Biaya Sebuah Mimpi
“Di kota yang tak pernah tidur, mimpi bukanlah hiburan malam, melainkan hutang yang harus dibayar dengan kesepian dan keberanian.”
.
Subuh belum tuntas merayap ketika Jakarta menyalakan lampu-lampu jalan seperti bintang yang dipaksa turun ke aspal. Suara azan dari musala kecil di bawah flyover menyambar di antara desis ban TransJakarta yang baru lepas garasi. Kabut tipis dari selokan yang tertutup beton naik ke udara, menyatu dengan uap kopi dari gerobak yang baru menggelar gelas-gelas bening.
Adipati menutup pintu kontrakannya di lantai delapan sebuah rusun sederhana di Cipinang. Kemeja abu-abu yang disetrikanya semalam berbau matahari palsu dari setrika uap sewaan. Ia menyampirkan tas ransel yang tidak lagi hitam legam, melainkan hitam yang sudah bertahun-tahun bergaul dengan debu bis kota. Di layar ponselnya, aplikasi kalender menampilkan tiga blok merah: pitching pukul 10.00, user interview pukul 14.00, dan janji bertemu Rengganis pukul 20.00.
Di koridor, lampu neon menyala redup. Tangga darurat berbau cat, bercampur aroma sayur tumis dari pintu kamar yang tidak tertutup rapat. “Pagi, Di,” sapa ibu pengurus rusun yang rutin menyapu tiap jam lima, suaranya seperti poster imbauan yang selalu sama: jangan buang sampah sembarangan.
“Pagi, Bu.”
“Jam segini lagi?”
“Rezeki katanya suka bangun lebih pagi, Bu.”
Ibu itu tertawa pelan. “Rezeki boleh, tapi tidurnya jangan lupa.”
Adipati tersenyum. Ia justru ingat kalimat yang ditempel di dinding kamar dengan selotip yang mulai longgar: Biaya untuk mimpi besar: tidur larut, bangun lebih pagi. Ia melangkah ringan menuruni tangga, masuk ke denyut kota yang selalu lebih cepat dari rencana manusia.
.
Kota yang Menggiling Waktu
Trotoar di depan rusun mengadopsi jejak betis-betis kecil anak sekolah, sepatu bagus para pekerja bank, sandal jepit tukang parkir yang mengunyah rokok seperti permen. Adipati melewati warung kopi pinggiran yang pernah jadi ruang rapat dadakan ketika internet di rusun menyerah. Di sana dulu ia sering duduk bersama tiga sahabat: Sahbandi yang kini tenggelam dalam kredensial bank, Wiraraja yang memilih partai politik, dan Dewi Ratna—cinta lama yang pernah ia simpan seperti alamat email yang jarang dibuka.
“Di!” seru suara yang seperti baru jatuh dari masa lalu. Sahbandi. Kemeja biru, ikat pinggang dengan inisial, senyum yang disetrika rapi.
“Band,” balas Adipati. Mereka menepuk bahu seperti dua pemain bola yang belum siap mengakui skor akhir.
“Kabar? Startup-mu itu… apa namanya… pangkalan warung?”
“Lumbung. Platform pencatatan buat UMKM pasar dan warung. Biar stok, utang, piutang, semua tercatat di ponsel.”
Sahbandi mengangguk sambil menarik napas. “Dengar ya, Di. Kita udah tiga puluh. Orang hidup nggak bisa cuma ngejar mimpi. Realistis. Lihat Wiraraja, dia udah punya rumah KPR, mobil cicil. Kamu apa?”
Adipati menatap garis-garis halus di sekitar mata sahabatnya. “Aku punya jam yang jalan ke arah yang kumau, Band. Walau orang lain lihatnya mundur.”
Sahbandi menggeleng, tersenyum hambar. “Kamu tuh… terlalu ambisius. Aku takut kamu kelelahan sendirian.”
“Orang lain ingin kamu hebat, tapi tidak lebih hebat dari mereka,” batin Adipati, mengingat kalimat yang dulu ia tulis dengan spidol di buku catatan. Ia tak marah; ia hanya belajar menata diam.
