Jejak Jakarta

“Tujuan utama manusia adalah menemukan dirinya sendiri. Sebagian besar gagal, karena takut melangkah. Namun, siapa yang berani, ia akan menemukan kehidupan sejati.”

.

Hujan turun seperti benang-benang halus yang menjahit malam Jakarta. Lampu-lampu di sepanjang Sudirman memantul pada aspal yang basah, membentuk sungai-sungai cahaya yang mengalir menuju simpang tak berkesudahan. Di antara gemuruh knalpot dan desis ban KRL yang lewat jauh, Wiria berdiri di bawah kanopi halte Transjakarta, memandangi bayangannya sendiri pada dinding kaca: wajah lelah, mata menyimpan kabut.

Sudah tujuh tahun ia bekerja sebagai penulis naskah iklan di sebuah agensi besar di Kuningan. Portofolionya mengkilap: iklan minuman berenergi, gawai terbaru, festival diskon yang memabukkan. Ada bonus tahunan, ada apartemen mungil di menara kaca, ada pesta Jumat malam yang mengilapkan sepatu dan mengeraskan tawa. Tetapi, setiap kali ia pulang, suara sepi bergema lebih keras dari musik klub manapun.

“Capeknya bukan di badan, tapi di jiwa,” gumamnya, menyalakan rokok lalu mematikannya lagi. Di saku celananya, ponsel berkedip—ratusan pesan grup, pengingat rapat, target engagement. Tak satu pun menyebut namanya dengan hangat.

Suatu sore, di warung kopi kecil dekat Stasiun Manggarai, ia bertemu kembali Samsi, teman SMA-nya di Surabaya. Samsi tak pernah punya foto profil yang rapi; rambut gondrongnya diikat serampangan, kausnya memudar. Tetapi matanya menyala saat bercerita tentang keseharian: mengajar baca tulis untuk anak-anak yang rumahnya berada di bantaran Ciliwung; mengumpulkan buku-buku bekas; mengajarkan anak-anak membuat layang-layang dari kantong plastik.

“Kadang kita mesti memilih jadi angin buat orang lain,” kata Samsi, menyeruput kopi tubruk. “Mungkin tak terlihat, tapi menggerakkan.”

Kalimat itu menginap lama di kepala Wiria. Di rumah, ia teringat pada suara ibunya dari Jember—suara yang selalu terdengar tegar sekalipun disampaikan lewat sambungan telepon yang kadang putus-nyambung. “Urip iku urup, Le,” katanya dulu. Hidup itu menyala. “Aja mung ana, nanging ngana—jangan sekadar ada, tapi mengada.”

Kata-kata itu terasa seperti lampu yang dinyalakan di sebuah lorong panjang. Namun, cahaya juga membuat bayangan makin tajam. Malam-malam berikutnya ia makin sulit tidur. Setiap presentasi di kantor—tentang bagaimana “menciptakan rasa butuh yang tak perlu”—membuatnya merasa berkhianat kepada sesuatu yang tidak sanggup ia sebut.

.

Suatu malam hujan, di bawah flyover yang menghubungkan Karet dan Semanggi, ia melihat seorang perempuan membagikan nasi bungkus. Gerakannya sigap, matanya ramah, senyumnya semacam pelita. Marsiti adalah namanya, sebagaimana ia memperkenalkan diri ketika Wiria, entah oleh dorongan apa, ikut membantu menata nasi.

“Aku biasa di sini tiap Jumat,” ujarnya. “Kalau kamu punya waktu, datanglah. Kita nggak selalu bisa memperbaiki banyak hal, tapi selalu bisa memperbaiki satu malam seseorang.”

Malam itu mereka berjalan menyusuri barisan orang yang menunggu dengan tenang. Ada tukang sapu jalanan, ada sopir yang baru kehilangan pekerjaan, ada pemuda yang terluka oleh seseorang dan karena itu ia terluka oleh dunia. Wiria menatap tangan-tangan yang menerima nasi bungkus seolah ia sedang menatap buku yang selama ini tidak ia baca.

