Cahaya yang Kembali
“Setiap kebaikan yang kamu tabur, akan kembali menghampiri dengan caranya sendiri.”
.
Langit kota seperti kaca yang baru selesai dilap: bening tapi menyimpan gores-gores halus. Dari jembatan penyeberangan Karet, gedung-gedung menegakkan bahu seperti prajurit yang tak pernah tidur. Di bawahnya, arus manusia mengalir bersama suara gesek sepatu, dengus bus yang berhenti terlalu cepat, dan gumam doa yang tak bersuara. Kota begini, selalu memintamu bergegas, namun diam-diam juga mengajarkan cara bertahan: menyapa, memberi, menukar kisah—setidaknya agar hati tak membeku.
Retna bangun lebih pagi dari matahari. Di rusun yang cat dindingnya mengelupas seperti kulit jeruk sakit, ia menanak nasi, memarut timun, mengiris telur dadar, meracik sambal kacang untuk nasi uduknya. Kompor menyala kecil, suara minyak berbisik pelan. Sementara itu, radio tua menyetel lagu lawas yang suaranya pecah, persis harapannya yang pernah patah lalu ia rekatkan pelan-pelan. Di bawah pintu, angin membawa bau tanah dan debu proyek yang entah kapan selesai.
Ia tahu dagangan hari ini mungkin hanya “cukup”. Tapi cukup pun, bila dibagi, bisa terasa lapang. Setelah menata porsi di kotak-kotak, Retna menyisihkan empat bungkus. Ia sudah hafal jam kedatangan anak-anak yang suka memulung botol plastik di sekitar flyover: Duru, Lintang, Ara, dan Saman. “Yang ini sedekah,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Biar perut kalian ikut sarapan bersama matahari.”
Di ujung lain kota, Jayeng merapatkan jaket hijau lusuhnya. Ia merapikan helm dengan gerak yang terbiasa, menyalakan aplikasi, lalu menghela napas. Setiap hari ia berputar seperti jarum jam: antar-jemput dari stasiun ke perkantoran, dari kos-kosan ke rumah sakit, dari halte bus ke kedai kopi. Kadang ia berpikir hidupnya seperti peta digital: garis biru yang memaksa patuh pada instruksi, “belok kanan dua ratus meter lagi”.
Tapi yang tak terlihat di peta adalah hal-hal kecil yang ia simpan: menolak uang dari nenek yang harus ke puskesmas, mencari jalan memutar agar penumpang kecil tak telat ujian, mengantar paket yang tertukar tanpa meminta ongkos. Kebaikan seperti itu tak pernah ia catat. Di benaknya ada suara: Rugi di uang, untung di hati. Bisa jadi itu nasihat dari Maya, kawan lama yang mengelola warung kopi di gang sempit dekat Manggarai bersama adiknya, Madi.
Maya sering bilang, “Kalau hidup bikin sesak, gantian kita yang bikin hidup longgar. Caranya? Buka pintu, buka telinga.” Jayeng acap mengangguk. Ia menghormati cara Maya menjaga warung—menerima siapa pun tanpa bertanya terlalu banyak. Di situ, cerita ganjil dan biasa duduk bersisian seperti teman lama.
Rengganis, yang orang akrab memanggil Nis, baru selesai mengedit naskah iklan tentang deterjen baru. Rumah kosnya di Kuningan menatap jalan layang seperti mata yang setiap malam disuapi cahaya lampu. Laptopnya menguap hangat, jam di dinding seperti sengaja berjalan lambat. Nis bekerja untuk perusahaan media digital. Dalam rapat-rapat jarak jauh, suaranya terdengar meyakinkan; di layar, ia ahli merangkai kata. Dalam hidup yang sebenarnya, ia sedang belajar merangkai ulang ketenangannya.
