Tegas Berstandar, Nyaman Berkesan

“Kekuatan pemimpin bukan pada suaranya yang keras, melainkan pada standar yang ia pegang teguh—sekalipun ia berdiri sendirian.”

.

Di Jakarta yang berdenyut seperti nadi—lampu kota menyala bahkan saat matahari belum benar-benar terbenam—Jaya menatap langit dari jendela lantai dua puluh. Di bawah sana, lalu lintas memekik lirih, klakson bertukar sapa seperti orang-orang yang terburu-buru saling menyenggol di trotoar. Malam datang seperti air pasang, membawa pantulan neon yang membuat gedung-gedung terlihat seperti cermin yang bernafas.

Jaya baru sebulan menjabat sebagai kepala operasional di Hotel Retna, sebuah hotel kota yang pernah berjaya sebelum pandemi merontokkan banyak hal—pendapatan, keyakinan, juga kebiasaan bekerja yang rapi. Nama Retna diambil dari sang pendiri, seorang perempuan kuat yang dulu membangun hotel itu di atas tanah bekas gudang teh. Jaya menerima tugas dari pemilik baru: mengembalikan reputasi Retna sebagai tempat di mana tamu pulang dengan kenangan yang mereka ceritakan bertahun-tahun kemudian.

Di dalam lift, Jaya melihat wajahnya sendiri di cermin—mata yang tidak mudah tersenyum, rahang yang sering mengeras saat berpikir. Orang sering menyebutnya dingin. Itu sebabnya ia jarang membantah ketika orang menempelkan label “galak” padanya. Tapi Jaya tahu, ketegasan bukan berarti kasar. Ia hanya percaya pada satu hal: standar yang jelas. “Becik ketitik, ala ketara,” bisiknya. Kebaikan akan tampak, keburukan pun cepat terlihat—apalagi dalam bisnis layanan.

.

Kedatangan Retna

Pagi berikutnya, Jaya mendapati Retna—bukan hotelnya, melainkan seorang perempuan bernama sama—menunggu di lobi. Perempuan itu berdiri di dekat rangkaian bunga sedap malam, menatap jam dinding dengan sabar. Pakaian kerjanya sederhana, riasan tipis, tapi sorot matanya tajam. “Saya Retna,” katanya ketika Jaya menyapanya. “HR mengundang saya untuk final interview.”

Jaya meninjau berkas. Retna melamar posisi Front Office Supervisor. Pengalamannya empat tahun sebagai resepsionis di Surabaya, lalu satu tahun berhenti bekerja untuk merawat ibunya yang sakit. Di kertas itu tertera catatan singkat dari HR: ramah, rapi, namun kurang percaya diri.

“Kenapa berhenti setahun?” tanya Jaya saat mereka duduk di ruang meeting yang dindingnya diisi foto-foto hitam putih Jakarta tempo dulu.

“Karena ibu,” jawab Retna, menahan senyum yang sedikit rapuh. “Sekarang sudah lebih baik. Saya ingin mulai lagi.”

“Kalau saya harus memilih antara orang yang sangat ramah tapi tidak disiplin, dan orang yang disiplin tapi belum terlalu percaya diri—saya cenderung memilih yang kedua,” kata Jaya. “Percaya diri bisa tumbuh. Disiplin itu pangkal standar.”

Retna menatapnya, ada cahaya kecil menyembul di matanya. “Saya ingin belajar, Pak… eh, Jaya.”

“Di sini, semua orang panggil nama saja,” balas Jaya. “Tidak ada gelar.”

Jaya memutuskan menerimanya. “Mulai minggu depan,” katanya. Retna tampak terkejut, lalu menunduk, bibirnya berbisik, “Terima kasih,” seolah takut suaranya akan memecahkan sesuatu yang rapuh di ruangan itu.

.

Tole di Dapur

Di dapur, Tole, chef termuda—yang namanya mengingatkan Jaya pada kisah Joko Tole dari Madura—menggoreng telur dengan gerakan cepat. Pagi-pagi benar, ia sudah berkutat dengan wajan, memeriksa suhu kompor, menyelam di antara suara panci dan desis minyak. Tole terkenal kreatif, tetapi sering menabrak prosedur. “Rasanya harus memimpin, bukan prosedurnya,” katanya suatu kali. Jaya mengingatnya baik-baik: kreativitas yang tak dipagari standar hanya melahirkan kebetulan.

