Ketika Diam Menjadi Suara
“Yang mengerti akan tetap mengerti, meski kita tak berkata apa-apa. Yang memilih buta, tak akan melihat walau kita menyalakan pelita.”
.
Hujan menyapu kaca bus Transjakarta malam itu, memecah lampu-lampu kota menjadi garis-garis panjang seperti benang kusut. Umarmaya—yang oleh teman kantor dipanggil Umar—menganggapnya mirip pikirannya sendiri: kusut, berkilau, diseret angin. Ia menempelkan kening ke jendela. Dari halte Dukuh Atas sampai Matraman, kota tak berhenti mengajar manusia tentang kecewa dan cara-cara berdamai dengannya.
Umar baru saja keluar dari rapat yang rasanya seperti sidang tanpa hakim. Orang-orang berbicara bersamaan, saling menatap seolah sedang mencari kambing hitam di antara tumpukan presentasi. Ia menahan diri untuk tak menyela; separuh hidupnya habis karena berusaha menjelaskan hal-hal yang sebenarnya sudah jelas. Pengalaman mengajarinya: di hadapan orang yang pandai memutarbalikkan cerita, pembelaan hanya akan menjadi bahan baru untuk dibalik lagi.
Di ujung kursi panjang bus, ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Umarmadi—yang oleh semua orang disebut Madi—muncul dengan santai seperti angin yang berlagak tak bersalah: “Mas, maaf kalau tadi aku terlalu jujur. Semua demi kebaikan tim.”
Umar menatap layar itu lama. Jujur? Kata yang indah, tapi di mulut Madi, kata itu sering berubah menjadi alat bedah yang tajam: mengiris pelan-pelan reputasi orang lain, sambil tersenyum, sambil mengaku peduli. Di kantor agensi iklan tempat mereka bekerja, Madi punya reputasi: ramah pada atasan, hangat pada rekan, ringan tangan urusan kerja. Tapi di sela-selanya, ia lihai memainkan peran korban; pahlawan yang selalu hampir jatuh, hampir gagal, hampir ditindas—hingga siapapun yang menegurnya akan tampak seperti pelaku.
Umar mengetik jawaban pendek lalu menghapusnya. Diam. Malam itu ia memilih diam.
.
Di apartemen studionya di Kalibata, Umar menyalakan lampu meja, membuat mie rebus, dan membuka buku catatan tua. Di halaman paling belakang, ada kalimat yang ia tulis bertahun-tahun lalu, saat sebuah komunitas kreatif yang ia dirikan bubar karena fitnah:
“Yang mengerti akan tetap mengerti. Yang memutuskan buta, tak akan melihat meski kita menjemputnya dengan pelita.”
Ia pernah berusaha menjemput pelita itu. Waktu di kampus dulu, Madi menuduhnya mengambil dana kas komunitas untuk kepentingan pribadi. Umar mengumpulkan bukti, kuitansi, dan saksi. Semuanya jelas. Tapi Madi menjadi korban yang fasih: bercerita tentang keluarga yang sedang sakit, tentang kesalahan yang terjadi karena kelelahan, tentang betapa Umar terlalu kaku seperti auditor. Orang-orang percaya pada kisah yang lebih enak didengar. Komunitas pecah. Umar belajar menutup buku, pindah kota, dan memulai ulang.
Kali ini, cerita yang berulang turun di Jakarta—hanya panggung yang berganti. Proyek iklan untuk sebuah merek minuman energi hampir gagal karena pihak vendor merasa tak dibayar tepat waktu. Madi, yang mengurusi administrasi, menyebut Umar terlambat mengunggah purchase order. Dalam rapat, Madi berkata dengan suara serak-serak tanggung yang selalu terdengar tulus, “…aku tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Mungkin kita semua lelah.” Kalimat itu membuat semua merasa bersalah, kecuali dia.
