Jeda 12 Menit di Kota yang Tak Pernah Tidur

“Teknologi yang paling canggih adalah yang membuat kita lebih manusia.”

“Teknologi boleh melesat, tetapi hati yang lembut tetap kompas. Aja dumeh, titeni, lalu tindakake—itulah cara berlari tanpa meninggalkan jiwa.”

.

Malam merapat ke Surabaya seperti kain hitam yang disetrika rapi. Lampu-lampu jalan memantulkan garis perak di aspal basah; sisa gerimis menempel di kaca jendela lobi hotel butik tempat Panji bekerja. Di layar laptopnya, deretan grafik bergerak: kunjungan situs, waktu baca artikel, rasio klik, dan peta panas yang berpendar merah. Di atas meja, kopi tubruk separuh dingin dan buku catatan yang halaman pertamanya ditulis aksara Jawa oleh mendiang eyang: urip iku urup—hidup adalah nyala yang menghangatkan orang lain.

Panji menatap angka-angka itu dengan napas pendek. Sepekan terakhir, okupansi hotel menurun dari 62% ke 48%. Ada tiga ulasan sinis di media sosial, salah satunya menyebut sarapan terlalu “biasa saja”, pelayanan lambat di jam ramai, dan informasi wisata yang membosankan. Kabar paling pedas: akan ada efisiensi. Ia bagian yang paling mungkin kena—konten dan pemasaran selalu disangka biaya, bukan investasi.

Di belakang meja resepsionis, Kelaswara sedang membetulkan pin nama di dadanya. “Ji, kalau angka-angka itu bisa bicara, mereka bakal bilang apa?” tanyanya.

Panji tersenyum tipis. “Mereka bilang kita lupa bernapas, Swa.”

“Bernapas?”

“Ya. Kota ini berlari terlalu cepat. Tamu-tamu kita juga. Mereka butuh diajak bernapas. Bukan hanya diberi paket wisata.”

Di lift kaca yang naik pelan, Panji bertemu Candra—desainer grafis dengan tote bag berisi sketsa batik yang belum selesai—dan Kelana—videografer yang selalu membawa tripod ringan seperti tongkat pejalan. Mereka bertiga menuju ruang kecil di lantai delapan: kantor pemasaran yang sempit tapi punya jendela lebar menghadap rel kereta.

“Tim, kita harus bikin sesuatu yang manusiawi,” kata Panji. “Kita punya alat—AI buat riset, nulis, desain, ngedit video, bikin landing page, chatbot—semuanya ada. Tapi mari pulangnya ke manusia. Technology should enhance humanity, not replace it, kata para ahli.”

Kelana mengangguk. “Setuju. Tapi deadline, bos. Malam ini draft kampanye harus naik.”

Candra membuka laptop. “Aku punya konsep visual: motif parang kusumo dipadu garis kota. Batik, tapi modern. Ada ruang bernapas.”

“Bagus,” ujar Panji. “Kita namai kampanye ini ‘Kota yang Belajar Bernafas Lagi’.”

.

Panji mengenal dunia perhotelan bukan dari bangku kuliah, melainkan dari bangku panjang di beranda rumah eyangnya di Jember. Eyang selalu mengajarkan pitutur: “Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh.” Jangan gampang kaget, jangan gampang heran, jangan sombong. Ketiga kalimat itu menolong Panji ketika pandemi merayap, menghantam hotel-hotel, merontokkan daftar tamu seperti daun kering di musim kemarau. Kini, di era kebangkitan, ia percaya ada cara lain selain diskon besar-besaran: mengundang tamu untuk merasa pulang.

Ia menyalakan aplikasi analitik berbasis AI. Dengan cepat, perangkat itu merangkum percakapan tamu di platform ulasan, mengekstrak kata kunci dominan: kopi lokal, sudut foto, musik malam, cerita kota, lari pagi, kidung, jemput bandara, ramah, tapi standar. Ada pula saran yang sering muncul: rekomendasi rute kuliner, itinerary 24 jam, tempat meditasi singkat antara rapat.

“Lihat,” Panji menunjuk layar. “Mereka ingin ritme. Pergi-pulang. Hening-ramai. Kerja-istirahat. Kita bisa bikin konten yang menuntun ritme itu.”

Kelana membuka folder rekaman. “Aku punya stok video dini hari di Taman Apsari, Jembatan Merah, atap gedung tua yang dihuni burung walet. Ada suara azan menembus kabut.”

“Masukkan,” kata Panji. “Kita akan buat video 90 detik: Kota bernapas. Tamu ikut bernapas.

