Panji di Kota yang Selalu Bangun

“Keaslian itu bukan sekadar sikap, melainkan keputusan kecil yang kita ambil setiap hari—meski kadang membuat kita berjalan sendirian.”

.

Kota ini selalu bangun sebelum matahari sempurna meregang. Dari jendela kamar lantai dua puluh Hotel Purnama Raya, Panji melihat atap seng berkilau seperti sisik ikan, lampu-lampu minimarket yang belum dimatikan, dan angkot yang sudah berdegup—seperti jantung yang menolak istirahat. Di kejauhan, azan subuh menyeberang dari satu gang ke gang lain, menabrak dinding apartemen, melenting, lalu mendarat pelan di balkon kamar.

Ia merapatkan kimono hotel. Embun menempel di kaca, menyisakan jejak seperti tulisan tangan yang sengaja dihapus. Di meja, ada dua amplop: satu berlogo “Rapat Dewan” dan satu lagi tanpa identitas, hanya bertuliskan spidol hitam: UNTUKMU, PANJI.

Amplop kedua ia kenali betul: tulisan milik Sekar.

Ia duduk. Menatap amplop itu lama, seperti menatap jalan raya yang selalu berisik di dalam kepala. Ada rasa ragu-ragu yang familiar—perasaan yang pernah ia miliki saat menolak tawaran proyek “instan berkilau” di tahun-tahun awal kariernya; perasaan yang sama ketika ia membiarkan Sekar pergi, karena merasa “hidup harus tertib” dan cinta selalu bisa menunggu giliran.

.

Pesan dari Warung Kopi Paling Jujur

Panji,
kalau nanti rapat menekanmu untuk “sedikit mengalah demi investor,” ingatlah yang pernah kau bilang: orang bisa membangun hotel setinggi langit, tapi jika fondasinya kebohongan, tamunya akan merasa tak punya tanah pijak.
Aku menunggu di warung Bu Lastri—tempat kopi yang dulu kau bilang sebagai “ruang rapat paling jujur”. Datanglah jika kau sudah selesai bernegosiasi dengan dirimu sendiri.
Sekar.

Panji tersenyum getir. Sekar selalu tahu cara menaruh cermin di hadapannya. Bukan cermin untuk berlayar—yang memantulkan kemewahan—melainkan cermin untuk pulang. Pulang pada alasan ia memulai, pada kisah-kisah lama yang membuatnya jatuh cinta pada dunia perhotelan: bau seprai baru dicuci, bunyi gesekan troli housekeeping, senyum malam petugas keamanan yang mengantuk tapi tetap menyapa tamu dengan sapaan penuh hormat.

Ia membuka amplop resmi. Isinya, keputusan rapat kemarin yang ditunda: meneken kontrak “paket hemat” dengan sebuah perusahaan katering baru—harga murah, janji bahagia, tetapi kabar dari dapur mengatakan sebagian bahan makanannya adalah stok lama, disimpan di gudang yang lebih dingin dari hati para pemiliknya.

Ponsel menyala. Pesan dari Klana, direktur operasional yang cekatan sekaligus berbahaya seperti pisau dapur yang mengilap.

Klana: Pagi ini sebelum rapat final, sarapan bareng? Ada hal kecil yang bisa bikin hidup semua orang lebih mudah.

“Kecil” sering menjadi pintu masuk hal besar yang tak ingin diakui. Panji membalas singkat: Jam delapan, lobi.

.

Sarapan Bersama Klana

Di pojok lobi yang strategis, tempat orang bisa melihat tanpa terlihat, Klana memamerkan grafik dan angka. Kurva biaya bahan baku menanjak seperti tebing, proyeksi margin menurun seperti rem patah.

“Ini bukan soal nurani, Ji,” ujar Klana dengan nada yang dibuat senantiasa ramah. “Ini soal ritme kota. Kita ikut tempo atau digilas. Vendor baru fleksibel. Mereka paham lead time, paham skala. Ada win-win.

“Win-win untuk siapa?” tanya Panji.

“Mereka dapat volume, kita dapat harga bagus. Tamu tetap kenyang. Tim di dapur? Lebih ringan. Semua jalan.” Klana mengangkat bahu. “Kota ini menuntut kelincahan. Kalau terlalu lurus, kau akan ditinggal.”

“Aku percaya cepat itu baik,” kata Panji, “tapi cepat bukan berarti serampangan. Banter ora nglancangi. Kita juga harus menjaga rasa.”

