Menghormati Jembatan, Terus Berjalan
“Sebagian orang bukan untuk menemani seluruh perjalananmu;
mereka hanyalah jembatan agar kau menyeberang menjadi dirimu yang baru.
Hormati jembatan itu, lalu terus berjalan.”
.
Hujan baru saja berhenti ketika lampu-lampu di sepanjang Jalan Gajah Mada memantulkan serpih air seperti pecahan kaca yang sabar. Di bawah langit Jakarta yang masih menahan gerutu petir, Jaya berdiri di tepi trotoar, menatap ke arah sungai yang cokelat dan keras kepala. Ada jembatan tua di sana, lengkungannya ramping, catnya mengelupas, namun ia tetap mengikat dua sisi kota yang jarang saling menyapa. Jaya menyukai jembatan itu. Setiap kali hidupnya terasa pecah seperti kaca, ia datang ke sini untuk mendengar langkah orang-orang yang menyeberang. Bunyi sepatu, derit besi, dan dengus mesin dari angkot yang menyelonong—semuanya seperti tanda baca yang menutup kalimat ragu-ragunya.
Malam itu ia menunggu Ning.
Nama lengkapnya Adaninggar, tetapi di layar ponsel Jaya, ia bergetar sebagai “Ning—yang–membawa–pagi.” Mereka bertemu setahun lalu di lobi sebuah hotel butik di Karet Kuningan ketika Jaya masih bekerja sebagai Public Relations. Ning, juru foto perjalanan yang hidupnya berpindah dari satu kota ke kota lain, mengajukan pertanyaan sederhana, “Kalau Jakarta adalah satu rasa kopi, rasa apa menurutmu?”
“Robusta yang diseduh terlalu cepat,” jawab Jaya. “Asamnya disalahpahami sebagai semangat.”
Ning tertawa, bagai bunyi sendok menabrak sisi cangkir. Selebihnya mengalir seperti arah orang-orang yang selalu terburu mengejar waktu. Mereka berkelana di antara lorong mal Sudirman, mengukur hujan dari halte-halte TransJakarta, menghitung gedung-gedung yang memantulkan wajah sendiri. Jaya memperkenalkan Ning pada warteg di belakang hotel—yang sambalnya selalu bersekongkol dengan nasi panas; Ning memperkenalkan Jaya pada kebiasaan memotret kaki sendiri saat menyeberang zebra cross, “Supaya kau ingat, setiap langkah yang terfoto akan menolak lupa.”
.
Satu bulan setelah pertemuan itu, dunia Jaya berbelok. Hotel tempatnya bekerja menaikkan spanduk promosi terakhir, kemudian lampu-lampu lobi dimatikan seperti mata yang menyerah menerima tidur panjang. Krisis memotong hari-hari Jaya seperti gunting yang terlalu tajam—rapih tapi menyakitkan. Ia pulang ke kamar kos di Setiabudi dengan kotak-kotak berisi sisa masa lalu: piagam penghargaan, kartu nama, buku tamu yang pernah ia isi dengan tanda tangan selebritas. Yang paling ia genggam adalah buku catatan kecil bersampul kain—hadiah Ning saat keliling Kota Tua—dengan halaman pertama bertuliskan, “Kalau tak ada pekerjaan, tetaplah bekerja pada dirimu sendiri.”
Jaya mulai menjadi pekerja lepas; menulis siaran pers, menyunting katalog hotel, merangkai kata untuk unggahan media sosial. Ia seperti sopir ojol yang memilih jalan pintas di tengah macet: bukan jalur resmi, tapi sampai juga. Dalam hari-hari rentan itulah, Ning sering muncul—kadang hanya berupa pesan suara yang merekam bunyi ombak dari Ancol subuh, kadang foto kereta menuju Bogor, kadang peta yang ia coret-coret dengan rute pejalan kaki favoritnya. “Kau harus belajar dari kota,” ucapnya, “Kota mengajarkanmu menerima yang sementara.”
Setelah beberapa bulan, Jaya merasa lebih stabil. Ia menemukan ritme. Pagi hari ia menulis di kafe kecil di Pasar Baru, siang mengirimkan draft ke klien di Surabaya, sore mengajar siswa magang dari sekolah pariwisata secara daring. Ia membayar sewa kos tepat waktu lagi. Namun setiap kali melewati jembatan tua di Gajah Mada, ia selalu teringat Ning—perempuan yang mengajarimu untuk berteman dengan yang datang dan pergi.
