Kota, Konflik, dan Air yang Mengalir
“Konflik bukanlah musuh. Yang menjadi musuh adalah ketika kita membiarkan ego lebih keras dari akal, dan diam lebih lantang daripada kejujuran.”
.
Pagi turun ke Jakarta seperti abu tipis dari tungku yang tak pernah padam. Di kaca lobi Hotel Gerbang Sagara, wajah Jokotole terbelah oleh garis tipis pintu—bayangan yang membuatnya selalu ingat bahwa manusia bisa berwajah dua: yang ingin menang, dan yang ingin menyelesaikan. Ia menegakkan termos kopi kesayangannya di atas meja resepsionis, menyapa seorang satpam yang menguap sopan, dan menoleh ke jam digital yang sudah bersiap berlari dari angka sembilan.
Joko tak suka bicara keras; suaranya dipupuk oleh kebiasaan mendengar. Anak Magetan yang tiba di Jakarta dengan bus malam, kartu identitas yang baru dicetak, dan doa ibu yang diselipkan di lipatan kaus. Di hotel inilah ia belajar bahwa kerja yang benar sering kali tak berbunyi, tetapi selalu meninggalkan bekas: pintu yang tak lagi macet, tamu yang tak lagi menggerutu, karyawan yang pulang dengan kepala tidak tertunduk.
Pagi itu rapat besar akan digelar. Hotel baru saja menukar baju manajemen; jargon-jargon segar berloncatan di koridor: sinergi, lompatan, transformasi. Namun Joko tahu, kata-kata semanis apa pun tetaplah gula yang harus larut dalam air kerja. Kalau tidak, semut yang datang duluan.
Ruang rapat di lantai dua memantulkan cahaya yang agak pucat. Di dinding menggantung poster oranye: Lead for impact, not for power. Kata-kata itu cantik, tapi wajah rapat-lah yang kelak menentukan apakah ia jadi doa atau dekor.
Hamzah, general manager yang baru, membuka pertemuan. Di kanan duduk Wirara dari SDM—tenang seperti permukaan air yang menyembunyikan arus. Di kiri Laila dari pemasaran, yang cara bicaranya rapi seperti kalender konten. Orang-orang dari banquet, keuangan, dan engineering memenuhi kursi-kursi, membawa notulen, ponsel, dan secuil ambisi.
“Kita mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah konferensi fintech,” kata Hamzah. “Seribu peserta. Tiga minggu lagi. Aula, kamar, makan siang, gala dinner. Pertanyaan pertama: siapa memimpin proyek ini?”
Pertanyaan itu lepas dari mulutnya seperti bola api kecil yang menyulut udara. Ruangan hangat, lalu memanas. Satu orang dari banquet mengacungkan tangan, menyebut pengalaman di hotel lama. Seseorang dari keuangan berbicara lebih panjang, menggelindingkan angka-angka yang dipercaya bisa menutup mulut orang lain. Semua ingin terlihat berguna, tetapi di mata Joko, yang bergerak justru urat di leher.
Ia menatap poster oranye yang tetap tersenyum. Lalu berdiri, berjalan menuju whiteboard.
“Boleh saya mengusulkan cara mengelola konflik sebelum kita berbagi tugas?” Joko berkata pelan. “Karena konflik akan ada. Tinggal kita pilih bentuknya.”
Ia menarik garis panjang, membagi papan menjadi dua. Di kiri ia menulis: Konflik yang Memecah, dan di bawahnya tiga butir: Kuasa & Ego—perebutan jabatan, siapa paling lantang; Politik Dalam—keputusan atas kedekatan, informasi disaring; Konfrontasi Pasif—rapat tampak setuju, eksekusi diam di tempat. Di kanan ia tulis: Konflik yang Menyambungkan, di bawahnya Debat Ide—serang ide, bukan orang, uji hipotesis; Perbaikan Proses—berbeda metode, prototipe cepat, tanggung jawab jelas.
“Usul saya,” lanjutnya, “proyek dipimpin tim kecil lintas divisi. Rapat maksimal empat puluh lima menit. Setiap usulan diuji hari yang sama dalam skala kecil. Tak ada kalimat ‘setelah dipertimbangkan’, yang ada ‘setelah dicoba’. Saya bersedia memandu mekanismenya.”
Hamzah menatapnya. Ada ragu sekejap, lalu angguk yang bertanggung jawab. “Baik. Tim inti: Laila dari pemasaran, Amir dari dapur, satu orang dari engineering. Joko memandu metode. Wirara, pastikan tetap ada PIC untuk tiap aktivitas.”