Ia mengenal kata-kata seperti kenal jalan-jalan pintas. Namun kata-kata tidak selalu bisa menyembuhkan. Ada hari-hari ketika isi kepalanya seperti ruangan tanpa jendela. Untuk hari-hari begitu, ia menyiapkan satu senjata: berjalan ke luar dan menatap manusia.
“Manusia selalu punya cerita,” demikian yang ia tulis diam-diam di catatan ponsel, “dan cerita punya tangan panjang untuk menggenggam kita kembali.”
.
Motor Jayeng berhenti di lampu merah yang memantul di aspal basah. Hujan baru saja usai; kota seperti diperkenalkan lagi. Seorang perempuan di trotoar—rambut diikat asal, ransel menyilang—menatap ponsel, menyeka sisa rintik di layar. Mereka saling melihat sekilas: bukan tatapan yang menyambar, lebih seperti pengakuan diam bahwa mereka sama-sama lelah.
Notifikasi masuk: jemput dari sebuah co-working di Setiabudi, tujuan ke Tebet. Nama pemesannya: Rengganis. Jayeng melajukan motor pelan, berhenti, mengucap salam. Nis membalas, menyebut namanya dengan ringkas. Ada jeda canggung, tapi kota yang sibuk pandai menghapus segan. Di perjalanan, obrolan merayap: tentang artikel yang harus tayang dua jam lagi, tentang anehnya hujan yang datang dari arah berbeda, tentang penjual payung yang selalu muncul tepat ketika langit mulai murung.
“Pernah nggak,” tanya Nis, “kamu merasa hidup ini monoton sekali, seperti musik latar di lobi hotel yang diulang-ulang?”
Jayeng tersenyum samar. “Sering. Tapi biasanya aku cari pengalih. Dengerin cerita orang asing, misalnya.”
“Cerita orang asing?”
“Hmm. Pelanggan. Banyak cerita aneh. Ada bapak-bapak yang ngaku pernah ketemu macan di jalur sepeda Sudirman. Ada ibu-ibu yang bikin grup WA hanya untuk saling kirim foto langit setiap sore. Hidup jadi lucu kalau kita belokin sudut pandangnya sedikit.”
Nis tertawa kecil, tawa yang lebih seperti mengolesi luka. Di detik itu, ia tahu ia tidak sendirian.
.
“Bila kebosanan mengetuk, bukalah pintu kreativitas. Kadang yang datang masuk justru persahabatan.”
Warung kopi Maya berdempetan dengan kios pulsa, bermandikan bau wangi bubuk robusta dan suara wajan menggoreng mendoan. Dindingnya ditempeli poster konser lawas. Madi meracik kopi tubruk dengan sabar—ia percaya kopi harus diperlakukan seperti teman: didengarkan, diberi ruang berbicara, lalu dinikmati pelan-pelan.
Nis mulai mampir ke sana usai pekerjaan. Jayeng kadang sudah duluan, membuka percakapan dengan cerita-cerita nyeleneh para penumpang. Maya menambahi dengan kabar-kabar dari gang: tentang kucing yang suka numpang tidur di kursi plastik, tentang bapak sekuriti yang diam-diam menanam cabai di pot bekas cat.
“Gang ini,” kata Maya sambil menunjuk, “adalah universitas mini. Kita belajar manajemen konflik saat dua tukang parkir rebutan lahan, belajar empati dari pedagang sayur yang ngutang demi modal, belajar seni lobi dari ibu-ibu PKK yang mau bikin festival kecil tanpa sponsor.”
“Dan belajar menunda marah,” timpal Madi, “kalau ada pelanggan jahil minta kopi—tapi dengan susu kental manis tiga sachet.”
Mereka tertawa. Nis merekam momen-momen itu dalam benaknya, bahkan dalam catatan. Ia menulis bukan untuk kantor, melainkan untuk dirinya sendiri: sejenis jurnal yang memberinya alasan untuk berterima kasih pada hal-hal yang tampak sepele. Malam-malam yang dulu habis untuk lembur kini disisipi duduk santai, menukar kisah-kisah aneh agar rutinitas pecah, seperti menepuk permukaan air supaya lingkarannya melebar.
