Koper yang Makin Ringan

“Semakin jauh kau melangkah, semakin jelas kau mendengar:
kebahagiaan bukanlah apa yang menempel di badanmu,
melainkan apa yang kau lepaskan dari dalam dadamu.”

.

Pagi di Terminal 3 Soekarno–Hatta selalu punya bunyi yang sama: roda koper beradu dengan lantai, pengumuman yang menggema dari pengeras suara, dan bayangan sayap metal yang memantulkan matahari. Jayengrana berdiri di depan kaca panjang—menatap tubuh pesawat seperti menatap cermin yang jujur. Di jemarinya, sebuah ponsel mengalirkan notifikasi yang entah mengajak, entah menagih: promo dompet kulit, diskon sepatu bermerek, flash sale yang menyala-nyala seperti obor di dada yang kelelahan.

Ia menghela napas. Semalam, Kelaswara mengirim pesan yang pendek: Pulang kalau bisa. Ibumu bertanya-tanya, bukan tentangmu, tapi tentang dirimu yang dulu. Kalimat itu menggulung Jayengrana lebih cepat daripada roda kopernya. “Dirimu yang dulu” terasa seperti nama jalan yang pernah ia hafal—lalu dihapus oleh pembangunan flyover dan reklame yang tak berhenti.

Di gate, Jayengrana memasukkan koper ke timbangan bagasi. Angka digital berkedip: 21,3 kilogram. Seorang petugas—wajah letih yang disembunyikan di balik senyum seperti garis tipis—meminta ia memindahkan beberapa barang ke ransel agar tak kena biaya tambahan. Jayengrana membuka koper. Di dalamnya: dua kemeja baru, satu sepatu kulit yang masih wangi toko, botol parfum yang belum dibuka segelnya, dan sebuah jaket yang ia beli karena iklan di kereta bandara kemarin.

“Bisa dikeluarkan sebagian, Pak?” suara petugas itu lembut.

Jayengrana mengangguk, merasa geli pada dirinya sendiri. Ia memindah jaket ke ransel, menyisihkan kemeja kedua. Saat resleting ditarik kembali, ia sempat memandang ruang kecil yang barusan tercipta di koper itu. Aneh, tapi ruang kosong itu seperti jendela—membuka pandangan pada sesuatu yang selama ini tertutup rapat oleh kesibukan: kebutuhan yang ia kira kebutuhan, padahal hanya kebiasaan.

.

Di kabin, ia menatap sayap. Langit Jakarta berwarna abu yang berangsur menjadi biru pucat. Kita selalu percaya bisa terbang tinggi jika beban kita pantas dipamerkan, pikir Jayengrana. Padahal kadang-kadang, yang perlu dipamerkan hanyalah keberanian untuk meletakkan.

Pramugari menyampaikan demo keselamatan. Jayengrana menyandarkan kepala, dan ingatannya menjulur ke masa kecil: suara azan dari musala kampung, bau nasi jagung yang keluar dari dapur, dan tawa ibunya yang tidak mahal tapi tak ternilai. Di kota, ia belajar bahwa suara tertawa juga bisa dijual: dalam bentuk laughing track di iklan, dalam bentuk emoji di layar. Ia membeli banyak hal karena takut dianggap kurang. The newest Ermenegildo Zegna. The newest iPhone. Chasing approval. Ia tertawa miris pada dirinya sendiri. Pesawat bergerak di runway; Jakarta mengecil dan melepaskan genggamannya.

Di sampingnya, duduk seorang perempuan paruh baya. Wajahnya teduh, rambutnya disanggul rapi dengan sisir plastik. “Pulang?” tanya perempuan itu, ketika pesawat sudah mengudara dan bunyi mesin berubah menjadi desah panjang.

“Ya. Jember.” Jayengrana tersenyum canggung.

“Sama. Saya Widaninggar. Anak saya kerja di pabrik rokok. Cucunya kangen.”

Nama itu memicu sesuatu di kepala Jayengrana. Ia teringat dongeng yang pernah diceritakan kakeknya tentang tokoh-tokoh Menak: Jayengrana si pengembara, Kelaswara yang setia, Umarmaya yang setengah badut setengah penasihat, Umarmadi yang selalu melompat-lompat terlalu cepat. Dulu ia suka tertawa. Kini ia merasa dongeng itu seperti peta rahasia tentang dewasa: terlalu sering kita jadi Umarmadi—tergesa, menilai hidup dari langkah yang paling bising.

