Kota Bernama “Urup”

“Bahasa hanyalah alat; niatlah yang mengarahkannya. Kata bisa melukai, kata bisa menyembuhkan. Pilihlah yang membuat hidupmu—dan hidup orang lain—menyala.”

.

Malam itu Jakarta tampak seperti layar ponsel yang tak pernah padam: notifikasi memercik di mana-mana, lampu-lampu memantul pada genangan usai hujan, dan suara knalpot bersahutan seperti trending audio yang dipakai berjuta akun. Di sudut Kemang, kami menempati ruang sempit bekas studio foto, menyulapnya jadi markas komunitas Urip Urup—tempat kami belajar menyusun bahasa gaul menjadi bahasa hati. Di dinding ada mural tulisan: “Ajining diri saka lathi; ajining raga saka busana.”

Namaku Ragil, anak bungsu keluarga perantau dari Pamekasan, Madura. Di komunitas, temanku memanggilku Rag. Dari kecil aku diajari, “Ojo dumeh.” Jangan meremehkan orang lain hanya karena bisa. Pepatah itu menyala dalam kepalaku tiap kali media sosial berubah jadi medan duel—komentar pedas, side eye, dan cancel culture.

Sejak sore kami menyiapkan pameran kecil bertajuk “Jargon, Jati Diri”—memadukan istilah Gen Z, pitutur Jawa, dan foto-foto kota. Jaya—seorang kreator konten dengan rambut dicat ungu dan bucket hat—bertugas mengatur live stream. Anom, coder jangkung yang tak pernah lepas dari hoodie, menyiapkan filter AR berbentuk kipas green flag dan lampu merah red flag. Samba, penari jalanan yang kini kuliah desain, menempel stiker kata-kata di lantai: FOMO, JOMO, Gaslighting, Glow Up, Bestie, Pick Me, Slay.

“Rag, kamera satu sudah jalan. Kita countdown sepuluh detik,” ujar Jaya, mata menatap tiga ponsel yang terpasang di tripod.

Aku mengangguk, menarik napas. “Urip iku urup—hidup itu mesti memberi nyala.” Begitu kata Mbah dulu, sambil menyalakan lampu minyak saat listrik padam. Malam ini aku ingin mengembalikan makna nyala—bukan sekadar exposure, tapi keberanian untuk jujur.

.

Siang sebelumnya, kami cek lokasi. Gang sempit seperti jalur feed tanpa akhir; di kiri ada warung mi ayam, di kanan lapak thrift menjemur baggy jeans di bawah matahari. Anak-anak SMA nongkrong, tertawa wkwkwk sambil merekam POV: ketemu mantan di depan warung kopi. Ada yang flexing sepatu baru, ada yang OOT tentang drakor.

“Bahasa mereka cepat sekali,” gumam Anom. “Kayak scroll yang nggak mau berhenti.”

Aku menatap mural dikerjakan Samba: garis-garis neon bermekaran, di tengahnya tulisan “Rumangsa cukup iku mulya.” Cukup bukan berarti menyerah; cukup artinya tahu kapan berhenti mengejar validasi.

“Kalau besok-besok ada yang cringe, jangan dihajar ya,” kata Samba, menyipit ke arah Jaya.

“Aku anti-gaslighting kok,” Jaya terkekeh, padahal aku tahu ia pernah jago memainkan kata. Dulu, ketika kami dekat, dia mudah menghilang. Ghosting. Meninggalkan chat biru tanpa balasan, membuatku mempertanyakan kewarasanku sendiri. “Kamu kebanyakan OVT. Aku kan cuma sibuk,” katanya suatu malam. Itu bukan sibuk; itu menjauh.

Aku tersenyum setipis mungkin. “Besok kita slay bareng,” ujarku. Ia mengangguk, menatapku sekilas. Ada jarak di mata itu—jarak seperti garis di timeline memisahkan before dan after.

.

Ketika live dimulai, tiga kamera menyala. Jaya membuka dengan gaya yang ia kuasai, “Halo, bestie! Selamat datang di Jargon, Jati Diri. Kita akan ngobrol soal FOMO sampai green flag dengan cara yang… relate banget.”

Emotikon hati melayang. Penonton menulis: “Mantul!” “Vibes!” “Kapan merch rilis?”
Aku maju, membawa kardus berisi foto dan kartu kata. “Di kampung halaman, ibuku suka bilang: ‘Aja lali asale banyu.’ Jangan lupa asal-usul. Setiap istilah punya asal, punya rasa. Kita akan mencoba menaruh hati di tiap kata.”