Sebuah pengaduan masuk ke ponsel Jaya: tamu VIP mengeluhkan omelet yang datang terlambat dan terlalu asin. Jaya melangkah ke dapur. “Tole,” panggilnya, tenang.

Tole mengangkat wajah, berkeringat. “Saya sedang coba garam laut baru, Jaya. Lebih natural.”

“Natural bagus, tapi asin berlebih tetap asin,” jawab Jaya. “Kita pakai SOP 3 gram per porsi. Kamu gunakan berapa?”

Tole menatap lantai. “Empat… mungkin lima. Saya kira—”

“Jangan kira-kira,” potong Jaya. Di belakangnya, seorang pastry chef—Potre, perempuan muda yang cekatan—memandang gugup. “Kamu jago, Tole. Tapi jagoan yang tidak disiplin hanya menyulitkan timnya.”

“Baik,” gumam Tole. “Saya ulang.”

Jaya menepuk bahu Tole. “Kita uji rasa bersama. Jam sebelas, kamu presentasi tiga variasi: standar, kreatif 1, kreatif 2. Kita tentukan mana yang jadi signature. Sepakat?”

Ada kilatan semangat di mata Tole. “Sepakat.”

.

Maktal dan Angka-angka

Di ruang rapat, Maktal, manajer keuangan yang pandai memegang angka, menunjukkan grafik occupancy. “Tren naik lima persen sejak kampanye workation,” katanya. “Tapi RevPAR masih tertinggal dari kompetitor.”

“Karena kita belum konsisten di kualitas,” sahut Jaya. “Quality drives rate.”

“Artinya,” sela Wongso, marketing yang rambutnya selalu licin disisir ke belakang, “Kita perlu cerita yang kuat. Bukan sekadar diskon, tapi alasan orang datang. Kota ini penuh hotel. Kenapa mereka harus ke Retna?”

Jaya menarik napas. Ia teringat esai yang pernah ia baca tentang pemimpin: “Leadership is not about being in charge, but taking care of those in your charge.” Ia menatap satu per satu. “Kita akan menjual ketegasan sebagai kenyamanan. Standar yang jelas membuat tamu merasa aman. ‘No plus-plus, just genuine comfort.’ Orang datang karena mereka tahu setiap detail di sini bisa diandalkan: kebersihan, ketepatan, keramahan yang tulus.”

Maktal mengangguk, mencatat. Wongso menyeringai. “Saya akan siapkan naskah untuk kampanye digital. Tagline-nya: Tegas Berstandar, Nyaman Berkesan.”

Jaya menambahkan, “Jangan lupa pitutur Jawa: Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana. Kita gunakan dalam training: kata-kata ramah, penampilan rapi. Dari situ martabat hotel dilihat.”

.

Inspeksi Lantai

Siang itu, Jaya naik ke lantai delapan bersama Retna. Mereka mendapati kamar 812 belum selesai dibersihkan padahal jadwal check-in VIP dua jam lagi. Siti, room attendant, menggosok kaca dengan gerakan berulang sampai berembun. Di kamar mandi, ada sehelai rambut tersangkut di drain.

“Standar kita,” kata Jaya, “drain harus bersih dan kering.” Ia mengambil tisu, menunjukkannya. “Ini kecil, tapi kecil yang berulang membuat besar yang runtuh.”

Retna memperhatikan cara Jaya menegur: bukan maki-maki, melainkan penjelasan yang gamblang. Siti mengangguk, memohon maaf. “Saya ulang, Jaya.”

Retna lalu memeriksa minibar. “Kopi dua, teh dua, gula empat.” Ia mencatat di ponsel. Suara jemarinya di layar seperti metronom: klik, klik, klik. “Saya ingin buat checklist digital sederhana,” katanya. “Supaya kamar-kamar punya ritme yang sama.”

Jaya tersenyum tipis. “Bagus. Excellence is a habit. Keunggulan itu kebiasaan yang diulang.”

.

Keluhan yang Menjadi Cermin

Sore harinya, seorang tamu—Jingga—mengirim email komplain: kolam renang berbau klorin menyengat, dan ada tisu kecil terapung. Jaya membaca cepat. Jiwa di kepalanya menyalakan lampu merah: bukan soal tisu, melainkan soal rasa aman.

Ia memanggil chief engineering dan housekeeping. “Kolam renang adalah mata hotel. Orang membawa anaknya ke situ. Jika satu tisu mengambang, mereka membayangkan ada ribuan hal lain yang tidak terlihat.”