Umar tahu purchase order itu sudah terunggah tiga hari sebelumnya. Ia punya buktinya. Ia bisa saja menunjukkannya di rapat, membantah, membalikkan, bahkan membongkar kebiasaan Madi menunda pembayaran vendor untuk memainkan angka cash flow. Tapi ia menahan diri. Bukan karena takut; hanya karena mengerti. Setiap bantahan adalah panggung bagi Madi untuk kembali terlihat disakiti.
Malam itu, setelah mie-nya habis, Umar menulis lagi di buku catatan: “Diam bukan kalah. Kadang diam adalah cara paling keras untuk berkata: aku sudah tahu permainan ini, dan aku tak ikut lagi.”
.
Keesokan paginya, Jakarta berbau tanah basah. Di lobi kantor, Umar berpapasan dengan Amir, kreatif direktur yang rambutnya setengah putih dan senyumannya selalu menyelamatkan orang dari niat mengeluh. “Pagi, Mar,” sapanya. “Vendor sudah aman. Aku turun tangan semalam. Kau ke lapangan saja. Shooting hari ini tetap jalan.”
“Terima kasih, Mir.” Umar lega. Amir tak banyak tanya. Di dunia yang gemar mengadili, jarang ada orang yang memilih percaya duluan.
Lokasi syuting berada di gang sempit dekat Pasar Baru. Mereka menutup jalan separuh, mengatur lampu, memasang rig kamera. Umar merasa damai dikelilingi kerja nyata; tak ada gosip di suara genset yang bergemuruh. Di sela-sela pengambilan gambar, ia melihat seorang anak kecil berlari membawa payung patah, lalu berhenti memperhatikan kru menyalakan smoke machine. Anak itu tertawa—tawa yang jujur, tawa yang belum pernah mengenal permainan peran orang dewasa.
“Mas mau rokok?” tanya seorang satpam pasar, menawarkan sebungkus kretek. Umar menggeleng. Mereka bercakap tentang banjir kemarin, tentang harga cabai, tentang gosip pedagang yang menikah lagi diam-diam. Percakapan ringan yang anehnya justru menguatkan: di luar kantor, hidup berjalan apa adanya. Tidak ada rapat untuk menilai siapa paling benar di antara yang hanya ingin bertahan.
Saat matahari condong, syuting rampung. Di monitor, adegan terakhir—seorang pengojek memacu motor menyusuri gang basah—terlihat memantulkan cahaya hangat. Amir menepuk bahu Umar. “Bagus. Kau tetap tenang. Ada hal-hal yang lebih besar daripada membalas kabar miring.”
Umar mengangguk. Di genggamannya, ponsel kembali bergetar. Kali ini bukan dari Madi, melainkan dari Ratri, manajer account yang selama ini jadi teman diskusinya. “Kau masih di lokasi? Hati-hati ya. Ada rapat mendadak sore ini. Topiknya… aku tak suka menulisnya.”
Umar tersenyum getir. Kota ini gemar rapat mendadak, seperti hujan yang datang tanpa aba-aba. Ia bersiap.
.
Di ruang rapat lantai dua belas, dinding kaca memantulkan awan yang bergeser. Madi duduk di seberang, merapat pada kursi Amir seolah mencari perlindungan. Ratri mengedarkan minutes of meeting yang isinya standar: evaluasi proses, alur persetujuan, daftar vendor.
“Intinya,” ujar seorang manajer keuangan, “kita kehilangan kepercayaan vendor karena miskomunikasi. Ada keterlambatan di system. Pihak lapangan—” ia melirik Umar, “—mengunggah dokumen tanpa approval final.”
Umar membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia melihat tatapan Madi yang setengah cemas setengah lega. Di kepalanya, Umar memutar ulang peristiwa: ia sudah mengunggah dokumen; Madi yang menahan release. Semua bukti ada. Semua percakapan terekam. Tapi apa gunanya menyusun argumen di hadapan orang yang ingin percaya pada cerita tertentu?
“Jika boleh,” ujar Umar pelan, “aku usul kita perbaiki alurnya saja. Bukan perkara siapa. Besok aku kirim rancangan SOP baru.”
Madi menghela napas, terdengar seperti orang yang terselamatkan. “Mas Umar memang selalu solution-oriented. Maaf, aku cenderung melankolis kalau panik.”
