Pohon di Tengah Kota: Pulang ke Rasa, Pulang ke Makna
“Orang bertahan bukan hanya karena gaji yang tinggi, melainkan karena hati yang merasa dihargai. Ketika hati kehilangan tempatnya, kaki akan mencari jalan pulang.”
.
Hujan baru saja reda ketika Jayeng turun dari TransJakarta di halte Tosari, meninggalkan jejak air di ubin yang dingin. Langit Ibu Kota seperti kain abu-abu yang baru diangkat dari mesin cuci—beruap, lembap, berat oleh sisa-sisa badai. Di kejauhan, layar LED raksasa masih menyala menayangkan video promosi hotel tempatnya bekerja: senyum resepsionis, seprai putih, kolam renang di atas gedung, dan tagline berkilau—“No Plus-Plus, Just Pure Comfort.”
Ironis, pikirnya. Slogan itu terasa seperti selimut tipis yang tidak cukup menutupi punggung para karyawan—hangat di mata tamu, dingin di tulang orang-orang yang menyiapkan kehangatan itu.
Ia menyeberangi zebra cross, menyusuri trotoar yang baru direnovasi berkanopi pohon peneduh, mengikuti arus manusia menuju gedung kaca raksasa dengan nama yang selalu menjadi obrolan di laman karier: Sembada Hospitality Group. Di lobi, aroma kopi, karpet baru, dan ambisi bercampur jadi satu. Karyawan berseragam netral lalu-lalang seperti ikan dalam akuarium yang jernih. Semuanya tampak elegan—tapi, di balik itu, Jayeng tahu persis retakan-retakan halus yang memanjang, seperti retak rambut pada gelas kristal yang dibiarkan dipakai setiap hari.
Di lift, ia menatap pantulannya. Kumis tipis rapi. Mata yang dulu bertabur api kini lebih mirip bara yang disembunyikan. Pada jam-jam seperti ini, ia ingat pitutur simbah di Pamekasan: “Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana.” Jaga ucapan, jaga tampilan. Sudah ditunaikan: jas abu, kemeja putih, sepatu mengkilap, dan kata-kata yang selalu dijahit rapih di rapat-rapat.
Tapi siapa yang menjaga hati?
.
Unit Marketing Strategic menempati pojok lantai dua puluh. Ruangannya terbuka, meja-meja disusun seperti labirin tanpa dinding. Di sisi timur, jendela dari lantai ke langit-langit menyuguhkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit—seolah-olah dunia yang ingin diraih hanya setinggi sekali lompatan.
Zubaedah sudah di tempat, kuncir kudanya tegas, matanya yang jernih memantulkan layar laptop. “Pagi, Jeng,” sapanya, menyingkat nama Jayeng seperti biasanya.
“Pagi,” sahut Jayeng. “Brief deck untuk kampanye Ramadan sudah kamu kirim?”
“Udah. Tiga versi. Yang soft-sell, yang emosional, sama yang data-heavy.” Zubaedah mengedip, iseng, tapi ada lelah di sudut bibirnya. “Mana yang kira-kira disukai atasan kita?”
Keduanya saling tahu jawabannya. Umarmaya, direktur pemasaran, menyukai sesuatu yang kedengaran canggih sekaligus absolut. “Culture eats strategy for breakfast,” kata poster di ruangannya, tapi rapat-rapatnya jarang memberi makan siapa pun selain egonya sendiri.
Jayeng menarik kursi. “Pilih yang kedua. Emosi dengan data sebagai kaki. Orang beli rasa, tapi manajemen butuh angka.”
“Oke, kapten.” Zubaedah tersenyum, lalu mencondongkan tubuh. “By the way, kamu dengar kabar? Umarmadi mundur.”
Jayeng terperanjat kecil. “Serius?”
“Baru saja broadcast di group. Pindah ke startup hospitality eco-luxury di Bali. Katanya… cari napas.”
