Serambi Senyum: Luka, Sunyi, dan Pertemuan

“Yang paling ramah sering menyimpan sunyi. Yang paling mengerti orang lain kerap memeluk luka sendiri. Dan yang paling ringan tangannya menolong, biasanya sudah lama berteman dengan sepi.”

.

Subuh baru saja merekah, tetapi langit di atas Jakarta masih disulam sisa hujan. Gedung-gedung kaca mengembunkan cahaya lampu, trotoar berpendar oleh genangan, dan dari kejauhan suara KRL melintas seperti garis logam yang menyeret mimpi-mimpi orang dengan tergesa. Di pintu putar sebuah hotel di Sudirman, seorang lelaki berdiri tegak, dasi rapi, sepatu mengilap—senyumnya tak putus. Namanya Samad.

Senyum itu—yang sekilas tampak seperti kebiasaan kerja—sesungguhnya adalah jembatan yang ia bangun, hari demi hari, dari reruntuhan masa lalu. Bertahun lalu, di jalur tol ke arah Cikampek, hujan juga turun, dan sebuah truk kehilangan kendali. Dalam hitungan detik, hidupnya yang penuh tawa bersama Saras dan bayi mungil mereka, Lintang, berubah menjadi lorong sunyi. Sejak itu, Samad tak pernah betul-betul tidur. Ia bekerja panjang, mengulas kata, menahan duka, dan meminjam tenaga dari senyum.

“Orang yang menyimpan trauma dan luka yang dalam, senyumnya pasti indah dan menawan.”

Kalimat itu ia simpan seperti doa, agar tangannya tetap kukuh menyodorkan kartu kamar, agar suaranya tetap hangat saat mengucap, “Selamat datang, semoga betah.” Mungkin karena itulah tamu-tamu menyukai Samad: senyumnya bukan tipuan, melainkan upaya paling jujur untuk mengikat hidup yang rapuh.

.

Di seberang kantornya, melewati jembatan penyeberangan yang memeluk jalan layang, ada kafe kecil di bawah teduh pohon ketapang. Kafe ini lahir dari sisa-sisa masa pandemi yang tidak benar-benar usai: bar kursi tinggi, poster musisi lawas, aroma kopi tubruk bercampur espresso. Pengunjung sering kembali bukan karena menu yang flamboyan, melainkan karena baristanya yang ramah, Raden.

Raden datang dari Pamekasan bertahun lalu. Ia tak banyak membawa barang, hanya radio tua dan kebiasaan menaruh orang lain lebih dulu. Di kafe, ia menjadi kotak pos untuk cerita pengunjung—keluh soal pekerjaan, patah hati, sampai tips mencari kontrakan yang tak menipu. Ia mengangguk, menyahut secukupnya, menambahkan latte art berbentuk daun pada kopi pelanggan yang baru saja menangis pelan—dan tak ada yang tahu bahwa saat menutup rolling door setiap tengah malam, dunia di sekelilingnya kembali padam. Ruang kosnya sempit, jendela menghadap dinding, suara tetangga samar. Ia menyalakan radio tua, menyetel dangdut koplo perlahan, dan tertawa kecil pada lelucon penyiar. Tawa itu berbalik cepat menjadi diam.

“Orang yang paling kesepian adalah orang yang paling ramah.”

Kadang ia berdiri di depan cermin kamar mandi, memandangi wajahnya sendiri. Katanya kepada bayangan, “Besok kita baik-baik saja, Den.” Lalu ia mematikan lampu.

.

Pengunjung setia kafe adalah Wandira, penulis lepas yang tinggal di apartemen mungil di Kuningan. Wandira menulis untuk portal, majalah gaya hidup, kadang untuk perusahaan yang membutuhkan kisah-kisah inspiratif. Ia biasa duduk di sudut dekat colokan, menatap layar, sesekali menatap orang-orang, lalu kembali menulis. Raden memanggilnya “Mbakyu”—bukan karena lebih tua, melainkan karena ada sesuatu dari tatapannya yang menenangkan, seperti halaman rumah di masa kecil.