Tole menawarkan diri, “Boleh saya buat station infused water di area kolam? Biar orang betah dan fokusnya ke pengalaman baik.”

Jaya mengangguk. “Boleh, asal kita benahi dulu airnya.” Ia berjalan ke kolam bersama tim, melongok permukaan yang memantulkan warna langit suram. “Mulai malam ini, jadwal penyaringan kita tambahkan. Besok pagi, saya mau lihat sendiri.”

Malam turun. Di ponselnya, Jaya menulis balasan pada Jingga: Terima kasih atas perhatian Anda. Kami memperbaiki sistem penyaringan malam ini juga. Besok pagi saya akan kirim foto progresnya. Izinkan kami menebusnya dengan sarapan untuk Anda dan keluarga. Ia menekan tombol kirim. Ketegasan, pikirnya, bukan sekadar aturan. Ketegasan adalah kesanggupan bertanggung jawab.

.

Potre dan Duka yang Disembunyikan

Potre, pastry chef yang teliti, datang lebih pagi dari biasa. Ia menata lapisan mille-feuille seperti menyusun ulang hari yang patah. Sepekan ini wajahnya pucat, dan Jaya memperhatikan gerak tangannya yang makin ragu. “Kamu baik-baik saja?” tanya Jaya saat melewati pastry corner.

Potre berhenti, menunduk. “Ayah saya di Bangkalan sakit, Jaya. Saya… bingung. Kalau saya pulang, produksi pastry kurang orang. Kalau tidak pulang, hati saya tidak tenang.”

Jaya diam sejenak. Di kepalanya, ada kalkulasi jadwal, okupansi, dan kebutuhan tim. Namun ia juga mendengar gema pitutur: Urip iku urup—hidup itu menyala, memberi terang untuk yang lain. “Berangkatlah tiga hari,” katanya akhirnya. “Kita atur rotasi. Wongso bisa bantu koordinasi suplai. Kamu fokus ke ayah, pulang dengan hati utuh. Orang yang tenang bekerja lebih rapi.”

Air di mata Potre seperti sebutir gula yang meleleh pelan. “Terima kasih.”

“Tidak perlu terima kasih,” jawab Jaya. “Kita memegang standar, tapi standar itu untuk manusia.”

.

Audit Tak Terduga

Dua minggu kemudian, kabar datang: tim auditor dari perusahaan pemilik akan datang tanpa pemberitahuan (yang nyaris pemberitahuan). Di lobi, Retna menyusun jadwal, menyiapkan briefing. Semua orang tegang seperti senar gitar yang baru diganti.

Jaya mengumpulkan tim. “Kita tidak menyambut auditor,” katanya. “Kita menyambut tamu. Auditor hanya cara lain untuk menguji apakah yang kita lakukan konsisten.”

Wajah-wajah di hadapannya—Tole, Maktal, Wongso, Siti, engineering, security—menyimpan cemas. Jaya menambahkan, “Ingat: Becik ketitik, ala ketara. Kebaikan akan kelihatan kalau kita mengulangnya.”

Audit dimulai jam sepuluh. Mereka memeriksa kamar, laundry, dapur, kolam renang, hingga hanaya hal remeh: label “tidak merokok” yang miring di koridor. Saat berhenti di restoran, seorang auditor mengangkat alis pada napkin lipat kipas yang bentuknya tidak sama di tiap meja. Tole menahan napas.

“Standar lipatan kita ‘pyramid’, bukan ‘fan’,” kata Jaya, lembut. “Tim baru sedang belajar. Saya minta lima menit.” Ia menoleh ke Retna, yang sudah mengangguk sebelum diperintah. Dengan cekatan, Retna dan tim front office membantu mengganti lipatan. Gerakan mereka seperti air yang mengisi gelas: tenang, terukur.

Audit berlanjut ke kolam renang. Air terlihat jernih, tercium wangi lembut dari tanaman pandan di sudut—ide Tole yang dikemas tanpa mengganggu standar kebersihan. Auditor memberi catatan: good filtration routine. Jaya hanya mengangguk, menahan senyum.

Sore datang, hasil audit diumumkan sementara: skor 90 dari 100—naik tajam dari audit terakhir yang hanya 76. “Masih ada pekerjaan,” kata Jaya pada tim yang siap bertepuk tangan. “Tapi hari ini kalian membuktikan satu hal: standar bukan musuh kreativitas.”

.

