Lorong Bersua

“Kerja yang paling terasa hasilnya adalah kerja yang menyatukan orang—bukan sekadar menumpuk target, melainkan menyalakan harapan.”
“Kalau arus deras, jangan dilawan. Belokkan dayungmu, lalu sampai juga ke seberang.”

.

Senin: Menemukan Tujuan Bersama

Senin pagi di kota ini selalu berbunyi seperti ketukan sendok pada tepi gelas: cepat, pendek, dan berulang-ulang. Kereta komuter melintas membawa wajah-wajah setengah sadar, kafe-kafe membuka tirai, pengasong menata dagangan, dan gerimis yang malu-malu menuaikan bau aspal basah. Di mulut lorong pejalan kaki yang menghubungkan stasiun ke terminal kecil itulah Maya berdiri, topi hitam menutupi rambutnya yang dikuncir seadanya. Nama lengkapnya Umarmaya, tapi semua memanggilnya Maya. Ia menatap dinding lorong yang kusam dan bertuliskan coretan-coretan tak jelas, beberapa bekas umpatan disamarkan cat putih mengelupas.

“Ini bukan lorong,” gumamnya, “ini sehari-hari kita yang disingkat.”

Ia datang bukan untuk membuat puisi. Ia datang membawa spidol, cat semprot, dan rencana. Satu pesan semalam—“Ketemu di lorong stasiun besok jam tujuh. Bawa apa saja yang kamu punya.”—mengumpulkan orang-orang yang diperkenalkan nasib, disatukan kegelisahan.

Hadir Madi, yang nama KTP-nya Umarmadi, pengemudi ojek daring yang dulu teknisi radio. Ia menenteng gulungan kabel dan speaker mungil. Ada Kelas—bukan singkatan dari “kelas sosial” tapi adaptasi nama Kelaswara—seorang guru honorer yang mengajar literasi di gang sempit dan kerja paruh waktu di toko buku bekas. Hamzah muncul dengan ransel berat berisi laptop, rol meteran, dan kamera aksi. Wara, barista yang lebih suka memotret manusia ketimbang latte art, datang dengan termos besar mengepulkan aroma jahe. Lalu Citra—jurnalis lepas yang kadang menulis rubrik kota, kadang mengedit testimoni UMKM, kadang menanggapi dunia dengan ‘kadang-kadang’ lain yang sulit ditebak.

Mereka berdiri setengah lingkaran menghadap dinding. Orang-orang melintas, beberapa melambat, sebagian penasaran, sebagian mencibir, sebagian menghela napas seolah melihat anak-anak bermain di tempat yang bukan taman.

“Tujuannya?” Madi membuka percakapan.

“Tujuan bersama,” jawab Maya. “Bukan cuma mural. Lorong ini harus jadi tempat orang merasa disapa.”

Hamzah mengangkat alis. “Disapa sama dinding?”

“Disapa sama kota,” sahut Kelas, “dan kota kan sering lupa ngomong apa pun selain ‘cepat, cepat, cepat’.”

Maya mengeluarkan sketsa yang dikerjakan malam tadi: panel-panel yang akan diisi kalimat pendek, semacam penanda perasaan. “Di sini, tulisan ‘Selamat datang, yang sedang ragu.’ Di sini, ‘Tarik napas, kamu tidak tertinggal.’ Di ujung sana, ‘Terima kasih sudah sampai sejauh ini.’” Ia menempel pita kertas, memberi batas, menata jarak.

“Ada musik?” tanya Wara.

“Musik yang bikin orang pelan dan lihat sekitar,” jawab Madi. Ia menghubungkan speaker, memutar instrumen gesek lembut dari ponsel bututnya. “Kalau ramai, kita naikkan tempo.”

Citra memotret tanpa suara, hanya gerakan kecil bibirnya yang sesekali menyebut jam. “Senin jam tujuh lewat sepuluh,” bisiknya, “wajah-wajah pertama menoleh.”

Di Senin berkabut itu, tujuan bersama bukan kalimat poster, melainkan gotong royong yang turun dari mulut ke tangan, dari pikiran ke gerak. Masing-masing punya takarannya. Maya memimpin desain, Madi mengawal suara, Kelas menulis ulang kalimat agar akrab, Hamzah mengukur, Wara menyeduh, Citra merekam.