Kata-kata itu—cari napas—menggetarkan sesuatu di dada Jayeng. Selama dua tahun terakhir, HR memberi data tentang “retensi talenta,” membuat bagan-bagan, program apresiasi, penghargaan bulanan yang diserahkan di depan lobi. Foto-foto pemenang diunggah di LinkedIn. Tapi satu per satu orang yang bertulang punggung justru bergantian menghadap HR—dengan surat pengunduran diri yang ditulis seperti catatan terima kasih pada guru lama: sopan, tertata, dan menyimpan sebilah pisau kecil di sela-sela kalimat.
“Tahunan ini saja, sudah tujuh orang,” gumam Zubaedah seperti membaca pikiran Jayeng. “Tiga di hospitality tetangga, dua jadi konsultan, satu buka coffee shop, satu katanya mau istirahat.”
“Burnout?” tanya Jayeng, tahu jawabannya.
Zubaedah mengangkat bahu. “Workload keteteran, jam kerja tak bertepi, rapat bisa jam sepuluh malam. ‘Kita keluarga besar’—tapi kalau minta cuti, diminta tanggung jawab keluarga dulu.”
Mereka tertawa pelan—tawa yang terasa asin.
.
Rapat dimulai pukul sepuluh. Umarmaya masuk tanpa menoleh kiri-kanan, jasnya licin, dasinya benderang soga, langkahnya menandai irama pagi. Di layar, deck Zubaedah terbuka. Slide pertama: “Ramadan: Pulang ke Rasa, Pulang ke Rumah.” Ada grafis kota malam, lampu-lampu jalan seperti kunang-kunang.
“Bagus,” kata Umarmaya, tanpa menatap siapa pun. “Tapi kita jangan menonjolkan kata ‘pulang.’ Kita harus menonjolkan ‘eksklusif.’ Tamu kita kelas menengah atas.”
“Justru, Pak,” ujar Jayeng tenang, “kelas menengah atas itu paling sering merindukan pulang. Pulang ke rasa yang tidak repot. Kalau eksekusi visualnya clean, copy-nya hangat, mereka merasa dilihat sebagai manusia, bukan mesin uang.”
Umarmaya menoleh, alisnya naik. “Kamu bicara manusia? Kita bicara revenue.”
“Revenue datang ketika manusia merasa diperlakukan sebagai manusia.” Jayeng menatap layar, menghindar dari tatapan tajam atasan. “‘Great things in business are never done by one person. They’re done by a team of people.’ Dan tim butuh alasan yang lebih dari sekadar diskon.”
Sejenak ruangan menjadi sunyi. Angka-angka di slide berikutnya menolong—proyeksi konversi, benchmark open rate, angka CTR dari kampanye tahun lalu. Zubaedah menambahkan, “Kita split test dua versi. Satu tagline eksklusif, satu tagline pulang. CPM kita lihat, CPC kita bandingkan. Kita biar data memutuskan.”
Umarmaya mengangguk dengan enggan. “Baik. Dua versi.”
Selesai rapat, Jayeng kembali ke meja kerjanya, tetapi kalimat pendek Umarmaya menempel lama di telinganya: “Kamu bicara manusia?” Seakan-akan “manusia” adalah sebuah kemewahan yang tak terjangkau dalam neraca laba rugi.
Di layar laptop, notifikasi Google Calendar menyalak: 1:1 with HR – Retention Check-in.
Jayeng menarik napas.
.
Ruang HR beraroma zaitun dan niat baik. Dina, staf HR dengan senyum yang selalu berusaha mencapai mata, menatap Jayeng seolah-olah menatap layar jantung pasien yang bergerak naik turun.
“Terima kasih sudah datang, Jayeng.”
Jayeng mengangguk. “Sama-sama.”
“Kita ingin mendengar langsung dari kamu. Bagaimana beban kerja? Apakah kamu merasa diapresiasi? Apakah ada hal yang mengganggu produktivitas?” Dina menyebut pertanyaan-pertanyaan HR yang selalu tampak rapi di template.