Klana tertawa kecil, memutar gelas kopi seperti memutar koin keputusan. “Oke. Simpan idealisme itu. Bawa ke rapat. Tapi ingat, ada investor yang ingin kepastian hari ini.”

Percakapan itu seperti catur cepat: langkah-langkah pragmatis Klana diimbangi sikap keras kepala Panji. Mereka berpisah dengan janji untuk “bahas di ruang rapat.”

.

Rapat di Lantai Tujuh

Ruang rapat di lantai tujuh dingin seperti hati musim hujan. Papan presentasi menampilkan angka-angka seindah kebun angka dalam mimpi akuntan. Suta memaparkan potensi penghematan: grafik batang yang turun seperti berat badan selebritas menjelang film baru. Rengganis mengangkat tangan, mempertanyakan kualitas dan jejak pasok.

Panji mengambil giliran. Ia memproyeksikan foto-foto dapur: Rahmat, kepala koki, yang mengelus loyang seperti mengelus kepala anak; Arum, barista yang selalu menuliskan pesan kecil “semoga harimu baik” di punggung struk; dan Sitti—tamu paruh baya yang beberapa kali mengirim email penghargaan atas teh hangat yang disajikan tepat pukul lima pagi.

“Kita bukan cuma bicara biaya,” kata Panji. “Kita bicara kapasitas, kebanggaan, dan umur panjang nama kita. Orang akan lupa angka, tapi mereka tak lupa rasa.”

Klana mengangkat alis. “Investor butuh kepastian. Kita harus lincah. Kota ini tak menunggu.”

“Boleh,” Panji menghela napas. “Mari lincah. Tapi lincah dengan mata terbuka. Traceability bahan baku. Lab test mingguan. Pilot project dulu, bukan migrasi total.”

Rapat berakhir dengan keputusan yang seperti jembatan gantung: pilot project tiga bulan. Vendor baru boleh masuk untuk produk tertentu. Syaratnya jelas, audit ketat, dan semua komplain tamu yang terkait makanan masuk langsung ke meja Panji. Ia menerima syarat itu seperti menerima bayi yang baru lahir: dengan bahagia sekaligus takut.

.

Hujan dan Warung Bu Lastri

Usai rapat, Panji berjalan keluar. Hujan menjahit kota dengan benang tembus pandang. Sepatu kulitnya bertemu genangan yang memantulkan wajahnya—lelaki tiga puluh delapan tahun dengan garis halus di dahi, seseorang yang masih percaya menyebut nama satu-satu karyawan lebih penting daripada menghafal daftar tamu VIP. Di gang kecil, warung Bu Lastri menghangatkan udara dengan aroma kopi tubruk.

Sekar sudah duduk di pojok. Rambutnya diikat seadanya, ada bekas tinta di jari—kebiasaan lama seorang penulis yang tak bisa berhenti mencatat bahkan saat dunia menawarkan layar-layar kinclong.

“Kau cukup berani,” katanya, menatap Panji tanpa sok tahu.

“Berani atau keras kepala?”

“Keduanya bisa bersisian. Kadang, menang tidak berarti memukul meja. Menang juga bisa berarti mengukur ulang jarak dari hati ke kepala.”

Panji mengangguk. “Aku takut, Kar.”

“Takut apa?”

“Takut jadi orang yang dulu kita juluki pembuat pintu darurat. Orang yang selalu menyiapkan alasan ketika hati sedang kalah.”

Sekar tersenyum samar. “Kau tidak sendirian. Kota ini penuh orang baik yang ketakutan. Mereka hanya butuh satu orang yang mengaku takut tapi tetap melangkah.”

Di luar, hujan berubah rintik. Angkot melewati gang sempit, mengibaskan air, meninggalkan jejak yang cepat menghilang. Ada keheningan di antara mereka yang tidak canggung. Keheningan yang terasa seperti kain hangat di bahu.

.

Kabar dari Tamu Bernama Sitti

Malam itu, pesan masuk di aplikasi customer relation: Sitti mengadukan snack di minibar yang kedaluwarsa. Bukan bencana, tapi tanda. Tanda kecil yang, jika diabaikan, akan berubah menjadi batu di sepatu.

Panji langsung recall semua stok minibar. Ia turun ke gudang, memegang satu per satu kemasan, membaca tanggal seperti membaca hari ulang tahun. Ia memaafkan tim—bukan pekerjaan memarahi—tapi menandai alur prosedur yang bocor.

