Berbaiklah, Tapi Jangan Hilang

“Berbaiklah tanpa menghapus diri.
Kebaikan yang sehat punya batas: waktu, tenaga, biaya, dan hati.
Tanpa batas, kau hanya menjadi alamat singgah bagi orang yang lupa berterima kasih.”

.

Hamza berdiri di tepi trotoar yang basah, menunggu lampu penyebrangan berubah hijau. Dinihari baru saja menetes dari sayap hujan. Jalan utama itu memantulkan neon toko serba ada, huruf-huruf terang yang berpendar seperti nasihat panjang yang tak selesai-selesai. Di belakangnya, pintu kaca co-working space menutup pelan. Orang terakhir yang tadi meminjam kartu akses Hamza—seorang anak baru dari agensi—telah mengucapkan terima kasih yang diucap seperti gumam sambil melihat layar ponsel.

Hamza selalu menjadi orang terakhir, pengunci pintu, penyedia charger cadangan, penenang panik di ruang rapat. “Bang, minta tolong ya….” “Mas, bisa cepat ya….” “Ham, kamu baik banget.” Puji-pujian yang terdengar seperti tepukan di punggung—hangat sekejap, nyeri panjang—karena setelah itu mereka menghilang, menyisakan tab yang belum dibayar dan tugas yang tidak tertulis namanya.

Umar menelponnya. Suara kawan lamanya itu, yang kini jadi barista merangkap admin media sosial di sebuah kedai kopi, pecah-pecah ditabrak deru motor.

“Sudah pulang, Za?”

“Sebentar lagi. Kamu masih di kedai?”

“Masih. Ninggar datang barusan, minta tolong lagi. Ada rilis yang perlu di-ghostwrite malam ini. Katanya urgen.”

Hamza menahan napas. Nama itu: Ninggar. Di kantor event–hospitality tempatnya bekerja, Ninggar seperti hujan—memiliki alasan untuk turun kapan saja. Lugas, cekatan, selalu terdengar tulus saat bilang, “Kamu paling bisa.” Lalu, sore jadi malam, malam jadi sisa-sisa tenaga.

“Aku otw,” kata Hamza. Ia menyeberang ketika lampu berganti, melewati dua ojek online yang saling serobot. Hujan mengangkat bau aspal dan daun kamboja dari halaman sebuah rumah tua. Di tikungan, poster-poster event yang disusun rapi—logo sponsor, round-up pembicara, tagline meyakinkan—semuanya disusun tangan Hamza dan tim kecil yang ia jaga seperti api di telapak: selalu siap menahan panasnya sendiri.

.

Di kedai Umar, hujan mengecil. Lampu-lampu bulat menggantung seperti buah rapuh. Di meja paling ujung, Ninggar menatap layar laptop. Rambutnya diikat asal-asalan, bibirnya menyusun kata “tolong” yang entah untuk kali keberapa.

“Za, sorry dadakan. Rilis press untuk ‘Rooftop Charity Night’ harus masuk pagi ini. Kita butuh angle yang lebih menyentuh.”

“Siap. Garis besar sudah ada?” tanya Hamza.

“Sudah, tapi… kamu tahu kan, tulisanmu selalu lebih hidup,” sahut Ninggar, memberi senyum yang di luar jam kerja terasa seperti promosi permen karet.

Hamza duduk, membuka file. Jemarinya otomatis bekerja. Ia menuliskan bagaimana atap hotel menghadap lampu-lampu kota; bagaimana musik akustik dan menu comfort food yang sehat akan menyambut tamu; bagaimana sebagian hasil penjualan tiket disalurkan untuk beasiswa anak-anak pramusaji yang terdampak PHK. Kata-kata mengalir seperti odol dari tubenya—sekali ditekan, susah dihentikan.

Umar meletakkan dua cangkir kopi. “Ambil nafas dulu, kalian,” katanya.

Kelasari datang sebentar kemudian. Kamera menggantung di lehernya; sisa hujan menempel di ujung bulu matanya. “Kalian masih kerja? Za, maaf ya, fotoku buat materi campaign belum kupilih. Bisa dibantu kurasi besok pagi?”

