Tangan-Tangan Sunyi di Balik Lobi

“Kerja yang baik bukan soal tampak sibuk, melainkan bagaimana hati ikut bekerja: jujur, tekun, dan tetap berdaya meski badai datang.”

.

Di lobi hotel setinggi dua puluh lantai itu, lampu-lampu gantung berkilau seperti gugusan bintang yang sengaja diturunkan rendah agar para tamu bisa menatapnya lebih dekat. Dindingnya berlapis panel kayu bergaris vertikal, sementara lantai marmer memantulkan langkah dan nasib orang-orang yang melintas: pebisnis berjas gelap, keluarga yang menenteng koper motif kartun, dan para pekerja berseragam hitam-putih yang hafal setiap sudut cahaya dan bayangan.

Di antara mereka, Jayengrana menyusuri lobi dengan langkah yang tidak pernah tergesa. Dari kejauhan orang bisa menyangka ia sekadar staf operasi: kemeja putih yang digosok rapi, dasi abu-abu, sepatu hitam yang tak pernah berdecit. Tapi di saku kirinya ada buku kecil bersampul cokelat—bukan buku catatan tamu, melainkan buku harian tipis tempat ia mencatat hal-hal yang tak masuk standar operasional: kalimat dari tamu yang mengucapkan terima kasih sambil menunduk, wajah resepsionis yang pucat karena begadang menjaga ayahnya di rumah sakit, suara sapu Umar Maya pada dini hari.

Jayengrana menyukai jam-jam transisi: pukul lima lima puluh delapan, dua menit sebelum pergantian shift. Hotel seperti menghela napas panjang. Ia selalu menyempatkan menyalami petugas kebersihan, memeriksa suhu kopi di pantry, dan menatap papan petugas piket yang bolong satu nama—seseorang selalu tak bisa datang karena alasan yang terpaksa.

Suatu pagi, Murtasiyah berdiri di belakang meja resepsionis dengan mata yang menyala-nyala dan bibir yang rapat. “Mas Jayen,” panggilnya pelan—begitulah ia memanggil Jayengrana—“Pak Atasan minta kita mengadakan rapat mingguan, mulai hari ini… setiap hari.”

“Lho, kok setiap hari jadi mingguan?” Jayengrana tersenyum, berusaha melucu.

Murtasiyah mengedikkan bahu. “Katanya agar semua terkontrol. Detail. Sampai ke jumlah sedotan di restoran.”

Jayengrana memandang sekeliling lobi. Seorang tamu menatap jam, seorang anak kecil menempelkan hidungnya ke kaca, dan Umar Maya menarik troli perlahan, seolah takut mengganggu udara. “Kalau semua diatur sampai ke nafas, orang nanti lupa rasanya bernapas,” gumamnya. Tapi ia mengangguk, tanda memahami medan yang harus dihadapinya.

.

Rapat dimulai tepat pukul delapan. Atasan mereka, Kertawasesa, duduk dengan laptop terbuka dan nada suara yang selalu seperti perintah. “Kita kehilangan dua poin dari skor kebersihan. Saya mau jadwal pembersihan ganti tiap dua jam. Laporan via email, cc saya, cc manajer, cc direktur. Semua harus jawab dalam satu jam.”

“Baik, Pak,” suara-suara menurun, nyaris serempak.

Jayengrana menulis singkat di buku cokelatnya: Jika semua jadi email, bagaimana nasib mata yang seharusnya bertemu?

“Dan satu lagi,” lanjut Kertawasesa, “setiap staf diminta menyampaikan ide pendapatan tambahan. Bulan depan kita akan ada audit revenue.”

Rapat satu jam berakhir menjadi dua jam, bergeser ke tiga jam. Saat semua orang bubar dengan pundak lebih berat, Jayengrana menahan Murtasiyah di balik pilar kayu. “Kau sempat sarapan?”

Murtasiyah menghela napas. “Tadi makan roti kecil. Aku mengantar ibu ke puskesmas.”

“Kau butuh izin siang?”

“Tidak, aku baik-baik saja.” Ia tersenyum—senyum yang bisa membuat orang asing percaya bahwa dunia tidak sedang runtuh.

Jayengrana tahu: ada hal-hal yang tak perlu ia tanyakan lebih lanjut. Yang bisa ia lakukan adalah memastikan cangkir Murtasiyah tidak kosong, dan jadwalnya tidak menabrak jam kunjungan ke puskesmas.

