Reruntuh Senyap di Peron Kota
“Kesabaran bukan untuk mengalah pada dunia, melainkan cara paling elegan untuk tidak mengalahkan diri sendiri.”
.
Hamzah tahu jam di peron Stasiun Kota lebih jujur daripada kalender di ponselnya. Jam itu tak pernah menyalahkan siapa pun atas keterlambatan; ia hanya berdetak. Di bawahnya, usai hujan, rel seperti dua garis hitam yang memantulkan lampu toko emas di seberang. Malam menggulung sepanjang Jembatan Layang, menelan suara mikrofon penjual roti yang sumbang, menekan desau angin yang membawa sisa bau solar dari deretan metromini yang parkir miring di samping terminal.
Di sana, Retna muncul dengan payung plastik bening, mata yang tertutup ujung-ujung bulu mata lentik, dan sepasang sepatu putih yang kotor di bagian tumit. Hamzah memanggilnya pelan. Retna mengangkat wajah, tersenyum luar biasa kecil—seperti lampu indikator di dashboard yang berkedip sekali lalu mati.
Keduanya duduk di bangku besi yang catnya mengelupas. Di seberang, baliho promosi apartemen berbunyi: “Hidup dekat dari mana pun.” Kata-kata yang terdengar seperti janji-janji di masa lalu: dekat, dari mana pun.
Retna membuka percakapan dengan nada yang sudah lama Hamzah kenal—nada yang bukan untuk melukai, tapi kerap menjadi pisau tanpa sengaja. “Aku nggak marah, Hamzah,” katanya, menatap layar ponsel sebentar, “cuma udah capek peduli.”
Kata-kata itu menetes dalam Hamzah, seperti hujan terakhir yang merembesi kerah kemeja. Ia menarik napas, menimbang jawaban yang tak akan mengubah malam. “Santai aja,” ia akhirnya berkata. “Dari awal aku memang nggak banyak berharap.”
“Kalau aku kelihatan banyak ngasih,” Retna melanjutkan, seakan mereka berdua menghafal daftar kalimat yang entah kapan mulai menjadi kebiasaan, “mungkin kamu yang terlalu pelit ngehargain.”
Kereta jurusan Bekasi melintas, menggetarkan lampu-lampu. Dalam kaca gerbong pertama, Hamzah menangkap wajahnya sendiri—wajah seorang lelaki yang masih muda tetapi rasanya terlalu tua, kelelahan yang tak bisa tidur memperbaikinya. Sejak kapan ia mulai merasa seperti pengunjung pada hidupnya sendiri?
.
Pekerjaan Hamzah di sebuah biro komunikasi kecil di bilangan Cikini tak buruk-buruk amat. Ia menulis rilis pers, menambal reputasi klien, mengedit caption Instagram produk kecantikan sampai jam satu pagi, lalu membalas chat klien yang antara menuntut dan takut-takut. Di dinding kantornya, poster bertuliskan, “Deliver More Than Expected” mulai menguning. Di sisi poster itu, kalender menunjukkan tanggal dua belas—hari saat proyek terbesarnya, kampanye “Kota Menyapa” untuk perayaan ulang tahun kota, akhirnya tayang.
“Masih kurang hangat,” kata Amir, manajer proyek, di rapat siang itu. Amir yang cekatan dengan spreadsheet, tetapi gampang sekali menyimpulkan: “Tinggal dibikin menyentuh hati.” Seperti meminta lampu neon berubah menjadi matahari.
Umar, desainer grafis yang meja kerjanya selalu berserakan cangkang kuaci, menguap. “Tinggal,” ia berbisik pada Hamzah, “itu kata paling mahal di kantor ini.”
Hamzah tersenyum. Ia menyukai Umar: jujur, malas dengan gaya lucu, dan selalu punya playlist terbaik untuk lembur. Sementara Maya—copywriter magang dengan rambut dikuncir tinggi—mencatat semua catatan Amir tanpa protes, seperti anak bungsu yang tak ingin membuat semua orang kecewa.