Hamza menoleh, mengangguk spontan. “Bisa.”

Di sudut mata Umar ada isyarat: hati-hati. Tapi Hamza terlalu terbiasa menambal kebocoran sebelum ada air yang benar-benar jatuh. Ia menuliskan rilis hingga kata terakhir, mengirimkannya ke Ninggar yang langsung membalas dengan stiker jempol. “Kamu penyelamat,” tulisnya. Tak ada embel-embel nama Hamza di bawah rilis; sejak dulu, ia nyaman menjadi nama di balik layar.

Menjelang subuh, ketika kursi-kursi ditumpuk dan lampu dimatikan, Hamza menatap kota yang mengecil ke titik-titik basah. Ia teringat ibunya di Jember yang selalu berkata, “Ngeli ning ora keli, Ham. Mengalir, tapi jangan ikut hanyut.” Ia tertawa kecil. Kadang sungai itu seperti korporasi: deras, licin, membawa pulang lelah.

.

Pekan-pekan berikutnya, rutinitas memanjang. “Rooftop Charity Night” meledak di media sosial; hamper setiap unggahan Kelasari menggaet ribuan suka. Foto-foto malam manis; kilau gelas, tawa yang membeku jadi arsip memori. Ninggar berdiri di tengah panggung pada malam acara, mengucapkan terima kasih ke banyak nama, ke sponsor yang disebut dengan intonasi sempurna. Ia juga menyebut Maktan—atasan divisi—yang menyelam seperti paus saat foto bersama, muncul megah di puncak sorak sorai.

Nama Hamza tak dipanggil; ia berdiri di sisi lift bersama keamanan, memastikan kursi roda tamu difabel mendapat ruang mulus. Umar menyenggolnya, “Aku tahu kamu tak mencari panggung. Tapi panggung juga perlu tahu siapa yang menyalakan lampu.”

Hamza hanya mengangguk. Di ujung rooftop, Kelasari melambai. “Za, terima kasih ya. Kamu—” ia berhenti, menatap panggung, “—kamu selalu ada.”

Selalu ada. Dua kata yang mengubah manusia jadi alat serbaguna.

Ketika acara selesai dan meja dikembalikan, Maktan berdiri di depan tim. “Terima kasih semua. Good job.” Ia mengulurkan tangan pada Ninggar, menepuk bahu para koordinator. Saat melewati Hamza, ia cuma mengangguk singkat. “Kamu standby ya, besok pagi masih ada media visit.”

Hamza menahan diri untuk tidak menghitung berapa banyak “besok pagi” yang ia gadaikan untuk tugas yang tidak tertulis. Dalam perjalanan pulang, ia membuka pesan dari Kelasari: “Maaf ganggu, bisa kirim caption untuk tiga foto terakhir? Deadline jam 7.”

Hamza mengetik “oke” lalu meletakkan ponsel. Di atap rumah kontrakan, hujan sisa menggantung di jemuran. Ia menatap langit, merasa seperti laci yang selalu bisa ditutup rapat tanpa sempat diisi sesuatu untuk dirinya sendiri.

.

Sore hari, telepon dari Jember datang seperti pisau yang jatuh. “Ibumu sesak,” kata tetangga yang menjemput ke puskesmas. Hamza menyambar tas; Umar mengantar ke stasiun. “Pergilah,” kata Umar, “dan tolong—untuk kali ini—jangan mengangkat telepon kantor.”

Perjalanan malam melewati sawah-sawah gelap, lampu kereta memantulkan wajah-wajah yang tertidur. Di bangku sebelah, seorang ibu muda memeluk anaknya yang rewel. Hamza menatap jendela; di kaca, ia melihat duplikat dirinya yang lelah—ramah tapi sayu. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat hal-hal yang ia tangguhkan: buku yang belum dibaca, gitar yang berdebu, keinginannya membawa ibu duduk di tepi pantai Papuma saat pagi, sekadar mendengar ombak seperti doa tua.