Orang bilang Wandira jago membaca isyarat. Ia tahu kapan seseorang membutuhkan ruang, kapan perlu ditepuk pundaknya, kapan harus dibiarkan menangis sampai reda. Tapi tak banyak yang tahu bahwa ia belajar semua itu dari ketidakberdayaannya sendiri. Beberapa tahun lalu ia keluar dari hubungan yang mematahkan tulangnya yang tak tampak. Ia bertahan lama karena percaya orang bisa berubah; ia pergi setelah sadar bahwa pemaafan yang tidak disertai perubahan, hanya memerangkap nyawa.

“Orang yang paling hebat dalam hal mengerti orang lain, adalah orang yang memeluk kesakitannya sendirian.”

Di meja kafe, ia menulis kisah-kisah orang lain, meminjam bahagia yang bukan miliknya, meminjam air mata yang lebih mudah dituliskan daripada yang harus dihadapi.

.

Malam itu kota menyalakan sirene. Hujan turun tanpa sela; TransJakarta mengerang, ojek-ojek berhenti di emperan, dan orang-orang mencari atap seadanya. Samad baru selesai shift sore ketika pesan dari pusat datang: “Karyawan yang tinggal di area rawan banjir disarankan menunda pulang.” Ia menatap ponsel, menimbang. Ia tak betah menunggu—menunggu hanya mengingatkannya pada malam tol that one night—maka ia melangkah ke luar. Payung hotel kecil di tangan.

Di persimpangan, di bawah signage LED yang meniriskan cahaya biru, Wandira berdiri menatap aplikasi ojol yang memutar, searching driver. Raden di seberang jalan, sudah menutup kafe, jaket parasutnya basah separuh. Ketiganya berhenti pada titik yang sama, dibatasi guyuran air yang meluruhkan batas orang asing.

“Payung, Mbak?” suara Samad menembus bising hujan.

Wandira mengangguk. “Terima kasih. Saya nunggu dari tadi, tapi—” Ia tertawa pendek.

“Mas,” Raden menimpali dari seberang, “mampir dulu ke kafe. Listrik masih menyala. Saya bisa bikin minuman hangat.”

Mereka menyeberang ketika lampu merah memanjang. Kafe yang tadi sunyi tiba-tiba terasa seperti ruang tamu. Raden menyalakan kompor portable, merebus air jahe. Samad menggantung payung di belakang pintu. Wandira mengusap layar ponsel, menonaktifkan aplikasi, menyerah pada malam.

Sambil menunggu, mereka bertukar nama. Samad menyebut pekerjaannya di hotel; Raden mengacungkan tangan dengan bercanda, “Barista spesialis hati-hati patah.” Wandira menyebut dirinya menulis apa saja yang bisa dibayar. Percakapan yang mulai dari basa-basi lalu melesat seperti sumbu yang menemukan api. Dan entah siapa yang terlebih dahulu membuka pintu luka, ketiganya akhirnya duduk, mendengar, dan diam dengan cara yang jarang dipraktikkan: bukan untuk menjawab, tetapi untuk menyaksikan.

Samad bercerita tentang Saras dan Lintang, tentang malam yang mengajarinya mengeja duka tanpa alfabet. Raden bercerita tentang radio tua, tentang ayah yang meninggal sebelum ia pulang kampung, tentang rasa bersalah yang terus menggedor jika ia menutup kafe terlalu cepat. Wandira bercerita tentang kekerasan yang tidak meninggalkan lebam tetapi membuatnya takut membuka pintu setiap ada ketukan. Tak ada kalimat hikmah yang dipaksakan. Hanya napas panjang, air panas yang habis, dan hujan yang perlahan mengecil.

“Orang yang tidak ragu menolong, adalah dia yang sering menghadapi kesulitannya seorang diri.”

Samad memandang dua orang di hadapannya dan merasa untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, ia tidak sendirian di dalam senyum. Raden merasakan kehangatan tak biasa berpendar di ruang kecilnya. Wandira memeluk gelas jahe erat-erat seperti anak yang kembali menemukan rumah.

.