.
Suatu pagi, Jayeng memarkir motor di pinggir jalan untuk membeli sarapan. Lapak sederhana dengan spanduk pudar bertuliskan “Nasi Uduk Retna—Sambal Kacang Pecah Kenangan” (Maya yang menyarankan kalimat itu, katanya agar pembeli tersenyum sebelum menyuap). Retna, dengan kerudung bunga-bunga kecil, menyambut dengan mata yang menatap dalam-dalam namun lembut.
“Ambil saja yang hangat,” ucap Retna. “Kalau dingin, nanti hatimu ikut dingin.”
“Berapa, Bu?”
“Lima belas. Tapi kamu ambil dua, satu buat temannya di warung kopi itu.” Retna melirik ke arah gang yang ditempati Maya dan Madi.
Jayeng mengangguk. Di detik itu ia melihat sesuatu yang tidak dijual di kota: ketulusan yang tak ditagih kembali. Ia ingat cerita Maya tentang Retna, perempuan yang memilih berdamai dengan sepi. Ia pernah guru les menjahit, lalu usaha kecilnya padam oleh banjir. Suami pergi bersama janji yang lebih berani dari keberanian. Retna memilih tinggal, bukan menunggu, melainkan menanam ulang.
“Kau tahu,” kata Retna, mengikat kantong dengan rapi, “aku punya kebiasaan menyisihkan empat bungkus untuk anak-anak pemulung. Aku bukan siapa-siapa, tapi setidaknya pagi mereka bisa mengingat rasa kenyang.”
Jayeng tak menanggapi panjang. Namun sepanjang hari, kalimat Retna seperti lilin yang menerangi sudut paling jauh di kepalanya.
.
“Magnet terbaik dalam diri manusia adalah kebaikan yang tak diiklankan.”
Hubungan Jayeng dan Nis tumbuh seperti tanaman liar yang bandel: tidak diundang, tapi tiba-tiba meneduhkan. Mereka tidak pernah membicarakan definisi, apalagi mengikatnya. Kota itu luas; melajukan motor sambil berbagi cerita adalah ruang yang cukup. Sesekali, Nis menyandarkan kepala ke jaket Jayeng ketika lampu merah kebetulan memanjang. Tidak ada janji, hanya ritme.
Keduanya mulai menajamkan mata pada hal-hal yang kerap luput. Nis mengajak Jayeng melihat mural baru di tembok belakang pasar. Jayeng mengajak Nis ke bantaran kali di pagi gelap untuk mendengar nada pertama azan. Mereka menampung sunyi, lalu membaginya seperti dua orang yang saling memercayai.
Kebahagiaan mereka bukan kembang api. Lebih seperti lampu kamar yang dibiarkan menyala rendah saat hujan datang. Hangat, cukup untuk melihat satu sama lain.
Namun kota selalu menyimpan ujian: rem basah yang telat menggigit, jalan berlubang di dekat tiang reklame, truk yang tiba-tiba bergeser. Pada sebuah senja yang baru selesai berdebu, ban motor Jayeng menginjak pasir halus di tikungan dekat kos Nis. Waktu mengulur karet. Motor oleng, mereka jatuh. Suara besi menyentuh aspal seperti gigi yang bergesek dengan sendok. Sakit tidak parah. Namun Nis duduk di trotoar dan menangis. Bukan karena luka, melainkan karena semua letih yang ia simpan seakan pecah: target, revisi, panggilan tengah malam, kekosongan yang berusaha ia jinakkan.
Jayeng tidak sok tegar. Ia duduk di sebelahnya, melepaskan helm, menoleh, lalu mengucapkan kalimat yang ia pelajari dari hidupnya sendiri: “Tenang. Hidup memang suka menjatuhkan kita. Yang penting, lihat—kita masih bisa duduk bareng.”