“Ham, kamu yang tulis narasi utama,” putus Amir. “Kamu punya suara yang… apa ya… logis, tapi emosional.”
Logis, tapi emosional. Hamzah berpikir kalimat itu terdengar seperti nama obat batuk. Namun ia mengangguk, mengangkat laptop, dan memindahkannya ke sudut dekat jendela yang menghadap ke sibuknya jalan. Dari atas, ia melihat deretan pedagang kaki lima, meniupkan asap sate, menyeruput kopi sachet yang terlalu manis. Kota adalah neon dan lapar, pikirnya, dan diam-diam ia ingin menuliskannya begitu. Tapi klien biasanya lebih menyukai kata-kata gemuk yang gembira.
Malamnya, hamparan listrik mati di beberapa wilayah, dan kantor yang biasanya terang menjadi samar. Dari jauh terdengar adzan Isya, menggema di antara gedung-gedung, melewati mural dan tiang listrik, menelan keluh-kesah manusia yang berpura-pura sibuk untuk tidak merasakan sepi.
Di layar laptop, Hamzah menulis: “Kota bukan hanya gedung yang menjulang; ia adalah tatapan yang saling meneguhkan di peron, sapaan tetangga kala hujan, langkah kaki yang pulang lebih lambat tapi tetap pulang.”
Ia berhenti. Dalam kepala, suara Retna ikut membaca, lalu mengoreksi, lalu mengembalikannya pada dirinya: Kamu ingin menulis untuk orang lain atau untuk dirimu sendiri?
.
Hamzah dan Retna bertemu tiga tahun lalu, di sebuah lokakarya menulis feature yang diadakan di komunitas buku bekas di Kalibata. Retna datang terlambat, memegang payung yang belum dikenali Hamzah sebagai tanda. Ia duduk di samping Hamzah, membuka laptop yang penuh stiker, mendengar seperti orang yang benar-benar mendengar. Seusai sesi, mereka bicara tentang semua hal yang orang kota biasa bicarakan: angkringan yang masih setia dengan bara arang, film yang penontonnya berpura-pura kritis, dan kantor-kantor yang selalu yakin bisa mengubah dunia hanya dengan satu kampanye.
Di awal, semua baik. Retna menulis cerpen yang jernih, Hamzah menumpuk buku di lantai kamar kos. Mereka saling berkabar soal hujan, soal uang bulanan yang tak pernah cukup tapi entah bagaimana selalu cukup, soal orang tua dan pertanyaan-pertanyaan formal saat Lebaran. Sebuah kebersamaan yang mengundang sabar.
Sampai setahun belakangan, mereka merenggang. Bukan karena satu peristiwa besar, tetapi kebocoran kecil yang diabaikan—seperti cat tembok di halte yang retak sedikit, lama-lama mengelupas; seperti jam peron yang tetap berdetak, tetapi tak lagi mengatakan arah.
Retna yang mulai menempuh S2, berpindah-pindah kampus dan mengurus beasiswa, merasa Hamzah selalu lelah terlebih dahulu. Hamzah merasa Retna berada pada kecepatan yang ia tak sanggup kejar. “Aku nggak ngerti kenapa,” kata Retna suatu kali, “tapi kamu selalu punya cara buat bikin kecewa.” Kata-kata itu seperti kota yang tiba-tiba padam: kita masih di sini, tetapi terang tak lagi memastikan arah.
.
Rapat presentasi “Kota Menyapa” berlangsung pada hari Selasa, di ruang meeting bertembok kaca di lantai lima. Di luar, hujan mengisi selokan, memantulkan lampu merah macet yang panjangnya tak masuk akal. Tim klien duduk berhadap-hadapan dengan tim kantor. Ada kopi, biskuit, dan air mineral dingin dengan botol kecil. Ada senyum-senyum kaku dan kalimat pembuka seperti “Semoga nggak hujan ya pas event.”
Hamzah mempresentasikan narasi utamanya—ia baca dengan intonasi sedang, menahan kemungkinan berlebihan, menjaga logis yang emosional. Di layar, foto-foto Umar berganti: anak-anak SD menyeberang dengan payung daun, pedagang kue serabi yang tertawa, seorang bapak tua dengan baju batik yang melipat rokok dan membagikan ke tetangga.