Rapat pun selesai dengan kemenangan yang menggantung di udara. Orang-orang pulang membawa tafsir masing-masing. Di lobi, Ratri menyusul Umar. “Kau punya bukti, kan?” tanyanya. “Kenapa tidak kau tunjukkan?”
Umar menatap lift yang bergerak turun-Naik seperti detak jantung gedung. “Aku pernah kehilangan sahabat karena berusaha membuktikan kebenaran. Aku tak mau kehilangan tempat kerja juga.”
Ratri menatapnya lama. “Kau terlalu baik.”
“Bukan. Aku hanya tak mau mengulang luka.”
.
Satu-satunya tempat di kota yang membuat Umar merasa utuh adalah Masjid Cut Meutia pada Magrib. Di depan masjid, pedagang gorengan menggendong kompor kecil, membiarkan bau bawang menyelinap ke udara yang baru saja diguyur azan. Umar duduk di anak tangga, menunggu waktu. Ia menghubungi ibunya di Sumenep, pulau yang namanya sendiri adalah pelipur lara: pulau yang jika disebut terasa seperti suara ombak memanggil pulang.
“Sehat, Le?” tanya ibunya.
“Sehat, Mak. Mak juga ya.”
“Kerjaan?”
“Ya begitulah. Kadang orang-orangnya lebih rumit dari pekerjaannya.”
Ibunya tertawa pelan. “Di pasar juga sama. Ada pembeli yang setiap hari utang dua ribu sambil bilang ‘besok, Bu’. Kalau ditagih, dia cerita panjang penuh air mata. Kalau kita ikut menangis, kita yang rugi. Jadi Ibu senyum saja, tak usah dikejar, tapi juga tak usah diladeni.”
Kata-kata sederhana yang menenangkan. Umar merasa pulau itu merapat ke dadanya.
Malam kian larut. Umar pulang, menulis lagi di buku: “Kota mengajari cara bertahan tanpa merusak. Jarak bukan tembok, melainkan pagar agar halaman hati tak diinjak orang yang sama.”
.
“Mas Umar boleh ke ruanganku?” Amir memanggil lewat chat internal suatu pagi. Di ruangannya, aroma kopi hitam dan suara musik keroncong pelan menyambut.
Amir tak berlama-lama. “Aku tahu ada yang tak adil. Aku tak butuh bukti. Aku sudah lama di industri ini; aku paham pola. Kau tak usah menjelaskan. Tapi begini: kau tak perlu menolong semua orang. Terutama orang yang senang terselamatkan tapi tak mau belajar berenang.”
Umar tertawa kecil. “Maksudmu Madi?”
Amir tak menjawab. Ia menatap keluar jendela. “Aku pernah menjadi Madi. Dulu. Semua orang pernah merasa dunia melawannya dan dia harus mencari simpati untuk bertahan. Bedanya, ada yang berani berhenti. Ada yang tidak.”
Percakapan itu menggulung hati Umar seperti ombak halus. Ia pulang dengan pikiran yang lebih jernih: bahwa bukan Madi musuh utamanya, melainkan kebiasaan lama Umar sendiri—kecanduan menjelaskan.
.
Proyek minuman energi meledak di pasaran. Iklan yang mereka buat menyalakan denyut kota: slogan-slogan tersebar di baliho busway, jingle-nya menempel di kepala pengendara ojek, behind the scene filmnya ditonton jutaan kali di YouTube. Kantor merayakannya sederhana: nasi tumpeng, tawa, foto bersama. Di foto itu, Umar berdiri di tepi; Ratri di sebelahnya, Amir di depan, Madi memegang piring paling besar.
Beberapa hari kemudian, vendor yang dulu sempat marah mengirim pesan pada Umar: “Terima kasih sudah bereskan sistemnya, Mas. Maaf dulu sempat emosi.” Mereka bahkan mengirim paket keripik pedas ke kantor. Akuntan membagikan bonus. Semua orang bahagia. Isu-isu pelan-pelan tenggelam seperti sampah yang terbawa arus kali Ciliwung.