Nis mengangguk. Tangisnya mereda bukan karena kalimat itu seperti semburan semangat, melainkan sebaliknya, karena kalimat itu tidak menggurui. Mereka menunggu beberapa menit, ikut menatap lalu lintas, seperti menunggu laut kembali rata setelah ombak memukul.
Malam itu, ketika mereka berjalan pelan menuju warung Maya, Retna kebetulan lewat dengan gerobak kecilnya. Melihat lutut Nis yang tergores, Retna berhenti, mengambil plester, mengulurkan tanpa banyak tanya. Di kota yang suka menawar, kepedulian adalah satu-satunya barang yang tak punya harga pasaran.
.
Malam-malam berikutnya, obrolan yang biasanya mengitari hal-hal ringan, mulai memintal rencana. Nis menceritakan keinginannya membuat rubrik kecil di media: kisah para pedagang kaki lima yang bertahan tanpa drama. Jayeng ingin mengumpulkan ojek-ojek untuk membawa buku-buku bekas ke pos-pos baca di kampung kota. Maya menawarkan warungnya sebagai pos pengumpulan. Madi yang kalem mengangguk, tangannya tetap gesit mengaduk kopi. Retna, yang kebetulan duduk di bangku depan warung sambil melipat kotak, menyelipkan ide: “Aku bisa siapkan sarapan untuk relawan. Sederhana saja, tapi dari hati.”
Mereka menamai gerakan itu “Layar Terbuka”—bukan karena ingin membuat kapal, melainkan karena ingin menghadirkan tempat singgah di tengah arus. Layar adalah simbol: sesuatu yang menangkap angin agar perahu bergerak. Terbuka adalah tekad mereka: siapa pun boleh datang, siapa pun boleh bercerita.
Nis menulis pengantar: pendek, tidak melebih-lebihkan. Ia memotret tangan Retna yang menaruh lauk dengan hati-hati, menulis caption yang tidak heboh. Tulisan itu ia unggah di akun medianya yang selama ini lebih sering diisi soal produk sabun, baju kerja, dan tips rapat efektif. Tiba-tiba, banyak yang membaca. Bukan viral, tetapi cukup membuat beberapa orang bertanya: “Bisa ikut bantu?”
Jayeng mengatur logistik ala kadarnya. Satu teman menyumbang rak buku bekas. Seorang pelanggan setia warung Maya menyumbang cat dinding. Seorang pegawai kantor yang lewat setiap hari menyumbang waktu. Layar itu teregang pelan.
.
“Fokuslah pada satu kebaikan kecil hari ini; besok ia akan bersalin rupa menjadi keberanian.”
Namun tak semua orang menyukai layar yang terbuka. Pada suatu siang, petugas kelurahan datang, ditemani dua orang berpakaian rapi. Mereka menatap warung Maya, melihat rak buku bekas, anak-anak yang duduk lesehan, dan galon air yang habis setengah.
“Ini kegiatan apa?”
“Ruang baca, Pak. Juga pos singgah,” jawab Maya, sopan. “Kami cuma… berbagi.”
Salah satu pria rapi mendengus. “Berbagi itu baik. Tapi jangan sampai ganggu ketertiban.” Kalimat yang selalu singgah di tempat-tempat seperti ini.
“Ganggu bagian mana, Pak?” Madi bertanya hati-hati.
“Kerumunan. Dan nanti kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab?” Nada siapa yang tanggung jawab adalah nada yang bisa melucuti niat baik paling sederhana sekalipun.
Nis mengambil napas, menaruh ponselnya. “Pak, kami siap tanggung jawab. Data relawan jelas, jadwal jelas. Anak-anak di sini belajar membaca sepuluh halaman, lalu pulang. Tidak ada musik keras, tidak ada sampah berserakan. Kami juga kerja sama dengan karang taruna untuk jam-jamnya.”
Pria itu melirik. “Surat izin?”