Jayeng hampir mengucapkan jawaban aman: baik, terima kasih, tetapi ada sesuatu yang retak dalam dirinya. Ia menatap tanaman indoor di sudut ruangan—pohon kecil yang tumbuh di pot putih, dedaunannya hijau, tegak. Tiba-tiba ia ingat sebatang pohon trembesi di kampungnya yang selalu menjadi pusat desa; akar-akar udara menjuntai seperti janggut bijak. Memayu hayuning bawana kata simbah—merawat harmoni semesta. Di kota ini, harmoni sering tampak seperti lukisan yang dipajang—indah, tapi tidak mengeluarkan oksigen.
“Dina,” kata Jayeng pelan, “apresiasi ada, tapi terasa simbolik. Kami dapat e-mail terima kasih, foto di intranet. Tapi kami jarang dapat waktu untuk bernapas. Rapat bisa mepet jam tidur. Ruang ide dikunci angka. Kami diminta kreatif, tapi keputusan selalu sama: amankan revenue, tekan biaya, kejar rapor hijau bulanan. Sementara yang membuat orang menginap bukan hanya seprai putih, tapi perasaan diterima.”
Dina mencatat. “Kamu merasa burnout?”
Jayeng tersenyum tipis. “Burnout itu seperti kopi yang terlalu lama di atas api kecil. Dia tidak gosong, tapi pahitnya menetap.”
Dina menatapnya lama, seperti menimbang sesuatu. “Kalau semua berjalan sesuai harapanmu, kamu ingin seperti apa?”
Jayeng diam. Di kepalanya, berkelebatan gambar-gambar yang terlalu lama dipendam: sebuah tim kecil yang saling menutup punggung, program mentoring untuk housekeeping yang ingin naik kelas, ruang bagi lini depan menceritakan kisah tamu yang menyentuh, bukan sekadar angka occupancy. Hati yang bekerja, bukan hanya tangan.
Ia mengangkat bahu. “Seperti pohon di tengah kota. Akar yang kuat, batang yang jujur, daun yang menaungi. Kita sekarang seperti pot plastik: bisa dipindah ke mana saja, tapi akarnya tak pernah menembus tanah.”
Dina menutup buku catatannya. “Terima kasih, Jayeng. Aku tahu jawabanmu bukan jawaban mudah. Kami akan coba bicarakan di rapat eksekutif.”
Jayeng mengangguk. “Terima kasih.”
Di koridor, notifikasi masuk dari Zubaedah: “Kamu bisa temenin aku ke site visit sore ini? Bos minta cek rooftop untuk konsep iftar.” Jayeng menjawab: “Bisa.”
Lalu ia menatap lagi pohon kecil di ruangan HR—untuk sejenak, ia seperti melihat dirinya sendiri: hijau, tegak, tapi terkurung.
.
Rooftop hotel di bilangan Senopati itu jamak jadi latar foto lamaran. Menjelang senja, langit menguning, lampu kota mulai menyala, dan angin membawa bau hujan yang belum selesai. Jayeng berdiri di pinggir pagar kaca, memandang mobil-mobil kecil yang bergerak seperti murid-murid sekolah yang pulang berjejer, taat pada tali-tali tak terlihat.
Zubaedah menghampiri dengan catatan. “Kita taruh lentera-lentera kecil, jarak dua meter, track-nya memutar, seolah-olah tamu berjalan pulang ke meja mereka. Di ujung, ada live station soto lamongan—hangat, bersahaja. Di sisi barat, pojok doa sunyi, tak ramai, tapi ada karpet untuk satu-dua orang yang ingin merapat ke Tuhannya.”
Jayeng mendengarkan, setuju dengan semuanya. “Jangan terburu-buru jualan. Biar nuansa dulu yang bicara.”
Mereka duduk di kursi rotan. Di bawah, rimbun pepohonan kota tampak seperti peta yang meyakinkan. Di langit, sepotong pelangi enggan memudar—seolah-olah ada seseorang yang sengaja menahan ujungnya.
“Jeng,” kata Zubaedah tiba-tiba, “kamu pernah terpikir untuk pergi?”