Di halte BRT, ia menunggu. Angin pagi membawa suara pedagang yang menggelar kotak-kotak kue basah, aroma gorengan, dan kabar menggantung dari baliho: diskon hingga 60%. Bus datang. Pintu otomatis membuka seperti mulut ikan paus. Orang-orang masuk. Mereka berdiri berdempetan, menatap ponsel masing-masing. Seorang bapak berambut putih melirik layar Adipati yang terbuka pada deck presentasi: “Lumbung: catat barang, pantau arus kas, terhubung ke pemasok.”
“Mas bikin aplikasi?” tanya si bapak.
“Iya, Pak. Buat warung.”
“Saya dulu jualan sembako di pasar. Kalau ada yang beginian dulu, mungkin saya nggak hilang barang tiap minggu,” ujarnya sambil tertawa tanpa gigi depan. “Tapi zaman saya, catatan itu di kepala istri.”
Bus berhenti di Dukuh Atas. Gedung-gedung kaca menatap manusia seperti cermin besar yang memantulkan ambisi. Di lobi sebuah menara perkantoran, pendingin ruangan membuat napas seperti asap pagi. Satpam tersenyum profesional. Lift berbicara dengan angka-angka.
.
Ruang Rapat yang Dingin
Adipati berdiri di depan tiga investor yang mengenakan jas tipis. Di belakang mereka, kota terhampar dalam kotak-kotak jendela: atap seng, taman kecil, jalur kereta yang membelah seperti garis nadi.
“Targetmu terlalu idealis,” ujar salah satu investor. “UMKM pasar lebih suka catatan di buku. Aplikasi? Paket data mahal.”
“Kami sudah uji coba di Pasar Minggu dan Cipulir,” jawab Adipati. “Transaksi tercatat naik 18% dalam dua bulan. Data awal menunjukkan warung mampu menekan selisih stok bocor.”
Investor lain menyandarkan tubuh. “Siapa jamin bayar? Model bisnisnya?”
“Freemium. Fitur lanjutan berbayar: multi-toko, integrasi pemasok, laporan grafik, dan kredit mikro melalui mitra. Kami tak menjual mimpi, kami menjual ketenangan bagi yang tiap hari takut stok lenyap.”
Mereka saling pandang. “Kami butuh traction lebih besar. Balik lagi tiga bulan.”
Pintu lift menutup. Dingin ruangan rapat tertinggal, tapi dingin di dada menempel lebih lama. Adipati turun ke lobi, melewati barista yang memanggil nama-nama pelanggan seperti menyebut pemenang undian. Di luar, matahari menembus celah gedung. Ia menatap jam. Pukul sebelas lewat tiga belas. Ia memutuskan berjalan kaki menyusuri sudut-sudut kota, membiarkan langkahnya menenangkan pikiran.
Di trotoar, seorang perempuan duduk di bangku beton, menulis di buku catatan cokelat. Rambutnya diikat tergesa, matanya tajam tapi teduh. Ia menatap sekilas, lalu kembali menulis. Ada aura sepi yang akrab. Adipati hampir berlalu, tetapi ada halus suara dari tubuhnya sendiri yang bilang: berhenti sebentar, tanyakan kabarnya.
“Wifi di sini suka ngadat kalau jam sibuk,” ucap Adipati, menunjuk kafe di belakang bangku itu. Perempuan itu menoleh, tertawa kecil.
“Bukan wifi-nya yang ngadat. Kadang pikiran saya yang putus nyambung,” kata perempuan itu. “Rengganis.”
“Adipati.”
“Kamu terlihat seperti orang yang barusan ditolak sesuatu.”
“Tiga orang, sebenarnya,” jawabnya. Mereka tertawa, lalu percakapan berjalan pelan seperti hujan yang menandai awal musim.
.
Rengganis dan Kamus Luka
Rengganis menulis cerita-cerita pendek tentang kota dan orang yang hilang di tengah keramaian. Ia mengirim naskah ke berbagai media; sebagian dimuat, sebagian kembali seperti surat yang kehilangan alamat. Ia tinggal di kosan kecil di Tebet, bersebelahan dengan studio musik yang selalu latihan pada jam yang tidak ramah bagi penulis.