Maya menyodorkan map kusam: rekomendasi RT, daftar relawan, foto kegiatan. Petugas kelurahan yang sejak tadi diam, mengamati pelan, lalu menatap Retna yang baru datang dengan kotak sarapan gratis. Matanya jatuh pada tulisan spanduk pudar: Sambal Kacang Pecah Kenangan. Satu sudut bibirnya bergerak.
“Ya sudah,” kata petugas itu, lebih lembut. “Kalau begini, pantau saja. Jangan sampai jadi kumpul malam. Pastikan gang tetap rapi.”
Sesuatu yang tegang melonggar. Mereka mengangguk. Saat para tamu pergi, Nis bersandar pada kursi plastik, lega. Maya menepuk-nepuk bahu Madi. Jayeng menatap rak buku yang baru saja diatur. Retna menyodorkan kotak-kotak sarapan: “Makan dulu, supaya tenang tidak gampang roboh.”
Hari itu mereka belajar: kebaikan pun perlu fokus dan tenang. Bukan untuk melawan, melainkan untuk merawat—sebab yang dirawat bukan kegiatan, melainkan kepercayaan.
.
“Kenapa kalian melakukan ini?” tanya seorang mahasiswa yang datang untuk tugas kampus.
Maya menunjuk papan tulis kecil yang ditaruh Madi di samping rak buku. Di atasnya, Nis menulis kalimat yang mereka sepakati bersama:
“Kita menambal kota dengan jarum kecil: mendengar, menolong, menata ulang. Bukan agar kota berubah cepat, tapi agar kita tidak berhenti berharap.”
Mahasiswa itu mengangguk, menulis dengan serius seolah itu soal ujian. Mereka tertawa, lalu kembali ke kegiatan. Anak-anak menggerak-gerakkan bibirnya membaca. Orang dewasa menukar kabar, menukar resep, menukar lowongan kerja.
Setiap pekan, Layar Terbuka tak hanya membagi buku, tapi juga menukar kisah-kisah aneh: tentang pengamen yang punya suara sopran, tentang tukang nasi goreng yang bisa menebak cuaca dari suara kipas, tentang kucing gang yang hanya suka tidur di kardus bertuliskan “Fragile”. Hal-hal ringan yang membuat kebosanan keteteran mengejar mereka.
Nis menulis cerita-cerita itu di laman pribadinya. Ia tak menandai siapa pun, tak mengejar angka. Tapi di dunia yang serba cepat, kejujuran selalu menemukan jalannya. Naskah-naskah pendek itu dibaca orang-orang yang lelah dengan berita buruk. Mereka menitipkan buku, menitipkan doa, menitipkan semangat.
Retna tak berubah: tetap menyisihkan empat bungkus. Kadang enam, bila dagangan laris. “Aku cuma takut Tuhan lewat tapi aku tutup pintu,” katanya pada Nis suatu sore. “Makanya pintuku kubiarkan terbuka sedikit.”
Jayeng, yang biasanya paling sibuk, belajar melambat. Ia mematikan aplikasi satu jam lebih awal untuk membantu mengantar paket buku ke pos-pos baca kecil yang bermunculan. Di setang motornya, diikat kain merah sebagai pengingat: berhenti sebentar untuk melihat orang lain.
Dan Nis, yang dulu merasa kata-kata tak selalu menyembuhkan, mulai merasakan kata-kata bisa menjadi tangan: menuntun, bukan mendorong; mengajak, bukan memerintah.
.
Suatu senja berwarna tembaga, kabar buruk datang: kios Retna kena gusur tipis-tipis. Bukan gusur besar, katanya, hanya “penataan”. Namun kata penataan kadang berarti kursi plastik digeser ke trotoar yang lebih sempit; tenda lipat tak boleh menjorok; gerobak harus ditarik mundur sepuluh langkah. Bagi sebagian orang, itu tak masalah. Bagi Retna, sepuluh langkah cukup membuat pelanggan berpindah ke tukang nasi uduk lain di simpang berikutnya.