Di Jember, udara pagi punya cara sendiri menghibur. Aroma kopi robusta dari warung gang kecil, suara bakul sayur meniti sisa embun, dan angin yang mengibaskan kain jemuran bagaikan salam. Ibunya terbaring di ranjang puskesmas, oksigen mengalir, napasnya lebih teratur. “Aku baik-baik saja,” kata ibunya. “Kamu terlalu jauh memikirkan orang lain. Kamu lupa menaruh dirimu di tempat yang aman.”

Hamza memegang tangan ibunya. Ia ingin berkata semua ini demi kebaikan. Ia ingin percaya bahwa kebaikan yang disebar ke orang-orang akan kembali pada waktunya. Tapi mungkin kebaikan juga butuh alamat pos yang jelas: batas.

Di beranda rumah, pamannya—seorang tukang kayu yang jarinya selalu bau serbuk—menyulut rokok. “Ham,” katanya tanpa menoleh, “kebaikan itu seperti kursi. Kalau semua orang kamu persilakan duduk, kamu berdiri terus. Kakinmu pegal, punggungmu patah. Kebaikan yang benar itu menyiapkan kursi juga untuk dirimu.”

Kalimat itu menancap seperti paku di papan. Malam itu, Hamza menulis daftar di buku catatan kecil:

Checklist Kebaikan Sehat

  1. Batas Waktu: jam kerja dan jam pulih.

  2. Batas Tenaga: tolong bila sanggup, tolak bila melewati ambang.

  3. Batas Biaya: jangan membayar dengan kesehatan dan keluarga.

  4. Batas Hati: bantu tanpa menjual harga diri.

Ia memotret halaman itu, menjadikannya wallpaper ponsel. Di bawahnya, ia ketikkan satu kalimat: “Berbaiklah, tapi jangan sampai kamu menghilang.”

.

Kembali ke kota, minggu berganti cepat. Notifikasi menari di layar: “Ham, tolong….” “Za, segera ya….” Ia menarik garis halus yang hampir tak terlihat—mengubah “ya” menjadi “nanti,” mengubah “nanti” menjadi “tidak untuk saat ini.” Pertama kali menolak, ia merasa berdosa. Kedua kali, ia merasa lega. Ketiga kali, ia mendengar bisik-bisik.

“Kok sekarang susah ya, minta tolong sama Hamza?”
“Dulu enggak begini.”
“Mungkin dia lagi dekat sama Kelasari, jadi lupa teman.”

Di pantry, Ninggar menatapnya seperti memeriksa resi kiriman. “Za, kenapa rilis kita kemarin lambat? Padahal kamu biasa cepat.”

“Aku kerjakan di jam kerja. Kalau butuh di luar, sebaiknya diagendakan,” jawab Hamza, nadanya sedatar meja kerja.

Ninggar tertawa, suaranya kering. “Kamu berubah.”

“Aku belajar membatasi.”

Kata “membatasi” menggelinding di lantai kantor, menabrak kakinya sendiri. Hamza menangkap bekas tatapan: kecewa, bingung, marah yang disembunyikan dengan senyum. Umar menyodorkan gelas kopi. “Kamu tidak jahat karena punya batas,” katanya, seolah membaca kepala Hamza yang berisik.

Di malam lain, Kelasari menelpon. “Za, bisa tolong antar aku ke studio? Ada barang berat.”

Hamza melihat jam. Pukul sebelas. “Aku bisa besok pagi. Malam ini aku istirahat.”

Hening sebentar di ujung sana. Lalu, “Oke. Terima kasih.”

Kata “terima kasih” itu terdengar agak berbeda—lebih ringan, tidak diletakkan sebagai cap untuk ‘kamu-akan-aku-butuh-lagi’. Keesokan paginya, Kelasari tersenyum. “Kamu benar, aku juga harus belajar minta tolong tepat waktu.”

Hamza mengangguk. Dalam dirinya, ada kursi kosong yang akhirnya ia duduki.

.