Pertanyaan itu masuk ke telinga seperti tetes air yang jatuh ke punggung. Dingin. Tajam. Jujur.
Jayeng diam, lalu menghela napas. “Pernah. Lalu aku ingat bagaimana ibukota menerima orang sepertiku—yang datang dari kota kecil, membawa ijazah dan doa. Aku ingin membuktikan bahwa ‘urip iku urup’, hidup harus memberi cahaya. Tapi akhir-akhir ini, cahayaku terasa menyala di tempat yang tidak butuh. Seperti neon toko yang dibiarkan siang bolong.”
“Kalau begitu,” ujar Zubaedah, “padamkan dulu. Biar mata menyesuaikan gelap. Kadang-kadang, ‘Almost everything will work again if you unplug it for a few minutes, including you.’”
Jayeng tertawa. “Kamu selalu punya kalimat yang pas, Zub.”
Zubaedah menatapnya dengan tatapan yang mengandung pengertian dua orang yang sudah melewati terlalu banyak rapat sia-sia. “Kita kerja dengan hati, Jeng. Tapi kalau hati kita habis, apa yang kita bagi?”
Malam turun perlahan, seperti kucing hitam yang duduk diam di kusen jendela. Lampu-lampu kota menyala. Di benak Jayeng, sebuah gambar lama muncul: trembesi di alun-alun, akar-akar yang menyentuh tanah, orang-orang berkumpul di bawahnya untuk berteduh, beristirahat, belajar menunggu.
“Zub,” kata Jayeng akhirnya, pelan, “aku akan cuti. Sepekan. Aku mau pulang.”
Zubaedah mengangguk, meletakkan dahi di punggung jemarinya. “Pulanglah. Lihat trembesi. Dengar pelan kakekmu di angin.”
.
Di Pamekasan, matahari pagi tampak seperti telur mata sapi yang diletakkan tuhan di atas piring sawah. Jalan-jalan kecil mengarah ke pasar; ibu-ibu menata daun pisang, bapak-bapak menimbang ikan. Jayeng berjalan menyusuri tanah yang pernah membesarkan langkahnya, menatap wajah-wajah yang tidak dikenal tapi terasa dekat. Di ujung jalan, alun-alun. Trembesi. Masih di situ, rindang, besar, seperti pengetahuannya sendiri yang tak pernah benar-benar pergi.
Ia duduk di bangku semen. Di seberang, warung kopi sederhana memutar dangdut lama. Di sebelahnya, seorang anak kecil memainkan yoyo.
Suaranya simbah datang tanpa suara: “Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Ojo dumeh, ojo kagetan, ojo gumunan. Memayu hayuning bawana.”
Seolah-olah pepatah-pepatah itu bertengger di cabang-cabang trembesi, menurunkan bayang-bayangnya ke kepala Jayeng. Ia menutup mata, membiarkan jidaknya disentuh jari-jari angin.
Di bangku itu, ia mengeluarkan buku catatan. Menulis pelan, tidak untuk siapa-siapa—menulis untuk menata ulang rimba di dalam.
-
“Kalau apresiasi adalah bahasa cinta di tempat kerja, maka atasan yang pelit kata-kata telah membangun jarak. Ajining diri saka lathi.”
-
“Kalau keseimbangan tak diberi ruang, masa depan dirampok perlahan. Happiness is balance.”
-
“Kalau nilai perusahaan tak selaras dengan nilai pribadi, setiap langkah serasa menyangkal diri. Ngunduh wohing pakarti—apa yang kutanam selama ini?”
-
“Kalau pelatihan hanya jadi poster, keterampilan berhenti bertumbuh. Jer basuki mawa beya—investasi itu bernama waktu dan kepercayaan.”
-
“Kalau pemimpin lupa menjadi manusia, tim akan memilih pergi sebagai cara paling sopan untuk berkata: ‘Aku ingin hidup.’ Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.”
Menjelang dhuhur, ia menutup buku. Di layar ponsel, notifikasi: pesan dari Umarmaya—pendek, dingin, berisi angka. Laporan CTR. Jayeng mengetik balasan ringkas, lalu mematikan ponsel.