Pertemuan kembali bergerak. Namun kini mesin yang dinyalakan bukan mesin perebutan, melainkan mesin kerja.
.
Hari-hari berikutnya mengalir cepat seperti montase yang tak dibutuhkan arahan kamera. Di dapur, Amir menyiapkan rawon mini: kuahnya hitam sopan, daging direbus sabar, kemangi disobek halus agar wanginya menyelusup pelan. “Kalau disajikan dalam cup kecil, tamu bisa makan sambil berjejaring,” katanya pada Joko, bangga seperti anak yang memperlihatkan gigi susu pertamanya.
Di ruang meeting kecil yang kemudian mereka sebut “Ruang Uji”, sticky notes berwarna-warni menempel saling berhimpitan. Laila mengusulkan dinding digital untuk swafoto peserta; engineering mencari rute kabel agar tak menubruk tamu. Setiap usul melewati tiga pertanyaan sederhana: masalah apa yang dipecahkan? bagaimana kita uji hari ini? apa dampaknya jika gagal? Pertanyaan yang terdengar sederhana tetapi bekerja seperti jam tangan tua: telaten, konsisten, tak tergoda berlari.
Di koridor, petugas housekeeping ikut menandai jam-jam rawan penumpukan troli. Di lobi, front office melatih senyum yang tidak palsu, senyum yang tak memaksa, senyum yang—kalau bisa—ikut menurunkan tekanan darah. Debat ide terjadi, kadang tajam, tetapi tak pernah menusuk orang. Joko, ketika suara mulai meninggi, akan mengetuk meja dua kali, mengingatkan bahwa yang diserang adalah gagasan, bukan yang membawa gagasan.
Dan seperti umumnya kota yang tak suka terlalu mulus, ujian datang pada jam yang tak sopan: 22.37 dua hari sebelum acara. Pompa air utama melemah; tekanan menurun. Lantai-lantai atas mandi dengan bunyi “ngik…ngik…” yang membuat orang ingin berteriak. Grup chat mendidih: “Bos, air tipis.” “Kalau begini, rating bisa jatuh.”
Rapat darurat dibuka. Kecurigaan lebih cepat datang daripada teknisi. Seseorang hendak menunjuk pihak yang salah. Joko menahan nafasnya agar tidak berubah jadi letupan.
“Masalahnya jelas: tekanan turun,” katanya. “Hipotesis: pompa kelelahan, bypass belum optimal. Uji cepat: pasang pompa cadangan paralel, jalur sementara ke lantai tujuh belas. Amir, bisakah meminjam dua tenaga dapur untuk mengangkat pipa? Laila, hubungi vendor dan minta teknisi malam ini.”
Semua bergerak. Dua teknisi datang, jaket basah oleh sisa hujan. Kunci pas bertemu besi; dentangnya seperti doa mekanik. Pukul dua lewat sedikit, air kembali bernyanyi di shower. Di grup chat, emotikon air biru dikirim bergantian. Joko duduk di tangga servis, meneguk kopi yang sudah dingin. Laila menyodorkan roti, ia menolak sekali, tapi lapar punya caranya sendiri untuk memenangi perdebatan.
“Kau tidak menyalahkan siapa pun,” kata Laila.
“Karena kalau kita sibuk menyalahkan,” Joko menatap pipa, “airnya tetap tidak keluar.”
.
Konferensi berlangsung. Seribu nama ditempel di lanyard. Aula penuh suara yang ingin didengar. Breakout room tertata, snack datang tanpa plastik sekali pakai. Ada celah kecil: mikrofon mati sebentar, kue penutup terlambat lima menit. Namun celah-celah itu seperti goresan kecil pada kulit yang sehat—segera mengering karena tubuh bekerja memperbaiki.
Penyelenggara menulis ulasan hangat. Tepuk tangan terasa seperti angin yang sopan. Malamnya, email datang dengan judul yang tidak memerlukan huruf besar: Pengumuman Perubahan Struktur. Esoknya, di ruang rapat yang sama, Hamzah menyampaikan kabar bahwa manajer proyek acara permanen diisi oleh Sagara, orang kantor pusat yang “pengalamannya panjang”. Tepuk tangan sopan. Joko merasakan selembar kertas ditarik dari tangannya pelan-pelan. Ia tak marah. Hanya pahit yang jujur—pahit yang bisa diminum seperti kopi, asal tak ditambah gula iri.