Widaninggar bercerita pelan, seperti orang yang memetik daun di kebun: hati-hati agar tanaman tetap hidup. Tentang cucu yang pertama kali menyebut “embah” setelah belajar dari video di ponsel, tentang gaji yang pas-pasan, tentang keberanian menolak ajakan tetangga untuk memperkeruh masalah keluarga. “Saya tidak sekolah tinggi,” katanya, “tapi saya hafal bentuk luka. Luka itu senang dipamerkan orang-orang kota, padahal ia minta dirawat.”

Jayengrana mengangguk. Orang kota memamerkan luka seperti memamerkan sepatu baru, ia menulis kalimat itu di aplikasi catatan. Ini barangkali akan jadi salah satu caption fotonya. Ia tersenyum—kebiasaan lama belum mau pergi.

.

Pesawat mendarat di Juanda; kota Surabaya menyambut dengan udara yang hangat dan bau garam yang samar—seolah laut sedang memanggil tanpa berteriak. Di stasiun Gubeng, Jayengrana membeli tiket kereta ke Jember. Sambil menunggu keberangkatan, ia berdiri di tepi peron, memperhatikan sepasang anak muda yang sedang berdebat tentang influencer favorit mereka. “Konten dia jujur,” kata yang perempuan. “Buktinya dia berani review hotel jelek.” Yang laki-laki menggeleng. “Jujur tapi berbayar itu namanya strategi.”

Jayengrana tersenyum. Ia ingat pekerjaannya: public relations di sebuah perusahaan properti yang sedang agresif memperluas lini hotel. Tugasnya adalah menciptakan lanskap perasaan yang diinginkan investor. Di kota, perasaan bisa menjadi mata uang. Ia sendiri sudah lama terbiasa menukar rasa ragu dengan briefing; menukar takut dengan presentasi; menukar sepi dengan timelines.

Seorang lelaki berambut ikal menghampiri peron sambil membawa gitar di punggungnya. “Mas Jayengrana?” Lelaki itu menyeringai. “Masak lupa? Umarmaya.”

Jayengrana hampir memeluknya. Umarmaya—teman SMA yang dulu selalu jadi sumber keributan sekaligus tawa. Mereka naik kereta yang sama, kebetulan yang baik. Di gerbong, Umarmaya bercerita tentang kehidupannya sebagai musisi kafe. “Aku tidak terkenal, tapi aku kenal diriku,” katanya. “Kadang-ladang aku mencukupi, kadang tidak. Tapi aku selalu bisa tidur.” Ia menunjuk tas selempangnya yang kecil. “Semua yang kubutuhkan ada di sini. Sisanya: hal-hal yang kucintai ada di dalam kepala.”

Jayengrana mendengarkan, merasa malu sekaligus iri. Ia ingat lemari di apartemennya yang penuh kotak sepatu. Ia ingat jam tangan yang jarumnya lebih sering dipakai menilai harga diri ketimbang waktu.

“Mas tetap di Jakarta?” tanya Umarmaya, setelah kereta melaju.

“Untuk sementara.” Jayengrana menatap keluar—sawah memanjang seperti halaman buku yang baru dibuka. “Ibu sakit. Kelaswara bilang, ibu menanyakan diriku yang dulu.” Ia tertawa hambar. “Entah aku bisa menemukannya lagi.”

“Dirimu yang dulu bukan alamat, Gran,” Umarmaya memandangi sawah yang berlari. “Dia perasaan yang nunggu kau pulang.” Ia menyenandungkan lirik pelan, suara yang di serak-seraknya ada ketulusan: ‘Orang-orang kota menyemai lampu, kampung menyemai tidur. Kita mencari lebih, tapi pulang selalu menunggu.’

.

Jember menyambut dengan sepeda motor yang menyalip dari kanan-kiri, kios kaki lima yang menawari tahu petis, dan langit yang seperti kain batik—penuh motif, penuh kesabaran. Widaninggar turun lebih dulu, melambaikan tangan, lalu hilang di antara penjemput. Jayengrana melangkah ke luar stasiun, mencari transportasi menuju rumah ibunya di Kepatihan Kaliwates.

Rumah itu sebenarnya tidak berubah: dinding yang dicat biru muda, halaman yang selalu ditumbuhi daun sirih, dan ventilasi yang mengajarkan udara untuk tidak lekas pergi. Ibu duduk di kursi rotan, matanya bening seperti air sumur. “Kau tinggi sekali,” katanya. Jayengrana tertawa dan memeluknya. Di titik itu, ia merasa usia hanyalah cara lain dunia menertibkan kerinduan.