Setelah malam itu, pertemuan mereka terus berlangsung. Setiap Rabu, selepas jam kerja, mereka berkumpul: Samad datang dengan sisa wewangian lobi, Raden dengan baju yang beraroma kopi, Wandira dengan ransel kecil dan draft tulisan. Mereka menyebutnya Rabu Rengkuh—hari di mana masing-masing menaruh luka di tengah meja, membiarkannya mendapat udara segar, lalu menyimpannya kembali dengan lebih ringan.

Kota, tentu saja, tetap keras. Hujan tetap turun seenaknya, jalan tetap macet, biaya sewa tetap naik. Di hotel, Samad menghadapi tamu yang meledak karena kamar belum siap, juga manajer baru yang menilai senyumnya terlalu service-minded dan kurang “jualan”. “Senyum tak bisa menaikkan ADR,” ujar si manajer, menyebut average daily rate seolah sedang mengukur suhu tubuh. Samad mengangguk, menuliskan catatan pelatihan, tetapi ia tetap menyapa tamu dengan cara yang sama—karena ia tahu, sesuatu dari dunia harus tetap lembut agar kita tidak saling melukai.

Raden menerima surat dari pemilik ruko: kontrak tidak diperpanjang. Di atas kafe akan dibangun co-working space yang lebih menguntungkan. Ia membaca surat itu berkali-kali, menimbang: pindah ke gang dalam dengan ruang lebih kecil, atau menutup saja. Di malam Rabu ia meletakkan surat itu di meja Rabu Rengkuh.

“Berapa lama lagi?” tanya Wandira.

“Tiga bulan.” Raden tertawa kering. “Cukup untuk menghabiskan stok gula.”

Wandira menghela napas. Beberapa hari kemudian, ia menerima brief dari redaktur: menulis liputan gentrifikasi—bagaimana ruang-ruang kecil di Jakarta pelan pelan digusur dari pusatnya. Ia tahu tulisan itu bisa menjadi jembatan lobi publik, bisa pula menjadi pisau: menguak dan meninggalkan luka. Ia meminta waktu, lalu, di Rabu berikutnya, bercerita pada Samad dan Raden dengan jujur.

“Kalau kamu harus menulis,” kata Samad, “tulislah dengan adil.”

“Dan jangan kuatir soal aku,” Raden menimpali. “Kopiku akan tetap panas walau meja jadi lebih pendek.”

Wandira menulis dengan cermat. Ia memotret jam dinding kafe yang selalu unggul tiga menit dari waktu sebenarnya; ia menyalin percakapan Raden dengan sopir taksi langganan; ia mewawancarai pedagang rokok di sudut ruko. Ia membawa pembaca menyusuri jejak kopi yang mengimbuhi obrolan kejujuran—bukan hanya di kafe Raden, tetapi di banyak ruang kecil lain yang sedang tergencet.

Tulisan itu terbit pada suatu pagi yang memantulkan matahari ke jendela-jendela kantor. Respon publik mengalir, beberapa anggota DPRD menandai akun mereka di media sosial, influencer membagikan. Pemilik ruko tak bergeming, tetapi pemberi modal co-working menunda tanda tangan kontrak. Tiga bulan menjadi enam, lalu menjadi sembilan. Waktu tambahan itu cukup bagi Raden untuk memikirkan ulang bentuk mimpinya—ia selalu paham bahwa kafe adalah rumah yang bisa berpindah. Yang penting bukan bangku atau neon sign, melainkan orang-orang yang menyalakan api di dalamnya.

Sementara itu, di hotel, Samad menghadapi hari terberat setelah lama. Seorang tamu asing pingsan di lobi; ambulans patah arang karena macet. Samad, yang pernah menjadi relawan tanggap darurat, bergerak tanpa ragu: memeriksa napas, menstabilkan posisi. Ia memanggil sopir hotel, memecah aturan: membawa tamu itu dengan mobil kantor ke rumah sakit terdekat. Manajer mengomel soal risiko, soal asuransi. Samad menatapnya sebentar, lalu mengetuk pintu ruangan di Rabu Rengkuh dengan mata merah. “Aku melanggar prosedur,” katanya. “Tapi nyawa orang….”