Di atap parkir, Jakarta memamerkan kabel-kabelnya. Ponsel Joko bergetar: Laila menulis, “Namamu mungkin kecil di spanduk, tapi besar di laci-laci kerja.” Ia membalas dengan emotikon jempol—laki-laki yang baik sering kekurangan kosakata untuk membalas kebaikan.
.
Musim berganti. Sagara memimpin acara besar, beberapa berjalan mulus, beberapa goyah seperti bangku yang salah satu kakinya kependekan. Joko menjaga agar “Ruang Uji” tetap bernapas. Ia mulai setiap rapat dengan dua menit diam—bukan meditasi, melainkan jeda untuk menurunkan ego. Keheningan itu ternyata seperti sendok kecil yang bisa mengaduk galau di cangkir.
Suatu siang, ulasan tamu muncul: “Kolam renang kotor, banyak serpihan tisu. Tidak nyaman.” Kalimat pendek itu seperti paku kecil yang bisa membuat sebuah mobil berhenti. Joko membaca pelan, lalu mengajak rapat.
“Jangan defensif. Balas singkat, hangat, berisi janji yang bisa kita tepati. Lalu kita cari sumber.”
Pool attendant bercerita bahwa tisu di meja poolside mudah terbang ditiup angin. Filter pun bekerja terlambat. Solusinya sederhana: dispenser tertutup, patroli tiap dua jam, filter dinyalakan pukul empat tiga puluh. Laila menulis jawaban yang ramah; Amir menambah minuman hangat di pool bar selama satu minggu sebagai permintaan maaf. Tamu itu membalas: “Terima kasih, saya akan datang lagi.” Luka kecil itu menutup, meninggalkan bekas yang justru mempertebal kulit.
Di sisi lain, budaya konfrontasi pasif—musuh paling sulit dilihat—menetes seperti kabut di lorong. Rapat yang semula “iya” berubah menjadi “nanti” lalu “lupa”. Safar, karyawan muda yang bersemangat, dipindah ke laundry dengan capaian “kurang inisiatif”. Ia bertemu Joko di tangga servis, menaruh wajahnya seperti payung yang baru saja dilipat.
“Pak, saya seperti lampu yang redup,” katanya.
“Besok subuh,” kata Joko, “kita belajar. Pilih area yang paling membuatmu takut. Tak apa salah, asal mau diajari.”
Mereka berjalan dari lorong ke lorong. Safar belajar mendengar ketukan sebelum tamu mengetuk. Belajar memegang plunger tanpa bising berlebihan. Belajar membedakan suara pipa yang minta bantuan dan suara pipa yang cuma ingin diajak bicara. Dua minggu kemudian, ia menyelipkan secarik kertas ke laci Joko: Terima kasih. Di laundry pun aku akan coba memberi terang. Kertas itu digandakan menjadi keyakinan kecil: bahwa tugas pemimpin adalah memantulkan cahaya, bukan menelan.
.
Atasan baru datang dengan niat baik dan daftar ceklis yang membuat kertas A4 keteteran. Ia mengusulkan rapat harian panjang. “Agar semua searah,” katanya. Rapat berubah menjadi pembacaan berita, orang-orang duduk seperti penumpang bus yang diikat sabuknya: tak bisa turun, tak bisa bergerak. Pekerjaan molor, keluhan mencari jalan.
Joko menempelkan papan kecil di belakang kantor: Apakah rapat kita menyelesaikan masalah atau sekadar mengalihkan rasa bersalah? Orang-orang menulis contoh: duplikasi tugas, persetujuan berlapis, informasi yang berputar sebelum tiba. Laila bicara di forum resmi; Amir membawa angka jam kerja yang hilang. Atasan baru mengangguk-angguk, lalu mengizinkan rapat dipangkas. Pekerjaan kembali merayap—tidak lari, tetapi lebih dekat sampai.
Di hari-hari seperti itu, Joko belajar membedakan lelah yang layak dan lelah yang mubazir. Lelah layak membuat tidur lebih lelap. Lelah mubazir hanya membuat punggung tambah bengkok.
.
Musim hujan datang seperti lagu lama. Konferensi perusahaan besar berlangsung di hotel. CEO penyelenggara terkenal perfeksionis; kameranya melihat hal-hal kecil yang orang lain lewati. Lima menit sebelum pidato pembuka, langit menumpahkan listriknya. LED meredup, audio mendengung. Kepanikan adalah makhluk yang cepat berkembang biak; ia tumbuh dari ujung kabel ke ujung bibir manusia.