Ning kembali dari Labuan Bajo saat Jakarta menyusun ulang panasnya. Mereka bertemu di jembatan itu. Hujan baru saja berhenti. Ning membawa dua roti bakar dan termos kecil berisi kopi tubruk; cara ia mengulurkan roti seperti cara ibu-ibu di kampung memberikan doa tanpa teater. “Kau ingat rencanamu—membawa pelatihan hospitality ke kota-kota menengah?” tanya Ning. “Aku dapat kenalan di Surabaya. Ada komunitas pekerja hotel yang butuh pelatih. Kalau kau siap, kita berangkat minggu depan.”
Jaya menatap sungai yang menggelap. “Kenapa kau menolongku sejauh ini, Ning?”
“Karena hidup mengalir lebih ringan kalau kita mau menjadi jembatan satu sama lain,” jawabnya. “Lagi pula perjalanan itu murid yang rakus, Jaya. Kita biarkan saja ia mengajari kita.”
.
Surabaya menyambut mereka dengan udara asin yang menyusup tajam ke hidung. Dari jendela kereta di Stasiun Gubeng, Jaya melihat kota seperti papan catur: garis-garis jalan lebar, blok-blok bangunan tua yang belum sepakat dengan kaca tinggi. Ning menariknya menuju Jembatan Merah, tempat sejarah mengasah ingatan menjadi mata pisau. Mereka menyusuri Pasar Blauran, berhenti di warung rawon yang dagingnya empuk seperti pesan minta maaf. Kemudian mereka menyeberang ke Ampel, di mana doa-doa kadang terdengar keras dan kadang sangat pelan—tergantung dari mana hatimu berjalan.
Pelatihan pertama berlangsung di aula sederhana sebuah hotel lama di Tunjungan. Kursi-kursi plastik, proyektor pinjaman, spidol yang aromanya keras. Namun mata belasan peserta menyala; mereka para resepsionis muda, staf dapur yang diam-diam suka menulis, manajer kecil yang kelelahan mengukur target. Jaya membuka sesi dengan kalimat yang pernah ia dengar dari Ning: “Kalau tak ada pekerjaan, bekerjalah pada diri sendiri dulu. Sebab tamu yang paling pertama harus kau layani adalah dirimu yang gelisah.”
Ning mencatat dari baris belakang, sesekali memotret, sesekali mengangguk. Selesai pelatihan, mereka menaiki angkot ke Jembatan Suramadu. Malam sudah bergeser menjadi biru tua. Dari ketinggian jembatan, kota seperti tikar lampu yang digelar rapi. Angin mengangkat rambut Ning ke arah laut, membuatnya tampak seperti tokoh wayang yang melompat dari gulungan kisah. “Pernah kau berpikir menyeberang,” katanya, “bukan untuk memulai hidup yang baru, tapi untuk mengakui bahwa di seberang sana ada versi dirimu yang menunggu?”
Jaya tidak menjawab. Ia mengunci pemandangan itu di dalam dadanya, seperti menaruh cameo kecil di saku kemeja. Ada sesuatu yang berubah di sana—bukan pada kota, bukan pada lautan, melainkan pada keberaniannya untuk percaya bahwa ia memang bisa memulai. Dan itulah malam ketika ia memutuskan akan pulang ke Jember sebulan lagi, membuka kelas kecil untuk pekerja hotel daerah, memulai dari yang tidak sempurna.
.
Sejak keputusan itu, hari-hari mereka di Surabaya berlomba seperti anak-anak yang mengejar bis malam. Jaya menulis proposal, menghubungi teman lama, memetakan materi; Ning membuat foto-foto yang membuat ruang-ruang sederhana terasa megah—meja resepsionis dengan bunga plastik, lorong kamar yang renyah bunyi keramiknya, tempat cuci piring yang penuh dengan buih sabun; semua tampak pantas dicintai.
Di sela-sela kesibukan, Jaya mulai merasakan sesuatu yang ia takut sebut. Seperti banyak orang di kota, ia terbiasa menamai hubungan dengan sebutan yang aman: rekan, sahabat, tim kecil. Tetapi Jakarta, lalu Surabaya, dan jembatan-jembatan yang mereka lewati, menyusun denyut baru di dadanya. Namun setiap kali keberanian mengintip untuk memanggilnya “cinta”, ia ingat kalimat Ning ketika memotret kaki di zebra cross: “Supaya kau ingat, setiap langkah yang terfoto menolak lupa.” Ia takut melompati garis yang nantinya tidak bisa ia kembalikan.
