Waras Dulu, Sisanya Menyusul!
“Keberanian tidak selalu berteriak. Kadang ia hanya duduk tenang dan berkata dalam hati: ‘Aku memilih waras.’”
.
Malam turun di kota seperti tirai tebal yang menahan napas. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan kilap basah di aspal. Lampu-lampu toko memantulkan cahaya ke genangan yang memanjang seperti cermin. Di sebuah gang sempit di belakang jalan besar, Ayunda menyalakan lampu teras kost-kostan dua lantai yang ia rawat sambil bekerja sebagai pengajar privat. Bau tanah basah bercampur aroma kopi dari warung sebelah—menenangkan, seperti selimut tipis di punggung yang letih.
Ayunda 38 tahun. Tubuhnya ramping, bahunya seperti menahan awan yang enggan bubar. Ia tinggal di lantai satu, unit paling pojok, di depan rak sepatu yang tidak lagi berbaris rapi. Di kamar itu ada meja belajar yang ia ubah jadi meja kerja—di atasnya, catatan murid, selotip, kertas karton warna, dan sebuah laptop tua dengan stiker sayap kupu-kupu yang mulai mengelupas. Di dinding tergantung tulisan tangan yang ia jepit dengan penjepit baju: “Waras dulu. Sisanya bisa menyusul.”
Namanya Ayunda. Tapi di rumah ini, sering kali ia hanya dipanggil: Bu. Bu Ayunda, Bu Guru, Bu Kost. Sebuah sapaan yang meluruhkan identitas, sekaligus melindungi. Karena kata “Bu” seperti jubah; ia menutupi luka, menenangkan anak-anak kos yang sesekali menangis diam-diam di malam hari, dan membuatnya mengingat: di atas segala label—istri, pekerja paruh waktu, perempuan yang bertahan—ia tetaplah ibu dari dua anaknya: Alif dan Aliya.
Di kota yang bergerak cepat seperti lari maraton, Ayunda memilih cara berjalan pelan. Setiap pagi ia menjemput Alif yang sudah kelas lima SD, dan Aliya yang baru masuk sekolah dasar, melewati pertigaan yang selalu macet karena bus kota dan angkot berebut ruang seperti pemain catur yang tidak sabar. Di halte itu, ada petugas yang menyiul dengan peluit kecil, dan orang-orang dengan payung hitam berlarian seperti kata-kata yang dikejar hujan.
Suaminya? Namanya Hamzah—bukan pahlawan epos menak yang gagah dalam kisah lama, melainkan lelaki kota yang kelelahan dan lupa. Ia dulu manis. Sejak tahun ketiga pernikahan, manis itu pecah menjadi serpih-serpih gosong di dasar wajan yang telanjur panas. Ia pulang larut, membawa aroma rokok dan kopi sachet yang bercampur nada suara sinis. Ada masa ketika Ayunda menunggu di ambang pintu dengan bahu yang merunduk. Ada masa ketika ia marah, berteriak, menangis. Ada masa ketika ia mengunci mulutnya sendiri, menyimpan guncang ke kamar mandi, membiarkan air keran menutup suara isak.
Kini, Ayunda tidak lagi menunggu. Ia menutup buku di jam yang ia tentukan sendiri, mendudukkan anak-anak di kursi lipat untuk mengerjakan PR, lalu memeriksa tagihan listrik prabayar, sisa uang belanja, dan jadwal privat esok hari. Waras dulu. Sisanya menyusul. Ia mengulang kalimat itu seperti doa.
.
Pagi yang basah beranjak jadi siang. Kota mengering pelan-pelan. Dari kamar atas, terdengar suara musik dangdut koplo; dari warung sebelah, suara sendok memukul wajan. Ayunda selesai mengajar anak tetangga, Anom—bocah SMP yang jari-jarinya selalu bau tinta karena suka menggambar sketsa mobil di margin buku. Sambil merapikan kertas, Ayunda menerima chat dari salah satu orang tua murid: jadwal diundur. Ia mengangguk pelan, membalas dengan emoji senyum.