“Kadang kita harus memilih manusia, bukan modul,” jawab Wandira. Raden mendorong secangkir kopi ke arah Samad. “Yang kamu lakukan hari ini adalah modul paling humanis.”

.

Musim berubah. Angin timur membawa debu dari proyek bangunan, melapisi daun-daun ketapang dengan tipis abu. Pagi yang cerah tiba-tiba luntur menjadi sore berawan. Pada suatu Minggu, cuaca tak bisa diajak kompromi. Hujan menggerus tanpa jeda; di group chat kota, peta genangan berubah merah. Raden, yang nekat bertahan membuka kafe karena sedang ada pesanan takeaway untuk komunitas lari, melihat air mulai merayap masuk. Ia mengangkat galon, memindahkan karung kopi, menyalakan mesin seduh untuk terakhir kali hari itu. Namun dari plafon, air menetes; dari pintu, air merangsek. Raden sendirian.

Ia menunda meminta bantuan. Bukannya gengsi, tetapi karena tubuhnya terlatih bertahan lebih lama dari seharusnya—sebuah refleks yang tumbuh dari kebiasaan mengatasi semuanya sendiri.

“Orang yang tidak ragu menolong, adalah dia yang sering menghadapi kesulitannya seorang diri.”

Baru ketika air mencapai lutut, ia menelpon Samad. Di ujung lain, Samad baru menutup lobi. “Aku ke sana,” katanya. Ia menyambar jas hujan hotel, meminjam trolley bagasi. Lima belas menit kemudian, dua lelaki itu, basah kuyup, mengangkut mesin espresso yang beratnya seperti menanggung separuh langit. Wandira datang menyusul dengan mobil car-sharing, mengajak dua tetangga apartemen membawa selang dan squeegee. Mereka bekerja dalam diam, hanya suara hujan, suara napas, suara putus asa yang sengaja tidak diucapkan agar tidak menjelma.

Ketika air surut, kafe tampak seperti rumah yang habis ditinggalkan badai—tetapi mesin, cangkir, buku catatan, semua selamat. Raden duduk di lantai, tertawa tanpa suara. “Terima kasih,” ucapnya, “aku kira aku bisa sendirian.”

Wandira mengikat rambut, menatap dua kawannya. “Kamu boleh sendirian,” katanya, “tapi tidak sekarang.”

.

Beberapa hari sesudahnya, sebuah ide muncul dari percakapan yang tidak serius. “Kalau nanti kafe pindah,” kata Samad, “bagaimana kalau bentuknya berubah? Bukan ruko. Gerobak malam dengan kanopi. Berhenti di tempat yang orang paling butuh disapa.”

Raden menatap Samad, lalu Wandira. “Kalian serius?”

“Serius.” Wandira mengeluarkan buku sketsa. “Namanya ‘Serambi Senyum’. Menyapa pekerja malam, perawat, sopir, satpam. Kita tidak perlu banyak kursi. Kita perlu kehadiran.”

Samad mengangguk. Ia membuka tabungan kecil yang selama ini ditujukan entah untuk apa. “Aku punya simpanan. Tidak besar. Tapi cukup untuk kanopi yang tahan angin.”

Gerobak itu lahir empat puluh hari kemudian. Malam perdananya, lampu-lampu LED kecil menggantung seperti bintang. Di atas kanopi, Wandira menempelkan kalimat: “Mari singgah. Tidak semua pulang harus sendiri.” Lokasi pertama: pintu belakang rumah sakit yang satu waktu pernah menyaksikan Samad berlari-lari cemas. Aroma kopi menyeruak ke jalan. Sopir ambulans berhenti untuk americano. Perawat menukar senyum lelah dengan cokelat panas. Satpam yang biasa dingin memesan kopi susu sambil bercerita tentang anaknya kelas dua SD. Raden menyiapkan minuman dengan telaten. Samad menyapa pengunjung seperti menyambut tamu hotel. Wandira memotret secukupnya, menulis cerita secukupnya, memastikan wajah-wajah itu tidak menjadi komoditas.