.

Malam itu, setelah shift, Jayengrana berjalan kaki ke sebuah gang kecil di belakang pasar bunga. Di sana ada studio mungil yang ia sewa bersama dua temannya: ruangan delapan kali empat meter dengan lampu neon dan dinding berwarna putih yang belum sempurna. Mereka menyebutnya “Kosong Studio”—sebuah tempat kosong yang boleh diisi apa saja: kelas menulis untuk anak SMA, workshop barista murah, latihan presentasi bagi tetangga yang gemetar kalau bicara di depan umum.

“Mas Jayen telat,” sapa Lesmana, temannya yang rambutnya ikal dan kacamatanya selalu miring.

“Rapat tiga jam,” jawab Jayengrana sambil meletakkan tas. “Ada kelas apa malam ini?”

“Anak-anak magang dari restoran sebelah. Mereka mau belajar bikin portofolio side hustle,” kata Lesmana. “Kau yang isi, ya. Namamu lebih meyakinkan.”

Jayengrana tertawa kecil. “Namaku biasa saja. Tapi baiklah.” Ia menggeser kursi-kursi plastik, menyalakan proyektor murahan, dan menatap layar kosong. Di kepalanya melayang 16 hal yang belakangan sering ia ulang-ulang—bukan sebagai dogma, melainkan sebagai kompas. Malam itu ia bercerita tentang pentingnya menjaga waktu (bukan memenjarakannya), tentang tidak membalas semua email, tentang keberanian membuka usaha kecil tanpa menganggapnya pengkhianatan pada pekerjaan utama.

“Saya tetap cinta pada hotel,” ujarnya pada para peserta. “Tapi hotel tak bisa melarang kita punya mimpi lain. Pekerjaan utama adalah tulang punggung; usaha sampingan itu jaring pengaman. Kalau kapal goyah, kita masih bisa mengapung.”

Salah satu anak, Wiralaga, mengangkat tangan. “Tapi atasan saya tidak suka kami punya usaha sampingan. Katanya bikin tidak fokus.”

“Aku mengerti. Tugasmu adalah tetap menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Kalau pekerjaannya beres, apa salahnya kamu menanam bibit di tanah sebelah? Yang perlu kamu jaga adalah integritas—jangan curi waktu kantor, jangan pakai fasilitas kantor untuk bisnis pribadi. Selebihnya, kamu bertanggung jawab pada masa depanmu sendiri.”

Kelas bubar pukul sembilan tiga puluh. Lesmana mengunci pintu, dan malam menelan suara pasar yang perlahan padam. Jayengrana menatap langit kota yang tak pernah gelap total. Kota seperti hotel raksasa, pikirnya, banyak pintu yang tidak jadi apa-apa kalau tidak kita ketuk.

.

Keesokan harinya, sebuah keluhan datang melalui surel dari tamu kamar 1907: “Staf resepsionis tidak tersenyum.” Kertawasesa mencetak email itu, memberi stabilo kuning, dan menempelkan di papan ruang istirahat. “Kita mau hotel yang selalu tersenyum!” tulisnya dengan spidol merah.

Jayengrana melepas kertas itu dan menyimpannya. Ia tahu siapa pelaku yang disebut tidak tersenyum: Dewi Tunjung, resepsionis baru yang suka membaca puisi dan sering memijat pelipisnya diam-diam. Ia kehilangan adiknya bulan lalu. Orang-orang mengira senyum bisa diperintah; Jayengrana tahu senyum itu tanaman—kadang butuh musim untuk tumbuh.

“Dewi, boleh bicara sebentar?” Ia mengajak Dewi ke sudut lobi yang tidak diawasi kamera. “Kau baik-baik saja?”

Dewi menatap lantai. “Saya berusaha, Mas… tapi kadang rasanya ada beling kecil di dada.”

“Baik. Kau tidak harus memaksa senyum. Yang penting teliti dan sopan. Kalau suatu saat ingin pindah shift ke malam biar lebih tenang, bilang aku.” Ia menyodorkan kertas lipat kecil: jadwal kelas memperkuat suara dan pernapasan di Kosong Studio. “Gratis. Kuduga kau suka membaca. Mari kita latih suaramu agar kata-katamu lebih terjaga, meski hatimu belum.”

Dewi menatapnya, mata berkaca-kaca. “Terima kasih.”