Malam Retna

Malam itu, Retna berjalan pulang melewati jembatan penyeberangan yang memandangi rel kereta. Angin kota menyapu rambutnya. Ia mengingat hari-hari sejak mulai bekerja: teguran pelan Jaya saat ia lupa menyapa tamu dengan nama; pengulangan check-in script sampai tepat; latihan senyum di depan cermin lobi yang memantulkan lampu gantung seperti bintang.

Di kamarnya yang sempit, Retna menulis di buku catatan: Ketegasan itu menenangkan. Seperti rambu lalu lintas yang membuat orang tahu kapan harus berhenti dan jalan. Mungkin itu yang disebut standar. Ia berhenti, memandangi kertas yang sedikit kusut di pinggirnya. Lalu menambah: Suara kita tidak perlu keras kalau standar berbicara untuk kita.

.

Jaya dan Surat yang Tertunda

Pukul dua dini hari, lampu kota mulai berkurang. Jaya masih di meja kerjanya. Di layar, sebuah surel tak terkirim ia buka-buka lagi: lamaran ke program beasiswa singkat tentang Service Excellence di Singapura. Ia menunda mengirim karena ragu: meninggalkan tim tiga minggu saat hotel baru berdiri di atas kakinya sendiri terasa seperti melepaskan anak belajar berlari di jalan raya. Namun di sisi lain, ia tahu belajar adalah kewajiban—tak ada standar yang bertahan kalau tak diisi ilmu baru.

Ia menoleh ke papan tulis kaca di dinding: Excellence is not an act, but a habit. Di bawahnya, ia menulis: Habit tumbuh dari ilmu + disiplin + empati. Jaya menutup mata. Hening. Ia ingat lagi pitutur: Alon-alon waton kelakon. Pelan-pelan selama konsisten, sampai juga. Ia mengetik: Saya akan memastikan transisi aman. Retna memegang FO. Tole di dapur dengan SOP baru. Wongso bertugas memantau brand voice. Maktal—angka tetap angka. Lalu ia menekan Send. Begitu email terkirim, Jaya merasa seperti menegakkan punggung setelah duduk terlalu lama.

.

Hari Rayuan Diskon

Suatu pagi, Wongso datang dengan mata berbinar. “Kompetitor di seberang jalan membuat diskon 50% untuk weekend ini. Saya pikir kita perlu menurunkan harga.”

“Kamu percaya semua orang membeli karena murah?” tanya Jaya.

“Tidak semua, tapi banyak.”

“Kalau kita ikut, kita kehilangan cerita yang kita bangun. Tegas Berstandar, Nyaman Berkesan bukan tentang paling murah, melainkan paling bisa diandalkan.”

Maktal menambahkan, “Kalau rate turun terlalu jauh, memperbaikinya nanti seperti mengangkat jangkar di dasar lumpur.”

Wongso menghela napas, lalu tertawa pendek. “Baik. Saya ubah strategi: bundling value. Sarapan artisanal, late check-out, tur kuliner malam dengan rute kaki lima bersih—kota ini punya banyak hal yang bisa kita rawat.”

Jaya mengangguk. “Minta Tole buat menu khas: Mille-feuille Tape—kau tahu, Potre orang Madura, ia pasti punya sentuhan lokal yang tidak memaksa.”

Wongso menyapu rambutnya lagi. “Setuju. Ceritanya akan lebih kuat.”

.

Ujian yang Sebenarnya

Ujian sebenarnya datang tak diundang. Hujan deras mengguyur Jakarta. Air di jalanan naik cepat, seperti seseorang yang marah dan tak bisa lagi menahan diri. Listrik di beberapa blok padam. Sebagian staf terjebak di jalan. Tamu-tamu mulai gelisah. Badai informasi masuk ke ponsel—pesan singkat dari FO: Lift B mati. Kamar 1505 minta lilin. Seorang anak demam di 1210.

“Operasikan genset untuk area vital: lift A, FO, dapur, dan tangga darurat,” kata Jaya pada chief engineering. “Housekeeping siapkan senter, power bank, air mineral di setiap lantai. FO siapkan daftar tamu yang membutuhkan prioritas bantuan: keluarga dengan anak kecil, lansia.”

Tole datang dengan apron basah. “Dapur masih hidup. Saya bisa bikin sup jahe hangat dan bubur ayam. Gratis untuk semua tamu.”

“Lakukan,” ujar Jaya. “Tambahkan stasiun teh panas di lobi. Retna, kamu tambah staf di lobi untuk memberi informasi.”