Sepulangnya, ia menulis sebuah naskah iklan tentang bahagia dalam tiga langkah. Ia tahu, tiga langkah itu tak pernah ada. Ada orang-orang yang bahkan tak punya satu langkah untuk menghindari atap bocor atau upah telat. Naskah iklannya ia hapus. Di layar laptop, tersisa kursor berkedip-kedip seperti detik jam.

“Kenyamanan adalah kamar yang wangi; kejujuran adalah jendela yang dibuka, mengizinkan angin mengacak segala yang rapi.”

.

Keputusan datang pelan, seperti fajar yang tidak mengejutkan tapi pasti. Wiria menulis surat pengunduran diri. Tangannya gemetar, bukan karena takut kehilangan gaji, melainkan karena sadar betapa lamanya ia hidup dengan mengingkari diri sendiri. Atasannya, Adikara, menatapnya lama. “Kamu bakat,” katanya singkat. “Sayang kalau dibuang.”

“Bakat yang salah tempat cuma mengilapkan cermin,” jawab Wiria, kaget oleh keberanian yang tiba-tiba. “Aku ingin jadi kaca jendela.”

Ia keluar dari gedung tinggi itu tanpa menoleh. Di luar, hujan berhenti. Bau tanah basah dari pot-pot di trotoar menciptakan nostalgia yang tidak ia mengerti. Di bawah bayang-bayang menara kaca, ia merasa kecil sekaligus ringan.

Hari-hari setelahnya, Wiria mengikuti langkah Samsi. Pagi mengajar di rumah baca kolong Manggarai—sebongkah kontainer tua yang dilapisi papan tripleks dan lukisan kupu-kupu. Siang membantu Marsiti di dapur warteg yang menyumbangkan lauk setiap Jumat: telur balado, sayur asem, tempe orek. Malam ia mengetik ulang mimpi-mimpi: ini bukan naskah iklan, ini catatan tangan untuk masa depan.

Anak-anak cepat hafal namanya. Ada Rengkana, bocah kurus dengan gigi kelinci; ada Sari, adik Rengkana yang suka menggambar rumah besar dengan pohon mangga rimbun; ada Jaka, yang selalu bertanya “kenapa” sampai tiga lapis. Wiria menemukan kebahagiaan macam lain ketika mendengar mereka mengeja huruf.

“Bang, kenapa huruf A berdiri, bukan duduk?” tanya Jaka.

“Karena dia awal,” jawab Wiria, mendadak puitis. “Awal selalu harus berani berdiri.”

Mereka tertawa. Tawa anak-anak itu seperti lilin yang tak pernah lelah menjaga gelap.

.

Jakarta, seperti biasa, tak sabar. Pemerintah kota mengumumkan penertiban bantaran sungai demi program penataan. Poster-poster rapi terpampang di halte: gambar sungai biru dengan jalur sepeda. Wiria mengagumi tujuannya, tapi gundah oleh caranya. Di rumah baca, Samsi menatap peta yang diselipkan petugas ke pagar.

“Kalau dipindah tanpa pilihan, anak-anak ini kehilangan sekolah, orang tuanya kehilangan pekerjaan serabutan yang dekat. Kita harus menyuarakan cara yang manusiawi,” ujar Samsi.

Marsiti mengetuk meja. “Kita bukan menolak penataan. Kita menolak penataan yang menabrak hati.”

Mereka sepakat mengadakan pertemuan warga. Wiria menulis siaran pers—bukan dalam bahasa penjualan, melainkan dalam bahasa yang menatap mata. Ia menghubungi beberapa jurnalis kawan lamanya. Satu-dua datang, liputan kecil tayang, tapi arus besar tetap bergerak. Penggusuran dijadwalkan seminggu setelah Lebaran.

Wiria kembali menghubungi Adikara—atasan lamanya—yang kini memegang proyek komunikasi sebuah perusahaan BUMN yang bermitra dalam penataan sungai. Ia bertemu di sebuah kafe di Mega Kuningan. Aroma kopi mahal menempel pada percakapan.

“Kau kembali juga ke meja rapat,” sindir Adikara.

“Bukan kembali,” jawab Wiria. “Mampir untuk mengetuk.”