Candra menambahkan ide. “Infografis interaktif: ‘12 Menit Jeda’—apa saja yang bisa dilakukan tamu di sela rapat: minum jamu kunyit asam di pojok lobi, duduk menghadap rel, membaca satu halaman pitutur dari eyang—aku bisa bikin QR code ke laman khusus.”

Panji menatap keduanya. “Kita kerjakan malam ini. Dan kita bangun asisten virtual yang sopan, bukan sekadar dingin. Ia menyapa dengan bahasa Indonesia yang hangat, sisipkan pepatah Jawa ketika perlu. Ia merekomendasikan rute lari pagi di pinggir kali, tempat makan rawon jam 2 pagi, tempat membeli oleh-oleh yang dikelola komunitas.”

Candra dan Kelana saling pandang, kemudian tertawa kecil. “Serius, Ji. Aku ikut.”

.

Di tengah riuh mesin pendingin ruangan, Guno—developer yang rambutnya selalu tampak seperti habis ditiup angin pantai—datang membawa mie goreng bungkus. “Dengar-dengar ada proyek asisten virtual. Mau kubuatkan kerangkanya?”

“Mau,” jawab Panji. “Syaratnya: sopan santun dulu baru algoritma. Asisten ini harus bisa menyapa: ‘Sugeng enjing, sampun nedha?’ Lalu menyarankan: ‘Coba 12 menit jeda di sudut lobi, menghadap rel. Urip iku urup—hidup yang baik menyalakan yang lain.’

Guno mengangguk, mata berbinar. “Bisa. Kita buat modul sentiment tuning agar balasannya hangat. Kita latih dataset dari kumpulan pitutur dan phrasing hospitality Indonesia. Nanti dialognya code-switching halus.”

Kelana menambahkan, “Jangan lupa integrasi ke website dan aplikasi pesan singkat. Biar tamu tak harus unduh apa-apa.”

Malam terus memanjang. Di layar, video 90 detik mulai berwujud: adegan napas—kereta melintas, sepeda ontel, subuh menyingsing di atas Kali Mas, seorang pedagang jamu keliling yang tersenyum ke kamera. Kelana mengedit dengan alat AI yang secara otomatis menghapus noise, menstabilkan guncangan, dan menyusun beat sesuai nada gamelan ringan.

Candra merancang halaman web: latar tipis motif parang kusumo yang dibuat memanjang vertikal seperti napas; ikon kecil berupa daun kluwih—simbol kelapangan. Di sisi kanan, muncul “Jeda 12 Menit” dan “Itinerary 24 Jam Bernapas di Kota”: mulai dari sarapan rawon, berjalan kaki ke rumah tua di Kembang Jepun, melihat mural di gang sempit, berhenti di perpustakaan kecil, lalu menutup malam dengan wedang ronde.

Panji menulis narasi. Ia melatih model bahasa untuk menyusun draft, lalu menyunting kata demi kata. Ia menghindari frasa plastik. Ia memilih kalimat yang menggambar pelan: “Di kota yang sibuk, ada jeda-jeda yang menunggu ditemukan; tak panjang, hanya sepanjang napas yang diingatkan kembali.”

Di perjalanan pulang jelang subuh, Panji mendapat kabar dari bibinya di Jember: ibu pusing hebat, tekanan darah naik. “Pulanglah sebentar,” pinta bibi. “Ibumu hanya ingin melihatmu.”

Panji menatap langit yang berangsur biru. “Besok aku pulang,” jawabnya.

.

Siang itu, di rapat manajemen, Rangga—manajer operasional yang tegas, matanya selalu tampak kurang tidur—menyampaikan rencana efisiensi. “Kita harus menutup sementara bar di lantai satu. Lini pemasaran akan dirombak. Saya butuh rencana yang bisa meningkatkan okupansi ke 65% dalam tiga minggu.”

Panji mengangkat tangan. “Kami punya kampanye baru. ‘Kota yang Belajar Bernafas Lagi’. Video 90 detik, halaman web interaktif, asisten virtual. Data menunjukkan tamu mencari ritme. Kita tawarkan ritme itu.”

Rangga melipat tangan. “Angka, Panji.”

“Jika kita luncurkan minggu ini, saya perkirakan click-through rate dari iklan naik dari 2,1% ke minimal 4%. Dengan retargeting dan paket jeda 12 menit di lobi, kita bisa mendorong pemesanan langsung bertambah 18–22%. Tamu bisnis rata-rata tinggal 1,6 malam—kita targetkan naik menjadi 1,9. Itu bisa mengangkat okupansi jadi 66–68%.”