“Bu, maaf, saya telat setor kost bulan ini,” kata seorang penghuni, perempuan lajang yang bekerja di mal, bernama Muningsih. Di papan kos, Ayunda menulis jadwal pembayaran pakai spidol yang sudah pudar: tanggal 1–5. Hari ini 7.
“Nggak apa-apa, Mbak. Gajian tanggal berapa?” tanya Ayunda. Ia mendengar nada suaranya sendiri: lembut tapi tegas. Ia belajar menyeimbangkan dua rasa itu seperti menaruh gelas di tepi meja yang berguncang.
“Sepuluh, Bu. Saya pasti setor,” kata Muningsih, menunduk.
“Baik. Saya catat dulu di buku ya.”
Selesai. Tak ada denda. Tak ada hardik. Ayunda tahu rasanya dikejar angka dan waktu. Kadang orang cuma butuh napas tambahan dua hari untuk tidak tumbang.
Di grup WhatsApp keluarga besar, kakak ipar memajang foto arisan. Ada kue lapis, ada pot bunga, ada obrolan kecil tentang perjalanan umroh. “Kapan Ayunda sama Hamzah ikut?” tanya salah satu sepupu. Ayunda mengetik: Aamiin. Semoga ada rezeki. Lalu menghapusnya, mengganti dengan: Doakan ya. Ia mengirim itu dan menutup notifikasi.
Hamzah pulang menjelang magrib, membuka pintu dengan kunci yang bunyinya seperti batuk. Ia meletakkan ponsel di meja, melepas kaos, dan menyalakan TV. Di beranda, anak-anak menyusun kartu remi jadi menara, tertawa kecil ketika menara itu ambruk pelan.
“Mas, makan sudah saya siapkan,” kata Ayunda.
“Nanti,” jawab Hamzah, mata tak lepas dari layar. “Kamu tadi transfer ke saya?”
“Untuk apa?”
Hamzah mengangkat alis, seolah heran Ayunda masih menanyakan. “Ada urusan.”
Ayunda tidak bertanya lagi. Ia memilih menuangkan sup ayam ke mangkuk dan memberi potongan telur dadar untuk anak-anak. Inilah teknik bertahan yang ia pelajari bertahun-tahun: menyimpan tanya untuk hal yang tidak bisa dijawab, dan menyimpan tenaga untuk hal yang harus dilakukan sekarang. Setelah anak-anak tidur, Ayunda akan menyalakan laptop, menyusun modul belajar, menghitung pemasukan privat, dan—ini yang paling baru—membuka artikel-artikel tentang dukungan psikologis gratis di kota. Ia menemukan alamat balai kota yang menyediakan konseling setiap Rabu. Ia menggerakkan kursor di atas tombol daftar, menatap lama-lama, lalu mengkliknya.
.
Rabu itu langit bersih. Ayunda memilih jilbab abu-abu, menaruh KTP dan pulpen di tas, menitipkan anak-anak ke tetangga yang baik hati, Mbok Rengganis, yang sering ke pasar subuh membawa pulang sisa sayur untuk dibagi. Di balai kota, antrean orang menunggu dipanggil, sebagian memainkan ponsel, sebagian memandangi poster tentang kesehatan mental.
“Bu Ayunda?”
Suara lembut itu milik psikolog paruh baya dengan kerudung warna hijau pastel; namanya Retna. Ia mengundang Ayunda masuk ke ruangan kecil dengan sofa abu, kotak tisu, dan jendela kecil yang menghadap taman.
“Apa yang Ibu harapkan dari sesi ini?” tanya Retna.
Ayunda mengangkat bahu. “Waras.”
Retna tersenyum. “Waras itu tujuan yang bagus. Apa yang membuat Ibu merasa jauh dari sana?”
“Suami,” jawab Ayunda, jujur seperti isi gelas yang ditumpahkan. Lalu, setelah itu, Ayunda bercerita: tentang perubahan Hamzah, tentang tudingan yang datang seperti gerimis yang tidak berhenti. Tentang perselingkuhan dua tahun lalu yang tidak benar-benar usai—bukan karena pelakunya tetap sama, melainkan karena kecurigaan yang berlalu-lalang di kepala seperti kucing liar. Tentang malam-malam ketika anak-anak tidur dan ia menyandarkan kepala di dinding, menghitung napas.