Di perjalanan pulang, ia melewati SD lamanya. Di dinding luar kelas, ada tulisan tangan gurunya dulu, yang entah bagaimana masih tetap di sana: “Urip iku urup. Jadilah cahaya bagi orang lain.” Huruf-hurufnya merintang, tinta biru pudar.
Cahaya, pikir Jayeng, bukan sekadar lampu untuk tamu. Cahaya itu kerja yang berarti, tepukan bahu yang tulus, kebebasan mengambil keputusan kecil, kejujuran mengakui salah, kesempatan kedua, jam pulang yang dihargai, email yang tidak meledak pada tengah malam. Cahaya itu sederhana—tetapi terus-menerus.
.
Sepekan kemudian, Jayeng kembali ke Jakarta dengan mata yang lebih terang. Di kantor, suasana yang sama menyambutnya: kejar target, rapat, presentasi. Tapi ada satu hal yang berbeda—dalam dirinya, sebuah keputusan telah menetas, menunggu saat.
Ia mengirim e-mail singkat kepada Zubaedah: “Ketemu di taman hijau jam makan siang?”
Mereka bertemu di Citywalk—taman kecil di antara gedung, pohon-pohon muda berusaha menghalangi matahari yang terlalu bersemangat. Jayeng membawa roti lapis, Zubaedah membawa teh bunga—keduanya duduk di bangku yang menatap air mancur.
“Aku diterima di Semesta Haven,” kata Zubaedah duluan. “Yang eco-luxury itu. Umarmadi menarikku.”
Jayeng terdiam sejenak. “Senang dengarnya.”
“Aku… takut juga,” lanjutnya, tertawa kecil. “Tapi di sana mereka janji mentoring, jam kerja manusiawi, dan program naik kelas untuk staf. Mereka bilang: ‘Kami harus hidup baik sebelum menuntut tamu hidup baik.’”
Jayeng menatap air mancur. “Zub, aku akan… ikut pergi. Tapi tidak ke sana. Aku memutuskan pulang sebentar lagi, lalu kembali ke Jakarta dengan cara berbeda. Bukan untuk menjadi karyawan lagi, maafkan aku kedengarannya idealis. Aku ingin membangun Pohon di Tengah Kota—platform kecil untuk memberikan pelatihan hospitality yang ‘urip iku urup’ bagi hotel-hotel menengah yang sering dilupakan. Aku ingin mengajar resepsionis cara menyapa, tapi juga mengajar GM cara berterima kasih. Aku ingin menulis modul ‘kepemimpinan yang tidak berteriak’ dan ‘apresiasi sebagai mata uang.’ Aku ingin—”
“—mendirikan trembesi.” Zubaedah menyelesaikan kalimatnya, matanya berkaca-kaca. “Akar menembus tanah.”
“Begitu.”
Angin mengibaskan rambut Zubaedah. “Aku bangga, Jeng. Gila, tapi bangga.”
Jayeng tersenyum. “‘You don’t build a business. You build people, and then people build the business.’ Aku ingin kembali membangun orang.”
Mereka berpamitan. Jayeng kembali ke kantor, menulis surat pengunduran diri paling jujur yang pernah ia tulis. Tidak ada kata-kata tajam, hanya fakta-fakta yang lembut: workload, minimnya otonomi, kurangnya jalur karier, nilai yang tak lagi sejajar. Ia menyertakan saran: program mentoring staf lini depan, evaluasi beban rapat, takaran email malam, dan hari apresiasi yang benar-benar memanusiakan, bukan memotret. Ia menutup suratnya dengan kutipan yang biasa dia tempel di dinding: “Kind words can be short and easy to speak, but their echoes are truly endless.”
Ia mengirim ke HR dan atasan langsung. Lalu mematikan laptop.
.