Seorang ibu menggendong anak berhenti. “Tulis apa, Mbak?”

“Kalimat kecil,” jawab Kelas, “semacam pelukan, tapi lewat huruf.”

Ibu itu tertawa. “Kalau pelukan, jangan kecil-kecil.”

Anaknya menunjuk pita Maya. “Aku mau gambar pelangi.”

“Pelangi harus lewat hujan dulu,” sahut Hamzah.

“Gerimis cukup,” si anak menawar, dan semua tertawa.

Mereka bekerja sampai matahari menembus celah bangunan, sampai aroma jahe di termos Wara lebih sering dihirup daripada diminum, sampai Madi memutar lagu lebih terang, sampai Citra menutup kamera dan memakai dua tangannya untuk merapikan pita.

“Lumayan,” kata Maya menjelang siang. Kalimat pertama muncul jelas: “Selamat datang, yang sedang ragu.” Ada pelangi kecil di atasnya, goresan kecil tangan si anak.

“Ini baru permulaan,” kata Hamzah. “Besok dan lusa kita haluskan hurufnya. Kita tambah peta kecil jalur bus dan rambu yang sering bikin orang bingung.”

“Boleh juga pojok baca,” timpal Kelas. “Dua rak buku bekas, pengeras kecil, pengumuman warga. ‘Pojok Pelan’ atau ‘Lorong Bersua’… apa ya?”

“Lorong Bersua,” kata Citra, menulis di catatan. “Nanti aku kirim pitch ke rubrik kota.”

Senin itu berakhir dengan cat di pakaian, remah roti di bibir, dan rasa yang sulit dinamai: rasa saat sebuah kota dingin, meski sedetik, memutar badan dan menatap balik.

.

Selasa: Merapikan, Menahan Lekas

Selasa, kota seperti biasa—kecuali lorong itu kini punya sedikit bahasa lebih ramah. Tetapi kehangatan Senin berubah jadi kebutuhan membungkuk bekerja. Cat harus dihaluskan, huruf dirapi, panel disimetris. Maya lebih banyak diam, matanya teliti, tangannya sabar. Madi memeriksa kabel dan posisi speaker agar aman dari tangan jahil. Wara menempel jadwal seduh; pengunjung bisa mengambil sendiri gelas kertas dan jahe panas. Hamzah memeriksa pencahayaan, menambah mata kucing di sudut gelap, menempel stiker reflektif dari kios alat sepeda. Kelas menyusun daftar buku sumbangan, menulis nomor telepon kontak warga.

“Fokus dulu,” kata Maya, merapikan garis. “Minggu ini bukan pamer. Minggu ini PR.”

Di hari fokus, rasa ‘pemberontak’ yang biasanya dibanggakan—bahwa mereka bekerja bukan karena izin melainkan butuh—mendadak terasa tak sreg. Energi liar menabrak garis cat.

“Semangatmu menabrak, May,” ujar Kelas hati-hati, “kita setirkan. Bukan dipadamkan, diarahkan.”

Maya mengangguk. “Aku sering mengira kalau cepat itu menang.” Ia menatap huruf yang hampir selesai. “Padahal rapi juga cara cepat yang lain.”

Ia menahan lekas, menahan wacana debat di kepala: keinginan menjawab komentar sinis, melawan yang dianggap salah, membuktikan keraguan orang yang tak pernah datang. Ia memilih yang lain: menggosok, menghapus, menulis ulang.

.

Rabu: Ujian Kesabaran dan Kritik

Rabu, fokus digandakan. Coretan baru—kekesalan remaja atas sesuatu yang hanyalah fase—muncul di dinding. Ada komentar sinis di media sosial: “Siapa yang bayar ini?” “Ngapain tulisan motivasi, mending perbaiki drainase.” “Seni murahan bikin macet.” “Kalau mau berbuat baik jangan diumbar.”

“Instagram mana?” tanya Citra, melotot ponsel dengan unggahan seadanya. “Kita belum umbar apa-apa.”

“Bukan soal diumbar,” sahut Wara sambil memungut gelas berserakan, “ternyata orang tetap menemukan cara untuk letih.”