Ia mempresentasikan gagasan: relokasi bertahap, pelibatan warga, program bridging school agar anak-anak tidak putus belajar, cash-for-work untuk orang tua selama masa transisi, dan satu hal yang ia tahu menohok: transparansi.

“Kami butuh waktu,” kata Adikara, nada suaranya ragu-ragu. “Kau tahu sendiri: tender, rapat, para penentu…”

“Waktu anak-anak tak sepanjang daftar hadir rapat,” potong Wiria. “Kau selalu mengajarkanku efisiensi. Ini efisiensi: cegah luka sebelum biaya menyembuhkan menjadi mahal.”

Adikara tak menjawab. Ia hanya menghela napas, menatap hujan yang mulai lagi. Ada sesuatu yang bergeser di balik matanya, sesuatu yang tak ingin ia akui.

“Kadang musuh terberat bukan yang berlawanan, melainkan diri yang memilih diam.”

.

Minggu-minggu itu berat. Warga resah; kabar beredar seperti daun kering ditiup angin panas. Di antara kertas-kertas edaran, Wiria menemukan waktu untuk menulis newsletter sederhana dari rumah baca: kisah-kisah kecil tentang anak yang berani mengeja, ibu yang kembali percaya diri menjahit, bapak yang berhenti mabuk sejak terlibat dalam kegiatan bersih sungai setiap Sabtu. Tulisan itu ia sebar lewat WhatsApp dan Twitter. Orang-orang mulai berdatangan mengantar buku, seragam bekas, bahkan uang sewa darurat.

Di kantor warteg, Marsiti mengelap peluhnya. “Kau lihat? Kebaikan menular. Tinggal soal waktu apakah ia kuat menahan serangan.”

Serangan itu datang pada pagi ketika petugas berseragam memasang garis kuning. Truk-truk berhenti, alat berat siap mengaum. Warga berkumpul; suara berdoa bercampur dengan suara marah. Samsi berdiri di depan, membentangkan spanduk: “Penataan Ya, Penghancuran Tidak. Manusia Bukan Sampah.” Polisi bergeser, memecah massa. Segalanya berpacu dalam detik.

Wiria menatap petugas yang matanya setengah lelah, setengah apatis. Ia ingat masa ketika ia memproduksi kata-kata yang membuat orang ingin membeli sesuatu yang tidak mereka butuhkan. Ia melangkah maju, mencoba bicara. “Pak, beri kami waktu seminggu. Perusahaan mitra sedang meninjau skema transisi—”

Suara mesin menelan kalimatnya. Cangkul baja memasuki tanah, suara tripleks retak seperti tulang patah. Anak-anak berteriak melihat rumah mereka kehilangan dinding demi dinding. Sari memeluk tas sekolahnya seperti pelampung.

Wiria tak ingat bagaimana ia berlari menahan. Ia hanya ingat tubuhnya didorong, lalu jatuh, pipi menghantam gravel. Di atasnya, langit putih; di telinganya, suara perut alat berat mengaum. Marsiti mengangkatnya, darah menetes dari alisnya sendiri. Samsi bernegosiasi dengan komandan lapangan, suara seraknya pecah.

Lalu, sesuatu terjadi: konvoi truk berhenti. Komandan menerima panggilan telepon singkat, menatap sekitarnya, lalu memberi aba-aba mundur sementara. Tak ada penjelasan. Hanya jeda, seperti napas panjang.

“Siapa yang telepon?” tanya Samsi.

Wiria menatap nomor tak dikenal di ponselnya: “Lima hari. Pakai sebaik-baiknya. Aku hanya bisa buka sedikit ruang.” Pesan itu dikirim oleh Adikara.

.

Lima hari seperti lima tetes air di kuali panas. Mereka membagi waktu seperti perajin membagi kain. Wiria menulis kampanye daring: #PindahYangMemanusiakan. Video singkat direkam: Sari bercerita tentang mimpinya jadi perawat; Jaka menunjukkan buku matematika yang kini ia mengerti; Rengkana meniup harmonika, mengiringi lagu “Gundul-Gundul Pacul” yang riang sekaligus getir.

