Rupa-Rupa Hari, Langkah-Langkah Berarti
“Ana dina ana rupa. Setiap hari datang dengan bentuknya sendiri; dan jika kita tak bergerak, kita tak akan makan. Hidup memilih yang berani melangkah.”
.
Kota ini selalu bangun lebih dulu daripada manusia yang menempatinya. Lampu-lampu jalan padam perlahan, seperti napas panjang yang ditarik kembali dari malam. Jayeng berdiri di depan halte Trans, menggenggam termos kopi yang masih hangat. Uapnya naik tipis, bercampur seruput pelan dan detik-detik dalam kepalanya yang berdebar. Hari itu, ia berjanji pada diri sendiri satu hal sederhana: bergerak.
Kemarin ia baru menerima surel pemutusan kontrak dari agensi digital tempatnya menjadi penulis naskah iklan. Alasannya klasik—efisiensi, rasionalisasi biaya, grafik revenue yang melandai. Ia membaca sampai habis, menatap icon lampiran PDF yang dingin, lalu menutup laptop tanpa air mata. Malamnya, ia menulis satu kalimat di kertas catatan tempel: “Ora obah ora mamah.” Lalu menempelkannya di pintu kulkas.
Di seberang jalan, Ratna sedang memeriksa pesan dari panitia festival kota. Ia seorang perancang acara lepas—sebagian menyebutnya event planner, sebagian lagi memanggilnya penjahit momen: menyambung panggung, penonton, sponsornya, dan harapan-harapan yang kadang terlalu besar untuk ukuran panggung yang disewa. Ia sudah lima tahun berpindah-pindah kota, dari Surabaya ke Yogyakarta lalu mendarat di Jakarta. Pertemuan dengan Jayeng bermula dari teh tubruk di sebuah kelas menulis yang sabtu-sabtu; tumbuh diam-diam seperti akar bandara yang tidak kelihatan tapi menopang berat pesawat.
“Pagi—kau ikut?” Ratna melambai dari bus yang baru berhenti.
“Tentu. Hari ini harus jalan,” kata Jayeng, naik dan mencari posisi dekat jendela. Napas kota menyusup dari celah karet kaca, meninggalkan bau aspal basah yang ganjilnya membuat jiwa terasa ringan.
Maya masuk beberapa halte kemudian—rambut dikuncir tinggi, ransel penuh kabel-kabel. Di kartu namanya tertulis “Produser: audio-visual”; tetapi di dompetnya, yang ada kartu e-money dengan saldo menipis dan kartu nama lain-lain: juru bicara komunitas, konsultan storytelling, editor podcast. Ia pernah bercanda: “Kota ini mengajarkan multiverse profesional. Di satu semesta kita ahli, di semesta lain kita belajar dari nol.”
“Jadi jadi?” tanya Maya, matanya menyambar ke Ratna dan Jayeng.
“Jadi apa?” Jayeng pura-pura tidak paham.
“Pitching ke festival. Kau bawa naskah itu? ‘Ana Dina Ana Rupa: Panggung Kota’,” Maya mengangkat alis. “Kau tahu, kurator suka judul yang bunyinya seperti mantra.”
Ratna tertawa pendek. “Kita ke venue dulu. Pagi ini mereka uji suara; siang presentasi.”
Bus menggelinding melewati pertokoan tua yang dicat baru. Poster pengumuman bertumpuk seperti sisik ikan: konser amal, pameran start-up, bazar buku murah, rekrutmen relawan bank pangan, diskon kedai kopi. Kota-labirin yang menawari segala kemungkinan—ana dina ana rupa—setiap hari memang datang dengan rupa lain; menggoda, menguji, menantang.
.
Venue itu bekas bioskop tahun tujuh puluhan, disulap menjadi pusat kebudayaan oleh komunitas warga. Lantai mosaik yang pecah-pecah dipertahankan sebagai artefak, lampu-lampu baru menggantikan neon, dan di langit-langit gipsum dipasang kipas model lama yang berputar pelan seperti jam ibukota yang tidak pernah benar-benar berhenti.
Bersama teknisi, Maya memeriksa mikrofon. “Satu, dua. Check. Tiga, empat. Check.” Suaranya memantul ke ruang kosong, lalu jatuh lembut. Ratna menggambar sketsa panggung: di tengah sebuah bangku panjang dari kayu bekas gudang, di sisi kanan layar untuk tayangan potongan video kota—pasar subuh, halte hujan, mushala terminal, warung tenda, lorong rusun, tubuh-tubuh yang bekerja. Di sisi kiri, sebuah box light ditembakkan ke bingkai foto: wajah-wajah yang ia dan Jayeng potret selama dua bulan—tukang kebun median jalan, bapak-bapak petugas pick up sampah, petugas kesehatan puskesmas keliling, rider yang mengetuk portal apartemen, ibu-ibu pemanggang kerupuk di ruang depan rumahnya.