Rangga menghela napas. “Saya beri waktu tiga minggu. Kalau tidak tercapai, kita evaluasi.”

.

Panji pulang ke Jember dengan kereta sore. Di bangku keras yang bergetar halus, ia mengenang masa kecil. Ia teringat Adaninggar, teman sekolah yang kini bekerja sebagai analis data pariwisata dan tinggal di Malang. Nama itu selalu mengingatkannya pada kisah lama yang diceritakan eyang tentang tokoh Adaninggar—perempuan perantau yang pandai berdiplomasi.

Di rumah, ibu tersenyum meski lemah. “Napasmu dulu selalu pendek,” canda ibu. “Sekarang kau punya pekerjaan yang mengatur napas orang banyak.”

Panji tertawa, menyembunyikan lelah. Ia memasakkan ibu sayur bening dan menemani menatap halaman; hujan tipis mengetuk atap seng, dan suara pedagang bakso melintas seperti lagu yang dibawa angin. Ia menceritakan kampanye bernapas, dan ibu membalas dengan pitutur, “Sing sapa nandur bakal ngundhuh—apa pun yang kamu tanam dengan tulus, akan memunculkan hasil.”

Malamnya, Panji mengirim pesan ke Adaninggar: “Butuh data perbandingan—tren wisatawan domestik pasca-pandemi, terutama staycation di kota besar. Ada akses?” Tak lama, balasan datang: “Ada. Tahun lalu, proporsi wisatawan domestik yang memilih staycation di kota besar naik dari 27% ke 39%. Durasi tinggal rata-rata 1,8 malam. Jika kemasan pengalaman kuat, konversi bisa 1,3x lipat. Kusertakan data rujukan resmi di surel.”

Angka-angka itu membuat Panji tenang. Ia menambahkannya ke rencana kampanye sebagai pijakan analitis—bukan sekadar angan.

.

Kembali ke Surabaya, hari peluncuran tiba. Di lobi, musik gamelan lembut mengalun, diseling napas humming modern. Di terminal kedatangan bandara, iklan digital hotel menampilkan adegan pendek dari video: kota subuh, seorang tamu menutup mata di lobi, kalimat “Ambil jeda. Kota pun butuh bernapas.” QR code mengarah ke halaman interaktif.

Asisten virtual hasil kerja Guno tampil sopan. Ia menyapa, “Sugeng rawuh. Apa kabar hari ini? Sudah sarapan? Jika butuh jeda, saya punya ide 12 menit.” Orang-orang mencobanya, bar di sudut lobi menyajikan jamu kunyit asam gratis untuk tamu baru. Kelaswara menampakkan senyum yang sabar, menyebut nama tamu dengan benar, dan sesekali mengutip kata-kata yang diambil asisten dari pitutur: “Ojo kagetan, Pak. Bapak sudah jauh, nikmati dulu jeda kecil ini.”

Malamnya, Panji memeriksa dasbor: click-through rate iklan melonjak ke 4,6%. Average watch time video 74 detik—tinggi untuk materi 90 detik. Pesanan langsung via website naik 19%. Asisten virtual mencatat 1.200 percakapan dalam dua hari, dengan tingkat kepuasan 4,7/5 dari feedback singkat.

Kabar baik datang beruntun. Komunitas lari pagi mengunggah rute yang direkomendasikan asisten, menandai hotel. Seorang content creator kuliner memuji itinerary 24 jam karena menempatkan warung soto kaki lima berdampingan dengan kafe modern; “Ini rute yang ajak kita bernapas—nggak ngoyo,” tulisnya.

Namun badai kecil selalu menunggu.

Pada hari ketiga, video pendek lainnya tiba-tiba viral: seorang tamu komplain karena asisten virtual salah menyebut jam buka rumah makan legendaris. “Kami datang jam sepuluh malam, ternyata sudah tutup,” katanya. Ulasannya pedas; ia menuntut hotel bertanggung jawab.

Rangga marah. “Panji, ini risiko yang kamu janjikan bisa dikendalikan.”

Panji menunduk. “Salah kami. Aku akan perbaiki.”

Ia mengajak tim berkumpul. Guno menelusuri log. “Asisten mengambil data dari sumber publik yang tidak terverifikasi.”

“Mulai sekarang,” kata Panji, “kita buat kemitraan langsung dengan para pelaku usaha. Kita minta jam operasional resmi, nomor telepon yang benar, dan izin untuk menampilkan perubahan real-time. Kita jadikan asisten ini bukan hanya cerdas, tapi tanggap.”