Samba menari kecil, mengelilingi kami, menyelipkan kartu bertuliskan GASLIGHTING ke telapak tanganku. Aku mengangkatnya.

“Gaslighting,” ucapku, “adalah ketika seseorang memelintir kenyataan, membuatmu ragu pada ingatanmu. Dalam pitutur ada ‘Ngundhuh wohing pakarti.’ Yang menanam manipulasi, menuai sepi.”
Di layar, comments terasa tenang. Seorang penonton menulis: “Aku lagi di hubungan yang gitu, Kak.”

“Keluarlah ketika lampu redup,” sambung Jaya, “atau setidaknya, pegang senter: dukungan teman.” Ia menatapku sesaat, seolah minta maaf atas masa lalu, tapi belum berani mengucap. Kamera tak pernah sepenuhnya jujur; namun malam itu aku padamkan dendam dalam hati.

Kami berpindah kepada FOMO. “Ketakutan tertinggal itu nyata,” kata Anom, menyiapkan grafik sederhana: di Jakarta, rata-rata pemuda 18–24 tahun menghabiskan 5–6 jam sehari di media sosial. “Tapi JOMO bisa jadi alternatif: Joy of Missing Out. ‘Alon-alon asal kelakon,’ kamu boleh melambat agar tepat.”

Samba menunjuk foto: ditembak golden hour, wajahnya polos tanpa filter. “Glow up tak selalu make up. Kadang ia terjadi ketika kamu tidur cukup, minum air putih, memaafkan diri.”

Penonton memberi emoji peluk. “Anxietas turun kalau aku offline sejam.”
Mantul.” tulis yang lain. “Bestie, tolong bahas pick me dong!”

Jaya angkat poster PICK ME. “Pick me adalah memohon validasi. Di budaya kita, ada pepatah ‘Ojo gampang gumun lan gumunan.’ Jangan menukar nilai dirimu dengan tepuk tangan sementara. Jae—eh, Rag, kamu mau tambah?” Ia salah menyebut namaku, gugup. Aku pura-pura tak dengar.

“Kalau kamu ingin dipilih,” kataku, “pilihlah dirimu dulu. Be the hero of your own story, kata Joseph Campbell.”

Malam kian meriah. Musik dari toko thrift sebelah berdentum rendah. Kami ke bagian GREEN FLAG dan RED FLAG. Anom membuat filter seru: kalau kamu angkat tangan kanan, layar penuh bendera hijau; kalau kiri, merah. Anak-anak gang ikut mencoba, tertawa wkwkwk.

“Hijau: mau mendengarkan tanpa ngegas,” kata Samba. “Merah: seen zone berhari-hari.”
“Hijau: minta maaf tanpa defensif,” tambahku. “Merah: salty kalau kamu sukses.”

Aku melihat Jaya menatapku ketika menyebut salty. Entah kenapa pipiku hangat.

.

Satu jam bersiaran, listrik di gang mendadak mati—padam beruntun dari ujung ke ujung. Notifikasi seketika beku. Hujan baru turun lagi, halus. Toko mi ayam buru-buru menutup terpal. Anak-anak yang tadi tertawa menjerit kecil; namun mereka segera mengangkat ponsel, menyalakan flash.

UPS, masih aman,” ujar Anom memeriksa powerbank seperti memeriksa detak jantung. “Kita bisa lanjut dengan low light.”

Dalam gelap itu, suara-suara seperti makin jelas. Aroma tanah basah, kedai kopi yang mendadak memantik lilin-lilin kecil. Aku teringat Mbah mengajarkanku membaca sasmita: “Laku ing sasmita amrih lantip.” Saat tanda-tanda halus datang, jadikan ia pelajaran.

Aku berdiri di depan mural. “Teman-teman,” kataku, “mungkin ini momen JOMO kita—mengalami gang sempit tanpa simulasi, tanpa filter. Kita coba permainan: sebut satu kata gaul yang menyelamatkanmu.”

Bestie!” seru seorang gadis bersweater hijau, menunjuk sahabat di sebelahnya.
Slay!” teriak bocah laki-laki sambil pose.
GWS,” bisik seorang ibu muda, mengusap kepala anaknya yang demam.

“Sekarang satu pitutur yang kalian ingat.”
Ojo dumeh!
Urip iku urup!
Rumangsa cukup iku mulya!