Kelaswara muncul dari dapur, membawa teh panas. “Kau pulang juga,” katanya, suaranya datar tetapi matanya tak bisa menyembunyikan lega. Mereka pernah merencanakan hidup—mencari apartemen di pinggir tol, menabung buat bulan madu ke Eropa, membeli furnitur minimalis agar feed Instagram mereka tampak dewasa dan rapi. Rencana-rencana itu kusut dan tak sempat disetrika; pekerjaan dan ambisi membuat mereka ditarik ke arah yang berbeda. Kelaswara bertahan di Jember, mengelola perpustakaan kecil di gang sempit, mengajar anak-anak menulis puisi berima sederhana tentang langit yang datang setiap sore.

“Bagaimana Jakarta?” tanya Kelaswara.

“Ramai, tapi sering kosong,” jawab Jayengrana.

Malam itu mereka makan tahu campur dan rawon. Ibu banyak diam, tapi di jeda-jeda nafasnya ada cerita: tentang tetangga yang kerepotan membagi waktu, tentang hujan yang membuat atap bocor, tentang tubuh yang tidak lagi bisa dipaksa lari. Setelah makan, Jayengrana duduk di teras. Kelaswara membawa selimut tipis.

“Kau ingat cita-citamu?” tanya Kelaswara tiba-tiba. “Mau bikin rumah baca di atap hotel. Biar tamu tidak cuma tidur, tapi pulang dengan sesuatu.”

Jayengrana terdiam. Ia benar-benar pernah mengucapkan itu, di awal kariernya, sebelum rapat-rapat pengadaan dan angka-angka KPI menyesap semua imajinasi yang ia punya.

“Kau bisa memulainya di sini,” lanjut Kelaswara. “Tidak perlu menunggu atap hotel.”

Jayengrana menatap lampu jalan yang berkelebat di balik pohon mangga. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi mulutnya hanya menemukan kalimat: “Aku takut terlihat kecil.”

“Yang kecil membuat kita dekat,” jawab Kelaswara. “Dan yang dekat mengajari kita apa yang perlu diselamatkan.”

.

Hari-hari berikutnya menjadi latar yang filmis sekaligus faktual: pagi dimulai dengan berbelanja di pasar Tanjung—ia membantu ibu memilih sayuran yang tidak kantongnya saja segar; siang ia mengantar buku-buku sumbangan ke perpustakaan gang, bertemu anak-anak yang tertawa pada cerita yang susah dibayangkan orang kota; malam ia duduk di teras, mendengarkan radio tua memutar lagu-lagu lawas yang tak malu pada ketulusan. Di sela-sela itu, ia sesekali tetap menanggapi email dari kantornya. “Kapan kembali ke Jakarta?” tanya atasan. “Investor ingin bertemu.” Balasan Jayengrana selalu diplomatis, padahal hatinya sudah mulai menimbang hal-hal yang lebih taktis: apa yang sebenarnya ia kejar?

Suatu sore, hujan besar menggulung kampung. Kali meluap. Jalan berubah menjadi sungai, dan listrik padam seperti seseorang memencet saklar di langit. Jayengrana dan Kelaswara bergerak cepat: menyelamatkan buku-buku perpustakaan gang ke rak yang lebih tinggi, menyalakan lilin, menyeduh kopi untuk para tetangga yang tangannya masih gemetar. Umarmaya, yang kebetulan sedang mengamen di kafe kecil dekat pasar, datang membawa power bank dan gitar. Di halaman yang basah, ia menyanyikan lagu pelan—bukan untuk menghibur, melainkan untuk mengembalikan detak jantung bersama.

Di tengah repot itu, Jayengrana melihat seorang anak berdiri di pinggir selokan, memandangi perahu kardus yang hampir tenggelam. “Namamu siapa?” tanya Jayengrana.

“Umarmadi,” jawabnya lirih. “Perahuku mau hilang.”

Jayengrana menahan tawa sekaligus haru. Nama-nama legenda menumpuk seperti tanda yang tak sengaja: Widaninggar, Umarmaya, Umarmadi, Kelaswara. Ia berjongkok, memegang tangan kecil itu. “Ayo, kita bikin perahu baru. Dari apa yang ada.” Mereka merobek kardus bekas mi instan, mengikatnya dengan tali rafia, dan meniup permukaannya agar yakin bisa mengapung. Hujan pelan-pelan turun menjadi gerimis. Perahu kardus meluncur di selokan yang beralih menjadi arus lambat. Umarmadi tertawa. “Terima kasih, Kak.”

Di saat itu, Jayengrana mengerti sesuatu: mungkin hidup tak meminta kita menjadi helikopter yang menyelamatkan dari udara; barangkali hidup cuma meminta kita bersedia mengikat tali rafia pada kardus, agar seseorang tak merasa sendirian.