Retna duduk diam, memegang buku catatan dengan angka-angka yang ramping. Nis, Maya, Madi, dan Jayeng duduk melingkar di warung. Tidak ada rencana bombastis. Mereka menolak panik atau mengutuk.
“Kalau dipindah ke ujung gang,” kata Madi, “jalan masuknya gelap. Kita bisa cat putih, pasang lampu tenaga surya. Biar orang tahu di sana ada senyum.”
“Spanduknya kita ganti,” tutup Maya. “Biar orang bukan cuma ingat sambal, tapi ingat siapa yang meracik.”
“Aku bisa tulis profil,” tukas Nis. “Biar orang tahu, Retna bukan sekadar dagang nasi uduk, tapi merawat pagi orang banyak.”
“Aku antar-jemput pelanggan tua,” tambah Jayeng. “Gratis. Biar ibu-ibu yang jalannya pelan nggak kehilangan sarapannya.”
Mereka bergerak. Tidak marah, tidak gaduh. Fokus. Tenang. Menjaga keseimbangan antara harap dan tawakal. Dua hari setelah penataan, lapak Retna berdiri di ujung gang dengan cat yang memantul cahaya. Spanduk baru dipesan: “Nasi Uduk Retna — Layar Terbuka untuk Pagi yang Baik.” Hurufnya tidak terlalu besar, namun cukup untuk membuat orang melambat membaca.
Pelanggan datang. Ada yang penasaran, ada yang rindu. Anak-anak pemulung tetap mendapatkan jatah. Seorang bapak yang dulu lewat tanpa minat kini berhenti karena membaca tulisan “Layar Terbuka”. “Apa ini komunitas, Bu?” tanyanya. Retna menjelaskan singkat, menunjukkan rak buku kecil yang dipasang di dinding samping lapak: tiga puluh buku cerita, lima majalah bekas, beberapa komik yang memelihara tawa.
Bapak itu mendengarkan, lalu mengeluarkan dompet. “Saya punya toko percetakan. Kalau perlu spanduk baru lagi, sampaikan saja. Saya bantu.” Kebaikan, lagi-lagi, datang dengan cara yang memalukan kesombongan.
.
“Jangan mengejar sorotan; rawatlah cahaya kecil yang tak lelah menyala.”
Musim hujan datang seperti selalu: tiba-tiba, deras, kemudian reda dan meninggalkan langit yang bersih seperti halaman buku baru. Layar Terbuka makin teratur. Di papan jadwal kecil, Madi mengukir hari dan jam. (Mereka sengaja tidak menuliskan nama-nama hari, supaya siapa pun yang datang tidak memikirkan kalender, tapi memikirkan perjumpaan.)
Anak-anak belajar membaca dengan cara yang belum tentu benar menurut buku pedagogi, tetapi benar menurut hati: nyaring, tertawa, salah, lalu diulang. Ibu-ibu berbagi resep rujak cingur, bapak-bapak bertukar info lowongan satpam, mahasiswa berdiskusi tentang teori yang masih mereka ucapkan dengan ragu. Warung Maya menjadi bandara kecil: orang datang dan pergi, namun selalu ada yang kembali karena kangen suara mesin kopi yang tak menyerah.
Nis menulis sebuah esai panjang: tentang mengulurkan tangan, tentang menukar kebosanan dengan kisah, tentang magnet dalam diri yang tidak perlu dipoles. Esai itu beredar pelan, seperti gerimis. Di komentar, orang-orang bercerita tentang Layar Terbuka mereka sendiri: pos yasinan yang berubah jadi kelas membaca, karang taruna yang melukis dinding puskesmas, kelompok senam yang diam-diam menabung untuk biaya sekolah anak tetangga.
Jayeng membaca komentar-komentar itu sambil tersenyum. “Ternyata kita tidak sendiri ya,” katanya pada Nis.