Suasana hangat seperti dapur rumah. Gelap jadi selimut, bukan ancaman. Aku melirik Jaya: ia menyalakan lilin di atas tumpukan buku catatan, lalu menaruh di tengah. Cahaya kecil itu memantulkan kilau air mata yang ia sembunyikan. Aku melangkah mendekat.

“Dulu aku nggak paham batas,” katanya lirih, menatapku, tak peduli mikrofon tetap menyala. “Aku clingy pada validasi, bukan pada manusia. Maaf, Rag.”

Disaksikan lilin, gang, dan ratusan penonton yang mungkin menahan napas, aku mengangguk. “Kalau begitu, mari glow up bareng—pelan, tapi jalan.”

Anom, menyadari intensitas percakapan, mencairkan suasana. “Baiklah, challenge terakhir! Tulis kalimat motivasi campur gaul, pitutur, dan English quote dalam waktu satu menit!”

Anak-anak tertawa lalu berteriak bersahut-sahutan.
No more gaslighting—ajining diri saka lathi—speak your truth!
FOMO? JOMO aja—alon-alon asal kelakon—enjoy the moment!
Bestie, urip iku urup—be kind, be humble!

Listrik kembali menyala. Sorak kecil terdengar seperti notif yang kembali hidup. Namun setelah gelap tadi, terang terasa lebih jujur.

.

Beberapa minggu berikutnya, program Jargon, Jati Diri menjadi rutin. Kami membuat episode tematik: Insecure vs. Ajining Diri, POV: Kamu Baik-baik Saja, Santuy yang Bertanggung Jawab. Di tengah kota yang keras, kata-kata jadi bantal dan kompas.

Pada episode tentang Insecure, kami mengundang Lalela, seniman mural yang dulu nolep bertahun-tahun. Ia datang dengan wide-legged pants dan sepatu chunky. “Aku sempat cringe pada hasil karyaku sendiri,” katanya. “Setiap comment pedas membuatku mengecil. Lalu aku menemukan pepatah: ‘Ajining diri dumunung ana lathi lan tata krama’—harga diriku tak bergantung pada likes; ia tumbuh dari kata-kataku sendiri dan sikapku pada orang lain.” Lalela menunjukkan muralnya: potret kampung yang ditumbuhi bunga dari jendela-jendela sempit. Penonton terharu; DM banjir cerita.

Di episode POV, Jaya mengaku pernah memelintir sudut pandang untuk membuat drama. “Aku lupa, point of view bukan lisensi untuk memanipulasi,” katanya. “Sekarang aku memilih POV yang memuliakan.” Di layar ia menampilkan klip pendek: kamera mengikuti pemilik warung mi ayam yang bangun pukul empat, meracik bumbu, menyapa tetangga. Bukan sensasi—hanya manusia yang bangun lebih awal dari matahari. Video sederhana itu justru ditonton jutaan kali.

Sementara Anom merilis bot kecil di Telegram bernama Wulang—dari ‘wejangan’—yang menjodohkan istilah gaul dengan pitutur Jawa beserta penerapan praktis harian. “PICK ME?” tanya seseorang. Wulang menjawab: “Pilih dirimu dahulu. Rencana hari ini: tidur cukup, makan bergizi, latihan memuji tanpa merendahkan diri.”

Samba membuka kelas offline: “Santuy yang Produktif.” Ia mengajarkan tarian pemanasan lima belas menit yang bisa dilakukan di sela kerja remote—menyelaraskan napas dengan affirmation: “Aku cukup. Aku hadir. Aku siap memberi manfaat.”

.

Namun, hidup tak separuh filter. Suatu sore, kabar buruk datang: bangunan tempat kami menyewa studio akan digusur. Pemiliknya ingin membangun co-working mewah. Kontrak tak dapat diperpanjang. Di grup, notifikasi berdentang:

Jaya: “Guys, kita kena evict. Deadline seminggu.”
Anom: “Aku bisa backup semua server, tapi kalau tempat pindah, biaya naik.”
Samba: “Aduh, abis gini kita ke mana?”

Aku menatap foto dinding studio—mural, kartu kata, candaan yang tersisa di sticky notes. “Kita bikin fundraising,” kataku mantap. “Sekaligus pop-up show di ruang publik, supaya Jargon, Jati Diri benar-benar turun ke jalan.”

“Di mana?” tanya Jaya.

“Di alun-alun Kota Tua, sore minggu. Aku akan minta izin disbud. Kita bukan cuma komunitas digital. Kita warga kota.”