Malamnya, setelah air surut dan listrik menyala, Jayengrana membuka koper. Ia mengeluarkan sepatu kulit mahal itu. Disorot lampu rumah, sepatu itu terlihat seperti pernyataan keras yang tiba-tiba kehilangan konteks. Ia mengetik pesan untuk atasannya: Izinkan saya mengundurkan diri. Saya butuh ruang untuk menepati janji pada diri sendiri. Ia menghapus. Menulis kembali: Izinkan saya mengambil cuti tanpa batas waktu. Menghapus lagi. Akhirnya ia mengirim kalimat yang paling jujur: Saya berhenti.

Keesokan hari, ia dan Kelaswara duduk di teras perpustakaan gang yang mereka rapikan bersama. Di dinding, mereka memasang papan kecil bertuliskan: Rumah Angin—Baca, Ngobrol, Pulang. Jayengrana memikirkan dana. Ada tabungan yang cukup untuk bertahan beberapa bulan. Ada Umarmaya yang siap bermain musik setiap sore. Ada ibu yang menangis diam-diam, campuran cemas dan lega. Ada anak-anak yang setiap petang datang, membawa cerita dari sekolah, dari pasar, dari perut mereka yang tak pernah kenyang puisi.

Suatu siang, Jayengrana membuka kelas kecil tentang menulis surat. Ia mengajarkan hal-hal sederhana: menyapa, menyebutkan tujuan, menutup dengan harapan. Umarmadi mengangkat tangan. “Kalau mau menulis surat pada diri sendiri, apa sapaannya?”

Jayengrana tersenyum. “Hai, aku yang pura-pura sibuk,” katanya. Anak-anak tertawa. Ia melanjutkan, “Atau: hai, aku yang ingin pulang.”

.

Rumah Angin tumbuh lambat, seperti pot tanaman lidah mertua yang tak galak tapi menyerap polusi. Orang-orang datang dengan berbagai aroma: kopi, terasi, bedak bayi, dan hujan yang tersisa di rambut. Mereka membaca, menukar buku, menuliskan pengalaman di kertas-kertas yang digantung pada tali dengan jepit kayu. Ada ibu-ibu yang mengadakan diskusi tentang resep sayur bening yang menangkan lomba di RT; ada bapak-bapak yang berbagi trik memperbaiki payung; ada remaja yang bercerita tentang mimpi kuliah ke luar kota. Jayengrana mengumpulkan semuanya seperti seorang concierge yang baik: bukan sekadar menunjukkan kamar, tetapi memetakan perasaan tamu.

Suatu sore yang terang, Kelaswara menyalakan projector bekas untuk memutar film dokumenter pendek tentang pekerja migran. Listrik sempat turun, Umarmaya segera mengatur kabel sambil bersiul. Penonton duduk di tikar. Di akhir film, seorang perempuan muda bertanya pada Jayengrana, “Mas, kalau hidup seperti pekerjaan hotel—check in, check out—apa yang paling penting?”

Jayengrana menatap layar putih yang masih menyisakan bayangan. “Yang paling penting adalah apa yang kau bawa keluar,” jawabnya. “Bukan sabun kecil di kamar mandi, bukan foto di lobi. Tapi keberanian untuk tidak lagi menyakiti dirimu dengan standar orang lain.” Ia kaget mendengar kalimatnya sendiri: seperti dikeluarkan oleh orang yang ia cari selama ini—dirinya yang dulu, yang ternyata tak pernah benar-benar pergi.

Malam itu, setelah para pengunjung pulang, Kelaswara memandangi Jayengrana yang sedang menyapu. “Kau tampak ringan,” katanya.

“Aku baru sadar, selama ini aku berjalan dengan menenteng mata orang lain,” jawab Jayengrana. “Rasanya capek.”

Kelaswara tertawa, kemudian serius. “Kalau suatu saat kota besar memanggilmu lagi, apa kau akan pergi?”

“Aku bisa pergi,” kata Jayengrana, “tapi kali ini aku tak perlu membawa approval mereka.” Ia menepuk dada. “Aku cukup membawa rumah.”

.

Berbulan-bulan kemudian, Jakarta mengirim undangan: sebuah hotel butik baru di Menteng menawarkan Jayengrana posisi sebagai guest experience curator. Gaji menggoda, fasilitas mengilap. Ia menimbang: dalam hidup, kegagapan sering menyamar sebagai kesempatan. Ia berdiskusi dengan Kelaswara. Mereka sepakat: Jayengrana pergi sebentar, bukan untuk kembali pada gemerlap, melainkan untuk belajar cara baru mengapungkan perahu dari kardus yang lain.