Hujan di luar mengaum. Di lobi, cahaya hangat dari lampu genset membuat semuanya seperti panggung teater yang ditarik ke satu adegan: orang-orang duduk saling berdekatan, menyantap sup jahe dan bubur, mendengar Retna membacakan pengumuman dengan suara yang stabil. “Mohon tenang. Kami menyalakan genset untuk area penting. Jika Anda membutuhkan obat ringan, silakan hubungi kami. Anak-anak dapat menonton film bersama di lounge.” Seseorang bertepuk tangan pelan, disusul tawa kecil.

Jaya berkeliling, memastikan tiap lantai diperiksa. Di lantai dua belas, ia menemukan seorang ayah menggendong anak demam. “Kami sudah menyiapkan ruang kesehatan sementara di meeting room,” kata Jaya. “Ada perawat dari klinik rekanan yang datang.” Ayah itu berkaca-kaca. “Terima kasih.”

Ketika hujan mereda dan listrik kota kembali menyala menjelang subuh, Jaya berdiri di balkon belakang hotel, membiarkan angin basah menyapa wajahnya. Ia tak merasa jadi pahlawan. Ia hanya merasa standar yang dilatih—yang disusun menjadi kebiasaan—menuntun semua orang bergerak tepat. Urip iku urup, gumamnya. Hidup itu menyala, terutama saat gelap.

.

Minggu yang Tenang

Minggu pagi, matahari muncul seperti hendak meminta maaf atas semalam. Di restoran, tamu-tamu menikmati sarapan. Tole memperkenalkan Mille-feuille Tape yang meleleh perlahan seperti musik yang tidak ingin segera selesai. Retna berdiri di dekat pintu, menyapa satu per satu tamu dengan nama. “Selamat pagi, Mas Doni.” “Terima kasih, Bu Nita.” Ia mengingat semuanya—kebiasaan baru.

Jaya duduk di meja paling pojok, mencatat hal-hal kecil yang ingin ia benahi: warna taplak yang terlalu terang, musik latar yang kadang naik turun volume. Di sudut terasa ada keteraturan yang menenteramkan. Ia menulis: Ketertiban kecil melahirkan ketenangan besar.

Seorang tamu mendekat—Jingga, yang pernah mengeluh soal kolam. “Pak Jaya,” katanya. “Saya ingin mengucapkan terima kasih. Kolamnya jauh lebih baik. Anak saya betah berjam-jam. Sarapannya juga enak. Saya kira saya akan kembali.”

Jaya tersenyum. “Terima kasih sudah mengingatkan kami waktu itu. Tamu yang peduli adalah guru yang menyamar.”

Jingga tertawa. “Wah, puitis juga.”

“Sekali-sekali,” balas Jaya.

.

Pesan dari Madura

Tiga hari setelah kembali, Potre membawa karung kecil berisi kelapa parut dan gula merah dari Bangkalan. “Ayah sudah lebih baik,” katanya. “Ia titip salam. Katanya, ‘kerja yang bener, Nak. Kebaikan akan ketahuan, keburukan tidak bisa ditutup-tutupi.’”

Becik ketitik, ala ketara,” sahut Tole, menirukan aksen Madura dengan jahil. Mereka tertawa. Jaya memerhatikan tawa itu—bunyinya ringan, seperti daun yang saling beradu angin: sebuah bunyi yang muncul ketika orang merasa aman.

Potre lalu memperlihatkan eksperimen dessert baru: puding santan gula merah dengan saus kopi. “Saya menamainya Potre Koneng,” katanya malu-malu, merujuk pada legenda Potre Koneng—si kuning cantik yang terkenal di Madura. “Boleh masuk menu, Jaya?”

“Coba ujicoba dua minggu,” balas Jaya. “Kalau retensi tamu meningkat, kita jadikan signature.”

.

Surat dari Singapura

Email balasan datang: Jaya diterima di program beasiswa. Ia menghadap pemilik hotel, Sinar, perempuan paruh baya yang tajam namun tak meledak. “Tiga minggu, ya?” katanya.

“Ya,” jawab Jaya. “Saya siapkan rencana delegasi dan kontrol harian. Laporan tetap setiap malam.”

Sinar memerhatikan Jaya, lalu memandang keluar jendela. “Saya sering dengar kamu disebut keras.”