Malamnya, Ratri mengajak Umar makan soto di Pasar Rumput. “Kau tahu,” katanya, meniup kuah, “aku dulu tidak percaya pada cara ‘diam’ itu. Tapi ternyata… bukan berarti kita membiarkan orang jahat berkeliaran. Kita hanya menjaga tenaga agar tak habis di gelanggang yang salah.”
Umar tersenyum. “Aku juga sedang belajar. Diam yang benar adalah diam yang tetap bekerja.”
Di tengah obrolan hangat itu, Madi datang. Ia menyapa ramah, memesan teh manis, duduk tanpa diundang—kebiasaannya. “Kalian merayakan tanpa mengajakku?” katanya setengah bercanda. Lalu, seperti biasa, ia menaruh cerita di atas meja: bos marketing klien menghubunginya langsung, memuji kontribusinya, dan menawari proyek lain. “Tapi aku bilang, semua karena tim. Terutama Mas Umar.” Madi menatap Umar lurus, mata berkaca-kaca dengan cepat, seolah menyimpan sungai yang siap meluap kapan saja.
Umar tak lagi terkejut. Ia mengangguk, “Terima kasih, Di.”
Madi meneruskan: tentang masa kecilnya yang serba kekurangan, tentang impian menyenangkan ibunya, tentang ketakutan menjadi tidak berguna. Umar mendengarkan sampai tuntas. Ia tidak menambahi dengan kisahnya sendiri. Ia belajar bahwa mendengarkan seseorang bukan berarti menandatangani kontrak untuk selalu memaafkan. Setelah teh Madi tinggal setengah, Umar berdiri. “Aku pulang dulu,” ujarnya. “Besok kita ke lokasi jam tujuh.”
Madi mengangguk. “Mas… kau tidak marah ya, soal-soal kemarin?”
“Tidak,” kata Umar. “Aku sudah memilih jalanku.”
.
Pada suatu Sabtu, Umar pergi ke Taman Ismail Marzuki untuk menonton pementasan Wayang Menak. Di panggung, tokoh Amir digambarkan sebagai ksatria yang sabar; dua punakawannya, Umarmaya dan Umarmadi, riuh lucu, saling mengomel, saling menutupi kelemahan. Umar tertawa kecil melihat kebetulan nama. Dalam lakon itu, Umarmadi beberapa kali salah langkah, lalu menutupi dengan alasan yang menyentuh hati. Penonton tertawa, tapi ada yang tiba-tiba berdesah pelan saat dalang berucap:
“Yang pandai memainkan iba akan selalu dapat panggung. Yang sabar menahan diri akan punya kemenangan yang tak perlu tepuk tangan.”
Kalimat itu seperti ditulis untuknya. Umar pulang dengan napas yang lebih panjang. Ia memasang kalimat itu di dinding apartemen, di samping kutipan miliknya sendiri.
.
Seperti kota yang punya musim tak resmi, kantor juga punya masa pasang-surut isu. Kali ini, isu datang dari klien baru: perusahaan start-up logistik yang tumbuh terlalu cepat. Mereka ingin kampanye digital besar-besaran. Ratri membentuk tim inti: Umar sebagai creative lead, Madi di operasional, satu penulis muda bernama Nurjanah yang tulisannya halus seperti hujan rintik-rintik.
Di ruang brainstorming, Nurjanah bercerita tentang ayahnya yang sopir truk, tentang bagaimana logistik tak mengenal tidur. “Mungkin kampanye kita jangan tentang kecepatan lagi,” katanya. “Semua juga menulis ‘cepat’. Bagaimana kalau tentang aman dipercaya?”
Kata “dipercaya” menyenggol sesuatu di dada Umar. Ia menatap papan whiteboard yang dipenuhi coretan panah dan kata kunci. Aman dipercaya. Ia mengangguk. “Kita buat cerita tentang barang yang dikirim bersamaan dengan doa si pengirim. Orang mengirim bukan sekadar paket, tapi harapannya.”