Sepekan itu seperti lomba estafet. Anom menyiapkan landing page donasi dengan keyphrase: “Gen Z: Jargon yang Menyala, Hati yang Bekerja.” Samba latihan koreografi flashmob. Jaya membuat video ajakan: “Bawa kata favoritmu. Tulis di karton. Ceritakan mengapa ia menyelamatkanmu.”

Di hari H, matahari condong ke barat. Alun-alun padat: pedagang otak-otak, turis bersepeda ontel, komunitas photography membidik golden hour. Kami mendirikan panggung kecil dari palet bekas. Spanduk besar membentang: “Urip Urup: Pameran Kata.”

Kawan-kawan komunitas datang dari Bekasi, Depok, Tangerang; bahkan ada rombongan anak SMK dari Bogor. Mereka membawa karton: “Bestie: kamu rumahku.” “JOMO: hakku untuk istirahat.” “Glow Up: sikap.” “Gaslighting: tidak lagi.”

Acara dimulai dengan karnaval kata. Samba memimpin di depan, menari lincah. Anom menayangkan visual definisi slang berdampingan dengan pitutur Jawa. Jaya memandu manis—tidak terlalu performative, justru hangat.

Lalu sesi cerita. Seorang lelaki muda berjaket oversized maju, memperkenalkan diri sebagai Jamal. “Aku dulu nolep karena bullying. Kata yang menyelamatkanku: ‘Urip iku urup.’ Saat aku mulai mengajar adik-adik kampung belajar editing, aku merasakan nyala itu kembali.”

Seorang ibu rumah tangga, Rara, mengangkat karton “GWS”. “Aku menulis ini untuk diriku. Aku ingin sembuh dari kebiasaan membandingkan hidupku dengan feed orang.” Penonton bertepuk; seorang gadis meneteskan air mata.

Giliran terakhir, seorang anak SMP bernama Sakera—nama peninggalan kakeknya—menulis di karton “Sabi.” Ia bercerita baru saja gagal audition tari. “Tapi teman-teman bilang, sabi balik lagi. Kata sabi itu remeh, tapi membuatku bangkit.” Ia memandang kami malu-malu. Samba memeluknya. “Kita latihan bareng,” katanya.

Ketika matahari menyentuh atap gedung kolonial, polisi pariwisata menghampiri. Izin kami ternyata salah tanggal—kesalahan administrasi. Mereka mempersilakan acara selesai lebih cepat. Panik merambat seperti komentar pedas di posting-an baru.

Jaya menoleh padaku. “Gimana, Rag?”

Aku menatap kerumunan yang baru saja menemukan suaranya. “Kita akhiri dengan doa kata.”

Aku berdiri di tengah alun-alun, memegang mikrofon. “Teman-teman,” suaraku menggema, “terima kasih telah datang. Sebelum bubar, mari kita tutup dengan kalimat bersama. Saya mulai: ‘Kata adalah nyala.’ Lanjutkan dengan kata pilihan kalian.”

Serentak suara-suara meledak bersahutan, menggetarkan udara:
Urip iku urup!
JOMO.
Bestie.
Ajining diri saka lathi.
Glow up from within!
Ojo dumeh!
Sabi!

Polisi yang tadi tegas pun menahan senyum. Kami membereskan peralatan. Malam turun perlahan, menyisakan bayang-bayang panjang di batu-batu alun-alun.

.

Studio kami akhirnya pindah ke gedung tua dekat pasar buku. Biaya memang naik, tapi donasi masyarakat cukup menutupinya. Di dinding baru, kami menulis ulang pepatah: “Laku ing sasmita amrih lantip.” Di bawahnya, tagline komunitas: “Jargon boleh berganti, kebijaksanaan tetap.”

Hubunganku dengan Jaya membaik, tidak kembali seperti dulu—lebih baik dari dulu. Kami kini tahu batas dan arah. Ia belajar mengucap maaf tanpa tapi. Sesekali, ketika deadline mengetuk seperti tetangga kos yang cerewet, kami memilih JOMO, menutup ponsel, menyeduh kopi sachet, dan membaca buku-buku lawas. Lampu studio menyorot halaman yang kuning. Kami tertawa pada hal-hal receh. Kami bahagia pada hal-hal sederhana.

Suatu malam, Anom membawa kabar. Wulang, bot buatan kami, dipakai oleh sekolah-sekolah untuk counseling ringan. Anak-anak menulis, “Aku di-ghosting temanku,” lalu Wulang membalas: “Ajining diri saka lathi. Kamu berhak bertanya dengan baik, kamu berhak mundur dengan sopan.”
Kepala sekolah memberi testimoni: angka perundungan digital turun. Tidak spektakuler, tapi kurva melengkung sedikit ke bawah seperti senyum yang menenangkan.