Jayengrana menepuk punggung kursi, bukan bahu Dewi—ia percaya beberapa jarak harus dihormati. Ajining diri dumunung ing lathi. Harga diri ada pada lisan, tetapi juga pada cara menjaga ruang orang lain.

.

Berbulan-bulan hotel bertahan dalam tekanan angka: okupansi, indeks kepuasan, nilai ulasan. Kertawasesa membuat bagan besar di rapat bulanan—garis-garis naik-turun bagaikan denyut jantung pasien yang harus selalu bagus. “Fokus pada KPI,” katanya, “bukan pada drama.”

Jayengrana mengangguk, tetapi di dalam hatinya kalimat itu terdengar seperti seseorang yang hanya mendengar bunyi jam, bukan waktu. Ia lalu memelankan hidupnya: mengurangi balasan email pada jam di luar kerja, menolak rapat yang tidak ada agenda, dan mengusulkan satu perubahan sederhana kepada Kertawasesa—“Bolehkan kita mengganti rapat harian menjadi stand-up meeting 10 menit di lobi, sambil berdiri? Hanya poin penting.”

Mengejutkan, Kertawasesa menyetujui. Mungkin karena ia membaca artikel manajemen, mungkin karena ia sedang lelah, mungkin karena Jayengrana tidak pernah membentak.

Stand-up meeting merubah banyak hal. Orang jadi menghargai kalimat pendek, dan sisa waktu kembali ke pekerjaan: Umar Maya punya waktu untuk memeriksa bawah meja yang sering luput, Murtasiyah bisa menelepon ibunya di sela-sela, Dewi bisa membaca puisi satu halaman sebelum bekerja. Dan tak ada yang merasa bersalah karenanya.

.

Tengah tahun, kota merayakan ulang tahunnya dengan pesta kembang api yang memantul di dinding kaca. Hotel penuh. Tim F&B kerja bergantian tanpa benar-benar berganti. Pada puncak malam, listrik padam sejenak, suara tamu memekik lalu tertawa ketika genset menyala dua puluh detik kemudian. Dua puluh detik itu seperti lubang hitam kecil: semua menahan napas.

Setelah pesta usai, lobi kembali ke kebeningan semula. Jayengrana duduk di bangku dekat jendela, menghitung kembali napasnya. Tiba-tiba telepon operasional berdering: “Ada tamu jatuh di tangga pelayanan.” Jayengrana berlari ke lorong belakang, menemukan Umar Maya sedang menahan lutut seorang pria paruh baya yang berdarah. “Tamu VIP, Mas,” ujar Umar Maya. “Kuduga licin.”

Jayengrana berlutut, memeriksa luka, memberi instruksi agar memanggil paramedis terdekat. “Bapak tidak apa-apa? Ini akan perih sebentar.” Ia menatap Umar Maya. “Kau tadi yang pertama menemukan?”

“Iya. Saya dengar suara pelan, seperti sendok jatuh.”

Setelah keadaan terkendali, tamu VIP itu—pengusaha dengan senyum lebar—berterima kasih. “Anda manajer?”

Jayengrana hanya tersenyum. “Saya bagian dari tim, Pak.”

Keesokan harinya, di meja HR muncul amplop untuk Umar Maya: bonus kecil dari tamu tersebut. Ada kartu ucapan: Terima kasih untuk telinga yang peka. Umar Maya mengangkat amplop itu tinggi-tinggi di pantry sore hari, disaksikan teman-temannya, mata berkaca-kaca. “Saya cuma kerja seperti biasa,” katanya, canggung.

“Sederhana tapi besar,” ujar Jayengrana. “Ada orang yang selalu meninggikan suaranya, ada orang yang meninggikan kepekaannya. Keduanya bisa menyelamatkan.”

.

Waktu terus berjalan, dan rumor ikut berlari. Di grup WhatsApp bocor kabar: perusahaan induk akan melakukan efisiensi. Kata yang tampak netral tetapi terdengar seperti langkah kaki yang menutup pintu. Malam sebelum pengumuman, Jayengrana tidak bisa tidur. Ia berjalan ke Kosong Studio, menyalakan lampu neon, dan menatap kursi-kursi kosong. Seperti ada napas orang-orang yang pernah duduk di sana, datang dengan rasa takut yang berbeda-beda.

Pagi itu Murtasiyah menemuinya dengan mata bengkak. “Mas, kalau aku terpaksa pergi… tolong jaga Dewi.”