Retna tidak menyela. Sesekali ia memberi pertanyaan yang membuka bukan luka, melainkan jendela. Tentang batas, tentang daya, tentang rasa yang boleh diakui dan ditaruh di meja. Di akhir sesi, Retna menulis di secarik kertas: “Buat daftar hal-hal yang bisa Ibu kendalikan pekan ini. Kecil saja. Lalu lakukan satu-satu. Jangan semuanya.”
Ayunda mengangguk. Di luar, ia memotret kertas itu, menjadikannya wallpaper ponsel, lalu pulang. Di jalan, lampu merah menyala di perempatan. Klakson bersahutan. Seorang tukang koran mendorong gerobak, menawar-nawarkan harian yang halaman depannya penuh gambar selebritas dan kolom kecil angka-angka kurs. Kota bergerak tanpa tunggu; di dalam kepala Ayunda, ada ruang kecil yang mulai sunyi.
.
Beberapa pekan berikutnya, daftar kecil itu bertambah. Hal-hal yang ia kendalikan:
- 
Mematikan TV pukul sembilan; anak-anak di tempat tidur.
 - 
Menulis modul belajar untuk dua murid SD setiap malam, tiga halaman, tidak perlu sempurna.
 - 
Menolak marah keras pada hal yang bisa diselesaikan dengan tasbih.
 - 
Menyiapkan bekal makan siang sederhana agar tidak tergoda order berlebih.
 - 
Menjauhkan ponsel saat Hamzah mulai mencari-cari alasan mengajak debat.
 
Hamzah memperhatikan perubahan itu. Ia heran karena tidak ada yang bisa dipancing lagi dari mulut istrinya. Bukan karena Ayunda menyerah, melainkan karena ia mengganti ruangnya berkelahi. Dulu ia berkelahi di dapur, di ambang pintu, di kasur; kini ia berkelahi di buku catatan: melawan godaan menunda, melawan rasa ingin membuka chat laki-laki itu (yang mungkin ada, mungkin tidak), melawan keinginan menjejali kepala sendiri dengan asumsi.
“Kenapa kamu diam saja?” tanya Hamzah suatu malam, tatapannya menuntut.
Ayunda menatap jam dinding yang bergerak tanpa suara. “Karena kita akan mengulang kalimat yang sama,” katanya pelan. “Aku capek.”
Percakapan itu berhenti di situ, bukan karena selesai, tetapi karena kunci yang ia pilih berbeda. Ayunda tidak lagi mencari pintu untuk keluar. Ia sedang membangun pintunya sendiri di dalam rumah: pintu batas, pintu jadwal, pintu kesepakatan kecil dalam hati. Dalam doa malamnya, ia berhenti meminta agar Hamzah kembali seperti dulu; ia mulai meminta agar dirinya tetap berdiri, apa pun yang terjadi.
.
“Bu, saya boleh ikut belajar di sini?” tanya bocah kelas tiga SD yang tinggal dua gang dari rumah. Ibunya juru masak di rumah makan padang. Namanya Uma.
“Boleh, tapi kamu harus janji disiplin,” kata Ayunda. Ia menambah satu kursi lipat di ruang kecil itu; di atas meja, ia tempelkan kertas jadwal dengan spidol biru.
Kelas-kelas kecil itu berkembang seperti tanaman rambat. Mulai dari dua murid, jadi lima, jadi sepuluh. Ia tidak memungut biaya besar; justru karena itu, mulut ke mulut bekerja. Ia membuat blog gratisan—menulis tips belajar, membagikan cerita harian, menyelipkan doa. Pada malam tertentu, ia menulis dengan mata yang basah bukan karena sedih, melainkan lega: “Ternyata yang berat bukan menahan marah pada orang lain, melainkan menahan diri untuk tidak membenci diri sendiri saat gagal.”
