-basi.
“Desain ini bukan tempelan,” katanya, “ini arah. Pekerjaanmu bukan hanya jasa, Mas—ini tafsir. Kami ingin lanjut, dan saya akan rekomendasikan kau ke teman-teman saya.”
Di lift yang turun perlahan, kedua lutut Prasena gemetar. Ia ingin tertawa dan menangis sekaligus. Bukan soal uang kontrak; ini soal dipercaya menamai sesuatu yang belum punya nama.
.
Jembatan Penyeberangan: Kota sebagai Cermin
Malam berikutnya, Prasena berdiri di jembatan penyeberangan dekat MRT Dukuh Atas. Angin mengibaskan poster iklan boba; di bawah, mobil-mobil mengalir seperti kaligrafi neon. Ponsel bergetar: lima pesan baru—klien lama, kenalan lama, nama yang dulu menghilang.
Napasnya panjang. Kali ini ia tersenyum—senyum yang tak mengalah pada getir.
“Bahagia bukan soal siapa yang hadir saat tertawa, tapi siapa yang tetap mencarimu saat bingung.”
Ia menulis catatan itu, lalu menambahkan garis: aku punya kendali: memilih pekerjaan, memilih istirahat, memilih diriku sendiri.
.
“Garam”: Studio Kecil, Nama Besar
Maka ia memberi nama pada mejanya: Garam. Bukan kantor megah, hanya meja kayu, sticky notes warna-warni, kotak pensil, dan jam dinding yang kadang sengaja ia lepas baterainya saat ingin berhenti menghitung. Di dinding, selembar kertas ditempeli tiga kalimat:
-
Dimanfaatkan bukan berarti hina, selama kau mengerti batasnya.
-
Menolak juga bentuk sayang—pada diri sendiri dan pada mutu pekerjaan.
-
Bermanfaat lebih penting daripada terkenal.
Ningrum menempelkan ilustrasi kecil: sebutir garam di permukaan sup, kecil tapi mengubah segalanya.
Kabar tentang Garam menyebar di grup-grup pekerja kreatif. Bukan kabar meledak, melainkan kabar yang menyelinap dari mulut yang puas. Mereka datang—bukan sekadar minta potongan harga, tetapi bercerita: tentang merek keluarga, tentang usaha roti di gang, tentang ambisi yang ingin dipijakkan ke huruf.
Di sinilah Jayeng masuk—mahasiswa tingkat akhir yang memegang merek thrift shop bersama pacarnya, Ratrini. Mereka membawa moodboard gado-gado, penuh screenshot dari Pinterest. Prasena tak menertawakan; ia mengurai benang kusut dengan sabar, seperti ibunya menguraikan rambut adiknya ketika gerah usai sekolah.
“Hidup ini bukan persaingan aduan keren,” katanya, “tetapi keberanian memilih bentuk yang jujur.”
Logo thrift mereka lahir dalam garis-garis hemat tapi berjiwa. Jayeng menepuk meja, Ratrini menahan air mata. “Kamu bukan hanya desainer,” kata mereka hampir bersamaan. “Kamu penyejuk.”
Penyejuk—kata itu menempel di tenggorokan Prasena seperti permen mint di hari panas.
.
Wirabrata Kembali
Suatu siang yang panas, pintu co-working terbuka. Wirabrata berdiri di sana, berkemeja putih yang prasmanan kusut: entah menyesal, entah lapar. Waktu menipiskan jarak dramaturgi di wajahnya.
“Sen…” suaranya pelan, “aku salah. Aku hancur. Bisnis ambyar. Aku butuh bantuan presentasi buat investor. Aku… tak layak meminta, tapi—”
Ada detik panjang di mana bau masa lalu menguap: malam hujan, halte, dompet tipis, telepon mati. Prasena membiarkan detik itu lewat. Lalu ia menarik napas.
“Aku mau mendengar rencanamu,” katanya, datar namun tidak dingin. “Tapi ada syarat: aku tidak bekerja untuk kebohongan, dan semua dibayar di muka. Jika kau hanya perlu orang untuk menutupi lubang, bukan menata ulang jalan, aku tak cocok.”
Wirabrata menunduk. “Aku… akan kembali besok,” katanya. Ia benar-benar kembali—membawa cash, membawa rencana yang tidak menipu siapa pun. Beberapa minggu kemudian, presentasi itu membuat satu investor kecil menaruh kepercayaan. Wirabrata tak lagi menghilang; ia mengirim pesan: “Terima kasih. Kau menyelamatkan bukan usaha, tapi cara pandangku.”
Prasena membalas: “Kau menyelamatkan dirimu sendiri. Aku hanya memegang senter.”
.