“Kita belum tahu apa pun,” kata Jayengrana, meski ia tahu kalimat itu tak ubahnya parasetamol untuk penyakit yang belum terdiagnosis.

Pengumuman resmi akhirnya datang: beberapa posisi digabung, sebagian kontrak tidak diperpanjang. Nama-nama dibacakan cepat, agar rasa sakitnya singkat—padahal sakit tidak mengikuti tempo. Dewi aman, Umar Maya aman. Murtasiyah? Tidak. Dunia seakan mematikan suara. Jayengrana mengantarnya ke ruang HR, menunggu di luar seperti menunggu di depan ruang operasi.

Ketika pintu terbuka, Murtasiyah keluar dengan senyum yang lama-lama roboh. “Mas, aku minta waktu seminggu untuk beres-beres,” ujarnya pelan. “Boleh?”

“Boleh.” Jayengrana mengangguk, suaranya tercekat. “Kau boleh apa saja minggu ini. Aku yang akan mengisi kekosonganmu sebisa mungkin.”

Di hari terakhirnya, Murtasiyah meninggalkan sesuatu di laci meja resepsionis—sebuah kertas terlipat berisi rute bus kota paling cepat menuju puskesmas, jadwal siswa magang yang pemalu tapi tekun, daftar tamu yang lebih suka teh melati ketimbang teh hitam. Catatan-catatan kecil yang tidak masuk SOP tetapi menyelamatkan banyak kesalahpahaman. Jayengrana membacanya seperti membaca peta harta karun.

Malamnya, di Kosong Studio, mereka mengadakan perpisahan sederhana. Ada bolu pandan, air mineral, dan tawa yang dipaksa riang. “Aku akan ikut kakakku di Sumenep,” kata Murtasiyah. “Di sana ada keluarga, ada laut. Aku akan jualan puding, mungkin juga membuat kelas kecil untuk anak-anak.”

“Kau tidak kehilangan pekerjaan,” ujar Jayengrana. “Kau sedang memulai panggung lain. Kalau butuh materi kelas, Kosong Studio selalu terbuka.”

Murtasiyah menatapnya, lalu menatap lampu neon yang menggantung rendah seperti bintang. “Mas, apa kau tidak bosan menambal hati orang lain?”

“Bukan menambal,” jawabnya. “Kita saling menyulam. Ada pola yang tidak akan jadi tanpa benangmu.”

.

Berita kepergian Murtasiyah menyebar, tetapi kerja tetap berjalan. Inilah cara kota bertahan: menggulung sedih, menyelipkan di saku, dan melangkah lagi. Dewi kini lebih tenang; suaranya di telepon terdengar bulat dan hangat. Umar Maya semakin cekatan; ia tahu titik-titik di lantai yang sering licin, tahu mana tanaman yang harus dipangkas. Jayengrana belajar percaya pada mereka lebih daripada pada bagan.

Suatu sore, seorang tamu—perempuan bergaun cokelat dengan mata tajam—mengamati lobi cukup lama, lalu mendekati Jayengrana. “Saya bekerja di bidang pelatihan. Hotel ini rasanya… beda.”

“Beda bagaimana, Bu?”

“Tidak dibuat-buat. Orang-orangnya terlihat sungguh-sungguh.” Ia tersenyum. “Apa Anda punya program khusus?”

Jayengrana menggeleng. “Kami hanya belajar tidak melakukan yang tidak perlu, Bu. Sisanya melakukan yang ringkas dan benar.”

Perempuan itu mengeluarkan kartu nama. “Kalau ingin kolaborasi, hubungi saya.”

Jayengrana menerima kartu itu. Di kepalanya, sebuah kalimat menoreh: Buatlah hal yang orang butuhkan, bukan hal yang membuatmu terlihat sibuk. Sesederhana mengangkat koper tamu yang terlalu besar, seserhana memberi izin pulang lebih cepat untuk menjemput anak.

.

Beberapa minggu kemudian, Kertawasesa memanggil Jayengrana. “Ada program pemerintah. Mereka butuh hotel untuk pilot project pelatihan pelayanan inklusif—untuk pegawai difabel, tamu lansia, dan tamu berkebutuhan khusus. Saya ingin kamu memimpin tim. Kita harus mencatat semua KPI, tentu.” Ia tersenyum kecil—senyum yang jarang.