Madi, yang sempat berhenti merokok dua tahun namun mulai lagi sebulan lalu, menepuk kantong mencari bungkus yang tak ada. “Istirahat? Lima menit?”

“Dua menit,” koreksi Maya. “Kabel belum dirapikan.” Nada tanggung jawabnya membuat semua kembali ke tempat.

Sore, seorang bapak berseragam dinas mendekat. “Izin, ini kegiatan apa?” Nada datar; tanda pengenal kecamatan di dadanya. Di belakang, petugas kebersihan mengangguk-angguk.

“Kegiatan warga,” jawab Madi. “Bersih-bersih, merapikan, bikin tanda.”

“Bikin tanda?” Bapak itu mendekati tulisan “Tarik napas, kamu tidak tertinggal.” Ia menelusuri ujung huruf dengan mata. “Penanggung jawab?”

Maya menatap lurus. “Kami berlima. Kalau harus satu, saya.”

“Surat pemberitahuan?”

Citra menyodorkan selembar kertas yang ia tulis pagi tadi: “Kegiatan Warga: Lorong Bersua. Tujuan: menata visual, pojok baca, bantuan arah, minuman hangat. Waktu: Senin–Jumat minggu ini.” Ada tanda tangan ketua RT. “Kami sudah izin RT. Setelah ini, audiensi ke kelurahan.”

Bapak itu membaca sekilas, wajahnya tak segalak asumsi. “Saya hanya memastikan tidak ada pelanggaran. Kalau mau rapi, rapikan sekalian.” Ia menunjuk poster iklan obat kuat di tiang listrik. “Ini juga perlu dibereskan.”

“Siap,” sahut Madi. “Kami copot sekarang.”

Bapak itu menatap termos Wara. “Itu jahe?”

“Silakan, Pak.”

Ia menyesap. Wajah dinasnya menjadi wajah manusia yang menemukan jeda. “Terima kasih,” katanya, “hati-hati catnya.”

Mereka memahami sesuatu: melawan arus bukan satu-satunya cara menuju seberang. Ada saatnya dayung harus miring, memanfaatkan alur. Di kepala Maya, kalimat itu berupa gambar: perahu kecil bertahan bukan karena keras kepala, melainkan cerdik.

.

Kamis: Gelombang Energi Baru

Kamis datang dengan udara bersih, seolah semalaman kota membuka jendela dan menggoyang debu. Di grup, pesan menyahut cepat: stok cat cukup, kabel rapi, buku sumbangan datang siang, dan pesan dari Citra—“Redaksi rubrik kota tertarik. Mereka kirim fotografer.”

“Kita bukan mau jadi pemberitaan,” kata Maya, separuh gembira separuh khawatir. “Kita mau jadi kebiasaan.”

“Pemberitaan bisa menulari kebiasaan,” balas Citra. “Kalau besok yang datang cuma buat selfie, itu akibat tambahan. Pelan-pelan kita setel. Sekarang, energi ini pakai.”

Dorongan semangat seperti gelombang. Gambar pelangi kecil di Senin menjadi mural tipis mengangkat warna gelap lorong. Tulisan pendek menjadi kalimat bernada cerita. Di satu panel, Kelas menulis: “Yang kamu cari bukan jalan pintas, tapi teman jalan.” Di panel lain, Hamzah menempel peta sederhana yang digambar ulang dengan ikon kecil—warung soto di ujung timur, halte bus ke arah kampus, pintu keluar terdekat ke pasar.

Wara menata “Meja Pelan”: meja kecil tempat orang menaruh/ambil buku. Ada buku puisi lama, roman remaja, manual servis radio, komik lawas. Ia menyelip catatan: “Bawa pulang boleh. Kembalikan lebih boleh.”

Menjelang sore, fotografer koran datang—senyap, profesional, memotret lorong dari sudut yang membuat semua seperti panggung: ibu yang kembali dengan anaknya; petugas kebersihan mengelap kursi; Wara menuang jahe; Madi menaikkan volume saat musik tertelan kebisingan; Kelas menghapus huruf kelebihan; Hamzah menancap plester reflektif terakhir; Maya menatap keseluruhan pekerjaan seperti menatap album keluarga—tak sempurna, tapi utuh.