Malam Banjir dan Payung Transparan
Jakarta punya musim yang tak tertulis: musim kabar tak jelas, musim pajak, musim influencer menebar kode promo, dan musim banjir. Malam itu air naik dengan cepat; selokan buntu berdeham terlambat. Di depan co-working, seorang ibu-ibu membawa kardus dan balita. Payungnya payung transparan dengan batang patah. Balita itu meringis, ditutup mantel plastik bekas.
Prasena menghampiri. “Bu, mari berteduh. Di dalam ada sofa.”
Mereka duduk. Ningrum menghangatkan air. Balita itu tertawa menatap buih. Ibu itu menceritakan hidup dengan nada yang tak bertele-tele: suaminya sopir ojol, banjir berarti tak ada order, tak ada pemasukan, tak ada nasi selain yang disisihkan.
Prasena meraih dompetnya. “Ini—bukan banyak. Tapi tolong dipakai malam ini.”
Ibu itu menolak halus. “Saya datang bukan minta uang, Mas. Hanya numpang nafas.”
Prasena tersenyum dan menaruh uang itu di laci co-working—bukan memberi, hanya menunggu kalau-kalau diperlukan. Lelaki di kepalanya—yang suka sinis—mencoba protes, tapi sesuatu mengalahkan: rasa bahwa menjadi manusia kadang cuma soal menyediakan kursi dan air hangat.
“Tidak semua kebaikan perlu saksi,” tulisnya malam itu. “Yang penting: ada yang hangat, ada yang pulang.”
.
Kampanye Mural dan Jalan yang Mencari Nama
Seminggu kemudian, kelurahan membuka sayembara kampanye jaga trotoar. Prasena mengirim konsep mural jalan kaki: siluet-siluet warga yang menyeberang, disematkan kalimat-kalimat sederhana:
-
“Pelan bukan kalah; pelan itu selamat.”
-
“Trotoar bukan parkir; ini panggung kaki kita.”
-
“Buru-buru boleh, menginjak yang kecil jangan.”
Mural itu lolos. Di hari Minggu, warga berkumpul mengecat. Jayeng dan Ratrini datang, Ningrum datang, Wandan mengirim katering. Anak-anak memegang kuas seperti memegang hari raya. Trotoar yang biasanya dilupakan menjadi halaman depan yang disyukuri.
Seorang bapak-bapak berkaus Komunitas Lari bersiul pelan. “Siapa yang desain? Warm sekali.”
“Garam,” jawab seseorang.
Nama itu beredar. Bukan sebagai agensi yang mewah, melainkan sebagai teman yang menguatkan.
.
Pagi yang Menemukan Jalan Pulang
Suatu pagi, gitar di mushola mengalun; muazin yang juga tukang servis kipas mengulur suara serupa benang panjang. Prasena berjalan pelan di gang tempat tukang bubur memecah sunyi dengan sendok dan mangkuk. Di situ, di antara poster posyandu yang warnanya memudar, ia bertemu lagi dengan kalimat ayahnya, bukan dalam kata, melainkan dalam rupa: seorang anak kecil mengambil segenggam garam untuk ibunya yang sedang memasak di teras kontrakan.
Hidup memang tidak selalu adil; tapi ada keadilan kecil-kecil yang dibiarkan tumbuh: kursi untuk berteduh, mural untuk ditatap, suara yang mau mendengar, desain yang mau menjadi jembatan.
.
Telepon dari Ibunda
Telepon berdering dari kampung. Suara ibunya tipis, tertawa, membawa aroma asap dapur.
“Sen, tetangga lihat namamu di FB kelurahan. Katanya kamu pinter. Kamu sehat, Nak?”
“Sehat, Mak. Jangan percaya FB.”
Ibunya tertawa lagi, batuk sebentar. “Kamu masih dimintain tolong orang?”
“Masih.”
“Bagus. Berarti kamu masih ada gunanya.”
Kalimat itu menempel di dada seperti stiker yang tak ingin lepas. Masih ada gunanya. Ada haru yang penuh dan sederhana—seperti nasi putih yang betul-betul pulang ke laparnya.
.
Panggung Kecil Bernama Sederhana
Malam-malam berikutnya, Garam membuka kelas Kamis: sesi gratis merapikan identitas usaha tetangga. Yang datang macam-macam: penjahit yang ingin tulisan di kartu namanya tak lagi berloncatan, pedagang jamu yang ingin warna botolnya menenangkan, dan pemilik angkringan yang capek diejek font menye-menye.
Prasena tak berkhotbah tentang teori tinggi. Ia mengajarkan yang sederhana: ruang kosong itu napas, huruf tak harus berteriak, garis lurus itu sopan santun. Terkadang Ningrum menyelipkan kalimat-kalimat yang membuat semua orang berhenti sibuk memuji-muji trend dan kembali pada rasa.