Malam-malam berikutnya, “Serambi Senyum” pindah ke depan stasiun, lalu ke dekat proyek MRT, lalu ke halaman rumah susun. Ada hari sepi, ada malam ramai. Ada tawa, ada kabar duka. Ada juga orang mabuk yang marah-marah, ada gerimis yang tak mau berhenti. Tetapi sesuatu telah berubah: ketiganya tidak lagi bergerak sendirian. Mereka saling menambal bagian yang lemah.

Samad mulai berani mengunjungi makam Saras dan Lintang tanpa harus menunggu tanggal-tanggal peringatan. Ia membawa kopi hitam, menaruhnya di tanah seperti menaruh cerita. “Aku baik-baik saja,” katanya lirih, “karena aku tidak lagi sendirian terlalu lama.” Raden, di malam sunyi, memandangi radio tua yang kini ia bawa di gerobak, menyalakan lagu-lagu lawas yang membuat pelanggan tersenyum tiba-tiba. Wandira—yang tulisannya kerap dibagikan orang—mulai mengatakan tidak pada beberapa brief yang hanya menjual kesedihan. Ia belajar menyaring: bukan semua yang laku harus dikerjakan.

“Orang yang tulus mengasihani orang lain, adalah dia yang terbiasa dengan dingin dan hampanya sendiri.”

.

Sebuah subuh, setelah semalaman berjualan di depan rumah susun, mereka bertiga duduk di bangku plastik memandangi garis tipis cahaya di ufuk. Jalanan baru bangun; suara pedagang lontong sayur memecah sisa ngantuk. Mereka mendengarkan kemacetan yang belum sempat lahir, mendengar burung yang jarang-jarang masih mau bernyanyi di kota.

“Apa yang kita cari sebenarnya?” tanya Raden. “Uang?” Ia tertawa. “Jelas tidak.”

Samad menarik napas. “Aku mencari alasan agar senyumku bukan lagi topeng.”

Wandira menyandarkan kepala pada tiang kanopi. “Aku mencari rumah yang bisa kubawa kemanapun.”

Raden mengangguk pelan. “Aku… hanya tidak ingin ada orang pulang tanpa ada satu suara pun yang memanggil namanya.”

Mereka terdiam lagi. Matahari naik setengah jengkal, memantul pada genangan kecil di aspal. Samad membuka gerobak, membagikan roti sisa untuk petugas kebersihan yang baru datang. Raden menyalakan pemanas air sekali lagi. Wandira memotret dengan hati-hati, kemudian menyimpan ponsel. Ada hal-hal yang tidak perlu diabadikan, cukup dialami bersama.

Hari itu, menjelang siang, pesan masuk ke ponsel Wandira. Dari redakturnya: “Liputanmu masuk nominasi penghargaan media.” Ia berdebar, lalu tersenyum. “Kalau aku menang,” katanya di Rabu Rengkuh malamnya, “hadiahnya untuk beli kursi lipat lagi.”

“Dan radio baru,” timpal Raden. “Yang ini kadang bersiul.”

“Tidak perlu,” kata Samad. “Biar siulnya mengingatkan kita pernah melewati malam-malam yang tidak mudah.”

.

Kisah mereka tidak melesat seperti film superhero. Tidak ada plot twist mencolok, tidak ada keajaiban yang menghapus cicilan. Kadang hujan masih datang saat mereka lupa membawa terpal. Kadang pelanggan komplain karena gula kurang manis. Kadang Samad pulang dan masih merasakan lorong panjang yang dingin. Kadang Wandira mendadak sesak ketika ada orang mengetuk pintu terlalu keras. Kadang Raden masih menatap dinding kosnya dan merasa lubang di dirinya tidak akan pernah sepenuhnya tertutup. Tetapi kini mereka tahu: lubang itu tidak harus ditutup agar hidup bisa dilalui. Cukup diakui, diperiksa, dan diisi dengan hal-hal kecil yang hangat: secangkir kopi, sepotong roti pandan, satu panggilan nama.

Malam terakhir sebelum kafe lama resmi ditutup, Raden membuka rolling door setengah. Ia menyalakan lampu untuk pamit pada ruang itu. Samad berdiri di sampingnya, Wandira merekam dengan ingatan. Di dinding dekat kasir tergantung foto polaroid pelanggan pertama. Di bawahnya, jam dinding yang selalu unggul tiga menit. Raden melepas jam itu, menaruhnya ke dalam boks plastik.