“Kita ini cuma setitik, Jayeng,” jawab Nis. “Tapi setitik yang berkali-kali bisa jadi hujan. Hujan yang menumbuhkan.”
Maya menimpali, “Aku ingin hidupku seperti kopi. Pahitnya jujur, aromanya mengundang, panasnya tidak membakar.”
Mereka tertawa. Dan pada malam itu, kota terasa lebih manusiawi dari biasanya.
.
Pada sebuah pertemuan sederhana di warung, Retna mengeluarkan kalimat yang diam-diam menjadi doa semua orang: “Aku ingin rezekiku berbentuk ruang.” Mereka terdiam. “Ruang untuk memaafkan, ruang untuk tertawa, ruang untuk menaruh lelah, ruang untuk belajar.”
“Ruang untuk jatuh cinta?” goda Nis, matanya memantul di cangkir.
Retna tersenyum. “Itu bonus. Kalau datang, syukur. Kalau tidak, jangan menunggu di ambang. Terus saja buka pintu.”
Jayeng melirik Nis, lalu menatap ke luar: hujan lebam yang merintik kecil, lampu-lampu yang menggantung seperti buah di kebun langit. Ia tidak tahu masa depan. Ia hanya tahu malam ini ia ingin pulang lebih pelan, membiarkan motor melewati jalan memutar agar bisa melambai pada tukang tambal ban yang sering menolong, pada satpam yang senyumnya selalu menang, pada ibu penjual lontong sayur yang memanggil semua orang dengan sebutan “Nak”.
Di tengah semua itu, ia rasakan dadanya ringan: bukan karena masalah lenyap, tapi karena bahu yang memikulnya bertambah.
.
Suatu senja berwarna keunguan, Nis mengajak Jayeng berjalan kaki di trotoar yang baru direnovasi. Mereka berhenti di mural yang menggambar perahu kertas mengarungi hujan. Ada kalimat kecil ditulis rapi di bawahnya: Kita tak selalu bisa memilih cuaca, tapi kita bisa menambal perahu.
“Kalau nanti kamu lelah,” kata Nis pelan, “jangan sungkan bilang. Kita tidak punya kompas yang selalu benar.”
“Kalau kamu duluan lelah?”
“Bilang juga. Nanti kita berhenti di warung Maya, minta Madi tambah gula.”
“Kalau gula habis?”
“Pakai tawa,” jawab Nis.
Mereka tertawa. Di belakang mereka, kota melanjutkan tugasnya: menyalakan lampu-lampu, mengeringkan aspal, memperbanyak alasan untuk kembali besok.
.
Kota yang keras itu tidak tiba-tiba lembut. Masih ada orang yang menyalip antrean, masih ada suara klakson panjang di tikungan, masih ada kabar PHK yang beredar dari grup-grup kantor. Namun sesuatu telah terpasang: benang-benang halus yang menyambungkan orang-orang yang tadinya berjalan sendiri-sendiri.
Layar Terbuka bukan pahlawan. Ia lebih mirip meja makan yang dilesakkan di gang sempit: tidak megah, namun di atasnya banyak tangan bertemu. Ada yang menaruh buku, ada yang menaruh waktu, ada yang menaruh sabar. Ada juga yang datang hanya untuk mendengar. Dan itu cukup.
Retna melanjutkan kebiasaan menyisihkan bungkusan. “Empat bungkus pertama untuk mereka, sisanya untuk siapa saja yang berani bilang ‘aku butuh’,” katanya. Kata butuh adalah kata yang kadang orang takut ucapkan di kota yang menghargai pencapaian. Retna mengajarkan cara mengatakannya tanpa rendah diri—persis seperti ia mengajarkan caranya menakar garam: secukupnya, namun tidak pelit.