Donasi berdatangan. Lebih dari itu: sebuah perusahaan ritel besar menawarkan gudang tak terpakai sebagai tempat sementara. Gereja dekat Jatinegara membuka aula sebagai learning camp. Masjid di seberang pasar menambah porsi bubur setiap Subuh untuk keluarga yang sementara mengungsi. Doa dan kerja bertemu di pertigaan yang tak lazim.

Malam terakhir sebelum penggusuran tahap satu, Wiria berdiri di tepi Ciliwung. Langit cerah, bintang satu atau dua memijar. Marsiti datang membawa dua gelas teh panas. “Kau menunda, tapi tak menyelesaikan,” katanya pelan.

“Kau bicara seperti jam pasir.”

“Aku cuma perempuan yang ingin kota ini belajar memeluk, bukan menolak.”

“Aku takut,” aku Wiria. “Kalau sesudah ini mereka tetap tersisih, aku merasa seolah ikut memberi harapan palsu.”

Marsiti menatap permukaan sungai yang memantulkan lampu-lampu kota. “Harapan bukan janji. Harapan adalah tenaga. Tanpa tenaga, kita tak bisa berjalan.”

Wiria mengangguk. Di kejauhan, suara KRL lewat seperti garis yang ditarik di langit.

“Harapan adalah keberanian yang memilih tumbuh.”

.

Penggusuran tahap satu berlangsung tanpa kekerasan, meski dengan banyak air mata. Warga pindah ke tempat sementara: gudang ritel yang dikapalkan sebagai barak. Di sana, aula disejajarkan menjadi kelas sementara. Samsi mengajar huruf, Wiria mengajar menulis cerita. Ia meminta anak-anak menulis tentang rumah. Mereka menggambarkan suara hujan di atap seng, bau pepaya masak, kucing yang kakinya tiga, jembatan kecil yang licin. Ia membaca satu per satu, dadanya bergantung antara sedih dan bangga.

Sementara itu, Adikara mengirim pesan lain: “Aku dorong CSR. Mereka setuju bangun Rumah Jembatan—pusat belajar dan klinik kecil. Kau siapkan desain dan program.”

Wiria dan Samsi bergabung dengan arsitek relawan. Mereka merancang rumah panggung dari kontainer bekas, berdiri di tepi sungai pada lahan yang aman, dengan taman kecil dan ramp untuk kursi roda. Marsiti menambahkan dapur umum di sisi barat—tempat orang bisa memasak bersama jika bencana datang. Nama Rumah Jembatan dipilih karena tempat itu dimaksudkan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara warga yang rentan dan kebijakan kota yang sering keras.

Bangunan itu berdiri dalam dua bulan—rekor yang membuat banyak orang terkejut. Tapi kota kembali menguji. Musim hujan tiba. Ciliwung mengamuk. Air naik setinggi dada dalam semalam. Sirine meraung. Rumah Jembatan menjadi terang dalam gelap, berfungsi sesuai rencananya: dapur umum sibuk, klinik kecil membuka pintu, anak-anak tidur di loteng panggung, para bapak bergantian menimba, para ibu menyalin nama-nama yang perlu bantuan obat.

Wiria berada di tepi sungai lagi, kali ini bukan untuk merenung, melainkan untuk mengikat tali keselamatan yang diulur dari jembatan. Sari terbawa arus kecil ketika ia mencoba menyelamatkan kardus buku gambarnya; Wiria melompat, memeluknya, menempel pada tali yang kencang. Dingin menusuk, air bau lumpur menampar mata, tetapi ia bertahan. Di atas jembatan, Marsiti berteriak memandu, Samsi menarik tali sekuat tenaga. Mereka tiba di tepian, batuk-batuk, disambut sorak kecil yang lebih mirip doa.

Sari menangis bukan karena takut, melainkan karena buku gambarnya benar-benar hilang. “Rumahku tenggelam, Kak,” katanya pelan.

“Rumah itu boleh tenggelam,” jawab Wiria, terengah. “Tapi pelangi di langitmu tidak.”

Kalimat itu mungkin terdengar seperti iklan murahan bila diucapkan di ruang rapat. Tetapi di tepian sungai yang mengamuk, kalimat itu adalah doa yang berjalan.

.