Ratri mengangkat jempol. “Ini kenapa kau harus tetap di industri ini, Mar. Kau percaya orang.”
Madi, yang sejak tadi sibuk dengan telepon, mengangguk setuju sambil mengirim emotikon-api ke grup WhatsApp. Semuanya berjalan mulus. Sampai pada hari eksekusi, vendor video mengeluh lagi: termin pembayaran down payment belum cair. Ratri menoleh pada Madi, wajahnya berubah.
Kali ini, Umar membuka laptop. Ia menampilkan screenshot alur persetujuan—sistem baru yang ia rancang setelah rapat-rapat tak menyenangkan dulu. Di layar, terlihat jelas: approval berhenti di akun Madi, pending selama dua hari. Ruangan seketika sunyi.
Madi menelan ludah. “Aku… semalam ibuku sakit. Aku panik. Banyak telpon. Maaf. Aku akan selesaikan sekarang.”
Umar menutup laptop. “Selesaikan. Lalu kita ke lokasi.”
Tidak ada kata tambahan, tidak ada penekanan, tidak ada sindiran. Persis seperti memindahkan batu dari tengah jalan: tidak perlu menjelaskan sejarah batu atau memaki penambang yang meletakkannya di sana.
Di lokasi syuting, Nurjanah memegang script, suaranya mantap. Kamera bergulir, kota menyalakan gemerlapnya. Iklan itu selesai dengan baik: seorang kurir berhenti di depan rumah sederhana, seorang ibu menerima paket sembari berkata, “Terima kasih sudah mengantar doa saya.”
Iklan tayang. Respons warganet melampaui ekspektasi. Orang-orang mengunggah kisahnya sendiri: paket berisi kue kering untuk anak kos di Depok, kiriman selimut untuk kakek di Banyuwangi, sepatu bola untuk adik di Kupang. Di kolom komentar, seseorang menulis: “Yang bikin kampanye ini pasti tahu rasanya percaya lagi setelah sempat dikecewakan.” Umar membacanya pelan-pelan, seperti menelan obat yang sudah lama ia tunda minum.
.
Suatu malam, Madi mengetuk pintu apartemen Umar tanpa kabar. Hujan deras. Bajunya basah. “Mas… boleh ngobrol?”
Umar mempersilakannya masuk, menyeduhkan teh. Madi duduk di kursi plastik dekat jendela, menatap lampu kota yang buram oleh rintik hujan.
“Aku capek,” katanya lirih. “Aku selalu merasa perlu disukai. Kalau ada yang tak suka, aku gatal meluruskan sampai mereka kasihan. Aku takut sendirian.”
Umar diam.
“Mas, kenapa kau tidak pernah membalas? Kenapa kau malah mengajariku SOP? Kenapa kau tetap ngajak aku ke lokasi?”
Umar menghela napas. “Karena aku juga pernah jadi kau: memelintir cerita agar aku tetap utuh. Tapi lama-lama, cerita itu menjerat leher sendiri. Aku memilih berhenti.”
“Bagaimana caranya berhenti?”
“Dengan menerima bahwa tidak semua orang akan mengerti. Dan itu tak apa.”
Madi menunduk. Lama. Hujan memukul-mukul kaca seperti jari-jari kecil yang minta diizinkan masuk.
“Aku tidak minta kau berubah untukku,” lanjut Umar. “Aku hanya membuat pagar untuk halamanku sendiri. Kau boleh bertamu, tapi tak bisa lagi tidur di teras dengan alasan kedinginan.”
Madi tersenyum getir. “Aku mengerti. Atau setidaknya… aku ingin mengerti.”
Malam itu, mereka minum teh dalam diam. Tak ada janji, tak ada pelukan. Hanya dua manusia yang mengakui kelelahannya.
.
Waktu bergerak seperti kereta: tak menunggu penumpang yang bimbang. Setahun berlalu. Proyek demi proyek lewat, kota memanggil, vendor berganti, rekan kerja datang-pergi. Umar menemukan ritmenya: bangun lebih pagi, lari kecil di sekitar kompleks, sarapan bubur ayam, berangkat naik bus, pulang berjalan kaki kalau sempat. Madi berubah—atau setidaknya, ia tak lagi gemar merancang panggung iba di rapat. Ia masih impulsif, masih ingin disukai, tapi kini lebih sering memeriksa ulang sebelum bicara. Kalau lupa approval, ia meminta maaf tanpa esai panjang.