Jayeng terus berputar. Di setang motornya, gantungan kecil berbentuk layar perahu dari logam tipis buatan anak-anak karang taruna. Setiap kali angin menampar, gantungan itu berdenting pelan, mengingatkannya agar tak terlalu cepat lupa.
Nis, pada suatu malam, menerima pesan dari seorang editor: “Tulisanmu, yang tentang warung Maya itu… bisakah lebih panjang? Kami ingin memuatnya di rubrik cerita kota.” Nis menatap layar, lalu menatap Jayeng, lalu menatap Retna yang sibuk merapikan kotak-kotak. “Kau menulis tentang kami?” tanya Maya, setengah bercanda.
“Aku menulis tentang kita,” jawab Nis. “Tentang kota yang sebenarnya tidak sekeras yang kita kira, kalau kita sepakat untuk saling membuka.”
Mereka mengangguk, tidak karena mengerti seluruhnya, melainkan karena mengerti bagian kecil yang cukup: bahwa kebaikan, bila ditabur, tidak selalu tumbuh di tempat yang kita perkirakan, namun ia tak pernah gagal tumbuh.
.
“Jangan menunggu sorotan untuk merasa ada. Jadilah sepasang tangan yang tetap bekerja, bahkan saat lampu padam.”
Malam terakhir di bulan itu, mereka membuat pesta kecil di gang. Tidak ada panggung. Hanya lampu bohlam yang digantung berderet, menyalakan dinding yang baru dicat. Anak-anak membacakan kalimat favorit dari buku yang dipinjamnya. Ibu-ibu menyanyi pelan, bapak-bapak menepuk punggung satu sama lain. Maya dan Madi menyalakan panci besar bubur kacang hijau, Retna membagikan potongan ketan yang ditaburi kelapa parut, Nis memotret bukan untuk diunggah, hanya untuk mengingat.
Jayeng berdiri sebentar di ujung gang, menatap langit. Ia teringat sesuatu: suara di motornya, suara kecil yang selalu ia abaikan. Ia besok akan ke bengkel. Tapi malam ini, ia ingin menyimpan dengung itu sebagai musik latar. Ada perasaan memasuki dadanya seperti udara bersih—perasaan yang tak mau ia beri nama agar tidak cepat pergi.
Di tengah tawa, Nis melambaikan tangan. “Hey, Jayeng. Sini!”
Jayeng berjalan. Ia duduk di kursi plastik yang dikelilingi orang-orang yang dulu asing, kini serasa tetangga. Mereka makan, mereka tertawa, mereka menyisakan piring untuk yang datang terlambat. Pesta tanpa undangan formal, namun setiap orang tahu kapan harus datang: saat hati mereka merasa cukup sepi.
Kota melanjutkan tugasnya mengantuk. Di sebuah rusun yang tak terlalu jauh, ada pintu kamar yang dibiarkan terbuka sedikit, berjaga-jaga jika ada yang mengetuk minta tolong. Di sebuah gang lain, ada warung kopi yang memutuskan tutup lebih malam dari biasa karena seseorang baru saja selesai bercerita. Di tikungan dekat kos-kosan, ada cat dinding yang belum kering, menunggu keesokan hari untuk menunjukkan betapa putih juga bisa menjadi harapan.
Mereka pulang lebih pelan. Tidak ada lagu penutup. Hanya sisa-sisa suara yang menempel di udara.
Dan besok, mereka akan memulai lagi: menanak, menyalakan, menulis, menambal. Tanpa sorotan, tanpa gegap gempita. Sebab di kota ini, cahaya sejati adalah yang kembali—tidak karena kita mengejarnya, melainkan karena kita terus menyalakannya bersama.
.
“Kebaikan tidak mengenal panggung; ia hanya butuh tempat untuk duduk.”
.
.
.
Jember, 19 Agustus 2025
.
.
#CerpenIndonesia #KompasMinggu #KisahPerkotaan #KebaikanKecil #LayarTerbuka #CerpenEmosional #InspirasiHidup #ArswendoVibes