Jakarta menyambutnya dengan pelukan neon. Ia tinggal di kos kecil di Cikini, menolak fasilitas apartemen demi uang sewa yang bisa ia bagi dua—setengah untuk hidup, setengah untuk Rumah Angin. Di hotel, ia membuat program membaca di lobi, meminjamkan sepeda untuk tamu agar bisa menyusuri taman kota, membikin paket “city listening” di mana tamu ditemani pemandu membiarkan telinga mereka menangkap suara warung, suara klakson, suara pedagang jamu yang berjalan pelan. Ia menulis di brosur: “Kota ini bukan hanya untuk dilihat; kota ini minta didengarkan.” Manajer sempat ragu, tetapi angka kepuasan tamu naik; orang-orang kaya ternyata juga ingin diizinkan pulang kepada diri mereka sendiri.

Pada malam tertentu, setelah jam kerja, Jayengrana berkunjung ke Tanah Abang. Ia melihat lampu-lampu toko memikat orang seperti kembang api yang diulang. Ia melihat remaja memotret sepatu dan mencocokkan dengan harga di marketplace. Ia berhenti di jembatan penyebrangan, memandangi arus kendaraan: lampu putih yang datang, lampu merah yang pergi. Di kepalanya, kalimat Widaninggar berdenting: luka yang minta dirawat, bukan dipamerkan. Ia menulis note baru: “Setiap perjalanan adalah operasi kecil untuk mengangkat sesuatu dari dalam: duri, prasangka, atau kebutuhan palsu. Kesembuhan terasa ketika yang terangkat itu tak kau cari lagi.”

Di Metromini, seorang anak penjual tisu menawarkan dagangannya. Jayengrana membeli dua, menyerahkan satu pada sopir. Anak itu tersenyum, menyelipkan tisu ke saku celananya. “Nanti buat Ibu,” katanya. Jayengrana tertegun. Ia ingat Ibu di Jember, duduk di kursi rotan, membaca WhatsApp dari anak-anak geng perpustakaan. Ibu menulis: Jangan lupa makan. Kalau lapar, hidup gampang salah paham. Itu kalimat yang seharusnya menjadi poster motivasi di semua kantor.

Dua bulan berlalu. Program “city listening” menjadi berita kecil di lifestyle halaman sebuah koran. Hotelnya dianggap “tidak sekadar mewah, tetapi ramah pada rasa.” Jayengrana menutup clip berita itu, dan memutuskan kembali ke Jember. Ia menolak perpanjangan kontrak. “Terima kasih atas kesempatan,” tulisnya pada manajemen. “Saya percaya perjalanan ini tidak berhenti di tanda tangan.”

Di bandara Halim Perdanakusuma—kali ini ia memilih rute berbeda—Jayengrana berdiri di depan check-in counter. Koper diangkat, angka digital berkedip: 13,1 kilogram. Ia memalingkan wajah dan tersenyum kecil. Kelaswara akan menjemput di Notohadinegoro. Ibu menyiapkan lodeh dan tempe goreng. Umarmaya bilang akan membawa teman-teman musisi untuk mengajar kelas gitar gratis di Rumah Angin. Umarmadi menanyakan kapan lomba perahu kardus kedua.

Di atas pesawat, ia menuliskan catatan terakhir: “Semakin banyak yang kupelajari tentang terbang, semakin tahu aku, langit bukan milik siapa-siapa. Yang kupunya hanyalah cara untuk bergerak di dalamnya: dengan hati yang ringan.”

.

Ketika mereka tiba di rumah, sore sedang menutup tirainya. Kelaswara menaruh kopernya di teras. “Kau tidak bertanya apa yang kubawa?” Jayengrana menatap mata Kelaswara.

“Apa?” tanya Kelaswara.

“Ruang,” jawab Jayengrana. Mereka tertawa—kali ini tawa yang tidak dijual.

Di meja, ibu meletakkan tiga piring nasi. Ia duduk, menatap anaknya, menepuk punggungnya pelan—gestur yang membuat masa kecil kembali dengan cara paling sederhana. Di luar, suara motor lewat, suara pedagang bakso memukul mangkuk, suara langit yang berubah warna. Rumah Angin menanti di gang. Dan Jayengrana tahu: untuk pertama kalinya, ia tidak takut merasa kecil. Sebab yang kecil itu, biasanya, justru punya lengan yang paling panjang untuk memeluk.

.

.

.

Jember, 5 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#Cerpen #KompasMingguStyle #Perjalanan #Kota #Jember #Jakarta #Surabaya #MenakMadura #RumahBaca #Hospitality

Leave a Reply