“Semua siap. Tinggal satu,” kata Ratna.
“Apa?” tanya Jayeng.
“Kau,” jawabnya. “Kau yang akan membaca bagian prosa. Aku butuh suara yang sempat kehilangan pekerjaan kemarin malam.”
Jayeng terdiam. Suara kota merayap masuk; suara laju motor, klakson panjang bus kota, teriakan tukang parkir, dan sayup adzan dhuha dari masjid di blok sebelah yang sedang renovasi.
“Bisa.” Jayeng mengangguk.
“Bagus.” Maya menepuk bahu Jayeng. “Kalau gugup, ingat saja adagium itu. Bergeraklah; teks akan mengikuti.”
Mereka bertiga bekerja sampai siang. Jemari mereka menjadi waktu yang bisa memegang; berpindah dari kabel ke gunci panggung, dari lembaran naskah ke timeline presentasi. Seorang relawan, Madi, datang membawa kotak berisi lunch box dari warung tetangga. Di tutup kardusnya tercetak kaligrafi: “Ora obah ora mamah.” Maya tertawa ketika melihatnya. “Ini branding yang tepat untuk makan siang.”
Madi, yang sehari-harinya petugas keamanan malam di kompleks sebelah, bercerita tentang shift yang menelannya seperti laut memakan perahu kecil. “Anak saya tiga. Dulu saya pekerja bangunan. Lalu pandemi. Hampir dua tahun ‘ndhek rumah’. Habis itu jadi satpam malam. Ya nyicil hidup. Tapi saya percaya, rezeki itu setia pada orang yang setia pada usahanya,” katanya sembari membuka botol air mineral. “Ana dina ana rupa.”
Jayeng mencatat kalimat itu di tepi naskahnya.
.
Siang datang seperti bilah kaca. Ruang presentasi mulai terisi. Kurator duduk membentuk huruf setengah lingkaran. Satu per satu pengusul program berjalan ke depan—membentangkan ide, menimbang biaya produksi, memprediksi jumlah pengunjung, berbicara tentang engagement, brand awareness, impact metric. Ratna giliran ketiga. Ia berdiri tegap, menaruh ponsel di saku; tangannya kosongan kecuali mikrofon.
“Judul kami, Ana Dina Ana Rupa: Panggung Kota,” Ratna membuka. “Ini program yang merayakan kerja—kerja manusia biasa—yang membuat kota ini hidup. Kami membawa wajah-wajah mereka ke panggung: bukan untuk dikasihani, melainkan untuk ditukar cerita. Bukan untuk disoraki, melainkan untuk didengarkan.”
Maya menayangkan cuplikan video: jalan yang baru disiram hujan, refleksi lampu merah di aspal, serombongan perawat mendorong peti cool box vaksin, anak-anak berseragam sekolah meninvasi trotoar dengan riang, ibu-ibu satgas sampah menimbang bank sampah di halaman musala. Musik latar disusun dari rekaman alam: dengung trafo, gesek sapu, dengus uap nasi goreng. Kota berdenyut seperti jantung raksasa.
Jayeng maju ke tengah panggung. Ia membuka termos. “Kopi, seperti hidup, tak selalu manis. Tapi pahitnya mengajarkan kita cara menelan kenyataan,” katanya, dan hadirin tersenyum. Ia membaca penggalan prosa yang ditulisnya semalam: tentang detik-detik ketika email pemutusan kontrak mendarat, tentang hening kamar kos yang tiba-tiba membuat jam dinding terdengar seperti peramal. Ia bercerita tentang pagi yang sama seperti pagi lain, tetapi berbeda di dalam dirinya—ana dina ana rupa. “Maka aku pergi ke halte, memutuskan untuk datang ke ruang ini. Bukan untuk menyelamatkan diri, melainkan untuk ikut menyelamatkan cerita kota.”
Seusai tiga puluh menit, halaman ruang presentasi terasa lebih lapang. Kurator senior, seorang lelaki berkacamata yang rambutnya memutih layaknya hujan debu di rel kereta, bertanya pelan: “Bagaimana kalian mengukur dampak?”