“Keluargaku pikir menulis itu hobi,” katanya sambil menatap jalan. “Mereka bilang, ‘Kalau mau jadi hebat, jadilah seperti sepupumu yang kerja di BUMN.’ Aku sih mengerti kekhawatiran mereka, tapi… hidupku ya bukan daftar perintah.”
Adipati mengangguk. “Aku juga sering disalahpahami. Katanya terlalu keras kepala. Padahal aku cuma takut tidur sebelum mencoba semua cara.”
“Kesepian itu mahal ya?”
“Paling mahal.”
Mereka berjalan ke arah stasiun, menyusuri trotoar yang menyimpan bekas hujan semalam. Rengganis bercerita tentang ibunya yang menjaga warung, tentang adik yang kuliah dengan beasiswa, tentang ayah yang meninggalkan rumah ketika ia dua belas. Adipati bercerita tentang pasar, tentang penjual tempe yang hilang stok tiap Senin, tentang pemilik warung kopi yang merasa dikalahkan oleh aplikasi ojek.
“Kalau kita bikin panggung kecil untuk mereka—warung, kios, penjahit—apakah orang mau nonton?” tanya Rengganis.
“Bukan panggung,” jawab Adipati. “Rumah. Rumah data. Biar mereka tahu apa yang keluar-masuk, apa yang harus dibeli, dan apa yang harus dihindari. Kita hanya memberi kaca, bukan membuat wajah mereka baru.”
Rengganis mengangkat alis. “Kalimat yang bagus untuk poster konferensi.”
Mereka berjanji bertemu lagi malam nanti. Sementara matahari menanjak, Jakarta kembali bersuara. Kereta tiba, membawa penumpang yang setia pada ritme jam kantor. Adipati melanjutkan perjalanan ke pasar.
.
Pasar: Universitas Tanpa Gelar
Pasar Minggu tidak pernah betul-betul tidur. Di lorong-lorong sempit, ikan-ikan yang tadi malam masih di laut kini melotot di atas es. Daging digantung seperti bendera. Bumbu menari bersama aroma bawang. Di antara itu, suara tawar-menawar adalah bahasa ibu yang bisa dimengerti tanpa kamus.
Adipati menemui Bu Ina, pemilik kios sembako yang ikut uji coba Lumbung. Perempuan itu cekatan, suaranya naik turun seperti musik dangdut yang memutar ulang. “Stok gula sudah 120 kilo, Di. Minggu lalu cuma 80. Aku jadi bisa lihat barang mana yang cepat habis.”
“Selisih yang bocor?” tanya Adipati.
“Turun. Anak saya yang SMA malah semangat bantu input. Katanya, ‘Bu, kalau kita teliti, ibu bisa libur sehari.’ Aku tertawa saja.”
Seorang pedagang daging, Pak Mardan, ikut menyela. “Mas, kalau fitur untuk mencatat utang pelanggan bisa di-tag kapan jatuh tempo, saya beli paket langganan yang berwarna apa pun itu.”
Adipati mencatat di ponsel. “Bisa, Pak. Kita rilis pekan depan.”
Pasar mengajariku, batinnya, bahwa inovasi bukan soal grafik, melainkan soal kebiasaan kecil yang memberi napas panjang pada orang-orang yang tidak punya waktu untuk bermimpi di siang hari. Ia merekam testimoni, memotret barang, mempelajari pola. Pukul dua siang, ia berdiri di halte kecil di tepi pasar, menunggu bus yang entah datang dari jam berapa. Matahari memantul di genangan, menciptakan ilusi kota yang bisa diambil di telapak tangan.
.
Lingkaran yang Menyusut
Malam itu, Rengganis datang membawa buku catatan dan payung lipat yang masih basah. Mereka memilih duduk di pojok kedai kecil di Menteng. Di dinding ada poster film lama. Pemilik kedai memutarkan lagu-lagu dari piringan hitam.
“Aku menulis tentang kamu,” kata Rengganis sambil menyerahkan sebuah halaman. “Tentang orang yang membayar mimpi dengan sunyi.”