Retna, sang psikolog, membaca tulisan itu (Ayunda mengirimnya lewat WA). “Bagus,” kata Retna di sesi Rabu berikut. “Ibu sedang belajar mengembalikan suara Ibu kepada Ibu. Tidak mudah, tapi tidak mustahil.”
Ayunda mengangguk. “Saya masih takut,” katanya.
“Takut itu manusiawi,” jawab Retna. “Yang penting, Ibu tahu kemana takut itu berjalan. Apakah ia membuat Ibu membeku, atau justru mendorong Ibu menyiapkan payung.”
Payung. Kata itu menempel di kepala Ayunda. Ia pulang membawa kesan aneh: mungkin kebahagiaan bukan taman luas yang harus dihuni, melainkan payung lipat kecil yang bisa dibuka ketika hujan tiba, digenggam sendiri-sendiri, tapi melindungi orang-orang di bawahnya.
.
Suatu malam, listrik padam sebentar. Anak-anak bersorak karena lilin dinyalakan. Di luar, suara motor melintas seperti gesekan paku. Hamzah pulang lebih cepat hari itu, menghampiri meja kerja Ayunda.
“Kamu jadi buka les beneran?”
“Sudah jalan,” kata Ayunda, menatap layar laptop. “Sederhana. Tapi cukup.”
Hamzah diam beberapa detik, lalu duduk di kursi. “Kamu nggak… marah?”
“Apa gunanya?”
Dua kata itu keluar tanpa tajam. Hamzah memandangi tangan Ayunda yang rapi, kukunya bersih meski dikikir seadanya. Ada jeda yang panjang seperti halaman kosong. Di jeda itu, Hamzah seperti melihat perempuan di hadapannya bukan lagi bisa diatur dengan nada sinis atau diperintah dengan kalimat pendek. Ada sesuatu yang tegak di belakang mata Ayunda—sebuah pagar yang tidak terlihat, baru, tidak bisa ditembus, dan barangkali tidak perlu ditembus.
Mata lilin bergoyang. Listrik menyala. Gawai berdering—pesan masuk di grup: teman lama menawarkan pinjaman cepat. Hamzah mengetik sesuatu, batal mengirim, menutup aplikasi. “Besok kamu ke balai kota lagi?”
“Tidak. Minggu depan,” kata Ayunda. “Besok saya ada kelas.”
Hamzah mengangguk, seperti sedang menerima sesuatu yang tidak bisa dikembalikan. “Butuh apa?”
Pertanyaan itu, di mulut Hamzah, seperti bukan miliknya sendiri. Ayunda menoleh. “Selama ini saya cuma butuh… kamu berhenti berteriak,” jawabnya. “Selebihnya, biar saya atur.”
Hamzah menelan ludah. Di sudut bibirnya ada garis yang lama-lama pudar. “Aku akan coba,” katanya pelan.
Ayunda tidak mengucap terima kasih. Ia tahu, perjanjian semacam ini tidak bisa disahkan oleh kalimat manis. Diuji hari ke hari, detik ke detik. Ia kembali ke laptop, mengetik judul modul: “Bahagia adalah Pekerjaan Rumah.”
.
Kota menua bersama bulan-bulan. Kalender berubah; toko mainan memasang boneka baru; pedagang kaki lima mengganti rasa cilok. Di ruang kecil itu, anak-anak belajar memisahkan peribahasa dari ungkapan, pecahan desimal dari bilangan bulat, menghafal pahlawan nasional dan tanggal proklamasi. Ayunda menempelkan peta Indonesia di dinding, menandai tempat-tempat yang ingin ia kunjungi dengan anak-anak: Jember tempat ia lahir, Surabaya tempat ia dulu kuliah, Yogyakarta yang ia hanya lihat dari foto teman, dan Jakarta—kota yang menyelipkan luka sekaligus rezeki.
Alif, yang semakin tinggi, sesekali membenarkan kacamata, menatap ibunya lama. “Ma, kalau besar nanti aku pengin kerja yang bikin Ibu nggak capek,” katanya suatu malam saat mereka mencuci piring berdua.