Ratna menjawab tanpa menunduk: “Kami mengukur pertemuan—bukan sekadar angka pengunjung. Kami akan membuat log book harian: siapa bertemu siapa, apa yang dibicarakan, apa tindak lanjutnya. Kami mengukur berapa banyak kolaborasi lahir dari panggung ini dalam 100 hari setelah festival. Kalau nihil, kami anggap gagal.”
“Anggaran?” tanya kurator lain.
“Minimal. Kami memanfaatkan ruang warga, relawan komunitas, seniman lokal. Yang kami beli hanya waktu: honor untuk para pekerja yang kami undang bercerita. Ini panggung untuk mereka, maka waktunya harus dibayar.”
Hening sesaat; sehening penanda lampu lalu lintas saat listrik padam.
Kurator pertama mengangguk. “Program diterima. Laksanakan dengan hati-hati.”
Ratna menahan napas. Maya memeluknya singkat. Jayeng memejamkan mata, mendengar sesuatu dalam dirinya retak—bukan pecah, tetapi membuka ruang baru.
Di luar, awan menggulum. Hujan turun tiba-tiba, lebat, seperti kota sedang mau mengatakan sesuatu tetapi tak menemukan diksi. Mereka bertiga berdiri di bawah kanopi sambil tertawa—tertawa karena lelah, lega, dan sedikit takut. Sebab yang diterima bukan cuma program, melainkan juga kewajiban untuk menepati janji.
.
Hari-hari berikutnya menjadi montase yang rapat: casting narasumber, mengirim undangan, meminjam kursi dari kelurahan, merundingkan izin, menegosiasikan slot listrik, mengupas kabel, menempel label. Dari pagi sampai dini hari, mereka mengurus hal-hal kecil yang justru menentukan nasib hal-hal besar; seperti menyetrika lipatan meja bundar, menulis name tag dengan tinta yang tidak gampang luntur, menempel pita di ujung-ujung kain agar tidak berjuntai.
Di sela-sela itu, kota tetap menjadi dirinya: lampu rambu tiba-tiba mati di simpang; berita daring tentang angka pengangguran yang naik turun; push notification penawaran e-wallet; antrean di loket puskesmas; sirene kebakaran yang mengiris udara subuh; kicau burung di taman kompleks rusun; diskon midnight sale; doa-doa yang dikirimkan melalui status dan story.
Suatu sore, Ratna meminta Jayeng menemaninya ke rusun blok E. Mereka hendak bertemu Svara, seorang penyanyi jalanan yang dulu sempat rekaman namun kini suaranya lebih sering mengisi lorong-lorong stasiun karena agensi tak memperpanjang kontrak. Svara setuju tampil di panggung kota; ia ingin menyanyikan track berjudul “Rupa-Rupa Hari”—lagu yang ditulisnya setelah kehilangan anaknya karena demam berdarah setahun lalu.
Di kamar kecil Svara, dindingnya dipenuhi tempelan lirik, jam dinding bundar warna hijau yang telat tiga menit, dan foto anaknya yang tersenyum. “Aku tak mau membuat orang sedih,” kata Svara. “Aku ingin mereka ingat: setiap hari datang dengan wajah berbeda. Hujan, panas, rezeki, kehilangan. Aku ingin orang pulang dari panggung itu membawa keberanian.”
Maya merekam percakapan itu. “Suaramu akan menjadi jembatan,” katanya lirih.
Untuk sesi lain, mereka mengundang Umar, rider yang pernah viral karena mengantar susu ibu menyusui menembus banjir; dan Madi, satpam malam yang tadi mengantar makan siang; juga Laila, petugas kebersihan sungai yang tahu jam berapa sampah harian tiba seperti jadwal kereta; serta Kelas, data analyst muda yang di malam hari mengajar anak-anak rusun coding dasar. Di atas kertas, pekerjaan mereka berbeda-beda; di bawah kulit, mereka sama—menggerakkan kota.
.
Malam pembukaan datang. Langit Bumi Nusantara menggantungkan bintang seadanya di atas gedung lama itu, seperti permen yang disisakan untuk anak bungsu. Penonton berdatangan dari jalan arteri, gang kecil, dan notifikasi broadcast. Lampu-lampu panggung menyala; box light memeluk bingkai foto; layar menunggu cerita.
Ratna berdiri di belakang panggung, memejamkan mata sejenak, lalu berbisik pada dirinya: “Ini bukan tentangku. Ini tentang kita.” Ia menatap Jayeng yang mengenggam naskah rapat—di sudut kertasnya, kalimat tempel di kulkas ditulis ulang: “Ora obah ora mamah.” Maya menyusun cue: video—musik—narasi—lampu kanan—lampu kiri. Madi mengecek sabuknya, mengatur antrean, tersenyum tanpa lelah.