Adipati membacanya. Kalimat-kalimatnya seperti lampu jalan yang memantulkan basah hujan. Ia tersenyum, lalu ponselnya bergetar. Nama Wiraraja muncul.
“Di mana? Teman-teman kumpul. Kamu belum nongol lama banget,” suara dari seberang serak, riuh.
“Aku sedang ketemu seseorang.”
“Kau lupa sama kawan? Sok sibuk. Tenang saja, nanti kalau gagal, kami tetap terima kau balik.”
Kalimat itu seperti jarum kecil yang masuk tanpa suara. “Aku nggak sedang pamit dari siapa pun, Ra. Kita akan tetap teman, walaupun langkahku lain arah.”
Sambungan berakhir. Rengganis menatapnya.
“Lingkaranku mengecil,” ujar Adipati. “Tapi mungkin itu cara kota mengajarkan fokus.”
Rengganis mengangguk. “Atau cara hidup memberimu ruang untuk menjadi dirimu sendiri.”
Di luar, hujan turun lagi. Mereka berbicara tentang ide, tentang kemungkinan menulis ulang folder pengetahuan UMKM dalam bahasa yang sederhana. “Aku bisa bantu bikin cerita kampanye,” kata Rengganis. “Cerita yang tidak menyepelekan, tapi memanusiakan.”
“Bergabunglah,” ujar Adipati. “Jadilah suara yang membuat kami didengar.”
.
Padam
Dua minggu setelah pertemuan itu, PLN memadamkan listrik di kawasan rusun karena korsleting di gardu. Malam menutup jendela dengan tirai yang tidak bisa ditarik. Kontrakan berubah menjadi gua modern. Adipati menyalakan lilin dan membuka laptop yang baterainya tinggal setengah. Hujan mengetuk kaca seperti tamu yang tidak sabar. Di luar, suara anak-anak berlarian, ibu-ibu berteriak, bapak-bapak menyalakan rokok satu demi satu.
Ia menelpon seorang investor yang dulu paling hangat. Tidak diangkat. Ia menelpon lagi. Tetap tidak diangkat. Inbox surel menampilkan no new mail. Merasa begitu sendirian, ia menulis pada dirinya sendiri di kertas:
-
“Mimpi besar bukan hanya soal berani bermimpi, tapi berani menanggung kesepian dalam perjalanan.”
-
“Kesendirian mengajarkan kita: bahkan di kota paling ramai pun, mimpi harus diperjuangkan dengan hati yang sunyi.”
-
“Dan karena semua itu, banyak hal harus kamu jalani sendiri.”
Lilin merayap memendek. Di lantai, bayang-bayang post-it bergetar karena angin. Ia teringat ibunya di Pamekasan yang suka berkata, “Kalau capek, jangan berhenti. Istirahatlah sambil melangkah.” Ia tersenyum pada masa kecilnya: suara ombak, bau garam, matahari yang jujur. Lalu ia tertidur di kursi lipat, kepala bersandar pada dinding yang menyimpan jejak tinta spidol.
Ketika listrik menyala tiba-tiba, ia terbangun. Jam menunjukkan pukul 02.41. Ia menyalakan router Wi-Fi yang sejak dulu kurang ajar suka putus sambungan. Di ponsel, ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Mas Adipati, kami dari komunitas Pasar Rakyat Nusantara. Dengar kabar dari Bu Ina, mau ketemu untuk eksplorasi pelatihan pencatatan digital?”
Ia memandang lilin yang sisa tubuhnya meleleh. Dalam hatinya ada sesuatu yang bangkit. Ia membalas: “Dengan senang hati. Boleh besok di Pasar Minggu jam 10?”
Balasan datang cepat: “Siap.”
.
Rembuk Pagi
Rapat kecil itu melebarkan jalan. Komunitas Pasar Rakyat Nusantara memiliki ratusan anggota dari berbagai kota satelit: Depok, Bekasi, Tangerang, Bogor. Mereka butuh sistem pencatatan yang tidak membuat orang menyerah sebelum mulai. Adipati mengajak dua teman baru: Damas untuk desain antarmuka, dan Rengganis untuk menangani narasi dan pelatihan.