Kelana menambahkan, “Kita bisa bikin segmen ‘Orang-orang yang Menjaga Kota’—video pendek tentang penjual jamu, juru parkir, pembersih jalan saat subuh. Kita tunjukkan wajah kota yang bernapas.”

Candra mengangguk. “Itu manusiawi. Dan kita benahi design system supaya informasi jam buka tampil besar.”

Mereka bekerja tanpa mengeluh. Malam itu juga, Panji mengunjungi rumah makan yang sempat jadi kontroversi. Ia meminta maaf kepada pemiliknya, seorang lelaki berusia enam puluh yang semua orang memanggil—kebetulan—Wirawangsa.

“Mas, niatmu sudah bagus,” kata Wirawangsa. “Kota butuh anak muda seperti kalian. Tapi aja dumeh—jangan merasa tahu tanpa bertanya.”

Panji menyalin jam buka yang benar, memotret papan kecil di dinding, dan meminta izin menanyakan kabar stok lewat pesan singkat agar asisten bisa memberi peringatan “hampir tutup”. Di perjalanan pulang, ia teringat sebuah kutipan yang sering dipajang di ruang rapat—perkataan tokoh dunia yang ia kagumi: “Innovation distinguishes between a leader and a follower.” Inovasi, baginya, bukan kecanggihan; itu kerendahan hati untuk memperbaiki apa yang rusak.

.

Tiga minggu berlalu. Data berbicara seperti yang Panji janjikan—bahkan sedikit melampaui. Okupansi naik ke 69%; durasi tinggal rata-rata menjadi 2,0 malam. Paket “Jeda 12 Menit” di lobi menjadi kejutan kecil yang paling sering disebut tamu di ulasan. Asisten virtual mengurangi antrean di resepsionis pada jam sibuk sebesar 31% karena bisa menjawab pertanyaan standar. Revenue per available room meningkat 14% dibanding bulan sebelumnya.

Rangga, yang jarang memuji, menepuk bahu Panji. “Kau menepati janji.”

Panji tersenyum. “Yang menepati janji banyak orang, Ga. Semua bergerak.”

Candra merilis seri desain batik digital yang bisa diunduh tamu sebagai wallpaper. Kelana membuat video ‘Orang-orang yang Menjaga Kota’; episode pertama menampilkan Kelaswara yang diam-diam sering membantu tamu lansia menyeberang ke toko buku di seberang jalan. Guno menyempurnakan asisten virtual dengan fitur mood check: jika tamu mengetik “lelah”, asisten menyarankan tempat duduk paling sunyi di lobi dan menyalakan playlist gamelan halus.

Di sela keberhasilan, Panji diam-diam takut pada euforia. Ia menulis di buku catatan, menyalin pitutur eyang: “Ojo gumunan.” Di kota yang dipenuhi push notification, rasa heran bisa membuat orang hilang arah. Ia memilih menjaga ritme—bekerja, pulang, menemani ibu lewat panggilan video, lalu kembali ke layar.

.

Suatu malam, Panji diajak Rangga bertemu pengusaha properti yang ingin berinvestasi pada merek hotel mereka. Pertemuan berlangsung di restoran lantai tertinggi, kaca-kaca besar menampilkan kota berkilat seperti untaian perhiasan. Pengusaha itu—Kelana (kebetulan sama namanya dengan videografer), orangnya terbiasa bicara ringkas—bertanya, “Apa yang membuat kampanye kalian berhasil, sementara yang lain hanya ramai sehari dua?”

Panji menatap lampu-lampu kecil di kejauhan. “Kami tidak menjual tidur,” jawabnya. “Kami menawarkan jeda. Dan kami menggunakan alat—AI, analitik, otomasi—untuk menghadirkan jeda itu tepat waktu. Istirahat yang disampaikan lewat bahasa budaya. Kami meminjam pitutur agar tidak kehilangan rasa.”

Kelana (pengusaha) mengangguk. “Semoga scale bisa dilakukan tanpa kehilangan rasa.”

“Rasa,” gumam Panji, “itu hal paling mahal.”

.

Hidup jarang berjalan lurus. Bulan berikutnya, kota dilanda banjir kilat yang menutup beberapa ruas. Tamu panik. Asisten virtual kebanjiran pertanyaan. Hotel-hotel lain memilih diam menunggu surut. Panji memutuskan sebaliknya. Ia mengaktifkan Mode Hening di asisten virtual: setiap saran diawali kalimat menenangkan, “Tarik napas perlahan. Kami bersama Anda.” Laman web berubah menjadi papan informasi banjir yang menyajikan rute aman, posko, dan nomor darurat.