Ia mengirim laporan di grup manajer: Ini kesalahan kita, bukan alasan mengganti dapur. Malam itu ia duduk lama, memandang jalan tol di kejauhan. Lampu-lampu mobil seperti kalimat-kalimat yang tak selesai.

.

Surat dari Arum

Pagi berikutnya, sebuah surat kecil menunggu di resepsionis. Tulisan tangan Arum, barista yang selalu mengantarkan single origin dengan cerita.

Mas Panji, maaf kalau lancang. Kakak saya kerja di gudang vendor baru itu. Katanya, mereka memang hemat listrik. Banyak stok disimpan mepet batas kadaluarsa. Mungkin tidak semua. Tapi… saya takut kita yang akan menerima akibatnya di meja tamu.

Panji menghela napas. Ia menemui Rahmat di dapur. “Kau tahu?”

Rahmat menatapnya, mata yang lelah tapi jujur. “Saya dengar. Saya usul hybrid: bahan inti tetap kita kelola, sebagian kecil di-outsourcing. Kita kontrol titik kritis: susu, telur, daging, krim. Biarkan roti kering dan frozen snack dari mereka. Kita pairing sama lab test.”

“Siap,” kata Panji. “Kita buktikan dengan data, bukan prasangka.”

.

Rapat Final

Di rapat final, Panji memaparkan tiga hal: komplain Sitti, surat Arum, usulan Rahmat. Grafik kepuasan tamu untuk pastry sedikit menurun di minggu pertama pilot—dua bintang setengah turun menjadi dua bintang. Tidak signifikan? Mungkin bagi yang melihat dari jauh. Tapi bagi orang yang hidup dari reputasi, setengah bintang itu berarti wajah resepsionis menegang setiap kali telepon berdering.

Keputusan rapat: hybrid tiga bulan, audit ketat, bahan inti tetap dipegang internal. Klana tidak puas, tapi ia bukan musuh. Ia hanya orang kota yang memeluk logika hingga lupa memeluk manusia.

.

Badai di Hotel Tetangga

Sebulan kemudian, headline media lokal: dugaan keracunan makanan di hotel tetangga. Kota bergegas ramai. Grup WhatsApp manajer perhotelan meledak dengan tautan, opini, sindiran. “Siapa vendor mereka?” “Katanya pindah katering juga.” “Sudah dibilang hemat itu musibah.”

Panji mengetik sesuatu. Ia menghapus. Mengetik lagi, menghapus lagi. Lalu ia mengirimkan hal paling sederhana:

Teman-teman, jangan ikut memperkeruh. Kita kirim air mineral dan tim bantuan. Hari ini kita menahan diri dari yang ‘nyaris benar’. Integritas bukan hanya soal tidak curang, tapi juga tidak menari di atas luka orang lain.

Timnya berangkat, membawa termos besar, roti, selimut tipis. Media meliput. Panji menghindar dari kamera. Ia tidak sedang membangun citra—ia sedang menjaga hati sendiri agar tidak mengeras.

.

Musibah Keluarga Arum

Bulan kedua, kabar buruk datang dari arah yang lain. Ayah Arum terserang stroke. Dunia Arum runtuh dalam diam: shift yang bergeser-geser, resep latte art yang tiba-tiba tak berwarna, gaji yang disisihkan sambil mengukur unggun harapan.

Panji memimpin penggalangan dana internal. “Kabar buruk yang kau bawa,” ucapnya pada Arum, “adalah kabar baik yang disampaikan lebih cepat. Kau tak sendirian.”

Ia mengatur rotasi shift, menyiapkan voucher karyawan untuk makan malam, menghubungi komunitas fotografer yang sering memotret di hotel: melelang karya untuk biaya obat. Di tengah rapat-rapat tentang margin, ada rapat-rapat kecil tentang manusia yang tak pernah masuk slide presentasi, tapi justru menjadi alasan semua slide itu ada.

.

Pilot Berakhir

Tiga bulan pilot usai. Data bicara. Biaya turun sekian persen, benar. Tapi kepuasan tamu untuk pastry menurun. Review online menyebut roti croissant yang “kurang renyah”, cheesecake yang “kurang tulus”—ya, tamu kota ini bisa memakai kata “tulus” untuk kue. Panji menyusun rekomendasi: hybrid hanya untuk produk tertentu, tim internal ditingkatkan, vendor diberi peringatan tertulis dan SOP suhu gudang ditinjau ulang. Klana mengangguk. Kali ini ia tidak menolak. Mungkin karena angka-angka memeluk kata-kata.