“Baik.” Jayengrana menerima tanpa banyak kata, tapi di kepalanya sudah menyusun daftar—bukan daftar angka, melainkan daftar orang.

Ia mengundang Umar Maya untuk mengecek jalur kursi roda di lobi dan koridor. “Umar, kau yang paling peka terhadap suara troli. Suara kursi roda juga mirip troli. Katakan di mana hambatannya.”

Ia mengajak Dewi menyusun skenario percakapan untuk menyambut tamu tunarungu. “Kau suka puisi. Kalimat pendek lebih menyentuh. Tunjukkan padaku kalimat-kalimat tangan.”

Ia menulis pesan untuk Murtasiyah—kini di Sumenep—meminta resep puding yang aman untuk lansia. “Aku ingin menyajikan hidangan selamat datang yang lembut dan menghangatkan,” tulisnya. Urip iku urup. Hidup adalah nyala, dan nyala butuh bahan bakar kecil-kecil yang dirawat.

Program itu berjalan tiga bulan, dengan evaluasi kecil setiap minggu. Jayengrana mengarahkan pertemuan berdiri sepuluh menit, dan sisanya praktik. Mereka menempel tanda-tanda sederhana yang mudah dipahami, merapikan sudut-sudut tajam, menambahkan kursi berpegangan di kamar mandi tertentu. Beberapa perubahan tampak sepele, tetapi kemudian seorang tamu lansia menulis di buku kesan: Terima kasih karena hotel ini mengerti lutut saya sudah tidak setangguh dulu.

Pada penutupan program, perwakilan pemerintah mengangkat mikrofon. “Hotel ini bukan yang paling mewah yang kami kunjungi. Tapi detailnya paling hangat.” Orang-orang bertepuk tangan. Jayengrana menatap timnya—mata Dewi, tangan Umar Maya, dan bayangan Murtasiyah yang seperti ikut berdiri di antara mereka.

Malamnya, ia membuka buku cokelatnya. Di halaman terakhir, ia menulis: Fokus hasil, bukan angka. Angka akan mengikuti jika manusia ditempatkan di depan. Ajining diri dumunung ing lathi, ajining karya dumunung ing laku. Harga diri ada pada lisan, harga karya pada tindakan.

.

Suatu subuh, Jayengrana bertemu Umar Maya yang sedang menyapu halaman depan. Langit masih biru gelap, udara membawa sisa-sisa hujan. “Mas,” kata Umar Maya, “aku kepikiran membuka jasa pembersihan kecil di kampung. Boleh minta saran?”

“Tentu,” jawabnya. “Mulailah dari gangmu sendiri. Tawarkan paket mingguan. Buat akun media sosial sederhana: foto sebelum-sesudah, testimoni tetangga. Jangan lupa atur waktu. Di hotel, kau fokus kerja. Setelah pulang, kau fokus di usahamu. Kalau bisa, ajak pemuda-pemuda kampung. Sambil belajar, sambil dapat penghasilan.”

Umar Maya mengangguk, matanya bersinar seperti lampu jalan yang baru diganti. “Saya takut, Mas.”

“Takut itu seperti tali pengaman. Jangan diputus, tapi jangan dibiarkan mencekik.” Jayengrana menepuk tiang kanopi. “Kau tahu, dulu aku juga takut. Makanya kubuka Kosong Studio. Supaya ketakutan punya kursi untuk duduk, bukan untuk berlarian di kepala.”

.

Kabar kecil yang menggembirakan datang bertubi-tubi: usaha Umar Maya mendapat pelanggan tetap; Murtasiyah mengirim foto kelas literasi di Sumenep—anak-anak berbaris memegang puding hijau; Dewi diminta menjadi mentor resepsionis baru. Setiap kabar seperti lampu-lampu yang menyala satu per satu, membentuk garis di peta yang dahulu kosong.

Di tengah aliran kabar itu, Kertawasesa mendadak dipindahkan ke kantor pusat. Rapat perpisahan digelar sederhana. Ia berdiri agak kaku, lalu berkata, “Saya belajar banyak di sini. Ternyata kepercayaan memang membuat orang bekerja lebih baik.” Semua orang tersenyum. Kata-kata itu seperti permintaan maaf yang tidak diucapkan bulat, tapi cukup untuk melegakan. Kadang-kadang manusia baru bisa belajar setelah memegang kendali terlalu erat dan merasakan putusnya napas orang lain.