“Judulnya apa?” tanya fotografer pelan.

“Lorong Bersua,” jawab Citra.

“Bersua sama siapa?”

“Sama diri sendiri yang sering tertinggal,” kata Citra.

“Atau sama orang lain yang selama ini kita lewati,” tambah Maya.

Kamis malam, unggahan di media sosial koran memicu komentar yang kali ini tidak semua sinis. Ada yang menulis, “Lewat situ tiap hari, baru tadi berani baca pelan-pelan.” Ada yang bertanya cara menyumbang buku; menawarkan kursi bekas; menandai teman penyuka puisi; menulis, “Saya jarang pulang lewat situ, tapi besok mau sengaja.”

“Gawai bisa jadi pintu, kalau pintunya menuju lorong yang benar,” gumam Hamzah.

.

Jumat: Perhatian yang Mengalir

Jumat, dorongan menjadi lonjakan. Seorang mahasiswa arsitektur membawa sketsa pencahayaan hemat energi. Seorang pedagang buah menawarkan tiga keranjang jeruk sisa dagangan untuk dibagi gratis. Ibu penjual koran beberapa meter dari lorong berkata, “Saya taruh rak kecil ya, biar orang bisa tukar buku sama koran bekas.” Seorang pejabat kelurahan—bukan bapak berseragam yang kemarin—datang dan berkata, “Kalau mau audiensi, datang Senin. Bawa daftar kebutuhan. Kita lihat apa yang bisa dibantu.”

Citra mengundang teman lamanya, penyiar radio komunitas, untuk siaran kilat dari ujung lorong. “Bukan acara besar,” katanya, “cuma selingan lima menit antara lagu.”

Penyiar itu datang dengan mikrofon, menyalakan transmitter kecil, menyapa: “Selamat sore, kota. Ada yang menarik di lorong kecil dekat stasiun. Namanya Lorong Bersua. Kalau lewat, jangan buru-buru. Ada kalimat yang menunggu dibaca.”

Maya diminta bicara. Ia menolak pidato. “Kami bukan siapa-siapa,” ujarnya, “kami hanya ingin orang luar pulang sebentar ke dalam. Lewat huruf-huruf.” Suaranya bergetar wajar, seperti gitar akustik yang sudah lama dipakai.

Siaran pendek itu meneteskan sesuatu ke udara. Sore menjadi ringan, orang-orang berhenti lebih lama. Seorang kakek berhenti, memegang tangan cucunya, membaca keras-keras: “Terima kasih sudah sampai sejauh ini.” Ia mengulangi kalimat itu—bukan untuk cucunya, entah untuk siapa.

Malam, setelah lampu jalan menyala, Maya duduk di anak tangga lorong. Orang-orang menyeberang seperti mata-mata dari film lama—cepat, entah menuju mana. Hamzah duduk di sebelah, menyalakan kamera aksi dalam wadah transparan. “Biar kita tahu,” katanya, “berapa banyak yang berhenti.”

“Berapa pun, tadi aku lihat ada yang tersenyum.”

“Kadang-kadang, itu sudah metrik.”

Maya tertawa kecil. “Metrik yang sehat.”

.

Sabtu: Menepi dari Keramaian

Akhir pekan tiba seperti jeda musik—bukan keheningan, tapi ruang di mana nada-nada bernapas. Sabtu pagi, grup mereka ramai. Banyak yang ingin bergabung, meminjam nama “Lorong Bersua” untuk kegiatan masing-masing.

Maya membaca, lalu meletakkan ponsel. Ia ingat kalimat yang dipasang Wara di atas meja kecil: “Jangan semua diiyakan, nanti hatimu kelelahan.” Ia ingin mengiyakan semua, seperti biasanya. Namun ia berjanji pada diri: akhir pekan ini menyeberang dari keramaian, lebih dulu menyelamatkan diri agar bisa kembali menyelamatkan yang lain.

Ia berjalan ke pantai kota—bukan yang indah di brosur, tapi pantai air kecokelatan dengan bau asin dan sabar. Ia duduk di beton pemecah ombak, menatap kapal kecil. Ia ingat ayahnya, nelayan yang tak lagi melaut karena asma. Ia ingat ibunya yang menjual nasi pecel di depan SD. Ia ingat dirinya yang dulu sering mengira hidup adalah lomba yang harus selalu dimenangkan.