Malam itu Panji berjalan sendirian di koridor yang sudah disapu. Lampu-lampu downlight menyala seperti bintang yang jinak. Ia berhenti di jendela, memandang kota. Ia merasa seperti orang yang menjaga lilin di tengah angin. Tugasnya bukan menolak angin, melainkan memberi jarak yang pas agar nyala tetap hidup.

.

Kasus Wira dan Pedagang Martabak

Tiba-tiba, badai kecil: video viral menuduh Wira, satpam hotel, membentak pedagang martabak di depan gerbang. Hashtag #HotelSombong menggulung di timeline. Panji memanggil Wira, mendengar ceritanya. Wira tak membantah. “Saya lelah, Mas. Pedagang itu parkir tepat di jalur keluar. Saya sudah sopan, tapi suara saya tinggi. Saya salah.”

Panji menemui Bahar, pedagang martabak. Gerobaknya biru, catnya mengelupas. Mata Bahar tajam, tapi tak jahat. Mereka bicara di tepi trotoar. “Kalau saya parkir agak ke dalam, omset saya jatuh, Mas,” kata Bahar. “Kalau di luar, saya dikejar satpol. Saya cuma mau pulang bawa uang.”

Panji mengangguk. Kota selalu punya dua sisi yang sama benarnya. Ia mengusulkan sesuatu: “Bagaimana kalau tiap akhir pekan, kau berjualan di halaman hotel? Kita siapkan listrik, air, lampu kecil. Kau bayar sewa murah—seratus ribu semalam untuk kebersihan. Wira yang jaga. Kita buat video baru, tapi bukan balasan. Video kolaborasi.”

Bahar terdiam. Wajahnya seperti pintu yang dibukakan dari dalam. “Kalau begitu, saya akan mengecat ulang gerobak saya. Biar pantas masuk halaman.”

Wira membantu mengecat. Malam pertama kolaborasi, story Instagram hotel menampilkan tawa anak-anak yang menunggu martabak matang. Caption: Menjaga kota bukan hanya menjaga gedung, tapi menjaga ruang di sekitarnya agar manusia bisa saling bertemu tanpa saling mengalahkan. Tagar #AkhirPekanPurnama menggantikan #HotelSombong. Bahar mengantar satu loyang martabak ke staf. “Rasanya enak karena tidak pakai judul besar-besar,” ujarnya. “Hanya pakai janji kecil-kecil.”

.

Luka Lama yang Disapu Kamar 2008

Di tengah riuh urusan, ada luka yang berjalan di lorong lain. Sekar. Dulu mereka nyaris menikah. Lalu Panji terpilih memimpin task force pembukaan hotel di kota lain. Ia meminta Sekar menunggu setahun. Sekar menunggu. Setahun lewat menjadi dua. Cincin yang dijanjikan jadi huruf yang tak sempat ditulis. Mereka berpisah tanpa kata “selesai”, hanya kalimat-kalimat yang dibiarkan menggantung seperti lampu yang padam.

Malam itu, Sekar mengirim pesan: Kau pernah bilang ingin menulis buku “Catatan Lobi”. Kapan kau mulai?

Ketika aku berhenti takut pada kata-kata yang menua sebelum diterbitkan, jawab Panji, separuh bercanda, separuh jujur.

Kata-kata tidak menua. Yang menua adalah alasan untuk tidak menulis, tulis Sekar.

Panji menatap layar, merasakan sesuatu yang tua di dadanya dihampiri sesuatu yang muda. Ia mengetik: Besok, setelah rapat dapur. Aku mulai.

.

Pagi yang Menguji

Pagi berikutnya, kota terbangun lebih cepat dari biasanya. Ambulans melintas, hujan reda, koran digital menyembur notifikasi. Seorang influencer menginap di Purnama Raya, menulis kritik halus tentang rasa sup krim yang “terlalu patuh pada resep dan lupa pada lidah.” Halus, tapi tajam. Pihak vendor panik. Klana mengirim pesan: Apakah kau puas? Data di tanganmu. Namamu di depan gerbang kritik.

Panji membalas: Kalau kritiknya benar, kita belajar. Kalau salah, kita perbaiki cara kita mendengarnya.