Pengganti Kertawasesa adalah Wiralodra, manajer yang pernah bekerja di Lombok dan Makassar. Gaya bicaranya lambat, tetapi telinganya cepat. Di pertemuan pertama ia berkata, “Saya tidak akan merombak yang sudah berjalan baik. Tugas saya memastikan kalian dapat ruang untuk tumbuh.”

Ruang—itulah kata yang selalu dikejar Jayengrana. Bukan ruangan, melainkan ruang: tempat di mana manusia tetap manusia, bukan angka yang bergerak di layar.

.

Suatu malam, hujan datang bersama angin yang mendesak jendela. Seorang tamu menulis di comment card: Saya datang sendirian, ulang tahun ke-60, dan tidak punya rencana apa-apa. Terima kasih karena hotel ini membuat saya lupa bahwa saya sendirian. Dewi menemukannya, lalu menaruh kartu itu di meja Jayengrana. “Kau pasti suka membaca ini,” katanya.

Jayengrana membayangkan tamu itu—mungkin duduk di bar, memesan teh panas, menatap air menari di jendela. Ia berjalan ke Kosong Studio malam itu juga, menuliskan rancangan program kecil: “Ulang Tahun Sunyi—Paket untuk yang Ingin Merayakan Diri Sendiri.” Ada daftar kemungkinan: kue kecil dengan nama, video ucapan dari staf yang direkam sepuluh detik, daftar buku rekomendasi di kamar, dan peta rute jalan kaki pendek dengan titik-titik tempat memotret langit. Membuat sesuatu yang orang mau, gumamnya. Bukan hal besar, tetapi cukup untuk mengisi lubang kecil di hati orang yang bahkan tak tahu bagaimana cara meminta.

Ia mengajukan gagasan itu ke Wiralodra. “Biaya rendah, dampak tinggi,” jelasnya. “Kita tidak menurunkan promo keluarga. Ini hanya menambahkan opsi. Dan program ini bisa kita kerjakan lintas divisi: F&B, Housekeeping, Front Office.”

Wiralodra menatapnya, lalu tersenyum. “Coba satu bulan. Kita ukur bukan hanya dari penjualan, tapi dari cerita yang lahir.”

Cerita yang lahir: kalimat itu seperti riak air di kolam tenang. Jayengrana pulang dengan langkah yang lebih ringan—bukan karena ia yakin akan sukses, tetapi karena ia merasa ide itu memihak manusia. Sepi ing pamrih, rame ing gawe.

.

Bulan uji coba berjalan. Tidak banyak yang memesan paket itu—hanya delapan tamu. Tapi delapan itu cukup untuk membuat lobi terasa seperti ruang tamu besar: seseorang meniup lilin sendirian sambil tertawa lalu menangis, seseorang menulis surat untuk dirinya sepuluh tahun lalu, seseorang memeluk genggaman tangan staf sambil berkata, “Terima kasih sudah ingatkan saya bahwa saya layak dirayakan.”

Umar Maya membuat sudut foto sederhana dengan lampu kuning hangat; Dewi merangkai kata-kata pendek untuk kartu ucapan; dapur menyiapkan kue-kue kecil. Jayengrana memotret dari jauh—bukan untuk posting di media sosial, melainkan untuk menyimpan momen yang mungkin akan menua di kepalanya.

Pada malam terakhir bulan uji coba, seorang tamu membawa kue kecil ke meja resepsionis. “Ini untuk kalian,” katanya. “Paket ulang tahun itu bukan soal kue atau diskon. Itu soal ada yang mengakui bahwa saya manusia yang sedang mencoba bertahan.”

Ketika lobi kembali sepi, Dewi menatap Jayengrana. “Kadang aku merasa kita hanya mengatur lampu dan suara. Tapi malam ini…”

“Kita memutar sebuah hati,” potong Jayengrana. “Itu lebih sulit daripada memutar kunci kamar.”

Mereka tertawa pelan. Hujan di luar seperti melodi yang mereka hafal tanpa menyanyikannya.

.

Suatu Jumat, Jayengrana menerima sebuah pesan: video pendek dari Sumenep. Murtasiyah berdiri di depan papan tulis, mengajar anak-anak menulis alamat di amplop. “Biar suatu hari mereka bisa menulis surat untuk siapa pun—termasuk untuk dirinya sendiri di masa depan,” suaranya jelas. Di meja ada puding hijau berbentuk perahu. Di akhir video, Murtasiyah berkata, “Mas, terima kasih. Kosong Studio itu nyata walau jauh.”