“Kalau arus deras, jangan dilawan,” suara ayahnya seperti datang dari ujung air. “Belokkan dayungmu.”

Maya menutup mata. Ia tak menyerah. Ia mengarahkan.

Siang, Wara mengirim foto ke grup: seorang anak membaca buku di “Meja Pelan”, kakinya mengayun, bibirnya mengucapkan kata-kata tanpa suara. Madi membalas video pendek: seorang kurir menulis sesuatu di sticky notes lalu menempelnya di dinding kosong kecil. Tulisannya sederhana: “Aku mau pulang lebih awal hari ini.” Kelas melampirkan rekapan buku masuk-keluar; catatan kecil: “Buku puisi paling banyak dibaca.” Hamzah mengirim statistik manual dari kamera aksi: “Rata-rata orang berhenti 6–13 detik. Ada tiga yang berhenti 2 menit.”

Citra, biasanya paling cepat, baru mengirim pesan sore: “Aku off hari ini. Kepala pusing. Besok aku tulis panjangnya.”

Maya tersenyum, lalu menutup ponsel. Ia mandi matahari, kembali ke rumah singgahnya, memasak mi instan yang ditambah tomat dan telur, menyalakan radio kecil warisan Madi. Suara penyiar kemarin terdengar lagi: “Kadang-kadang kita cuma butuh diingatkan, bukan dihakimi. Ada lorong yang melakukannya hari-hari ini.” Maya mematikan radio, tersenyum. Ia sengaja tak ke lorong hari itu—bukan abai, melainkan percaya. Percaya pada Wara yang paham ritme, Madi paham kabel, Kelas paham kata, Hamzah paham cahaya, Citra paham narasi. Percaya pada warga yang mulai melepas curiga.

.

Minggu: Kembali ke Diri, Kembali ke Lorong

Minggu, ia bangun tanpa alarm. Ia membuat daftar kecil—bukan target, melainkan pertanyaan: “Bagaimana jam sibuk tak menghapus jam pelan?” “Bagaimana agar kalimat-kalimat di dinding berputar tema: pekerjaan, kehilangan, belajar, pulang?” “Bagaimana agar pojok baca jadi tempat menyimak cerita, bukan hanya meminjam?” Ia menulis di kertas cokelat, melipat, memasukkan ke saku.

Ia berjalan ke lorong saat matahari condong. Di sana, ia temukan hal baru: pot tanaman lidah mertua di sudut yang kemarin kosong; sebuah sticky notes: “Aku baru diterima kerja, terima kasih atas kalimat-kalimatnya”; tawa dua ibu yang saling memotret; kebersihan yang tak sempurna tapi bukan kacau. Kelas menata buku, Wara menyeduh diam-diam, Madi bercakap dengan pedagang buah tentang cara menaruh keranjang tanpa mengganggu jalan, Hamzah memeriksa lampu, Citra duduk di anak tangga memijat pelipis.

“Pusing?” Maya duduk di sebelahnya.

“Pusing bahagia,” jawab Citra. “Besok, kalau redaksi setuju, aku mau menulis ‘Kota yang Memelankan Kita’.”

“Judulmu panjang.”

“Biar pembaca pelan membacanya.”

Mereka tertawa.

“May,” kata Citra kemudian, lebih serius, “nanti akan ada yang rusak lagi. Akan ada tulisan nyeleneh. Akan ada yang bilang ini gimmick. Akan ada yang bawa kamera besar, ambil gambar kalian, lalu pergi. Akan ada yang bawa nama kalian untuk acara mereka. Akan ada yang memelintir. Siap?”

Maya menatap dinding. “Aku siap kalau kita terus bisa kembali ke Senin.”

“Maksudmu?”

“Senin kita menemukan tujuan bersama. Selasa–Rabu kita melambat, merapikan. Kamis–Jumat kita dapat dorongan, panggung. Setelah itu, akhir pekan bukan untuk menumpuk, tapi untuk pulang ke dalam. Siklus itu berulang. Kalau kita ingat urutannya, kita tidak terseret.”