“Bahasanya jangan ‘dashboard’,” ujar Rengganis di depan papan tulis. “Tulis ‘halaman utama’. Jangan ‘inventory’, tulis ‘stok’. Jangan ‘cashflow’, tulis ‘arus uang’. Kita tidak sedang merendahkan; kita menyamakan bahasa.”
Sebuah tangan terangkat. “Kalau ada pelanggan yang utang, bisa difoto bukti catatannya?” tanya seorang ibu pedagang sayur.
“Bisa, Bu,” jawab Damas. “Nanti aplikasinya punya fitur kamera. Foto tersimpan dengan tanggal otomatis.”
Pertemuan berlangsung seperti kelas favorit di sekolah: semua orang pulang dengan senyum. Malamnya, di group chat, foto-foto warung bertebaran. Orang-orang memegang ponsel dengan bangga. Adipati menatap layar ponselnya lama sekali, seperti menatap wajah seseorang yang ternyata percaya pada kita.
.
Rumah yang Retak Tapi Hangat
Suatu Minggu pagi, Adipati pulang ke Pamekasan. Rumah ibunya kecil, catnya retak, tetapi hangat. Ibu menyiapkan sarapan nasi jagung dengan ikan asin. Di televisi, suara pengajian menyusup dari acara keagamaan.
“Kerjaanmu… apa itu, Lumbung?” tanya ibu sambil menata piring.
“Catatan warung, Bu. Biar nggak rugi lagi.”
Ibu mengangguk. “Orang yang bantu orang lain menghitung hidupnya akan dihitung baik oleh hidup.”
“Mungkin aku harus dengar kalimat itu waktu aku ragu,” kata Adipati.
Ibu menepuk punggungnya. “Ragu itu seperti garam. Sedikit saja cukup untuk menguatkan rasa.”
Sore di Pamekasan membawa angin laut. Adipati berjalan ke tepi pantai, memandang ombak memecah di pecahan karang. Ia menulis pesan untuk Rengganis: “Terima kasih sudah membuat semua terasa mungkin.”
Rengganis membalas: “Terima kasih sudah membiarkan kemungkinan itu punya rumah.”
.
Musim Patah
Ketika roda mulai bergerak lebih seimbang, kabar datang seperti batu yang dilempar dari atap. Dewi Ratna kembali ke Jakarta, menjadi manajer pemasaran di perusahaan e-commerce. Ia menghubungi Adipati untuk bertemu. Di sebuah kafe di SCBD, mereka duduk di bangku berbeda generasi.
“Aku bangga padamu, Di,” katanya. “Dulu kamu selalu paling keras kepala. Sekarang kamu masih keras kepala, tapi arahmu jelas.”
Adipati tertawa. “Kalau begitu, kamu juga harus bangga pada dirimu. Aku dengar kamu memimpin tim besar.”
Dewi menatapnya lama, seperti ingin mengeluarkan kalimat yang tak jadi. “Aku mendengar kamu dekat dengan seorang penulis.”
“Kami bekerja bersama.”
Dewi menghela napas, memutar gelas. “Aku dulu takut sama mimpimu, Di. Takut aku nggak bisa mengejar polanya. Padahal barangkali aku hanya nggak mau bersaing. Maaf.”
Adipati menatap jendela, melihat bayangan diri yang lucu: orang yang dulu ingin memiliki semua nama jalan, kini sadar bahwa kota lebih luas dari peta hatinya. “Tak apa. Semua orang punya musim. Kita pernah menanam di ladang yang sama; sekarang kita panen di kebun yang berbeda.”
Keluar dari kafe, ia menatap langit yang disilang-silang kabel. Hatinya remuk kecil—bukan karena kehilangan, tapi karena mengerti. Ia mengirim pesan pada Rengganis: “Kita semua adalah kota. Ada jalan yang bertemu, ada yang berpisah.”
Rengganis membalas: “Pada akhirnya, tujuan kita sama: pulang.”
.