“Siapa tanggung jawab?” seseorang berteriak; suaranya menajamkan udara.
“Masalah: tegangan drop,” ujar Joko tenang. “Hipotesis: beban LED dan audio memicu proteksi. Uji cepat: alihkan sebagian beban ke genset portable; matikan dekor lamp empat puluh persen. Laila, panjangkan praacara dua menit. Amir, tunda pembukaan coffee station di sisi barat agar stop kontak bebas.”
Mereka bergerak. Engineering membuka panel seperti membuka dada robot. Keringat bercampur hujan, kabel-kabel disambungkan seperti jari-jari yang kembali berpegangan. Laila di panggung melempar kalimat ringan tentang “ritual hujan pembuka rezeki”. Penonton tertawa, waktu membeli napas. Dua menit. LED menyala stabil. Audio bersih. Pidato dimulai tepat pada nada yang direncanakan. Ketika tepuk tangan meletup, Joko duduk di kursi plastik belakang panggung. Ia tidak menang; ia hanya selesai.
“Lagi-lagi kamu memilih konflik yang menghubungkan,” bisik Laila sambil menyodorkan handuk kecil.
“Karena orang datang ke hotel bukan untuk melihat kita bertengkar,” jawab Joko. “Mereka datang untuk merasa baik-baik saja.”
.
Ulang tahun hotel datang. Tumpeng dirapikan, pita dipotong. Sagara memaparkan capaian: okupansi naik, pendapatan banquet mengisi, ulasan negatif turun. Semua wajar diberi tepuk tangan. Di sela-sela lampu kamera, Hamzah mendekat pada Joko.
“Maaf kalau dulu tak semua adil,” katanya lirih. “Aku belajar.”
Joko mengangguk. Di dunia kerja, permintaan maaf yang jujur sering lebih mahal daripada bonus. Ia menyimpannya di saku bersama kunci-kunci kecil yang tiap hari ia putar.
Malamnya, ketika lobi sudah kembali menjadi ruangan yang dibiarkan kosong oleh para tamu, Joko berdiri di depan poster oranye yang mulai kusam. Ia tak tergoda mencopotnya. Poster itu bukan kitab suci; ia hanya cermin. Ia mengembalikan wajahnya sendiri—jelek bila malas, biasa bila sekadar menggugurkan tugas, dan boleh jadi indah bila ia pantang menyerah.
Ia menulis di buku kecil:
Bila suara meninggi, tanyakan data dan uji.
Bila rapat jadi panggung, kembalikan ke proses.
Bila kredit jatuh ke nama lain, ingat bahwa dampak bertahan lebih lama.
Bila hatimu pahit, seduh kopi, ajak orang duduk. Minta maaf. Terima kasih. Ulangi.
Bukunya kecil, tetapi semakin lama isinya mirip peta kota: ada jalan yang harus dihindari, ada gang pendek yang menghemat waktu, ada tikungan yang setiap kali dilalui membuat kita ingin menertawakan diri sendiri.
.
Jakarta menutup hari dengan lampu-lampu yang pura-pura bintang. Joko berdiri di depan lift service yang akan menurunkannya ke basement. Pintu lift memantulkan wajahnya, tidak lagi terbelah. Ia tahu, esok akan ada rapat lagi, acara lagi, suara yang lebih keras dari suaranya. Ia juga tahu, di antara ego dan ide, seseorang harus menjaga agar ide tak pulang terlalu cepat.
“Bekerja itu seperti menjaga air,” kata ibunya dulu, di sebuah sore Magetan yang sangat jauh dari sini. “Bila tersumbat, jangan marah pada sumur. Buka pipa, periksa arah, dan bila perlu, pinjam tangan tetangga.”
Joko tertawa pelan, sendirian. Ia menekan tombol, melangkah masuk. Di belakangnya, lorong hotel memanjang, menyimpan bau sabun dan sisa kopi. Di depannya, pintu lift tertutup dan kota berputar lagi—dengan segala perebutan, jeda, dan harapan—seperti air yang akhirnya mengalir karena seseorang memutuskan memperbaiki.
Dan malam pun terasa lebih masuk akal.
.
.
.
Jember, 21 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #Kepemimpinan #BudayaKerja #DebatIde #ProcessImprovement #Hospitality #CeritaUrban #MenakMadura #LeadForImpact