Ayunda tertawa pelan. “Ibu capek itu normal, Nak. Yang penting, Ibu nggak lupa istirahat.”
Aliya masuk dengan kaki mungilnya, memeluk pinggang Ayunda. “Mama wangi,” katanya.
“Wangi bawang,” sela Alif, disambut tawa kecil.
Ayunda mencium kepala dua anak itu. Dalam ingatannya, ada momen ketika ia takut anak-anak menyerap galau seperti kain menyerap air. Kini, ia belajar menambal: bukan menutup rapat-rapat, melainkan mengajarkan kata-kata untuk memahami robekan.
“Kalau ada yang bikin kamu sedih di sekolah, cerita ya,” kata Ayunda.
Aliya mengangguk. Alif juga. Di luar, azan isya selesai. Kotak sumbangan masjid diletakkan di pojok. Seorang bapak tua merapikan sandal. Malam menebarkan anginnya. Ayunda menutup jendela, merapikan tirai, dan mematikan lampu. Waras dulu, batinnya, sisanya menyusul.
.
Suatu sore ketika hujan belum sempat jadi lebat, Ayunda bertemu Retna lagi. Sesi mereka tidak panjang, tapi cukup untuk merapikan helai-helai pikirannya yang kusut. Retna bertanya tentang batas, tentang harapan yang realistis, tentang rencana B jika suatu hari rumah ini pecah.
“Saya takut jika harus pergi,” kata Ayunda. “Tapi saya juga takut kalau tetap—dan tidak jadi apa-apa.”
“Ketakutan yang berdiri di dua sisi,” Retna menunduk. “Pilih mana?”
“Saya memilih… tetap. Tapi tidak diam.”
Retna tersenyum. “Berarti Ibu memilih waras. Dan waras itu bukan peristiwa, melainkan proses.”
Kata “proses” itu memanjang di dada ketika Ayunda berjalan pulang. Di trotoar, pedagang buku bekas menatap jalan. Seorang remaja dengan jaket ojek online menunggu order. Perempuan lain menuntun anak kecil lewat air yang menggenang di cekungan trotoar. Semua orang seperti menjalankan prosesnya sendiri-sendiri: berjuang tanpa spanduk, bertahan tanpa panggung. Dan Ayunda merasa tak sendirian.
.
Pada malam tertentu, Hamzah duduk di beranda, merokok lebih pelan. “Aku dapat tawaran kerja di gudang,” katanya. “Shift malam.”
Ayunda berhenti menata modul. “Bagus,” responnya. “Kalau kamu betah.”
Hamzah mengangguk. “Gajinya nggak besar. Tapi… stabil.”
“Stabil itu baik,” kata Ayunda.
Lama-lama, percakapan mereka berubah haluan. Dari gugatan menjadi laporan. Dari sindiran menjadi pengumuman pendek: “Besok aku lembur.” “Anak-anak ada ujian.” “Token listrik tinggal 20 ribu.” Dalam perubahan itu tidak ada keajaiban, tidak ada adegan dramatis. Hanya pengurangan—satu demi satu, terhadap kalimat yang dulu menyalakan api. Mengurangi kata “kamu selalu…”, “kamu tidak pernah…”, “kamu pasti…”. Mengurangi nada tinggi yang membuat anak-anak tegang. Mengurangi pintu yang dihentakkan.
Ada hari ketika Hamzah lupa, marah memuncak, kata-kata meletup. Di hari itu, Ayunda menatap jam, memeluk Aliya yang ketakutan, dan berkata rendah: “Kita lanjut bicaranya besok.” Ia mengubah panggung: dari malam ini ke esok, dari ruang tamu ke ruang konseling, dari drama ke catatan tertulis. Di catatan itu, ia menulis hal-hal sederhana: “Aku tidak suka jika kamu menyindir di depan anak-anak.” “Aku seteju kamu kerja malam jika kamu memberi kabar.” “Aku butuh ruang sepuluh menit untuk menenangkan diri saat kamu marah.”