“Seperti lagu.”

“Seperti napas.”

Mereka diam, menikmati lalu lalang yang kini terasa seperti aliran sungai yang bersahabat.

.

Cerita-Cerita Kecil dari Lorong

Cerita pertama: pemuda kurir yang menempelkan sticky notes “Aku mau pulang lebih awal hari ini.” Esoknya ia kembali, membawa ibunya melewati lorong, memperkenalkan: “Bu, ini tempat yang aku ceritakan.” Ibunya tertawa menahan haru, mengusap pipi anaknya. “Kalau ada tulisan ‘Jangan lupa sarapan’, pasti kamu berhenti lebih lama,” katanya. Mereka duduk sebentar, berbagi jeruk sumbangan pedagang, lalu melanjutkan perjalanan.

Cerita kedua: anak kecil si pelukis pelangi. Ia kembali tiap sore, memastikan pelanginya tak dihapus. Suatu hari ia membawa pensil warna dan menggambar di buku yang disediakan. Ia menggambar kota dengan banyak pelangi kecil tersembunyi di lorong-lorongnya. “Supaya orang yang sedih bisa menemukan warna,” katanya.

Cerita ketiga: kakek pembaca keras. Dua minggu kemudian, ia datang sendiri, tanpa cucu, membawa buku catatan lusuh. Ia menyerahkan buku itu ke “Meja Pelan”. “Ini catatan saya waktu muda. Banyak salahnya, tapi barangkali ada yang bisa tertawa.” Di dalamnya ada cerita pendek, gambar karikatur kasar, daftar mimpi yang sebagian dicoret “sudah”, sebagian dibiarkan kosong.

Cerita keempat: bapak berseragam dinas yang awalnya datang menanyakan izin. Ia kembali dengan wajah lebih cerah, membawa tiga poster pengumuman kelurahan yang selama ini ditempel sembarangan. “Boleh titip di papan informasi?” tanyanya. Madi menyiapkan papan kecil dari tripleks sisa. “Ditata rapi ya, Pak,” kata Kelas. Bapak itu mengangguk. “Kalau rapi, orang lebih hormat,” katanya, seolah mengutip dirinya sendiri.

Cerita kelima: tulisan panjang Citra di rubrik kota. “Lorong Bersua,” tulisnya, “adalah cara kota ini mengingatkan kita bahwa yang paling kita butuhkan terkadang bukan terowongan yang lebih lebar, melainkan kalimat yang lebih dekat.” Ia memasukkan nama-nama tanpa gelar, tanpa heroisme. Ia menceritakan kerja kecil berulang: menghapus huruf kelebihan, mengangkat kursi jatuh, menambah air panas, meminjamkan pulpen. Tulisannya dibaca banyak orang; tidak semua datang, namun banyak membawa ide itu ke lorong masing-masing.

.

Retakan, Pilihan, dan Konsistensi

Suatu malam, tiga panel dicoret-coret dengan kata-kata kasar. Wara menemukannya pagi. Ia tidak marah, hanya letih. Kelas duduk di sampingnya. “Kita yang memutuskan kalimat mana yang tinggal,” katanya. “Bukan malam yang memutuskan.”

Madi mengeluarkan cat putih. “Kita mulai lagi.”

Maya datang terlambat karena semalam menginap di rumah ibunya. Ia menatap lama, menghela napas, lalu berkata, “Ini tanda kita masih hidup.” Hamzah memotret, bukan untuk diunggah, hanya untuk diingat: ada tahap yang harus dilalui, bahkan ketika kita sudah memelankan. Citra menulis catatan untuk dirinya sendiri: “Seni bukan sekadar apa yang dilihat, tapi apa yang diulangi dengan sabar.”

Datang juga tawaran sponsor—perusahaan minuman ingin meletakkan logo di “Meja Pelan”, menyediakan gelas bagus, termos elektrik, honor kecil. Madi sempat setuju. “Kalau logonya besar, ini jadi iklan,” kata Kelas. “Kalau iklan tapi kita bisa terus menyeduh, apa salahnya?” sanggah Madi.

“Kita bukan anti sponsor,” kata Maya. “Kita anti kehilangan napas. Kalau logo lebih besar dari kalimat, jam pelan berubah jadi jam penjualan.”