Pada sebuah Jumat, Amir mengumumkan sesuatu: ia akan pindah ke kantor pusat di Singapura. Suasana kantor mendadak senyap; semua orang punya cerita yang pernah diselamatkan Amir. Di acara perpisahan, Amir berpidato singkat.
“Aku tak punya pesan banyak,” katanya. “Hanya satu hal yang kurekam dari kalian: kebaikan itu melelahkan, tapi ia menyehatkan. Jangan berhenti, tapi jangan memaksa. Kebenaran tak selalu perlu panggung, kadang cukup pangkuan waktu.”
Umar menahan air mata. Setelah acara, Amir memanggilnya. “Kau akan baik-baik saja. Kau sudah menemukan ruang di dalam dirimu yang tak bisa dirusak gosip. Jaga ruang itu.”
Umar mengangguk. “Terima kasih untuk semuanya.”
Amir tersenyum. “Terima kasih sudah memilih diam di saat yang tepat.”
.
Pada suatu Minggu, Umar naik kereta ke Sumenep. Ia ingin pulang sebentar, melihat pantai yang airnya jernih seperti mata bayi. Di kapal penyeberangan menuju Kalianget, seorang bapak tua membuka obrolan—tentang cuaca, tentang harga garam, tentang anaknya yang merantau di Jakarta.
“Di kota itu,” kata si bapak, “orang suka bicara cepat-cepat. Di pulau ini, kami belajar dari angin: kalau terlalu kencang, perahu terbalik.”
Umar memejam sejenak. Ia ingat semua rapat, semua pesan, semua keinginan untuk menjelaskan. Ia tersenyum. “Benar, Pak. Kadang angin kecil cukup untuk sampai.”
Di Sumenep, ia duduk di beranda rumah ibunya. Di kejauhan, suara adzan Magrib seperti panggilan yang ia kenal sejak kecil. Ibunya menyuguhkan singkong rebus. Mereka makan dalam diam bahagia—diam yang bukan pelarian, melainkan tempat pulang.
Sebelum kembali ke Jakarta, Umar menuliskan satu kalimat terakhir di buku catatan tua yang kini halaman-halamannya hampir penuh:
“Kita tak perlu membuktikan apapun pada orang yang tak ingin melihat. Bekerjalah baik-baik. Sayangi dirimu. Jauhi yang melukai tanpa jeda. Dan bila lelah, pulanglah.”
Buku itu ia tutup. Kereta kembali menuju kota yang bising. Umar merasa siap: bukan untuk menang di panggung kata-kata, melainkan untuk berdiri di panggung kerja yang sederhana. Di kantongnya, ponsel bergetar: pesan dari Ratri, “Besok kickoff jam sembilan. Madi sudah clear. Vendor sudah aman. Aku bawakan kue bolu.”
Umar tersenyum. Kota menyalakan lampu-lampunya. Dan untuk pertama kalinya setelah lama, bisingnya tidak menakutkan. Ia tahu cara berjalan di dalamnya.
.
Catatan di dinding apartemen Umar:
“Diamlah jika penjelasan hanya membakar habis dirimu. Bicaralah jika diam justru memadamkan nuranimu. Bijaklah memilih kapan menjadi laut, kapan menjadi tebing.”
Dan kota terus berdetak.
.
“Diamlah jika penjelasan hanya membakar habis dirimu. Bicaralah jika diam justru memadamkan nuranimu. Bijaklah memilih kapan menjadi laut, kapan menjadi tebing.”
.
.
.
Jember, 20 Agustus 2025
.
.
#CerpenSastra #KompasMinggu #DiamYangBijak #KehidupanKota #WayangMenak #CerpenIndonesia #Mengharubiru #Gaslighting #MenjagaJarak