Acara dimulai.
Tiga menit pertama adalah kota yang bergerak: kaki-kaki di trotoar, kereta masuk peron, banjir memantulkan warna lampu-lampu warung, para pedagang menutup tenda sambil menguap. Lalu Jayeng maju. Ia membaca, suaranya tidak gemetar. “Kota mengajari kita menelan pahit lebih dulu sebelum gula. Tapi yang bertahan bukan yang paling kuat, melainkan yang paling mau belajar.”
Svara menyanyi kemudian, suaranya bening, menabrak dinding-dinding tua lalu kembali seperti elang pulang. Liriknya sederhana: “Jika hari ini wajahnya marah, peluklah—sebab esok ia mungkin tersenyum. Jika hari ini kau jatuh, bangunlah—sebab angin membawa kabar baru.” Orang-orang menahan sesuatu dalam dada. Ratna melihat seorang ibu mengelus kepala anaknya; seorang lelaki meletakkan payungnya; seorang perempuan muda mencatat sesuatu di ponsel.
Umar bercerita tentang malam banjir saat ia menerobos pembatas karena pesan singkat: “Susuku bengkak. Tolong kakak.” Ia tertawa ketika mengingat petugas yang menegurnya; lalu menangis kecil ketika mengingat bayi yang akhirnya bisa minum. Madi bercerita tentang jam tiga pagi ketika ia memergoki dua remaja bermaksud balap liar dan memilih duduk bersama mereka hingga subuh, mengobrol soal mimpi—bukan tentang larangan. Laila bercerita tentang sungai; bagaimana sampah datang seperti janji yang ditepati, dan bagaimana di balik itu ada kehidupan yang menunggu bersih. Kelas bercerita tentang loop dan function, tentang anak-anak yang matanya menyala ketika melihat program kecil mereka berhasil. “Teknologi bukan menara gading,” katanya. “Teknologi hanyalah cara lain untuk mengucapkan terima kasih kepada masa depan.”
Di akhir acara, lampu panggung menyorot penutup program: selembar kain putih tempat penonton menulis kalimat—apa yang ingin mereka gerakkan besok. Satu per satu orang maju, mengambil spidol. “Aku mau mulai belajar lagi.” “Aku mau telepon ibu.” “Aku mau berhenti menunda.” “Aku mau buang sampah pada tempatnya.” “Aku mau datang ke perpustakaan kelurahan.” “Aku mau menepati janji.” Kain itu berubah menjadi peta—peta kecil dari gerak-gerak sederhana yang jika digabungkan bisa mengubah lintasan kota.
Jayeng berdiri mematung di sisi panggung, lalu menyadari ada tangan meraih tangannya. Ratna. Ia memandang Ratna yang matanya berkaca. “Kau membaca dirimu sendiri,” kata Ratna.
“Aku merasa dimaafkan,” jawab Jayeng.
“Bukan dimaafkan. Disambut.”
Di sisi lain, Maya memeriksa log book: ada tiga orang yang bertukar kontak untuk program baca di taman; dua remaja dari penonton mengajak Kelas membuka kelas tambahan; satu ibu-ibu bertanya apakah ia bisa mengundang Laila berbicara di sekolah anaknya soal kebersihan sungai. Angka kecil, tapi berarti. “Kita sedang memanen gerak,” gumamnya.
.
Namun kota, seperti manusia, selalu menyimpan ujian di lapis berikutnya. Dua hari setelah pembukaan, sponsor utama menarik diri karena masalah internal. Ratna menerima kabar itu dalam perjalanan ke venue, di atas ojek daring, helm kebesaran yang terus melorot. Ia menyuruh motor menepi, mengirim pesan ke Maya dan Jayeng: “Kita kehilangan 40 persen pendanaan.”
Maya membalas cepat: “Aku cari opsional. Urus legalitas crowdfunding kecil.” Jayeng mengetik: “Kita minta tolong komunitas. Malam ini aku bikin tulisan dan video pendek.” Ratna menatap layar ponsel yang basah oleh gerimis. Ia menghela napas. Ana dina ana rupa. Ia mengeluarkan dompet, memeriksa sisa seratus ribu rupiah. “Bergerak dulu, Ratna. Bergerak dulu,” katanya pada diri sendiri. Ora obah ora mamah.