Hujan Besar
November menumpahkan hujan seperti memori yang tumpah dari lemari. Banjir merayap di beberapa sudut kota. Pasar di Cipinang tergenang setinggi mata kaki. Lumbung, yang biasanya menjadi aplikasi ringan, mendadak jadi pusat koordinasi: mencatat barang yang rusak, memetakan kios yang aman, mengabarkan suplai darurat. Adipati dan tim kecilnya berkeliling membawa power bank, jas hujan, dan semangat yang mereka kumpulkan dari orang-orang yang tidak pernah berhenti berdagang.
Di sebuah kios, seorang anak kecil memeluk kardus mie instan. “Ini jatah ibu,” katanya. “Kalau nggak dicatat, nanti hilang.”
Adipati menunduk, mengambil ponsel si ibu, membuat catatan baru di Lumbung: “Barang rusak karena banjir: 10 dus. Pengganti: 6 dus. Catatan: tolong antar dari gudang mitra.”
Anak itu tersenyum. “Berarti nggak hilang ya, Kak?”
“Tidak,” jawab Adipati. “Kita cari sampai ketemu.”
Di malam yang sama, Rengganis mengirim tulisan yang akan mereka unggah di situs: “Kota adalah ruang ujian untuk yang bertahan. Kalau banjir adalah peringatan, maka kita adalah warga yang belajar.” Ia menambahkan foto para pedagang berdiri di atas bangku, menunggu air surut, sambil tertawa seadanya.
.
Ruang Kecil Bernama Panggung
Bulan berganti. Komunitas Pasar Rakyat Nusantara mengadakan forum berbagi di gedung serbaguna milik pemda. Bukan panggung megah—hanya mimbar kecil, proyektor yang kadang keras kepala, dan kipas angin berdengung. Tetapi ruang kecil itu terasa seperti halaman depan sejarah bagi orang-orang yang selama ini tidak sempat percaya pada kata transformasi.
Bu Ina maju ke depan. “Dulu saya takut sama angka. Sekarang saya takut kalau tidak ada angka.” Ruangan tertawa. “Saya bisa bilang ke pemasok: ‘Pak, bulan lalu minyak goreng saya laku sekian liter, jadi tolong harga yang adil, karena saya nggak bisa menipu data.’”
Pak Mardan menyambung, “Utang pelanggan sekarang saya tag tanggalnya. Saya jadi lebih sopan nagihnya: ‘Bu, maaf, aplikasinya mengingatkan saya.’” Ruang kembali tertawa.
Adipati menatap Rengganis di sudut. Rengganis menatap balik, mengangkat jempol kecil. Ada air yang bergerak pelan di mata keduanya—air yang bukan banjir, melainkan kebahagiaan yang berhasil menemukan alurnya.
.
Yang Paling Mahal
Pagi itu, Adipati duduk di bangku halte, menatap matahari yang mengangkat kabut dari kali kecil. Ia membuka notebook, menulis satu halaman besar, hurufnya tebal:
-
“Mimpi besar bukan hadiah; ia tagihan yang datang setiap hari.”
-
“Kerja keras tidak selalu menghasilkan bising; kadang hanya meninggalkan jejak sepi yang panjang.”
-
“Kalau kau mencari tepuk tangan, buatlah konser. Kalau kau mencari perubahan, buatlah alat yang membantu orang setiap hari.”
Ponselnya berdering. Nomor investor yang dulu menundanya tiga bulan. “Kami tertarik bergabung,” kata suara di seberang. “Traction kalian… luar biasa. Bisa presentasi ulang?”
Adipati tersenyum kecil. “Dengan senang hati. Tapi saya punya syarat: jangan ubah misi kami.”
“Misi?”
“Memudahkan hidup orang yang jam bekerjanya dimulai lebih dulu dari jam dinding.”
Hening sejenak. “Baiklah, kita bicarakan.”
Ia menutup telepon. Di sekelilingnya, kota berjalan seperti biasa: ojek daring saling sapa, ibu-ibu mengantar anak ke sekolah, pedagang bubur mengaduk panci besar. Hari biasa yang istimewa karena kita memilih memperhatikannya. Ia mengirim pesan pada grup: “Teman-teman, kita tidak sedang mengejar angka. Kita sedang merapikan hidup orang.”