Beberapa hari setelah banjir surut, Rumah Jembatan berubah menjadi pusat kegiatan: ada kelas menulis untuk remaja, pelatihan menjahit untuk ibu-ibu, program bank sampah yang ditukar sembako, perpustakaan kecil yang raknya dibuat dari palet bekas. Wiria menginisiasi podcast sederhana, menampilkan suara warga—suara yang jarang didengar dalam rapat perencanaan kota. Ia menamai program itu “Suara Jembatan”—karena jembatan seharusnya tidak hanya dilewati, tetapi juga didengarkan getarannya.

Adikara datang diam-diam pada suatu sore. Ia mengecek laporan CSR: efektif, tepat sasaran. Namun yang ia lihat bukan angka, melainkan Sari yang membaca keras-keras di perpustakaan, Jaka yang memimpin teman-teman mengumpulkan plastik, Rengkana yang memainkan harmonika di depan pintu kontainer.

“Ini bukan yang kubayangkan saat pertama kali kamu bilang ‘kaca jendela’,” katanya ketika duduk berdampingan dengan Wiria. “Ini lebih ribut. Lebih hidup.”

Wiria tersenyum. “Kaca jendela tak pernah sunyi kalau kota di luar bergerak.”

Adikara menatap jauh. “Kau tahu, aku membantu memberi jeda waktu itu bukan karena belas kasihan. Aku hanya takut melihat diriku di matamu—seorang yang terlalu pintar untuk berpura-pura tidak tahu.”

“Tak apa,” balas Wiria. “Kita semua butuh waktu untuk menemukan diri.”

“Mungkin,” kata Adikara, “tujuan utama manusia adalah menemukan dirinya sendiri.”

Wiria menoleh. “Kau mengutip siapa?”

“Entah. Mungkin dari pesan yang tak pernah sengaja kukirim pada diriku sendiri.”

Mereka tertawa. Angin sore membawa bau cempaka dari taman kecil. Di kejauhan, azan dan lonceng gereja saling menyapa.

“Kota adalah guru yang cerewet. Ia mengajar kita berjalan, jatuh, bangun, lalu berjalan lagi—selama masih ada alasan untuk menyeberang.”

.

Kisah ini tidak berubah menjadi dongeng manis. Setelah banjir, pemerintah tetap melakukan penataan. Warga sebagian dipindah ke rusunawa yang lebih jauh dari tempat mereka mencari nafkah; sebagian memilih tetap di tepi sungai dengan catatan keamanan dan jadwal bersih-bersih yang diatur bersama. Tidak semua pejabat tertarik mendengar podcast warga; tidak setiap sponsor mau menaruh dana tanpa panggung. Namun, sesuatu telah bergeser: proses menjadi lebih terang. Ada rapat yang membuka mikrofon untuk warga; ada pejabat yang datang tanpa rombongan; ada wartawan yang menulis tanpa sensasi.

Dan ada Wiria—yang setiap pagi naik KRL dari apartemen kecilnya yang kini ia sewa bersama dua relawan lain, membawa flashdisk berisi bahan ajar, membawa kotak makan isi tumis tahu, membawa wajah yang sudah tak lagi menyimpan kabut. Di Rumah Jembatan, ia menjadi suara yang menyeberang: kadang keras, kadang lembut, selalu mencoba jujur.

Suatu Sabtu, mereka merayakan tiga hal: ulang tahun Rumah Jembatan, kelulusan kecil Sari dari kelas literasi dasar, dan terbitnya buku antologi pertama Suara Jembatan—kumpulan cerita anak-anak bantaran kota. Di halaman yang ditempeli lampu bohlam, orang-orang berkumpul. Ada pentas kecil: Rengkana meniup harmonika; Samsi membacakan puisi; Marsiti menyanyikan tembang Lir-Ilir dengan suara yang membuat malam bergetar.

Ketika tiba gilirannya, Wiria naik ke panggung sederhana—dua palet kayu bertingkat. Ia menatap wajah-wajah di hadapannya: orang-orang yang dulu hanya ia lewati di balik kaca mobil staf; kini mereka adalah keluarganya, kota kecilnya, kampung halamannya yang baru.