Di kantor, Maktan memberi pengumuman: ada proyek baru, kolaborasi lintas divisi, butuh kepemimpinan yang “gesit namun tangguh.” Ia menunjuk Ninggar sebagai penanggung jawab. “Hamza,” katanya menoleh, “kamu dukung di belakang layar, ya. Seperti biasa. Kamu kan selalu bisa diandalkan.”

Kalimat terakhir itu—selalu bisa—dulu adalah pujian yang membuat Hamza rela mengorbankan akhir pekan. Kini, ia menatap Maktan dengan mata yang tidak minta izin pada rasa bersalah. “Aku siap mendukung, Pak—” Hamza menahan, mengingat permintaan tanpa gelar, “—aku siap mendukung, asal tanggung jawab dan kredit kinerja dibagi jelas. Nama penulis, jam lembur, dan kompensasi sesuai. Kalau tidak, aku cukup di porsi jam kerja.”

Maktan mengerutkan dahi. “Kamu jadi administratif sekali,” gumamnya, mungkin separuh mengejek.

“Biar tertib. Kita kan ingin jadi tim yang sehat.”

Rapat bergerak lagi. Di akhir, Umar—yang hadir sebagai vendor kopi untuk acara—mencolek Hamza sembunyi-sembunyi. “Baru kali ini aku melihatmu berdiri di bahumu sendiri.”

Hamza tertawa kecil. “Aku hanya duduk di kursi yang kusiapkan.”

.

Proyek itu berjalan. Tanpa kemaruk dan panik yang biasanya, Hamza mengatur flow: dokumen kerja bersama, daftar kredit kinerja yang terpampang jelas, jam lembur yang harus disetujui tertulis. Beberapa orang awalnya keberatan, merasa seperti diawasi. Lalu mereka merasakan efeknya—pulang lebih cepat, tidur lebih cukup, kerja jadi kerja, bukan pengorbanan yang tidak diakui.

Ninggar mengirim pesan larut malam: “Ada revisi. Urgen.”
Hamza membalas paginya: “Aku selesaikan setelah jam 09.00. Tolong pastikan revisinya final.”

Balasan yang datang singkat: “Baik.”
Tak ada stiker jempol palsu. Hanya kata yang menyiratkan penerimaan.

Pada puncak proyek, ketika presentasi ke klien, Maktan berdiri hendak merengkuh semua hasil. Hamza menyiapkan slide penutup yang memuat daftar nama kontributor, termasuk frontliner hotel yang menyapa tamu sore-sore, tim housekeeping yang memastikan ruang rapat tak terlalu dingin, teknisi yang memperbaiki LCD lima menit sebelum dimulai, dan tentu saja, tim kreatif yang menulis dan memotret. “Terima kasih kepada mereka yang membuat panggung ini terang,” ucap Hamza.

Ruang itu hening sebentar, lalu bertepuk. Maktan tidak bisa memotong tepuk tangan yang sudah terlanjur jatuh ke nama-nama yang dibaca Hamza. Sesuatu bergeser, perlahan, tak dramatis, tapi pasti: arah tepuk tangan kini tahu alamatnya.

Usai presentasi, Kelasari berdiri di dekat jendela besar, memotret langit yang menguning. “Aku suka caramu membagi terima kasih,” katanya. “Kamu membuat semua orang merasa pulang.”

“Kita selalu bisa pulang kalau tahu batas,” jawab Hamza, agak malu karena kalimatnya terdengar seperti kutipan di dinding kedai kopi.

Kelasari tertawa. “Tapi benar, Ham. Aku dulu sering meminta tolong seenaknya. Maaf, ya.”

“Tidak apa-apa,” kata Hamza. “Kita sama-sama belajar.”

Mereka berjalan keluar. Di trotoar, orang-orang tergesa; di kejauhan, suara tukang kue putu bersiul dari mulut uap. Hamza menawar dua bungkus, satu untuk Kelasari. Uapnya memeluk tangan, manis gula merahnya tiba-tiba mengingatkan pada rumah. Ia mengirim pesan singkat ke ibunya: “Acara lancar. Aku pulang akhir pekan.”

Ibunya membalas dengan foto halaman belakang: jemuran bergoyang, langit cerah. “Bapakmu baru selesai memperbaiki kursi,” tulisnya. “Katanya, kursi perlu disandarkan dengan benar agar tak mudah roboh.”