Ia mengundang influencer itu sarapan. Mereka bicara tentang “rasa kota” yang selalu berubah, tentang lidah yang rakus terhadap kejutan tapi bosan terhadap kepalsuan. Mereka sepakat melakukan tasting ulang bersama tim dapur, menyesuaikan bumbu, membenarkan suhu, memindahkan satu bahan dari vendor ke tim internal. Influencer itu mengunggah ulang: “Hotel yang mau belajar adalah hotel yang layak dipercaya.” Komentar-komentar lunak seperti hujan panas pertama.

.

Jadwal, Jadwal, Jadwal

Hari-hari berikutnya menjadi kalender yang rapat: audit gudang, telpon pemasok, pertemuan serikat karyawan, inspeksi back office, briefing kolaborasi UMKM akhir pekan. Namun di sela-selanya, Panji menyisakan satu jam untuk menulis. Di kamar 2008, ia menulis bab pertama Catatan Lobi: tentang seorang resepsionis yang menghafal nama tamu dari bentuk sepatunya; tentang tukang parkir yang memahami psikologi pengantar barang; tentang bellboy yang tahu cara menjelaskan peta kota dengan humor tanpa membuat tamu merasa bodoh. Ia menulis dengan tangan, bukan keyboard. Biar lambat. Biar terasa.

Sekar membaca drafnya. Bahasamu jernih, Ji. Aku melihat hotel dari balik bahu orang-orang yang tak pernah masuk kamera.

Karena kamera sering lupa, Kar. Ia mengejar cahaya, bukan yang menyalakan.

.

Sore di Rumah Sakit

Di minggu kedua bulan ketiga, Panji menjenguk ayah Arum di rumah sakit. Bau obat dan karbol menyelip di sela-sela percakapan. Ayah Arum tidur, wajahnya seperti lembar buku yang lama dibaca. Arum duduk di kursi plastik, menyeka sudut mata sebelum air benar-benar turun.

“Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas.”

“Tak perlu dibalas. Simpan saja di tempat yang tidak mudah tumpah.”

Arum tertawa kecil. “Kalau begitu, aku simpan di sisi yang sama dengan bau kopi pagi. Di tempat yang selalu bikin orang merasa pulang.”

Panji mengangguk. Pulang. Kata itu selalu mengajaknya melangkah pada kenangan: ibunya yang dulu menjadi pengurus home stay kecil di kampung pesisir; ayahnya yang menolak “uang keamanan” dan memilih menyalakan lampu lebih banyak agar tamu merasa dilihat. “Kau harus menjaga nama yang kau panggil setiap malam,” kata ayahnya dulu. “Nama itu akan menjaga punggungmu saat kau lelah.”

.

Malam dengan Jendela yang Terbuka

Malam terakhir bulan ketiga pilot, Panji kembali ke kamar 2008. Kota di bawah seperti lautan lampu. Ia membuka jendela separuh, membiarkan suara jalan masuk seperti seruling jauh. Ia menulis pesan untuk seluruh staf:

Kita akan salah, kita akan lelah. Tapi mari selalu memilih untuk jujur, bertanggung jawab, dan setia pada alasan kita memulai. Tidak semua keputusan membuat kita disukai. Tapi semoga setiap keputusan membuat kita bisa menatap cermin tanpa menunduk.

Ia menekan send. Kemudian ia menulis kalimat lain untuk dirinya sendiri: Jangan sibuk memenangkan kota sampai lupa memenangkan dirimu dari rasa takut.

Ketukan di pintu. Sekar berdiri di ambang, membawa dua cangkir kertas dari warung Bu Lastri.

“Kau lupa makan malam,” katanya.

“Aku menyuapi kalimat. Mereka rakus.”

“Kau selalu berlebihan pada kata. Tapi aku suka.” Sekar menyodorkan kopi. “Bagaimana pilot-mu?”

“Berakhir dengan alasan untuk tidak sombong.”

“Bagus. Sombong adalah dekorasi yang cepat tua.”

Mereka tertawa. Ada sesuatu yang menghangat tanpa terburu-buru. Dunia di bawah masih bising, tapi di kamar itu ada ruang sunyi yang tidak memusuhi siapa pun.

.

Pagi Terakhir Itu

Keesokan paginya, halaman belakang hotel sudah dipenuhi tawa. Kolaborasi UMKM akhir pekan: Bahar dengan martabaknya, seorang penjual es kopi literan, perempuan muda yang menjual kue sus—kue yang renyah di kulit dan lembut di isi, seperti orang yang berani di luar dan lembut di dalam. Wira mengatur parkir, suaranya tegas tapi tak tinggi. Klana berdiri agak jauh, menyilangkan tangan, menatap lalu-lalang. Ketika Panji mendekat, ia menghela napas.