Suatu dini hari, selepas menutup kelas, mereka duduk di bibir Kalimas. Sudut kota itu berbau besi tua, garam, dan kerinduan yang tak terus terang. Ning memutar kamera ke diri mereka berdua. “Jaya,” katanya, “kalau suatu hari aku tak lagi ada di sampingmu, jangan membenciku. Kita semua adalah jembatan bagi orang lain. Tugas jembatan bukan mengikuti perjalanan, melainkan mengizinkan perjalanan itu terjadi.”
“Kenapa kau bicara seperti akan pergi?” tanya Jaya.
“Karena memang aku harus pergi. Bulan depan aku terikat kontrak memotret proyek konservasi di Nusa Tenggara selama setahun. Aku melamar sebelum kita bertemu di Jakarta. Kabar barunya baru kuterima kemarin.”
Jaya menatap air yang menolak jernih. Di sela gelombang kecil, lampu-lampu kota seperti kertas kado yang dicarik-carik. “Kau bagian penting dari rencanaku,” katanya pelan.
“Kau yang menyusun rencana itu,” Ning membalas dengan senyum yang lebih hangat dari lampu-lampu pelabuhan. “Aku hanya memberi dorongan kecil. Kau akan baik-baik saja.”
Malam itu Jaya pulang ke penginapan dengan kepala yang berat. Di cermin kamar, ia melihat seseorang yang berubah: bukan lagi staf PR yang menggenggam kartu nama sebagai identitas utama, melainkan seorang perantau yang mulai percaya pada kompas di dadanya sendiri. Ia paham, sekalipun hati ingin menahan, hidup punya cara sendiri untuk menyusun peta.
.
Seminggu sebelum Ning berangkat, mereka memutuskan menyeberang Suramadu sekali lagi, tanpa alasan selain ingin merekam angin di tulang. Di ujung Madura, mereka berhenti di warung soto gule yang asapnya menghina semua diet. Pemilik warung bercerita tentang menantunya yang merantau ke Batam, tentang rumah yang tinggal separuh karena separuh lagi berniat disewakan; hal-hal yang bagi orang kota tampak biasa tetapi bagi mereka seperti belokan tajam dalam biografi.
“Kalau nanti kau mengajar di Jember,” kata Ning sambil menatap Jaya di sela uap soto, “ingatlah bahwa para pekerja itu bukan orang kalah yang memunguti remah. Mereka manusia yang menunda mimpinya demi mimpi orang lain. Dekatilah mereka seperti kau mendekati dirimu sendiri.”
Jaya mengangguk. “Kau akan kuceritakan dalam setiap kelas—sebagai perempuan yang mengingatkanku untuk menghormati jembatan.”
Ning tertawa. “Jangan. Ceritakan saja kota-kota. Biar namaku menjadi jalan setapak yang tak tercantum di peta.”
Jaya menyimpan tawa itu, lalu pada malam yang sama, ia menulis kalimat untuk pamflet pelatihannya: “Hospitality bukan sekadar layanan. Ini seni merawat tempat di mana orang asing merasa dikenali.” Kalimat itu menenangkan, seperti hujan yang menutup hari tanpa emosi berlebihan.
.
Hari perpisahan datang. Stasiun Gubeng ramai melampaui bayangan. Suara peluit dan pengumuman keberangkatan berlomba mengajari penumpang untuk menepati janji pulang. Ning memeluk Jaya seperti seseorang yang memeluk lemari sebelum pindah rumah—penuh, tulus, tetapi dengan kesadaran bahwa pada akhirnya pelukan harus dilepas. “Kau tahu harus ke mana,” katanya.
“Ya,” jawab Jaya. “Aku pulang menyiapkan kelas. Bulan depan kuajak kau ke Jember—kalau kau belum berangkat.”
Ning menggeleng. “Kereta ini membawaku ke Bandara Juanda. Dari sana aku terbang sore ini. Kau jangan menungguku. Jalani rencanamu. Kalau kita bertemu lagi, biarlah hidup yang mempertemukan.”
Mereka tidak berjanji apa pun—tak ada alamat yang diminta, tak ada kata “selalu”, tak ada amarah yang dipelihara. Hanya dua orang yang mengerti bahwa kisah mereka sudah mencapai jembatan yang dimaksud. Kereta menarik tubuh Ning menjauh, meninggalkan aroma kopi sachet dan bunyi gorden tipis yang beradu dengan jendela. Jaya berdiri beberapa menit lebih lama dari yang dibutuhkan, barangkali karena ia ingin memastikan tidak ada kata yang tertinggal.