Jayengrana menahan napas. Ia menatap jendela lobi yang memantulkan dirinya sendiri: seseorang yang tidak terlalu menonjol di foto tim, tetapi selalu ada di belakang layar. “Urip iku urup,” bisiknya. Hidup adalah nyala—bukan nyala terang yang menyilaukan, melainkan nyala kecil yang tak mau padam.

Malam itu ia membuka buku cokelatnya lagi, menulis catatan yang lebih panjang dari biasanya:

—Jangan semua email dibalas; pilih yang menyalakan kerja, bukan yang menyalakan ego.
—Tidak semua rapat perlu kursi; berdiri membuat kita ingat bahwa waktu juga berdiri menunggu.
—Bantu orang lain menaikkan panggungnya; kelak mereka akan menyalakan lampu ketika panggungmu gelap.
—Jaga mulut dari kabar yang tidak kau pastikan; gosip itu seperti pasir masuk ke mesin, kecil tapi bisa menghancurkan poros.
—Belajar tanpa diberitahu; jangan menunggu poster pelatihan.
—Dan tetap rendah hati; manusia itu seperti marmer lobi—jika terlalu mengkilap, sedikit air saja akan membuatnya licin.

Ia menutup buku, menyelipkannya ke saku. Lalu, seperti biasa, ia menyusuri lobi dengan langkah yang tidak pernah tergesa. Lampu-lampu menggantung rendah, memantulkan wajah-wajah yang lelah tetapi ingin esok. Di ujung ruangan, Umar Maya menyapu, Dewi menata kunci kamar di laci, dan Wiralodra memeriksa papan informasi.

“Mas Jayen,” panggil Dewi, “ada tamu yang mau bertemu. Katanya ingin memberi masukan.”

“Baik,” jawabnya. Ia menoleh ke cermin dinding sebentar—bukan untuk merapikan rambut, melainkan untuk memastikan ia masih orang yang sama: seseorang yang percaya bahwa kecerdasan bukan hanya di kepala, tetapi juga di telapak tangan dan suku kata.

Tamu itu seorang lelaki dengan ransel dan kaus abu-abu. “Saya menginap tiga malam. Saya ingin bilang… saya merasa dihormati. Dari satpam sampai manajer.”

“Terima kasih,” kata Jayengrana.

“Bisa saya tahu, apa rahasianya?”

Jayengrana tersenyum. “Tidak ada rahasia. Kami cuma mengerjakan hal yang orang mau, bukan yang terlihat bagus di foto.”

Lelaki itu tertawa. “Itu sulit, Mas.”

“Makanya perlu banyak orang,” balas Jayengrana. “Dan ruang.”

Mereka berjabat tangan. Ketika lelaki itu pergi, Jayengrana menatap punggungnya—punggung yang mungkin akan kembali suatu hari, karena manusia selalu ingin kembali ke tempat ia dihargai.

.

Menjelang tengah malam, lobi sepi. Jayengrana menutup daftar tugas, mematikan satu per satu lampu dekorasi, menyisakan yang utama. Di tasnya, buku cokelat bertambah tebal karena banyak kertas kecil yang diselipkan—jadwal bus, resep puding, rute kursi roda, ide-ide yang belum keluar dari telur. Ia menatap sekali lagi ruangan itu: sofa abu-abu, meja kopi bulat, rangkaian bunga yang mulai mekar.

Sebelum pintu otomatis terkatup, ia menggumamkan kalimat yang tak lelah ia ulang:

“Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Ngunduh wohing pakarti. Ajining diri dumunung ing lathi.”

Di luar, jalan basah memantulkan lampu kota. Jayengrana melangkah ke arah gang pasar bunga, menuju Kosong Studio. Besok pagi ia akan kembali, dan hotel itu akan kembali jadi tempat orang-orang meletakkan lelah. Tapi malam ini, ia membiarkan sendiri dan kota saling diam sebentar—diam yang bukan kekalahan, melainkan jeda untuk memeriksa batin.

Karena pekerjaan terbaik dalam hidup sering kali terjadi dalam sunyi: saat kita mengikat ulang tali sepatu, menghela napas, lalu melangkah lagi.

.

.

.

Jember, 3 September 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #Hospitality #KearifanJawa #Kota #MotivasiKerja #Empati #SideHustle #BudayaKerja #CeritaUrban

Leave a Reply