Malam itu, mereka menyalakan siasat. Maya menulis thread tentang bagaimana panggung kecil bisa melahirkan pertemuan besar. Jayeng mengunggah video 60 detik: potongan cerita Umar, tawa Svara, tangan Laila yang menimba sampah, mata anak-anak Kelas yang berbinar. Ratna mengirimkan surat personal ke kenalan-kenalannya: “Bantu kami membeli waktu untuk kerja-kerja yang membuat kota bernafas.” Mereka menempelkan nomor rekening, transparansi anggaran, jadwal acara, janji report tiap pekan.
Esok harinya, transfer pertama masuk. Lalu kedua. Lalu ketiga. Tak besar, tapi deras. Ada lima puluh ribu rupiah dari pedagang bubur, seratus ribu dari petugas front office hotel, lima ratus ribu dari karyawan start-up yang baru dapat bonus, dua puluh ribu dari mahasiswa. Seorang bapak tua menyumbang sepuluh ribu rupiah tunai, datang langsung ke venue, berkata, “Dulu saya penyapu jalan. Saya tahu rasanya tak terlihat.” Madi mencatat di log book, menyodorkan kuitansi. Ratna memeluk bapak itu. Maya mengangkat kamera; tidak untuk expose wajahnya, tetapi untuk menyimpan suaranya.
Tiga minggu program berjalan. Kota mengantuk dalam hujan sore, terbangun di pagi yang menyengat, dan tertawa di sabtu malam. Panggung kota menjadi tempat orang-orang bercerita tanpa perlu menyiapkan pitch deck. Beberapa malam, listrik padam; mereka menyalakan genset kecil yang dipinjam dari bengkel tetangga. Beberapa siang, narasumber batal datang karena harus lembur; mereka ganti format, memutar video rekaman, mengundang penonton berbagi. Ratna belajar menelan hal-hal yang kecil namun krusial: spidol yang macet, kabel yang mendadak tak mau patuh, kursi yang tiba-tiba patah. Jayeng belajar meminjam tenaga dari penonton: “Siapa kuat angkat kursi?” Satu baris tangan terangkat. Maya belajar mengurangi keinginan mengatur semuanya: membiarkan panggung punya logikanya sendiri.
Pada malam terakhir, sebelum penutupan, mereka menayangkan montage selama lima menit—kaleidoskop yang merangkum semua hari yang sudah dilewati. Ratna memandang layar itu dan teringat kalimat bapaknya dulu di kampung: “Anak, keberanian bukan berarti tak takut. Keberanian berarti berjalan sambil takut.” Ia menggeser pandang ke Jayeng, yang kini sedang membaca catatan penutup: “Kita tidak bisa memilih wajah hari. Tapi kita bisa memilih apa yang kita lakukan ketika hari menatap kita.” Penonton terdiam, lalu tepuk tangan tumbuh dari ujung ke ujung seperti ombak.
Setelah selesai, mereka bertiga duduk di pinggir panggung lama-lama, membiarkan ruang menjadi hening. Di luar, kota seperti duduk pula. Jayeng menatap plakat kecil yang baru ditempel di dinding foyer: Terima kasih kepada warga yang menghidupkan panggung kota. Ia mengusap huruf-hurufnya, kemudian berkata: “Kau tahu, surat pemutusan kontrak itu kini terasa seperti pintu yang membuka ke halaman lain.”
Ratna menatapnya. “Aku melihat kau berubah, Jayeng.”
“Bukan berubah. Mungkin… diperlihatkan.”
Maya menyandarkan punggung, menatap plafon yang bekas-bekasnya tak ditutup. “Aku kira kita semua diperlihatkan. Bahwa kalau kita mau bergerak, kota ikut bergeser. Sedikit, tapi bergeser.”
Mereka tertawa pelan. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas. Hujan belum datang; angin membawa sisa-sisa suara hari ini—suara langkah, suara kursi diseret, suara sapu menyapu, suara klik gembok gerbang. Kota menarik selimutnya pelan.
.
Seminggu kemudian, Jayeng menerima surel baru. Bukan pemutusan kontrak, melainkan undangan. Sebuah platform content menawarkan kerja sama jangka panjang: menulis seri esai audio tentang “pagi kota”—tentang orang-orang yang bangun lebih dulu daripada cahaya. Mereka mendengar potongan narasi Jayeng di panggung kota dari unggahan Maya, menyukainya, dan mengirim ajakan. Gajinya tidak mewah, tapi cukup untuk membuat kulkas tak lagi kosong. Ia membaca sekali, dua kali, lalu memejamkan mata. “Terima kasih,” katanya sendirian di kamar kos yang sudah tak terasa sesepi dulu.