Malamnya, Surabaya terasa lebih lapang. Di kamar, Jaya menyalakan lampu seadanya, lalu membuka buku catatan bersampul kain. Di halaman kosong ia menulis: “Sebagian orang bukan untuk menemani seluruh perjalanan. Mereka jembatan. Mereka datang tepat saat kita ragu menyeberang. Mereka mengajarkan bahwa keberanian tidak selalu berarti memegang—kadang justru melepaskan.”
.
Jaya pulang ke Jember di awal musim kemarau. Kota itu menyambut dengan bau tebu yang sedang disiapkan panen, suara motor bebek, dan jam dinding di warung yang tidak pernah benar-benar akurat. Ia mengontrak ruangan kecil di lantai dua sebuah ruko dekat alun-alun, mengecat dindingnya putih, memasang kipas angin yang sedikit goyah, dan menempelkan foto-foto yang pernah diambil Ning sebagai peta rindu yang boleh dilihat orang.
Kelas pertama diikuti hanya delapan orang: dua resepsionis, satu barista, seorang security hotel yang pipinya kemerahan karena matahari, dua siswi SMK, dan seorang ibu yang sekaligus pengurus kebersihan dan peramu sarapan. Mereka datang dengan pakaian terbaik yang ada di lemari dan kemauan yang lebih bersih dari seragam.
Jaya membuka kelas dengan latihan sederhana: “Tulislah naskah sambutan untuk tamu yang baru turun dari perjalanan panjang. Bukan sambutan hotel, tetapi sambutan seorang manusia kepada manusia lain.” Tangan-tangan yang malu-malu menggenggam pena mulai menari. Ada yang menulis salam dengan menyebutkan arah mata angin—seperti menyapa seseorang dari peta; ada yang hanya menulis, “Selamat datang. Air minum ada di meja. Kalau ingin menangis, toilet di sebelah kanan.” Jaya menahan senyum. Ia terharu seperti menemukan baju peninggalan masa kecil di lemari tua.
Setelah kelas usai, ia duduk sendirian di ruangan yang kini sunyi. Ia memikirkan Ning yang mungkin sedang memotret burung-burung mendekati mata air di pulau yang belum sempat ia hafal namanya. Jaya tak tahu apakah perasaan itu cinta yang ditangguhkan, persahabatan yang belum menelepon kembali, atau sekadar rasa terima kasih yang terlalu penuh hingga menetes. Tapi ia tahu satu hal: Ning telah menuntunnya menyeberang, dan menyeberang tidak harus berarti bersama.
Bulan-bulan berikutnya, kelasnya tumbuh. Jumlah peserta menjadi dua belas, lalu dua puluh, lalu empat puluh. Seorang pemilik homestay di Tancak mengundangnya mengisi pelatihan untuk stafnya. Dinas pariwisata kabupaten mengirim pesan, menawarkan kerja sama kecil. Jaya menolak menjadi merasa besar; ia memilih mengukur keberhasilan dengan cara lain: dari senyum yang lebih tenang di bibir peserta, dari cara mereka menyapa tamu tanpa tergesa, dari catatan-catatan kecil di kelas yang menunjukkan bahwa mereka mulai percaya pada kebaikan yang rutin.
Di satu sesi, ia bercerita tentang jembatan. Ia tidak menyebut nama Ning, tetapi ia menggambarkan betapa pentingnya orang-orang yang mampir sebentar untuk memberi arah, lalu pergi agar kita belajar bertualang sendiri. “Kadang-kadang,” kata Jaya, “kehilangan bukan kebalikan dari mendapatkan, melainkan kelanjutannya. Orang-orang datang agar kita menjadi lebih mampu. Ketika mereka pergi, yang tinggal bukan kosong, melainkan ruang untuk menerapkan yang diajarkan.”
Di sudut kelas, seorang siswi mengangkat tangan. “Kalau kita yang menjadi jembatan, Mas, bukankah kita akan terluka karena diinjak?”
Jaya tersenyum. “Jembatan yang baik memang menahan beban. Tapi ia tidak dibuat dari hati yang tipis. Ia dibangun dari keyakinan bahwa menyeberangkan orang lain membuat hidup di dua sisi menjadi mungkin.”
.