Kelaswara menggeser kursi lobi, menyiapkan area bermain anak dengan buku mewarnai batik dan lego. Kelana merekam behind the scenes tanpa menampilkan wajah siapa pun, hanya tangan-tangan yang sibuk membantu. Candra mencetak stiker kecil bertuliskan “Sakjane kabeh uwis apik—sebenarnya semua akan baik-baik saja.” Stiker itu menempel di cangkir jamu bersama tisu kering.

Ketika air surut, hotel bukan hanya selamat; ia jadi tempat yang diingat orang. Brand sentiment melonjak. Beberapa tamu menulis, “Kami datang untuk pekerjaan, tapi pulang membawa pengalaman: kota yang bernapas di tengah badai.”

Panji membaca ulasan itu sambil mengingat ibunya yang selalu bilang, “Sing sabar lan sregep, Gusti ora sare.” Sabar dan tekun—Tuhan tidak tidur.

.

Musim berganti. Program Kota Bernapas berkembang menjadi paket pelatihan bagi pelaku UMKM wisata: cara menggunakan alat sederhana untuk menulis kisah toko, memotret produk, dan mengelola ulasan dengan bijak. Panji tampil sebagai pemateri bersama Adaninggar (yang datang dari Malang membawa setumpuk grafik). Dalam sesi pembuka, Panji membacakan kutipan kecil di layar, “The future belongs to those who prepare for it today.” Kata-kata itu tidak menakut-nakuti; ia justru menjadi penyulut semangat.

Di akhir sesi, seorang penjual rujak cingur bernama Kelaswara (ya, lagi-lagi nama yang berulang—seperti kebetulan yang mencipta musik) berkata, “Mas, saya tak paham AI. Tapi saya paham senyum dan salam. Apa itu cukup?”

“Cukup untuk mulai,” jawab Panji. “AI hanya alat. Senyum dan salam adalah nadi.”

.

Pada malam perayaan kecil di rooftop—di bawah spanduk bertuliskan “Terima kasih, Kota”—Panji berdiri menatap cahaya-cahaya. Angin membawa bau laut dan suara kereta. Guno tertawa di pojok, Candra memotret, Kelana memutar video kompilasi momen-momen sederhana: tamu menulis postcard digital untuk diri sendiri, playlist gamelan yang menemani tidur, anak kecil yang menggambar gunung kertas. Kelaswara membagikan kue bolu kukus. Rangga, yang dulu selalu tegang, malam ini terlihat santai.

“Ji,” kata Rangga, berdiri di sampingnya, “kau tahu kenapa dulu aku ragu?”

Panji mengangguk samar. “Karena aku terlalu yakin?”

“Karena aku lupa cara bernapas,” kata Rangga. “Kau mengingatkan.”

Panji tertawa kecil. “Kau yang mengizinkan.”

Angin semakin dingin. Panji menutup matanya sejenak. Ia mendengar suara eyang: “Urip iku urup.” Hidup ini nyala yang menghangatkan. Ia membuka mata, dan kota seperti membuka mata pula—betapa banyak orang yang, tanpa kita sadari, menjaga kita bernapas: petugas kebersihan, petugas keamanan, peracik kopi, operator kereta, juru parkir, penjahit sprei, penjaga malam, perawat di klinik kecil yang menyediakan obat demam di seberang jalan.

Panji merasa bersyukur. Esok, mungkin angka akan turun, mungkin badai akan datang lagi, mungkin video kritik akan meledak di lini masa. Tapi malam ini, ia tahu satu hal: ritme adalah kejujuran. Selama mereka menjaganya—teknologi dan hati saling mengimbangi—mereka akan baik-baik saja.

Ia menuliskan catatan terakhir sebelum menutup buku:

“Kita tidak perlu menjadi mesin untuk memenangkan masa depan; kita hanya perlu menjadi manusia yang belajar dari mesin, lalu mengajarkan mesin untuk mengingat manusia.”

Dan kota, yang belajar bernapas lagi, menyimpan nyala itu seperti rahasia kecil yang dibisikkan dari jendela ke jendela.

.

.

.

Jember, 14 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenUrban #HospitalityID #AIHumanis #PituturJawa #KotaBernapas #PariwisataIndonesia #Storytelling #Staycation #PelayananHangat #BrandWithSoul

Leave a Reply