Tidak semua orang bisa membaca catatan seperti itu. Tapi Ayunda menaruhnya di meja, tidak sembunyi-sembunyi. Bukan ancaman, melainkan standar. Batas. Pagar.
.
“Bu, kita bikin festival kecil di gang, yuk,” ajak Anom, yang kini duduk di bangku SMA. “Acara belajar bareng. Ada stand baca, stand matematika, stand mewarnai.”
Ayunda tertawa. “Festival macam apa itu?”
“Murah meriah,” jawab Anom. “Kita cat ban bekas, jadi kursi. Kita tulis di spanduk: ‘Gang Kita Bisa Belajar’.”
Muningsih, si karyawan mal, bergabung: “Saya bisa bikin desain poster.”
Anak-anak kecil bersorak, seolah sudah mendengar gong dipukul. Ayunda mengangguk, hatinya menyala oleh ide-ide kecil. Mereka mengumpulkan iuran seribu-dua ribu, meminjam pengeras suara masjid, menjemur kertas berwarna di tali, dan menyiapkan lapak untuk buku-buku yang didonasi. Ada kue cucur, ada es lilin, ada cat air.
Di festival itu, Ayunda berdiri di depan mikrofon kecil—suara serak-serak basah karena terlalu banyak memanggil nama—dan membagikan potongan kertas dengan angka-angka. Di satu sudut, ia memasang papan bertuliskan “Waras Dulu Corner”, tempat siapa pun boleh menulis keluh kesah—tanpa nama. “Capek diomelin.” “Uang habis sebelum tanggal tua.” “Takut anak nggak lulus.” Kertas-kertas itu tertempel seperti sisik ikan: banyak, berkilau tipis saat kena matahari senja. Ayunda membacanya dalam hati, merasa dekat pada orang-orang yang tidak pernah ia kenal secara lengkap, tetapi ia pahami dalam sepuluh kata.
Hamzah berdiri beberapa meter di belakang kerumunan. Ia tidak mendekat. Tapi matanya mengikuti gerak tangan Ayunda yang membagikan pensil dan penghapus. Di wajahnya, ada sesuatu yang bergeser—bukan air mata, bukan penyesalan menghentak; mungkin pengakuan bahwa perempuan yang pernah ia kira akan selalu menunggu di ambang pintu, kini menarik garisnya sendiri di ujung gang, lalu mengundang orang lain menari bersama.
.
Malam setelah festival, anak-anak tertidur lebih cepat. Ayunda duduk di beranda, menatap langit yang bersih. Di kejauhan, lampu kota menyala seperti barisan doa yang tidak pernah lelah dikirimkan. Hamzah menaruh secangkir teh di sampingnya—tanpa bicara—lalu duduk di anak tangga. Lama. Senyap.
“Aku nggak tahu harus ngomong apa,” kata Hamzah akhirnya.
“Kadang nggak perlu,” jawab Ayunda. “Waktunya sudah lewat.”
“Lewat?”
“Waktu untuk berdebat. Untuk saling membuktikan siapa yang paling benar. Untuk menagih janji yang sudah lama tidak terasa.”
Hamzah mengangguk. “Lalu… apa?”
“Ada waktu untuk bekerja sama,” kata Ayunda. “Kalau kamu mau.”
Hamzah tidak menjawab. Ayunda juga tidak menuntut jawaban malam itu. Ia mengangkat cangkir, menghirup teh yang hangatnya jatuh pelan ke perut. Waras dulu, ulangnya. Ia belajar menikmati jeda baru: bukan sunyi yang menakutkan, melainkan hening yang memberikan ruang.
.
Beberapa bulan berlalu. Hamzah menepati shift malam. Kadang ia pulang dengan kantuk yang berat, dan Ayunda membiarkan seprai berkerut tanpa menggerutu. Kadang ia membawa pulang roti sisa dari gudang. Kadang ia lupa mengabari, dan Ayunda menandai itu di buku, untuk dibicarakan hari Rabu. Tidak ada pernikahan yang berubah jadi film sekali putar; tidak ada kredit akhir yang jatuh dari langit. Hanya harian yang ditata ulang: lebih rapi, lebih sederhana, lebih terukur.