Selesai, ruangan hening. Klien utama, lelaki paruh baya dengan kemeja biru, batuk kecil. “Tulisannya bagus,” katanya akhirnya, “tapi bisa lebih… ceria? Kita ini merayakan ulang tahun kota, bukan merenungi.”
Maya menyenggol lengan Hamzah di bawah meja: sabar. Hamzah mengangguk. Ia menahan diri untuk tak mengeluarkan versi dirinya yang paling sinis, versi yang tumbuh diam-diam oleh lembur dan chat “Tinggal revisi dikit ya kak” pada pukul dua dini hari. Amir bukan penyelamat. Ia hanya menepuk punggung Hamzah sambil berkata, “Bisa, Mas. Tinggal diganti tone-nya.”
Hamzah bertahan. Ia menulis ulang semalaman. Umar mengganti foto-foto dengan balon warna-warni dan keluarga yang memegang goodie bag. Pagi menjelang, saat jam di dinding menuding angka empat, mereka selesai. Jalan di bawah jendela terlihat kosong seperti halaman buku baru.
Hamzah memejamkan mata. Di kantung celana, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Retna: “Aneh ya, kok nggak pernah belajar dari kesalahan yang sama?”
Ia menatap layar lama, napas tertahan. Ia membaca ulang, memastikan tidak salah orang. Retna jarang menulis seperti itu, kecuali saat kelelahan berduaan dengan keinginannya sendiri. Hamzah menulis balasan yang panjang, menghapus, lalu menulis lagi, lalu menghapus lagi. Ujungnya, ia hanya mengirimkan: “Kita ketemu malam ini?”
Balasan datang jauh siang. “Aku ada diskusi. Kalau kamu nggak keberatan pulang malam, ya.”
Di kota, kompromi sering menjadi bahasa cinta yang paling sederhana.
.
Malam datang dengan basah yang berbeda; bukan hujan, lebih seperti berkeringat. Hamzah tiba di sebuah kedai kopi tua dekat kampus Retna. Di dinding kayu, foto hitam putih Jakarta tahun 70-an dipajang tanpa kaca. Bau espresso bercampur bau buku bekas—kedai ini, mungkin sengaja, menolak terlalu modern.
Retna duduk di pojok, menyelesaikan email untuk dosennya. Kemejanya bergaris-garis biru, lengan digulung. Ia terlihat seperti orang yang sedang berusaha bergegas walaupun tak ada yang menunggu, dan Hamzah tahu, dirinyalah orang yang—secara de facto—sudah lama berhenti menunggu.
“Semakin aku mikir,” Retna berkata tanpa prolog, “makin jelas: ngapain juga dulu aku segitunya peduliin kamu?”
Kedai menjadi sangat senyap. Hamzah merasa seperti berdiri di peron lagi; yang ada hanya bunyi kereta yang belum tiba. “Kalau gitu, terima kasih,” ia berkata pelan.
“Terima kasih?”
“Karena kamu pernah peduli.”
Retna menghela napas keras, seolah memadamkan api yang tak pernah menyala. “Kamu selalu begitu,” katanya. “Membuat kalimat yang terdengar indah, padahal isinya kosong. Kamu hebat menulis, Hamzah. Tapi kamu nggak pernah belajar memelihara.”
Hamzah tak menyangkal. Pelihara—kata yang memintanya memegang dunia dengan cara yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. Ia menatap jemarinya yang kapalan halus di ujung karena terlalu sering mengetik. Jemari yang mampu merangkai banyak hal menjadi satu paragraf, tapi tak pernah sanggup merapikan satu percakapan tanpa menyisakan serpih.
“Retna,” ia berkata, “kota ini membuat kita berpacu dengan hal yang tak kelihatan. Aku suka kamu karena kamu mengajariku berhenti. Tapi mungkin aku terlalu takut kehilangan laju.”