Di akhir sesi, ada tepuk tangan yang tidak gemuruh, tapi nyata. Mereka pulang membawa selebaran panduan, membawa keyakinan: bahwa beres itu indah, bahwa jujur itu tahan lama.
.
Undangan dari Menara
CEO muda dari lantai 17 mengundang lagi. Kali ini bukan proyek rebrand, melainkan kolaborasi untuk impact report. “Kami mau menulis bagian komunitas,” katanya. “Pasang kisah kelas Kamis di sini.”
Prasena mengajukan syarat yang ia pelajari dari luka: “Jangan jadikan mereka pajangan. Kalau tampil, harus ada manfaat balik.” Perusahaan menyetujui: membiayai pelatihan tiga bulan, menyediakan printer besar untuk mencetak materi. Garam menjadi ruang singgah yang lebih utuh—kursi bertambah, lampu diganti yang lebih hangat, dan di tembok, sebaris kata besar:
“Dimanfaatkan bukan berarti hina, selama kau berdiri di atas nilai.”
.
Wandan dan Jalan yang Membelah
Usaha kuliner Wandan mekar seperti bibir orang yang tersenyum jujur. Ia membuka cabang di kampung halaman, mempekerjakan anak-anak muda yang ingin kembali tanpa merasa gagal. Di pembukaan cabang itu, mereka berdua berdiri memandang selat yang berkilau.
“Kau tahu,” kata Wandan, “aku dulu mengira kuat itu artinya tak pernah letih. Sekarang aku paham: kuat itu bisa memilih untuk tetap baik sekalipun gampang sekali untuk buruk.”
Prasena mengangguk. Angin laut membawa suara perahu—seperti masa kecil memanggil pulang.
.
Iklan Kecil di Angkot
Suatu siang, Prasena naik angkot yang stiker reklamenya mengelupas. Sisi dalam langit-langitnya ditempeli foto-foto wisata negeri tetangga. Ia menawarkan barter pada sopir: “Pak, kalau saya desain stiker yang rapi untuk angkot Bapak, boleh saya titip poster kecil di sini?”
Sopir itu tertawa: “Boleh, Mas. Saya sering ngantar orang bingung. Biar ada yang bikin mereka berhenti bengong.”
Seminggu kemudian, angkot itu jadi galeri berkeliling: poster keselamatan sederhana, nomor aduan trotoar, dan satu poster kecil yang selalu membuat orang diam sesaat:
“Jika kamu dimanfaatkan, jangan buru-buru marah. Mungkin itu cara semesta mengingatkan bahwa kamu masih punya sesuatu yang dibutuhkan.”
.
Malam Paling Tenang
Di malam paling tenang—langit seperti kain yang disetrika—Prasena menutup laptop, mematikan lampu-lampu kecil di Garam. Ia duduk sendiri, menatap jendela yang memantulkan dirinya sendiri: rambut yang lebih tipis, mata yang lebih dalam, senyum yang lebih tahu. Ia ingat semuanya—Wirabrata, Ningrum, Wandan, Jayeng, Ratrini, ibu di banjir, CEO lantai 17, sopir angkot, murid Kamis—lalu ingat dirinya: anak pesisir yang membawa garam ke sup kota, sedikit demi sedikit, tanpa nama besar, tanpa gemuruh.
Ia menulis satu kalimat terakhir malam itu:
“Nilai kita bukan pada berapa banyak yang kita miliki, tapi pada berapa banyak yang masih bisa kita bagi tanpa kehilangan arah.”
Dan ketika ia memejam, Jakarta tak lagi menakutkan. Kota berhenti menjadi rahang; kota menjadi meja: dingin, keras, tapi siap menampung buku, gelas, dan tangan yang mau bekerja.
.
Sederhana, Itulah
Waktu bergerak seperti kereta yang kadang molor tapi selalu sampai. Pagi membawa murid baru, sore membawa permintaan quotations, malam membawa tawa di kelas Kamis. Hidup bukannya tiba-tiba mudah, tapi tidak lagi asing.
Di terminal, ia membantu seorang ibu mengangkat kardus berisi lontong. Ibu itu berterima kasih sambil menepuk-nepuk punggungnya seolah mengusap debu yang tak ada. Prasena berjalan pulang dengan napas yang ringan dan langkah yang tidak sombong.
Ia tahu, mulai malam itu, ia akan selalu punya pilihan: menjadi tampungan sementara atau menjadi aliran yang menghidupkan. Dan ia memilih yang kedua—sambil terus belajar memasang pintu dan jendela untuk dirinya sendiri. Sederhana itulah, cara kita agar bisa lebih santai dalam hidup.
.
.
.
Jember, 13 September 2025
.
.
#Cerpen #Jakarta #UrbanStory #Kebermanfaatan #BatasDiri #Perantau #KompasMingguVibes #MenakMaduraAdaptation #GaramStudio #CeritaIndonesia