Dua pekan kemudian, di sebuah ruangan sewa coworking di bilangan Tebet, berdirilah papan putih dengan tulisan tangan besar: POHON DI TENGAH KOTA. Di bawahnya, tagline: “Kerja yang manusiawi—tumbuh yang berkelanjutan.” Jayeng memegang spidol, di sampingnya dua orang sahabat baru—Nala yang jago data, dan Raka yang anak lapangan.
Mereka menggarap modul-modul: Apresiasi Harian 15 Detik, Rapat 30 Menit Tanpa Monolog, Mentoring Dua Arah, Kebijakan Email Sehat, Cut-Off Jam 7 Malam, Karier Jalur Ganda (bukan hanya manajerial, tapi juga spesialisasi), Ruang Curhat Tanpa Sanksi, Program Cross-Training, Coaching untuk Supervisor. Setiap modul punya indikator: turnover yang turun, NPS karyawan naik, kepuasan tamu naik. Tidak berhenti pada konsep, mereka menyiapkan kerangka evaluasi: pra-intervensi, intervensi, pasca, tiga bulan, enam bulan—mereka menurunkan angka menjadi bahasa sederhana.
Begitu modul jadi, mereka mengetuk pintu beberapa hotel menengah di Jakarta, Depok, Bogor. Ada yang menolak halus, ada yang minta presentasi, ada yang langsung tertarik. Hotel Kencana di Rawamangun menjadi klien pertama. GM-nya, perempuan Madura bernama Siti, menyambut Jayeng dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.
“Kami punya masalah turnover,” kata Siti. “Tiap bulan ada saja yang cabut. Padahal gaji bukan yang terendah. Apa yang salah?”
Jayeng menatap lobi hotel yang wangi bunga melati. “Izin tiga hari,” jawabnya sederhana. “Kami ingin belajar, bukan menilai.”
Selama tiga hari, Jayeng dan timnya duduk di pojok lobi, mendengar—bukan hanya dari atasan, tapi dari resepsionis, housekeeper, security, tukang kebun. Mereka mencatat pelan, seperti menulis nama-nama angin. Mereka menemani night audit, ikut menyeka kaca pagi-pagi, mencoba sabun di kamar staff, menghitung langkah dari locker ke pantry, menonton bagaimana supervisor menegur.
Hasilnya mencolok meski tak mengagetkan: beban kerja meluber, jam istirahat kabur, apresiasi formal ada tapi dingin, UMKM rekanan dibayar lambat, rapat mingguan lebih banyak monolog daripada rencana, program pelatihan berhenti di poster.
Di akhir hari ketiga, Jayeng duduk dengan Siti di pojok lobi—tempat subuh yang sedang berganti siang. Ia mengeluarkan kertas berisi peta akar: kenapa orang pergi; bagaimana menahan, berapa biayanya, berapa potensi yang akan kembali.
“Ini angka konservatif,” kata Jayeng. “Kalau turnover turun 25% dalam enam bulan, Ibu menghemat sekitar Rp480 juta dari biaya rekrutmen, pelatihan, dan hilangnya produktivitas. Kalau kepuasan karyawan naik 15 poin, data kami dari empat hotel pembanding menunjukkan NPS tamu naik rata-rata 8 poin. Kenaikan NPS 8 poin, di hotel-hotel ini, biasanya berkorelasi dengan kenaikan repeat guest 3–5%. Kami tidak menjanjikan keajaiban, tapi kami meminta kesempatan untuk memperbaiki akar.”
Siti memegang kertas itu seperti memegang kain yang baru keluar dari jemuran—hangat. “Lanjutkan.”
Program Pohon di Tengah Kota berjalan. Mereka memulai dengan Ruang Dengar: sesi satu jam, tanpa catatan nama, di mana setiap karyawan bisa bercerita. Lalu Apresiasi 15 Detik: setiap shift supervisor wajib menyebutkan satu nama dan satu perilaku yang diapresiasi, diikuti tepukan ringan—tanpa tepuk tangan berlebihan, tanpa foto. Ada juga Email Sehat: jam tujuh malam semua notifikasi non-urgent berhenti. Ada Mentoring Dua Arah: junior boleh mengajar senior tentang hal yang dikuasainya; senior bercerita tentang kegagalan. Ada Cut-Off Rapat: tiga puluh menit, selesai.