“Semua orang takut,” jawab Retna. “Bedanya, beberapa memilih untuk saling menunggu.”
Kalimat itu memasuki Hamzah seperti injeksi tanpa anestesi. Ia memandang Retna lama—pupilnya, garis halus di bawah mata, bibirnya yang menahan ragu. Ia ingin minta waktu, sebulan, seminggu, sedetik—apa saja—untuk menjadi laki-laki yang bisa menjaga selain mengerjakan. Namun kota punya aturan lain. Kadang yang tersisa hanya menatap jam dan mengakui: sudah terlambat.
Malam itu mereka pulang tanpa menyentuh apa-apa. Di luar, lampu-lampu kendaraan menulis garis-garis panjang di aspal basah. Di balik helm pengendara, hidup melaju tanpa bertanya siapa yang tertinggal.
.
Hari H “Kota Menyapa” datang. Lapangan parkir mall yang menjadi lokasi dipenuhi tenda, panggung kecil, dan pembawa acara yang berteriak ramah. Balon-balon terikat, spanduk berkibar, musik pop menggema dari speaker yang sulit disetel. Anak-anak berlari-lari mengejar maskot—seekor merpati raksasa yang mengedipkan mata di bawah kepala kostum yang panas.
Hamzah berdiri di tenda produksi, headset di telinga, memegang daftar rundown yang mulai berkeringat. Amir mondar-mandir, menempelkan senyum yang dipinjam. Umar memotret, Maya menulis caption live yang harus langsung diunggah. Cuaca di atas kepala seperti sedang memilih, antara bermurah hati atau menyimpan hujan untuk momen klimaks.
Ketika giliran video narasi diputar, Hamzah diam. Di layar LED, suaranya—yang direkam semalam di studio kecil—meluncur: “Kota menyapa bukan karena kita sempurna, melainkan karena kita saling memelihara yang tidak sempurna.” Di bawah kalimat itu, orang-orang bersorak tidak pada kata-kata, melainkan pada potongan-potongan visual yang Umar ambil: pasangan tua bergandeng tangan, pedagang yang menutup kios dengan senyum, tukang parkir yang mengacungkan jempol.
Acara berjalan. Wali kota datang sebentar, menandatangani papan, lalu pergi sebelum hujan benar-benar turun. Para sponsor puas. Amir tersenyum pada Hamzah. “Kita selamat.”
Selamat. Kata yang di kota dianggap sinonim dari layak tidur sedikit lebih nyenyak. Namun di hati Hamzah ada ruang yang tetap kosong. Retna tak datang. Ia tahu Retna tak wajib datang; itu hanya harapannya sendiri yang bandel.
Hujan akhirnya turun. Orang-orang berhamburan. Umar menutup kameranya dengan plastik. Maya tertawa, setengah menggigil. Hamzah menatap langit; hujan di kota selalu tampak seperti seseorang yang ingin meminta maaf tetapi terlalu gengsi. Ia melepas headset, melangkah keluar dari tenda, membiarkan basah menyentuh kepala, melelehkan apa pun yang ingin ia jaga tetap rapi.
Di tengah hujan itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Retna: “Aku di perpus. Hujan deras. Maaf ya, beberapa hal memang nggak harus diperjuangkan dua kali.”
Hamzah menatap huruf-huruf itu sampai kabur oleh air. Ia tak membalas. Tak ada kalimat yang layak, dan untuk pertama kalinya ia tidak mencoba mengarang.
.
Setelah event, kantor memasuki fase usai proyek: melepas penat, mengisi form evaluasi, menagih invoice, dan bersikap seolah semua baik-baik saja. Malam ini, Amir mentraktir martabak. Umar memberi selamat dengan menepuk bahu. Maya mengirimkan stiker “good job” di grup tim. Hamzah tertawa pada tiap lelucon. Pada pukul sebelas ia pamit; katanya ingin tidur lebih awal.