Di acara syukuran kecil, kami menempelkan foto-foto perjalanan: malam padam di gang, alun-alun menjelang digusur, studio baru dengan jendela besar. Samba mengusulkan ritual: setiap anggota menaruh satu kata di dinding “Kata Penjaga.”

Vibes,” kata Samba, “biar energinya tetap baik.”
Focus,” kata Anom, “biar kita nggak OOT.”
Urup,” kataku. “Biar apa pun yang kita lakukan, ada nyala yang bermanfaat.”

Jaya menempelkan kertas bertuliskan “Humble.” Ia menatapku lama, lalu berbisik, “Terima kasih sudah memberi kesempatan kedua.”

Aku menepuk bahunya. “Kita tumbuh bersama. Pelan, asal kelakon.”

.

Musim hujan datang lagi. Kota kembali berkilau di bawah lampu jalan, kali-kali membesar, suara hujan seperti white noise menenteramkan. Suatu sore, kami menerima pesan dari seorang ayah di Jember: putrinya berhenti dari kebiasaan menyakiti diri setelah mengikuti live kami tentang Insecure dan Ajining Diri. Ia menulis: “Terima kasih, anak saya tidak lagi merasa sendirian. Ia ikut komunitas di sekolah, mengajar adik-adik membuat konten bermanfaat.”

Kami saling berpandangan. Dalam hening, ada rasa cukup. Rumangsa cukup iku mulya. Begitu kata pepatah. Cukup bukan berarti berhenti bermimpi; cukup ialah sadar bahwa yang kita punya hari ini—studio sewa, kamera bekas, lilin-lilin kecil di malam padam—bisa jadi nyala untuk yang lain.

Malam itu, kami menutup hari dengan menyiarkan live singkat. “Topik ini sederhana,” kataku ke kamera, “judulnya Bestie.” Di belakangku, teman-teman duduk melingkar, ada yang memegang gitar, ada yang menulis catatan.

“Bestie,” sambung Jaya, “bukan sekadar panggilan manis. Bestie adalah orang yang mengingatkan kita pada arah pulang.”
Samba memainkan akor lembut. Anom mematikan beberapa lampu, menyisakan cahaya hangat seperti di gang malam itu.

Aku menatap ke lensa, membayangkan para penonton di kamar masing-masing, di halte, di kamar kos, di tangga darurat mal. “Kalau kamu sedang sendirian malam ini,” kataku, “ingat pesan ini: ‘Kata bisa melukai, kata bisa menyembuhkan. Pilihlah yang membuat hidupmu—dan hidup orang lain—menyala.’

Di layar, hati-hati melayang. Wkwkwk bercampur emoji peluk. Ada yang menulis GWS untuk temannya, ada yang menandai bestie-nya, ada yang mengetik JOMO dan menutup aplikasi.

Kami mematikan kamera. Hujan berhenti. Dari jendela, kota menatap kami dengan mata lampu yang lembut. Di meja studio, lilin kecil masih menyala—sebuah titik yang mengingatkan: Urip iku urup. Hidup bukan tentang seberapa sering namamu muncul di timeline, melainkan seberapa banyak langkahmu menuntun orang lain menemukan bahasa untuk sembuh.

Dan di kota bernama “Urup” itu—kota yang sebenarnya bernama Jakarta—kami terus bekerja. Mengajar kata-kata berjalan bersama hati. Menyulam gaul dengan pitutur. Menjadikan Gen Z yang sering dituduh gabut menjadi generasi yang sibuk menyala.

Karena pada akhirnya, bahasa bukan hanya milik mulut. Ia milik kita semua, milik lengan yang merangkul, milik punggung yang menahan hujan, milik mata yang berani jujur.

Dan ketika ada yang bertanya apa misi kami, kami akan menjawab ringan: “Kami hanya ingin mengganti gaslighting dengan penerangan; mengganti FOMO dengan JOMO; mengganti pick me dengan choose yourself; mengganti red flag dengan green flag yang menuntun kami pulang.”

.

.

.

Jember, 13 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#GenZIndonesia #BahasaGaul #PituturJawa #UripIkuUrup #JOMO #AntiGaslighting #GreenFlag #Storytelling #KotaYangMenyala

Leave a Reply