“Kenapa dibawa?” tanya Samad.

“Supaya kita selalu tiba sedikit lebih dulu,” jawab Raden. “Seperti ramah yang datang sebelum kesepian.”

Mereka berjalan keluar. Hujan menahan diri di awan. Pintu ditutup, kunci diserahkan. Di trotoar, Serambi Senyum menunggu seperti perahu kecil yang tak sabar dilepas ke sungai.

“Yang paling ramah sering menyimpan sunyi. Yang paling mengerti orang lain kerap memeluk luka sendiri. Dan yang paling ringan tangan menolong, biasanya sudah lama berteman dengan sepi.”

Karena itu, bila kau melihat orang tersenyum padamu malam ini, jangan buru-buru menyangka hidupnya mudah. Barangkali ia sedang menyalakan lampu untukmu—dan sedikit untuk dirinya sendiri.

.

Pada suatu dini hari, seorang perempuan muda datang ke gerobak mereka sambil menggandeng anak. Matanya bengkak, suaranya parau. Ia baru selesai shift malam di rumah sakit, habis dimarahi kepala ruangan karena hal remeh. Ia memesan cokelat panas untuk anaknya, lalu tanpa diduga menangis tersedu. Orang-orang lain bergeser memberi ruang. Samad berdiri sedikit jauh—memberi privasi, tetapi tetap berjaga. Raden menuang susu perlahan, berhenti bicara agar tangannya tidak gemetar. Wandira mengelap meja yang tidak kotor, sekadar memberi alasan untuk berada di dekat perempuan itu tanpa membuatnya malu.

Anak kecil itu menyeruput cokelat dan tersenyum. “Terima kasih, Om.”

Raden menepuk bahu anak itu pelan. “Ibumu hebat.”

Perempuan itu mengangguk, napasnya tertata lagi. “Terima kasih karena tidak banyak bertanya,” katanya. “Aku capek menjelaskan segala hal.”

“Kami juga,” jawab Wandira lembut. “Itu sebabnya kita bikin gerobak, bukan ruang wawancara.”

Mereka tertawa. Di ujung jalan, azan subuh terdengar. Kota, untuk sejenak, terasa seperti halaman rumah yang luas. Orang-orang bergerak dengan langkah yang lebih pelan; waktu mengambil jeda, seperti memberi kesempatan bagi siapa pun untuk bernapas—walau sebentar.

.

Bukan senyum tanpa alasan yang akhirnya menolong mereka, melainkan keberanian untuk mengatakan: aku terluka, aku kesepian, aku mengerti tanpa harus menguasai. Ketiganya tumbuh bukan karena diceramahi, tetapi karena saling menjadi saksi. Saksi bagi senyum yang ternyata bukan kebohongan; bagi ramah yang bukan basa-basi; bagi pertolongan yang tidak meminta pamrih.

Kota tetap berisik. Gedung-gedung tetap berlomba menyentuh langit. Orang-orang tetap mengejar jam. Namun di antara semua itu, ada gerobak yang menyalakan lampu ketika malam menurunkan temperatur harapan. Ada tiga orang yang tersenyum bukan untuk menutup luka, melainkan untuk merayakan bahwa mereka masih di sini—masih mampu menyeduh, menulis, menyapa.

Maka jika suatu hari kau lewat di bawah lampu LED yang kerap berkedip, melihat huruf-huruf Serambi Senyum tergoyang angin, singgahlah. Tidak harus memesan yang mahal. Cukup sebut namamu pelan. Karena di sana, ada yang akan memanggil balik namamu, lalu menyodorkan minuman hangat sambil berkata: “Pulanglah pelan-pelan. Di jalan pun, kau tetap tak sendirian.”

.

.

.

Jember, 4 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #CeritaPerkotaan #SenyumYangMenyimpanLuka #RabuRengkuh #SerambiSenyum #CeritaIndonesia #EmotionalWriting

Leave a Reply