Ia tak langsung pulang ke kos. Ia naik KRL dua stasiun ke arah utara, turun di stasiun tua yang keramiknya pecah di beberapa tempat. Hujan sudah reda, menyisakan pohon flamboyan yang menetes pelan. Ia berjalan menghampiri peron kosong, tempat pertama kali kalimat-kalimat itu dilontarkan Retna, tempat kota seakan berputar lebih cepat dari semestinya.
Di sana, seorang pedagang air mineral yang menutup lapaknya menawari Hamzah bangku. “Mau duduk dulu, Mas? Kereta nggak lama lagi.”
Hamzah tersenyum. “Saya nggak nunggu kereta, Pak.”
“Lantas nunggu apa?”
Ia terdiam. Pertanyaan itu—lucu betapa sederhana—membuat dadanya seperti diputar. Nunggu apa? Tiga kata yang kadang lebih tajam dari pidato panjang.
“Diri sendiri,” jawab Hamzah akhirnya.
Pedagang itu mengangguk, seolah mengerti bahasa yang seperti itu. “Saya juga,” katanya, tertawa.
Hamzah duduk. Di atasnya, sebuah jam tua berdetak. Di depannya, rel yang basah memantulkan langit hitam. Ia memejamkan mata, mengenang: wajah Retna pertama kali, bau buku bekas, tawa kecil di sela bunyi hujan, daftar kalimat yang tak pernah ia sangka akan menjadi senjata. “Aneh ya,” ia berbisik pada dirinya sendiri, “kok nggak pernah belajar dari kesalahan yang sama?”
Pada detik itu, ia tiba pada pengakuan yang tak bisa lagi ditunda: ia tidak marah pada siapa pun. Ia hanya lelah pada caranya sendiri terus berdamai dengan penundaan.
.
Hari-hari sesudahnya bukan montage yang heroik. Tak ada musik latar yang membarui semangat. Yang ada adalah rambut yang tetap tumbuh, tagihan listrik yang tetap datang, dan jam peron yang tetap berdetak. Namun dalam taut yang pelan, sesuatu bergeser.
Hamzah mulai menolak beberapa pekerjaan yang memintanya menulis dengan hati yang bukan hatinya. Ia tahu konsekuensinya: uang berkurang. Tapi ia juga tahu, menambahkan satu lagi “tinggal revisi dikit” pada pukul dua pagi tak akan membuatnya lebih hidup. Ia berdamai dengan pagi yang lebih sepi, siang yang lebih panjang, dan malam yang tak selalu harus penuh tugas.
Ia menghubungi Umar untuk sebuah proyek kecil: memotret penjual-penjual kecil di pasar pagi, menulis kisah mereka, menggantungkannya di tembok sebuah warung kopi dengan tiket masuk sukarela. Maya ikut, sengaja ia ajak menuliskan caption tanpa memikirkan brand voice; “pakailah suara sendiri,” kata Hamzah. Mereka bekerja pelan, menambal waktu dengan tawa yang tak terpaksa.
Satu sore, di sebuah gang sempit yang wangi kue pukis, Hamzah memotret seorang ibu bernama Sari yang baru saja memesan kompor baru karena yang lama bocor. Sari tertawa ketika difoto, wajahnya berkeringat, tangan memegang adonan. “Saya takut api,” katanya, “tapi kalau bukan saya yang hidupin kompor, siapa lagi?” Kalimat itu, bagi Hamzah, lebih terang daripada semua slogan.
Ia kirimkan foto dan tulisan itu ke Retna lewat email—bukan pesan—dengan subjek: “Kabar.” Di bawah, ia menulis sebaris: “Semoga baik.” Tak ada prolog, tak ada memohon kembali, tak ada memaparkan rindu. Hanya kabar. Dua hari kemudian, balasan datang: “Terima kasih. Aku baik. Kamu juga ya.” Titik di akhir kalimat terlihat seperti doa.
.