Di dinding, jadwal les semakin padat. Di kaleng biskuit bekas, tabungan kecil bertambah. Suatu hari, Ayunda membeli printer bekas yang masih bagus; hari lain, ia mengganti lampu meja dengan yang lebih terang. Dalam hal-hal kecil itu, ia menemukan rasa menang yang tenang—bukan menang atas Hamzah atau atas masa lalu, melainkan menang atas diriku yang nyaris menyerah, katanya kepada dirinya sendiri di kaca kamar mandi, sambil mengelap embun.
Retna pindah dinas ke kota sebelah; mereka berfoto di depan balai kota. “Ibu sudah jauh,” kata Retna. “Jangan lupa, waras itu seperti otot. Harus dilatih.”
Ayunda tersenyum, mengucap terima kasih. Sepulang dari sana, ia melewati pertokoan yang menjual kain seragam sekolah. Di etalase, manekin kecil memakai dasi merah. Ia membayangkan Aliya memakai seragam baru—bukan sebagai penanda orang tua kaya, tapi sebagai tanda bahwa putaran tahun bergeser, dan mereka ikut bergerak.
Di gang, Anom memotret mural baru yang ia gambar: payung-payung warna yang menaungi orang-orang tanpa wajah. Di bawahnya, ia menulis: “Kita nggak harus sama untuk saling menjaga.”
Ayunda berhenti, membaca pelan-pelan, lalu menepuk punggung Anom. “Keren,” katanya.
.
Setahun berselang. Kota mengganti baliho. Pemilu lewat—janji-janji yang ditulis besar di spanduk kini dilipat jadi agenda rapat yang tidak terdengar. Di rumah ini, tidak ada pesta. Hanya ada kue bolu sederhana untuk ulang tahun Aliya. Di atas kue, dua lilin kurus; di depan meja, tiga wajah yang saling memantulkan cahaya.
“Make a wish,” kata Alif.
Aliya menutup mata. “Semoga Mama sehat,” ucapnya pelan.
“Yang lain?” tanya Ayunda, separuh bercanda.
“Semoga Papa baik,” tambah Aliya, membuka mata.
Hamzah berdiri, mencium kepala Aliya. “Papa belajar,” katanya, canggung tapi jujur.
Ayunda menangkap kalimat itu seperti menangkap daun yang jatuh: tidak disimpan di saku—cukup dilihat dan dilepas. Ia menyalakan kipas untuk meniup sisa asap lilin, lalu memotong kue. Di meja, remah-remah jatuh seperti salju tipis. Di sudut, printer berdengung, mencetak jadwal kelas minggu depan. Di kepala Ayunda, ada satu kalimat yang ia catat malam itu di blog pribadinya: “Seorang perempuan bisa memilih bertahan tanpa menjadi tawanan. Caranya: membangun pintu di dalam dirinya.”
.
Di sebuah Minggu yang malas, Ayunda pergi ke taman kota dekat alun-alun. Ada senam pagi, ada pedagang telur gulung, ada keluarga yang memotret di depan patung. Ia duduk di bangku, mengeluarkan buku dari tas: novel lama yang ia beli dari pasar loak. Di sebelahnya, dua ibu berdiskusi tentang harga cabai; di depan, anak-anak berlari mengejar balon.
Seorang perempuan duduk tak jauh, menatap kosong, lalu menghela napas panjang yang terdengar. Ayunda melirik, menawarkan senyum. Perempuan itu membalas ragu.
“Kamu terlihat capek,” kata Ayunda pelan, suara orang asing yang memulai obrolan tanpa niat usil.
Perempuan itu tertawa hambar. “Aku sedang…”—ia mencari kata—“belajar waras.”
Ayunda menutup bukunya, mengangguk panjang, memberikan ruang. Dalam hati, ia ingin berkata banyak hal: tentang balai kota, tentang Retna, tentang daftar kecil yang menyelamatkan, tentang pintu yang dibangun pelan-pelan. Tapi ia memilih kalimat paling sederhana yang paling benar di hidupnya:
“Pelan-pelan saja,” katanya. “Mulai dari hal yang kamu bisa pegang.”