.
Malam di Atas Kota
Malam terakhir tahun itu, mereka—Adipati, Rengganis, Damas, Bu Ina, Pak Mardan, dan beberapa pedagang lain—berkumpul di atap rusun. Lampu-lampu kota seperti kembang api yang dipelihara. Mereka membawa makanan: tempe goreng, es teh, kerupuk bawang.
Rengganis duduk di samping Adipati. “Kalau suatu saat kita terkenal, apa yang paling kamu takutkan?”
“Lupa.”
“Lupa apa?”
“Lupa bahwa semua ini dimulai karena seseorang kehilangan stok gula.”
Rengganis tertawa kecil, kemudian memandang ponselnya. “Tulisan kita besok tayang di media. Judulnya Biaya Mimpi di Kota yang Tidak Pernah Tidur.”
“Bagus.”
“Dan ada satu paragraf penutup yang saya suka.”
“Apa?”
Rengganis membaca pelan, suaranya menyatu dengan angin: “Kita mungkin akan tetap sendiri, kecuali bertemu orang yang memahami gaya hidup kita. Tapi ketika kita bertemu—entah sebagai rekan kerja, sahabat, atau sekadar saksi—kesendirian itu berubah menjadi ruang sunyi yang aman untuk tumbuh.”
Adipati menatap lampu di kejauhan. Suara petasan pertama menyalak, memecah malam. Ia merasakan sesuatu yang lama: haus, takut, harap—semua berkumpul menjadi cairan yang dinamai syukur. Ia menggenggam tangan Rengganis. Tidak terlalu erat, tapi cukup untuk mengakui bahwa dunia ini, yang luas dan bising, bisa juga menjadi rumah.
.
Panggung Besar, Nafas Kecil
Tiga bulan kemudian, Lumbung diundang ke konferensi startup di Jakarta. Panggungnya tinggi, layar LED menghampar seperti kolam cahaya. Audience penuh kemeja dan kartu nama. Adipati berdiri dengan mikrofon, menyajikan slide yang kini tidak lagi terasa asing.
“Kami tidak menjual mimpi,” katanya. “Kami menjual ketenangan. Di kota yang gemetar karena terlalu cepat, ketenangan adalah barang mewah.”
Slide berikutnya menampilkan foto Bu Ina, Pak Mardan, dan potongan pesan dari pedagang lain. “Terima kasih. Untuk pertama kalinya, saya tahu warung saya tidak rugi.”
Tepuk tangan datang. Bukan gemuruh yang mengguncang, tapi cukup untuk menegaskan bahwa suara kecil bisa didengar bila membawa kebenaran sederhana. Adipati menunduk, tersenyum. Di barisan tengah, Rengganis mengangkat kamera, matanya basah.
Ia mengakhiri presentasi dengan kalimat yang dulu ia tulis sendiri pada malam gelap: “Mimpi besar adalah jalan panjang. Biayanya mahal: tidur larut, bangun lebih pagi; lingkaran pertemanan mengecil; disalahpahami; mungkin tetap sendiri. Tetapi di ujungnya, kita menemukan diri yang tidak lagi takut pada kota.”
.
Pulang
Malam itu, Adipati pulang ke rusun. Di koridor, suara anak-anak tertawa. Di jendela, lampu-lampu kota berkilat seperti sisik ikan yang melompat. Ia membuka pintu kamar, melepas ransel, duduk di lantai, dan menatap dinding yang masih ditempeli catatan—sebagian sudah pudar diberi waktu.
Ia menulis satu lagi, hurufnya kali ini lebih tenang:
“Hidup di kota bukan lomba lari melawan orang lain. Ini maraton melawan rasa ingin menyerah di dalam diri.”
Ia memejamkan mata. Untuk pertama kali setelah sekian lama, tidur datang tanpa menuntut imbalan.
.
.
.
Jember 12, September 2025
.
.
#CerpenKompas #SastraUrban #MimpiBesar #BiayaMimpi #UMKM #Jakarta #PerjuanganHidup #JeffreyWibisonoVStyle