Ratna mendapat kabar lain: komunitas warga di kota berbeda meminta ia dan tim merancang panggung kota versi mereka. Mereka mengirimkan foto balai warga, daftar talent lokal, dan lampiran kecil: jualan kue basah untuk konsumsi. Ratna tertawa, menangis, dan menelepon Maya. “Kau siap?” tanyanya.
“Kau tahu jawabanku,” kata Maya.
Malam itu mereka bertiga bertemu di warung nasi ujung gang. Madi datang membawa kabar anugerah kecil: shift malamnya dialihkan, ia bisa pulang lebih awal karena manajer baru menambah personel. Laila lewat sebentar, membawa dua kantong plastik berisi keripik singkong buatan tangan. Umar mengirim pesan foto: bayi yang dulu ditolong kini merayakan ulang tahun pertama. Kelas menyampaikan tautan repository kelas coding yang diisi anak-anak rusun.
Di meja plastik itu, mereka makan tanpa tergesa. Ora obah ora mamah—hari itu mereka makan bukan hanya karena bekerja, tetapi karena memilih untuk bergerak bersama.
“Dulu,” kata Jayeng, “aku kira kota adalah mesin. Kau dimasukkan sebagai roda. Kalau patah, kau diganti. Aku salah. Kota adalah tubuh. Kau tidak mungkin diganti begitu saja; kau disembuhkan, dipijat, diajak bergerak lagi.”
Ratna mengangguk. “Dan tubuh itu punya hati.”
Maya menatap keduanya. “Kita jaga, ya.”
Mereka menenggak teh manis, merasakan gula larut. Lalu menatap jalan yang berminyak oleh lampu. Di atas kepala, neon warung seperti hujan yang beku; di bawah kaki, tanah kota yang retak-retak tapi tegar. Di antara keduanya, kehidupan yang merambat pelan-pelan—dengan rupa baru setiap hari.
.
Beberapa bulan sesudahnya, report panggung kota selesai. Angkanya kecil, tapi bercerita: ada 147 pertemuan yang tercatat, 23 kolaborasi yang berlanjut, dua gerakan warga terbentuk—kelas membaca di taman dan bank pangan kecil di halaman mushala. Yang tak bisa dihitung adalah sisa-sisa percakapan yang menempel di ingatan, keberanian yang tumbuh di sudut dada, dan keputusan-keputusan minim headline tetapi maksimal dampak: satu orang memilih datang temu komunitas alih-alih menyendiri di kamar; satu orang menahan sumpah serapah di jalan; satu orang menepuk pundak satpam malam dan mengucap terima kasih.
Ratna menutup dokumen itu dengan senyum letih. Ia mengirim salinannya ke kurator, sponsor, dan para donatur kecil. Di akhir surat, ia menulis kalimat yang kemudian disepakati menjadi slogan kecil mereka:
“Kota adalah panggung yang menunggu kita bergerak. Hari ini rupanya apa pun, mari kita kasih gerak yang baik.”
Jayeng memutar kembali rekaman suaranya. Ia mendengar jeda-jeda yang dulu membuatnya takut, kini terdengar seperti ruang untuk bernapas. Maya membungkus peralatan produksi, menyisakan satu kotak kosong untuk apa pun yang datang esok. Mereka tahu: ana dina ana rupa. Esok akan berbeda; entah mudah, entah sukar. Tetapi mereka juga tahu: ora obah ora mamah. Esok menanti langkah.
Di trotoar, anak-anak bersepeda kecil-kecil, membunyikan bel sekeras mungkin, seperti hendak membangunkan matahari. Seorang ibu tertawa, mengayuh pelan. Seorang bapak menyeberang, menunduk sopan pada bus yang berhenti. Angin membawa bau gorengan—dingin di luar, hangat di mulut. Kota bergerak lagi, dengan musiknya sendiri.
Dan di tengah semua itu, ada tiga orang yang sudah memutuskan: mereka akan terus bergerak, sambil memikul kota bersama-sama—sekuat yang mereka bisa, setangguh yang mereka mampu. Itulah cara mereka mencintai.
.
.
.
Jember, 13 Agustus 2025
.
.
#CerpenKota #SastraMinggu #PituturJawa #AnaDinaAnaRupa #OraObahOraMamah #Mindset #EtosKerja #InspirasIbanKota #CeritaUrban #Indonesia