“Kau menang, Ji. Atau mungkin kita menang semua. Entahlah.”

“Tidak ada pemenang kalau kota kalah,” kata Panji. “Mari jaga ritme tanpa kehilangan nada.”

“Dan kalau investor bertanya?”

“Jawab dengan data. Dan beberapa cerita yang benar.”

Klana mengangguk. “Kota ini suka cerita. Tak apa. Asal angka tidak mati.”

“Angka tidak akan mati kalau kita terus bernapas.”

Mereka tersenyum. Bahar datang membawa martabak rasa keju. “Untuk Mas-mas hotel,” katanya. “Terima kasih sudah meminjamkan halaman. Gerobak saya sudah pantas, kan?”

“Pantas,” jawab Panji. “Bahkan terlalu pantas.”

Bahar tertawa. “Rasanya enak karena tidak pakai judul besar-besar. Hanya pakai janji kecil-kecil.”

Di langit yang oranye kusam, seekor elang—atau mungkin hanya burung besar yang meniru elang—melintas. Panji menatapnya. Ia tahu, tidak ada akhir yang sempurna. Kota akan memberinya ujian lain: kontrak yang rumit, komplain yang menyakitkan, sebuah video baru yang keluar dari sudut yang tidak ia perhitungkan. Tapi ia juga tahu, ia tidak sendirian. Ada tim yang mau belajar, ada Sekar yang menaruh cermin di tempat yang tepat, ada warung yang selalu menyajikan kopi jujur.

Kota yang selalu bangun itu, ternyata menyisakan ruang kecil untuk orang yang ingin pulang pada dirinya—tidak dengan pawai, tidak dengan drum band, tetapi dengan langkah-langkah yang tahu kapan harus berhenti dan menoleh.

.

Surat untuk Diri Sendiri

Malam itu, Panji pulang paling akhir. Lampu-lampu dimatikan berurutan seperti kelopak bunga yang menyudahi hari. Di meja kamar, ia menulis surat untuk dirinya sendiri:

Panji, kalau besok rapat menekanmu untuk sedikit mengalah demi investor, ingatlah rasa martabak Bahar yang tidak punya judul besar-besar. Ingat Sitti yang jujur, Arum yang bertahan, Rahmat yang tidak tidur demi memastikan adonan jadi roti. Ingat Klana yang, dengan caranya sendiri, ingin hotel tetap berjalan. Ingat kota yang bangun lebih cepat darimu dan tidur lebih lambat dari mimpimu.
Keaslian bukan sikap yang diucapkan, tapi keputusan kecil yang diulang sampai orang lain bisa mempercayai ulangmu. Kalau sesekali kau berjalan sendirian, itu bukan hukuman. Itu pelatihan agar kau tahu mana suara yang harus kau dengarkan lebih dulu: suara di dalam dadamu yang tak bisa dibungkam oleh grafik apa pun.

Ia menutup buku catatan. Menutup mata. Di bawah sana, kota terus hidup. Di dalam sini, ada seseorang yang akhirnya memilih untuk tidak menunda hidupnya.

Dan besok pagi, sebelum matahari meregang, ketika azan kembali melenting di antara gedung-gedung, Panji akan membuka jendela, merasakan embun di kaca, lalu mengucap dalam hati: Selamat pagi, kota yang selalu bangun. Hari ini, aku juga akan bangun denganmu—tanpa gelar, tanpa seragam, hanya dengan nama yang semoga masih pantas kupanggil: diriku sendiri.

,

.

.

Jember, 11 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasMinggu #CerpenIndonesia #KotaYangSelaluBangun #Integritas #Hospitality #KisahUrban #UMKM #PanjiSekar #NarasiFilmis #HaruBiru

.

Quotes Tambahan yang Relate

  • “Rasa yang jujur tak butuh panggung; ia mencari lidah yang mau mendengar.”

  • “Keputusan kecil yang benar, jika diulang, menjadi reputasi yang besar.”

  • “Di kota yang selalu bangun, integritas adalah jam weker yang tak boleh dimatikan.”

  • “Menang bukan selalu mengalahkan orang lain; kadang menang berarti tidak mengkhianati diri.”

Leave a Reply