Hamza tersenyum. Kadang nasihat terbaik datang dari perabotan.

.

Malam itu, Hamza kembali ke kedai Umar. Aroma kopi dan suara bisik-bisik wajar menyambutnya. Di dinding, Umar menempel poster kecil: Kebaikan = Keikhlasan + Batas. “Sumbangan dari siapa?” tanya Hamza.

“Dari seseorang yang baru belajar duduk,” jawab Umar, tersenyum.

Ninggar masuk, wajahnya tidak setegang biasanya. “Ham,” katanya, “terima kasih untuk daftar kredit itu. Karyawan housekeeping bilang baru kali ini nama mereka disebut di depan klien.”

Hamza mengangguk. “Terima kasih sudah mengizinkan.”

“Dan… maaf kalau selama ini—” Ninggar berhenti, mencari kata yang tidak merendahkan dirinya sendiri, “—aku lupa bilang terima kasih dengan cara yang benar.”

“Tidak apa-apa,” kata Hamza lagi. “Kita bisa mulai ulang.”

Kelasari datang belakangan, menenteng kamera. “Za, aku dapat tawaran pameran foto kecil. Mau bantu pilih kurator?”

Hamza hampir menjawab “ya” refleks. Lalu ia menatap jam. “Kita jadwalkan hari Senin? Aku mau pulang besok, menemui ibu.”

Kelasari mengangguk, kali ini tanpa menawar. “Senin. Aku siapkan dulu.”

Mereka bertiga duduk. Ada jeda di antara kata-kata—jeda sehat yang tidak membuat seseorang merasa bersalah. Di luar, suara lalu lintas seperti deretan mesin jahit yang sabar. Kota tetap sibuk, tetapi di meja itu, tiga cangkir kopi punya waktu mendingin bersama.

.

Akhir pekan, Hamza berdiri di pantai Papuma. Ombak menggaris, memutihkan bibir pasir. Ibunya duduk di kursi lipat, selendang membalut bahu. “Kamu tampak lain,” kata ibunya, memandangi air yang berlari lalu kembali.

“Batas, Bu,” balas Hamza. “Ternyata batas itu bukan tembok. Ia jendela. Dari sana, aku masih bisa melihat banyak hal—membantu banyak orang—tanpa kehilangan diriku.”

Ibunya mengangguk, wajahnya dilukis teduh oleh cahaya pagi. “Kalau begitu, lanjutkan. Kebaikanmu akan lebih panjang usianya.”

Hamza berdiri di sebelah ibunya. Dalam benaknya, ia merapikan kursi-kursi: untuk keluarga, untuk sahabat, untuk orang asing yang suatu hari benar-benar membutuhkan, dan untuk dirinya sendiri. Ia membayangkan kantor, panggung, lift, ruang rapat, trotoar basah—semua kini terlihat dari jendela yang baru: terang, tapi tidak lagi menyilaukan.

Di layar ponsel, wallpaper catatan kecilnya masih ada. Ia menambahkan satu baris:

  1. Batas Syukur: ucapkan terima kasih pada dirimu sendiri ketika kamu berhasil mengatakan tidak.

Ia menyimpan ponsel, menatap laut. Ombak datang lagi, lebih tenang. Di kejauhan, langit membuka sedikit, memperlihatkan cahaya seperti janji yang tidak tergesa, tetapi pasti datang. Hamza tersenyum. Ia berbaik-baik pada dunia—dan akhirnya, pada dirinya sendiri.

.

Catatan Pinggir Hamza (yang ditempel di dinding dekat meja kerjanya):
Berhentilah memberi sampai kau habis.
Mulailah mencintai sampai kau utuh.

Kebaikanmu akan kokoh ketika berdiri di atas batas yang kau hormati.”

.

.

.

Jember, 4 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #GayaKompasMinggu #MenakMadura #KebaikanDenganBatas #UrbanStory #Hospitality #SelfRespect #BatasSehat #Jember #Surabaya

Leave a Reply