Suatu sore, setelah kelas, Jaya berjalan kaki menyusuri tepian Kali Jompo. Angin menyalin halaman-halaman pepohonan. Di langit, burung-burung yang pulang terlihat seperti tanda koma yang enggan menyelesaikan kalimat. Ia menekan nomor Ning di ponsel—yang entah mengapa tetap ia simpan—lalu membatalkan. Sebagai gantinya, ia mengirimkan foto jembatan kecil di kampung—besi repot yang dicat ulang warga—disertai pesan: “Terima kasih karena dulu mengajarkan untuk percaya pada jembatan.”
Pesan itu hanya centang satu. Jaya paham sinyal di kepulauan tidak selalu sopan. Ia memasukkan ponsel ke saku, lalu melanjutkan langkah. Di tikungan, ia bertemu anak kecil yang berlatih sepeda dengan roda bantu, digiring ayahnya yang sabar. Pemandangan itu sederhana, namun justru di sana hatinya terasa paling lengkap: ada yang belajar, ada yang mengarahkan, ada yang siap melepaskan.
Malamnya, lampu kamar redup. Jaya membuka kembali buku catatan bersampul kain. Di halaman terakhir, ia menulis nasihat untuk dirinya sendiri—barangkali untuk siapa pun yang suatu saat menemukan buku ini:
-
Jangan mengejar yang telah menunaikan tugasnya.
-
Hormati jembatan: sapalah, rawatlah, doakan ia tetap kuat meski kita tak lagi melintas.
-
Terus berjalan. Sebab semakin jauh kita melangkah, semakin jelas kita mengerti: beberapa orang adalah bab, bukan keseluruhan buku—dan itu baik-baik saja.
Esok paginya, kelas kembali berlangsung. Jaya menata kursi, menyapu lantai, menyalakan kipas angin. Di dinding, foto-foto Ning tetap menggantung. Tidak lagi menyayat dada; kini ia seperti jendela yang memberi angin segar. Sambil menunggu peserta, Jaya membuka pesan di ponselnya. Centang dua. Lalu balasan: sebuah foto laut yang terbuka dan kalimat singkat: “Kau sudah di seberang. Bangunlah kota-kota kecilmu.”
Jaya menutup ponsel. Di luar, suara motor menanjak, tukang bakso memukul mangkuk, dan hujan sore tampak berencana. Ia tersenyum, memutar kunci pintu dari dalam, menaruh sebotol air di tiap meja. Ketika peserta berdatangan, ia menyambut satu per satu, seolah-olah menyambut dirinya yang dulu—dengan kalimat yang ia susun dari semua jembatan yang pernah dilalui: “Selamat datang. Terima kasih telah datang jauh-jauh. Di sini, marilah kita belajar mengubah sementara menjadi bermakna.”
.
Beberapa tahun kemudian, Jaya menatap dari balkon penginapan yang kini menjadi rumah kecil bagi kelas-kelasnya. Kota telah berganti wajah: trotoar lebih ramah, angkot berganti warna, dan kedai kopi bermunculan seperti jamur yang pandai membaca tren. Sesekali ia menerima kabar dari Ning—sebaris foto, lukisan landcape digital, atau rekaman suara singkat yang membawa angin dari pulau jauh. Mereka tak pernah bertemu lagi, tetapi seaneh apa pun itu, Jaya tidak merasa kehilangan. Ia telah menjadi seberang bagi orang lain: resepsionis yang kini membuka homestay, barista yang naik kelas menjadi kepala outlet, siswi SMK yang diterima magang di hotel tepi pantai.
Pada suatu kunjungan ke Surabaya untuk melatih staf hotel kecil di Kenjeran, Jaya sengaja melipir ke Suramadu. Ia berjalan di tepi, meraba besi yang pernah menyerap angin malam bersama Ning. Laut di bawahnya tetap bergerak—seperti hati manusia yang menolak stagnan. Ia berbisik, “Terima kasih.” Untuk jembatan, untuk Ning, untuk kota-kota yang mengizinkan diri mereka menjadi guru.
Dan ketika langkahnya kembali ke arah kota, Jaya tahu: hidup yang baik bukan hidup tanpa perpisahan, melainkan hidup yang mengizinkan persinggahan menjadi makna. Ia melangkah mantap, menjinjing tas penuh modul pelatihan, sambil mengingat kalimat yang kini menjadi semacam doa sederhana:
“Hormati jembatan, tetapi teruslah berjalan.”
.
.
.
Jember, 6 September 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #KotaKotaIndonesia #MenakMadura #Surabaya #Jakarta #Jember #Hospitality #PerjalananBatin #Jembatan #CeritaPendek