Enam minggu pertama, tak ada kembang api. Yang ada hanyalah perubahan kecil yang konsisten, seperti hujan gerimis yang membasuh kota tanpa headline. Senja—resepsionis yang dulu selalu menatap lantai—kini berani menyapa tamu lebih dulu. Bagas—room attendant yang jarang bicara—tiba-tiba mengusulkan sistem tray untuk meminimalkan bolak-balik. Mawar—supervisor yang suaranya suka meninggi—belajar menutup rapat dengan kalimat, “Terima kasih untuk kerja kerasmu hari ini. Kalau ada ide, jangan tunggu rapat berikutnya.”
Dalam tiga bulan, kejutan terjadi: dua karyawan yang sempat mengajukan resign meminta membatalkan. Dalam enam bulan, angka turnover turun 28%. NPS naik 7 poin (nyaris angka di proyeksi). Rating OTA naik 0,3. Revenue? Tidak melonjak drastis, tapi stabil—dan biaya rekrutmen turun, jam lembur lebih terkendali.
Suatu siang, Siti mengundang seluruh staf ke lobi. Tidak ada panggung, tidak ada lampu, hanya karpet bersih dan mikrofon. “Hari ini,” katanya, “aku ingin mengatakan terima kasih. Bukan pada siapa yang paling berkilau di foto, tapi pada semua yang menjaga hotel ini saat tak ada kamera: pada Bagas yang mengajari kita tray, pada Senja yang menyapa duluan, pada Mawar yang belajar menurunkan nada.”
Orang-orang bertepuk tangan—tulus, pelan, seperti ombak kecil menyentuh bibir pantai. Jayeng berdiri di belakang, merasakan sesuatu singgah di tenggorokannya—sesuatu yang mungkin bernama pulang.
Malamnya, Jayeng menerima pesan dari Zubaedah di Bali: foto pantai, lampu-lampu kecil di rooftop, live station soto lamongan. “Split test kita? Versi ‘pulang’ menang CTR 1,8x. CPM turun 23%.”
Jayeng tersenyum. “Akhirnya data memihak rasa.”
.
Berita tentang Pohon di Tengah Kota menyebar pelan. Mereka tidak pasang billboard, tidak mengadakan talkshow, tidak mencetak jaket. Mereka masuk hotel demi hotel seperti akar-akar halus yang menelusuri tanah, mencari air. Di setiap tempat, mereka tidak bicara gerak cepat; mereka bicara gerak benar. Di setiap sesi, Jayeng mengawali dengan sebuah kutipan yang diramunya sendiri, kadang dari pepatah Jawa, kadang dari interior hatinya:
“Apresiasi adalah bahasa murah yang mahal pengaruhnya.”
“Pemimpin yang kuat adalah yang ‘menang tanpa ngasorake’.”
“Keseimbangan bukan hadiah. Ia keputusan harian.”
Ia tahu, di kota ini, sesuatu yang sederhana sering dicurigai. Tapi ia juga tahu, kebahagiaan di tempat kerja selalu lahir dari hal kecil yang dilakukan berjuta kali—tepat waktu, jujur, konsisten.
Suatu sore, ketika matahari condong, Jayeng menerima undangan rapat dari Sembada Hospitality Group—bukan dari HR, tetapi dari CEO langsung. Rapat diadakan di sebuah kafe kecil. CEO, lelaki paruh baya yang jarang muncul di feed internal, datang tanpa jas, menenteng buku catatan lusuh.
“Aku dengar banyak hal tentang programmu,” katanya, setelah kopi datang. “Bisa tolong bercerita?”
Jayeng bercerita ringkas—tentang akar, pohon, apresiasi, keseimbangan, mentoring, rapat singkat, dan data. Ia tidak menjelekkan Sembada, tidak menyebut Umarmaya, tidak membuka luka. Ia hanya menyodorkan dua hal: fakta dan harapan.