Di festival kecil di warung kopi itu, foto-foto Umar dan tulisan Hamzah menggantung di dinding. Pengunjung duduk di bangku kayu, menatap cerita orang-orang yang biasanya terlewat: tukang sayur yang menghafal utang pelanggannya lebih daripada puisi, tukang tambal ban yang menyimpan daftar lagu dangdut favorit pelanggan di ponsel, bapak ojek yang tak pernah menagih lebih untuk hujan deras. Sumbangan masuk pelan-pelan, dan pemilik warung kopi menambahkan selembar kertas: “Seluruh donasi untuk mengganti kompor Bu Sari, beli payung baru buat Pak Jafar, dan sisanya untuk listrik mushola.”
Hamzah berdiri di sudut, memperhatikan. Ia tak merasa menjadi pahlawan. Ia hanya merasa jam peron di dadanya—yang lama berdetak cepat—tiba-tiba menemukan ritme baru. Logis yang emosional, ia pikir, mungkin bukan obat batuk, melainkan cara untuk tidak lagi memilih antara dua yang sebetulnya satu.
Retna datang sore itu, diam-diam. Hamzah melihatnya dari pintu: kemeja putih, celana hitam, rambut diikat. Ia berdiri di depan foto Bu Sari, membaca tulisan yang ditempel di bawah. Di bibirnya ada senyum orang yang tidak lagi ingin menang atau kalah, hanya ingin mengerti.
“Kamu datang,” kata Hamzah.
“Ya.” Retna menoleh, menatap lama, lalu tertawa kecil—tawa yang dulu selalu membuat Hamzah merasa kota punya jendela yang terbuka. “Aku sempat lewat. Aku baca kabar-kabar kamu. Terus aku pikir, ya sudah, lihat sendiri.”
Mereka duduk di bangku kayu, memesan kopi hitam dan teh panas. Di atas kepala mereka, kipas angin berputar pelan, menamparkan angin ke langit-langit kayu yang menghitam oleh asap.
“Aku nggak menagih apa-apa,” kata Retna. “Aku hanya ingin bilang: kamu akhirnya menunggu dirimu sendiri. Itu bagus.”
Hamzah mengangguk. “Aku juga nggak menagih apa-apa,” katanya. “Kalau ada yang tersisa dari kita, biarlah itu jadi cara baik kita mengingat. Kalau tidak, aku tetap ingin berterima kasih.”
Retna memandangnya, lama, seakan mencari kebohongan seperti orang memeriksa tanggal kedaluwarsa. Tak menemukan, ia menghela napas—napas orang yang selesai mengangkat beban. “Di kota,” katanya, “kita bisa tersesat bahkan saat tahu alamat. Tapi aku senang kamu menemukan peta.”
“Iya,” jawab Hamzah. “Peta sederhana. Titiknya cuma satu: pulang.”
Di luar, sore menipis. Orang-orang pulang membawa kantong plastik. Seorang anak kecil menarik tangan ibunya, merengek minta kue tambahan. Musik dangdut samar terdengar dari gang. Hamzah menatap lampu-lampu yang mulai menyala. “Kota menyapa,” ia berbisik, “sepelan itu.”
Retna tersenyum. “Kamu juga.”
Mereka tak membicarakan masa depan. Mereka tak menandatangani apa pun. Mereka hanya minum sampai cangkir kosong, membayar dan tersenyum pada barista, lalu berjalan keluar menyusuri gang yang ramai, masing-masing menuju arah yang mungkin berbeda. Di mulut gang, Hamzah menoleh, mengangkat tangan. Retna membalas, mengangkat payung beningnya—yang entah sejak kapan selalu ia bawa—dan melangkah, menyatu dengan keramaian yang jujur pada dirinya sendiri.
Hamzah kembali ke peron stasiun di benaknya, tempat jam tua berdetak. Ia tahu, beberapa kereta memang bukan untuk dinaiki. Beberapa cukup disaksikan, dilepas, dipahami tujuannya. Dan di antaranya, ada yang datang ke arahnya—pelan, pasti, tanpa sorak-sorai—membawanya pulang kepada dirinya sendiri.
.
.
.
Jember, 7 September 2025
.
.
#CerpenKota #SastraMinggu #UrbanIndonesia #Emosional #MenakMaduraAdaptasi #KompasStyle #NarasiFilmis #KisahDewasa #Refleksi #Literasi