“Saya tegas,” jawab Jaya, jujur. “Karena kalau bukan kita yang memegang standar, nanti standar dipegang keadaan.”

Sinar tertawa pendek, lalu mengangguk. “Pergilah. Kembali dengan ilmu yang bisa dibagikan. Jangan lupa: ketegasan paling indah adalah yang membuat orang di sekitarmu tumbuh.”

.

Saat Jaya Pergi

Sebelum berangkat, Jaya mengumpulkan tim di ruang meeting. Ia membagikan dokumen sederhana: Standar Harian Hotel Retna. Ada 12 poin—mulai dari cara FO menyapa tamu, kadar garam omelet, jadwal pembersihan filter, hingga pernyataan singkat di bagian paling bawah: Semua standar ini untuk manusia, bukan sebaliknya.

“Kalau ada situasi yang tidak tercantum?” tanya Retna.

“Pakai tiga pertanyaan,” jawab Jaya. “Apakah ini aman? Apakah ini jujur? Apakah ini membuat tamu merasa diurus? Kalau tiga-tiganya ‘ya’, jalankan. Kalau tidak, cari opsi lain.”

Jaya melihat mata mereka satu per satu: ada rasa memiliki yang tidak ia temukan sebulan lalu. Standar, pikirnya, tidak lagi milik satu orang. Standar adalah cerita yang ditulis bersama.

.

Kota dan Kesunyian

Singapura merapikan Jaya seperti tangan yang lihai melipat kemeja. Ia belajar hal-hal teknis dan hal-hal yang tak bisa dirumuskan: bagaimana meramu keramahan seperti komposisi musik, bagaimana memadamkan marah tamu dengan kalimat pertama yang tepat. Pada suatu pagi di stasiun MRT, Jaya menunggu kereta sambil mencatat—pintu kereta selalu berhenti tepat di garis; antrean orang membentuk huruf U rapi; suara pengumuman setara volume. Ia menulis: Ketegasan kota melahirkan kenyamanan warganya. Ia tahu ia sedang merindukan timnya.

Ia pulang dengan kepala penuh catatan. Di Bandara Soekarno-Hatta, udara hangat menyambut seperti pelukan. Saat memasuki lobi Hotel Retna, ia berhenti. Ada aroma pandan yang lembut, musik latar bersuara tepat, senyum Retna yang tulus menyambut seorang tamu lansia sambil membetulkan letak tongkatnya. Di restoran, Tole berdiri di depan open-kitchen, memimpin dengan tatapan tenang. Di pastry corner, label Potre Koneng tercetak rapi.

Jaya tak ingin mengganggu ritme. Ia berdiri sejenak, menjadi tamu bagi rumahnya sendiri. Dalam hati, ia mengucap pitutur: Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti—segala yang keras luluh oleh kelembutan. Ketegasan menuntun, tetapi yang membuat orang bertahan adalah kebijaksanaan.

.

Akhir yang Terbuka

Beberapa bulan berlalu. Hotel Retna kembali merebut tempatnya di hati pelanggan: skor ulasan naik, pendapatan stabil, dan—yang paling membuat Jaya tersenyum—tingkat retensi karyawan membaik. Pada rapat bulanan, Sinar berkata, “Saya tidak ingin kita berhenti di sini. Kota ini berubah, orang-orang bergerak, standar pun harus hidup.”

Jaya mengangguk. “Standar seperti sungai. Kalau tidak mengalir, ia berubah menjadi rawa.”

Malam itu, ia menulis kalimat di buku catatan yang dulu dipakai Retna: Kekuatan pemimpin bukan pada suaranya yang keras, melainkan pada standar yang ia pegang teguh—sekalipun ia berdiri sendirian. Tetapi standar yang paling kokoh adalah yang membuat orang lain mau berdiri bersama.

Di luar, kota mendesis, lampu-lampunya bagai kunang-kunang mekanik. Jaya menutup buku, menyandarkan punggung. Ia tidak lagi merasa dingin. Ketegasan, ia sadari, bukan tembok. Ketegasan adalah jembatan—yang di ujungnya, orang-orang dapat pulang dengan tenang.

.

“Standar itu seperti pagar; ia tidak membatasi langkah, ia menjaga arah—agar kita tiba di tujuan yang benar, bersama-sama.”

.

.

.

Jember, 10 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#TegasBerstandar #Kepemimpinan #Hospitality #Pariwisata #PituturJawa #BudayaKerja #ManajemenHotel #ServiceExcellence

Leave a Reply