“Aku pernah belajar bicara untuk menjual,” katanya, suara stabil, tidak gemuruh. “Kini aku belajar bicara untuk menyembuhkan. Dan jujur saja, yang lebih sulit bukan menyembuhkan orang lain, melainkan menyembuhkan diriku sendiri. Kalian menolongku menemukan orang yang sudah lama kucari: aku.”

Ia berhenti, menatap Sari yang memeluk buku antologi dengan bangga. “Kita mungkin tak akan menjadi berita utama. Tetapi kita telah menjadi berita bagi diri kita sendiri: kabar bahwa kita mampu menyeberangi jurang ketakutan.”

Tepuk tangan pecah. Di antara tepuk tangan itu, Marsiti menatapnya—tatapan yang tidak meminta apa-apa selain keberanian untuk terus bertahan. Mereka tidak membicarakan cinta karena cinta sering kali tergelincir menjadi rencana; mereka memilih kerja, yang setiap hari memerlukan ulang dan ulang.

Malam semakin tinggi. Lampu bohlam bergoyang oleh angin. Wiria menutup acara dengan kutipan yang ia tulis di kertas kecil yang basah oleh keringat:

“Kehidupan sejati bukan hadiah untuk yang paling unggul, melainkan untuk yang paling jujur pada langkahnya—meski hanya satu langkah, asalkan ke depan.”

Ia turun dari panggung. Anak-anak mengerubuti, meminta tanda tangan di buku antologi. Sari menyerahkan spidol. “Tulis nama lengkap, Kak,” pintanya. “Biar ingat.”

Wiria menulis perlahan: WIRIA. Tidak ada gelar. Tidak ada embel. Hanya nama yang kini terasa seperti rumah.

.

Beberapa hari kemudian, ia mendapat pesan foto: papan nama Rumah Jembatan terpasang secara permanen. Di bawahnya, tulisan kecil: “Rumah belajar yang dibangun dari keberanian banyak orang.” Wiria menahan napas. Pikirannya melalang ke banyak tempat: ke meja kantor dengan lampu neon putih; ke warung kopi Manggarai; ke jembatan tempat ia menahan arus; ke suara ibunya yang kini semakin ringkih tetapi selalu menyalakan doa.

Ia menelpon ibunya. Sambungan terhenti sebentar, lalu tersambung. “Ibu sehat?”

“Alon-alon asal kelakon,” jawab ibunya, tertawa kecil. “Kowe piye, Le?”

“Aku nemu omah anyar, Bu. Rumah yang nggak punya pintu untuk menolak orang.”

“Sing penting kowe tetep gawe padhang, ojo mung gawe rame,” kata ibunya. Jadilah terang, jangan hanya meramaikan.

Wiria menatap jendela. Di luar, Jakarta masih bergegas. Klakson masih ada, iklan masih menjerit dari layar-layar raksasa, hujan masih punya kesenangan untuk datang tanpa janji. Tetapi di sela keributan itu, ada ruang kecil yang diisi oleh orang-orang yang memilih menyeberang. Ada jembatan yang bukan sekadar besi dan beton, melainkan tangan-tangan saling menggenggam.

Ia menutup telepon dan menulis catatan pada dinding rumah sewa, di samping jadwal piket: “Selama ada aliran, ada jalan; selama ada tangan, ada jembatan; selama ada hati, ada rumah.”

Dan malam itu, ketika ia tertidur, ia tidak lagi merasa berjalan di atas jurang. Ia merasa melangkah di atas jembatan yang ia, Samsi, Marsiti, Adikara, dan banyak orang lain bangun—pelan, susah-payah, tetapi nyata.

“Hidup bukan tentang kota yang menelan kita, melainkan tentang jembatan-jembatan kecil yang kita bangun agar tak ada yang jatuh sendirian.”

“Jika takut adalah jurang, maka kejujuran adalah jembatan. Kita tidak selalu bisa melompat jauh, tetapi kita selalu bisa melangkah.”

.

.

.

Jember, 7 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenSastra #KompasMinggu #JejakJakarta #KehidupanSejati #MenyeberangiKetakutan #RumahJembatan #LiterasiAnak #UrbanHumanism #KotaYangMemeluk

Leave a Reply