CEO mengangguk pelan. “Kamu yakin ini bukan cuma tren?”
“Tren akan lewat. Kebutuhan untuk dihormati dan diberdayakan tidak,” jawab Jayeng. “Di mana pun, manusia ingin dihargai, ingin bertumbuh, ingin seimbang. Itu bukan program. Itu kemanusiaan.”
CEO menatap kopinya, lalu menatap Jayeng. “Jika aku minta kamu jadi konsultan untuk dua properti kami, apakah kamu mau?”
Jayeng tertawa kecil. “Aku akan mau, kalau satu syarat dipenuhi: dengarkan staf paling bawah dulu, baru manajer.”
CEO terdiam lama, lalu mengulurkan tangan. “Deal.”
Beberapa bulan kemudian, Sembada—perusahaan yang dulu menjadi rumah yang membuat Jayeng memilih pergi—justru menjadi klien paling rajin. Di rapat evaluasi, Umarmaya duduk menatap angka—kali ini, bukan untuk membungkam rasa, tapi untuk membuktikan rasa. Ia tidak lagi mempertanyakan “kamu bicara manusia?”—karena ia melihat sendiri, di angka yang dicarinya, bahwa manusia tidak pernah memusuhi revenue; manusialah yang membuat revenue.
Di akhir sesi, Jayeng mendekat. “Terima kasih sudah memberi ruang, Maya.”
Umarmaya menatapnya, ada lelah di mata, ada juga sesuatu yang mirip lega. “Terima kasih sudah kembali, Jeng. Mungkin perusahaan ini… terlalu lama percaya pada jam yang tak mengenal malam.”
“Jam bisa diatur,” kata Jayeng. “Hati harus dirawat.”
Mereka berjabat tangan. Tidak ada maaf terang-terangan, tidak ada pujian berlebihan—hanya pengakuan bahwa mereka berdua pernah ingin menang, dan kini ingin waras.
.
Suatu malam, di Tebet yang tidak pernah benar-benar tidur, Jayeng berjalan sendiri pulang dari kantor kecilnya. Udara mengandung bau nasi goreng dan mesin AC. Ia melewati taman kecil. Di tengahnya ada pohon, masih muda, loyang penyangga masih menahannya dari angin. Di atasnya, lampu-lampu jalan seperti bintang yang turun.
Ia berhenti, memandanginya lama. Di saku jaketnya ada buku catatan. Ia menuliskan satu kalimat:
“Kalau kamu ingin tim yang tinggal, berilah mereka alasan untuk pulang setiap hari—bukan untuk menunggu tanggal gajian.”
Jayeng menutup buku. Di layar ponsel, pesan dari Zubaedah masuk: foto rooftop—orang-orang tertawa, live station soto, lenteranya memantulkan wajah-wajah bahagia. “Kita benar ‘pulang’ itu menang. Kita bawa pulang rasa ke pekerjaan.”
Jayeng tersenyum, kembali melangkah. Ia sadar, rumah tidak melulu berupa bangunan; kadang ia berupa cara memandang pekerjaan: bahwa bekerja adalah membesarkan hidup, bukan sekadar membesarkan angka.
Di bawah pohon itu, ia merasa sesuatu yang dulu dicari telah kembali: bukan sekadar napas, tetapi makna. Dan di kota yang sering menelan mimpi orang-orang, ia memilih menanam trembesi, setia pada akar-akar yang mengajarinya sejak kecil: “Urip iku urup.”
Cahayanya kecil, mungkin. Tapi ia tak lagi sendirian.
.
“Di tengah kota yang berlari, kita butuh satu tempat untuk berhenti—bukan sekadar untuk istirahat, tapi untuk kembali menjadi manusia.”
.
.
.
Jember, 12 Agustus 2025
.
.
#CerpenKompasMinggu #FilosofiJawa #BudayaKerja #Apresiasi #Leadership #Hospitality #KaryawanTerbaik #UrbanStory #Mentoring #UripIkuUrup