Perempuan itu menatapnya, ada air mata yang tidak jatuh. “Terima kasih.”
“Mau teh hangat?” tawar Ayunda, mengeluarkan botol termos kecil dari tas. Mereka minum. Angin pagi menyelip di antara rambut dan jilbab, menepuk bahu seperti teman lama. Kota masih keras, tapi ada bangku-bangku kecil untuk duduk; ada orang-orang yang, tanpa tanda pengenal, menjadi penyangga sementara untuk orang lain.
.
Malam itu, Ayunda menulis lagi. Di atas kertas, ia membubuhkan kalimat yang sejak lama ingin ia pasang di pintu kamar—bukan untuk Hamzah, bukan untuk tamu, tapi untuk dirinya sendiri:
“Aku tidak akan meminta orang lain menjadi rumahku. Aku akan membangun rumahku sendiri—tanpa pintu, tanpa pagar, tapi dengan batas yang kupahami.”
Di bawahnya, ia menambahkan, seperti catatan kaki: “Jika satu hari harus pergi, aku pergi dengan cara yang penuh. Jika satu hari tetap tinggal, aku tinggal dengan cara yang utuh.” Ia menempelkan kertas itu dengan selotip, merapikan ujungnya agar tidak mengelupas.
Hamzah masuk ke kamar, melihat kertas itu. Ia tidak bertanya. Ada hal-hal yang tidak perlu dijelaskan, karena dijalani.
“Besok aku antar Alif kursus, ya?” kata Hamzah.
“Iya.”
Mereka tidur bersebelahan. Tidak rapat, tidak jauh. Di jendela, lampu jalan membiaskan cahaya tipis. Di luar, kota bernafas lewat sirene yang jauh sekali—cukup untuk mengingatkan bahwa hidup berjalan, detik berganti, orang-orang bergerak dengan alasan masing-masing. Ayunda menutup mata. Waras dulu, bisiknya sekali lagi—bukan mantra pengusir setan, melainkan syllabus hidup yang ia tulis sendiri, pelajaran demi pelajaran, sampai ia lulus dari luka, atau setidaknya bisa mengajarkan orang lain cara bernafas di tengah bising.
.
Esok pagi, Ayunda mengantar muridnya yang paling kecil pulang, Uma, melewati gang yang menuju jalan besar. Di tembok, mural Anom masih utuh—payung-payung itu seakan mekar ketika matahari menyapa. Ayunda berhenti, memotret mural itu, mengirimkannya ke blog.
Di caption, ia menulis:
“Hidup tidak selalu memberi kita pintu yang enak diketuk. Kadang kita harus mencoretnya di dinding sendiri, membuka dan menutupnya dengan kunci yang kita buat dari keberanian.”
Ia menekan tombol unggah, menatap layar sebentar, lalu memasukkan ponsel ke tas. Di ujung gang, Alif melambaikan tangan; Hamzah berdiri di belakangnya, mengangkat helm. Aliya menari kecil di atas ubin, menyanyikan lagu yang ia karang sendiri: “Waras, waras, waras…”
Ayunda tertawa, berlari kecil menyusul. Kota di depannya masih sama: lampu merah yang malas, orang-orang yang tergesa, tukang parkir yang meniup peluit. Tapi sesuatu di dalamnya sudah lain: ada pintu yang tidak terlihat, terbuka ke sebuah halaman yang luas, tempat ia bisa menaruh kursi dan duduk, meneguk teh, dan menulis lagi.
Dan jika hari ini ditutup seperti buku yang habis dibaca, ia akan menaruh pembatas halaman di tempat yang tepat: malam saat ia memilih waras, dan sisanya menyusul.
.
.
.
Jember, 24 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMingguStyle #PerempuanKuat #RumahTanpaPintu #KesehatanMental #UrbanLife #BertahanDenganBatas #WarasDulu