Akhirnya mereka ajukan syarat: logo kecil di stiker “Peralatan dibantu oleh…”, tanpa poster tambahan, tanpa booth. Perusahaan menolak. Mereka pun menolak. “Setiap keputusan adalah cara kita menulis kalimat di dinding,” kata Citra. “Yang kita pilih akan dibaca orang sebagai nada.”

.

Hujan, Kamera, dan Kejujuran

Musim berganti ke hujan yang rajin, dan Lorong Bersua menjadi tempat meneduh bukan hanya dari air, tapi dari terburu-buru. Pojok baca bertambah koleksi. Panel berganti tema tiap bulan—“Bekerja”, “Belajar”, “Pulang”, “Berduka”, “Memulai Ulang”. Ada satu kalimat tak dihapus sejak hari pertama: “Selamat datang, yang sedang ragu.” Maya mempertahankannya bukan karena ia pencetusnya, melainkan karena paling banyak orang berhenti di sana. “Keraguan pintu yang berisik,” katanya suatu sore, “dan kita perlu meminyakinya.”

Suatu hari, perempuan yang baru kehilangan pekerjaan duduk di anak tangga. Ia menatap kalimat-kalimat seperti menatap peta. Ia menghapus air mata dengan punggung tangan, lalu tersenyum kecil saat melihat: “Kamu tak harus kuat sepanjang hari—bernapas juga pekerjaan.” Ia bangkit, merapikan baju, dan berjalan lagi.

Malam deras, Hamzah memasang kamera untuk melihat apakah lorong ini benar-benar menjadi tempat bersua. Rekaman memperlihatkan hal-hal di luar rencana: kucing belang menjadikan “Meja Pelan” tempat tidur; dua remaja tertawa membaca komik; seorang bapak menurunkan helm, membaca “Terima kasih sudah sampai sejauh ini,” lalu menatap langit-langit lama; dua ibu saling merapikan kerudung; seorang pria bertato memungut sampah seadanya lalu membuang di tempat yang benar. Hal-hal yang jika ditulis mungkin remeh, tetapi jika dilihat justru inti.

“Kamera tak pernah membohongi, tapi manusia sering menipu diri,” ujar Hamzah. “Di sini, keduanya bersuara jujur.”

.

Menulis Ulang Napas Kota

Suatu ketika, redaksi koran meminta Maya menulis kolom pendek. Ia menolak dua kali, khawatir tulisan itu mengubah cara orang melihat—seolah Lorong Bersua karya individu, bukan kerja bersama. Akhirnya ia menulis dengan nama “Lorong Bersua,” menutup kolom dengan dua kalimat yang kini menempel di awal naskah ini.

Kolom itu tak heboh. Namun sebuah sekolah dasar menyalinnya di majalah dinding, kantor kelurahan menempelnya di papan pengumuman, dan seorang mahasiswa yang sedang menyusun skripsi tentang ruang kota mengutipnya tanpa menyebut penulis—persis seperti keinginan Maya.

Akhirnya, yang tertinggal bukanlah kabar besar atau perdebatan siapa berjasa, melainkan kebiasaan: menulis kalimat pendek yang seperti pelukan, memungut sampah yang bukan milik sendiri, menahan diri untuk tidak menjawab semua komentar, dan pada akhir pekan, memastikan diri duduk sebentar, minum hangat, menata ulang napas.

Pada suatu Senin berikutnya—entah bulan ke berapa—Maya membuka grup: “Tujuan minggu ini?” Balasan datang bertubi: “Panel ‘Berduka’.” “Peta jalur bus diperbarui.” “Rak buku anak-anak ditambah.” “Workshop menulis kalimat pelan.” “Lampu tenaga surya.” “Temu warga dengan dinas kebersihan.”

Ia membaca, lalu membalas: “Pilih satu yang paling kita butuhkan bersama. Yang lain menyusul.”

Satu jam kemudian, keputusan muncul seperti lampu menyala berurutan: “Peta jalur bus diperbarui.” Mereka mengingat hari pertama, menyadari bahwa informasi sederhana sering lebih menenangkan daripada slogan paling indah. Senin itu pun mereka menempel peta baru, menulis di bawahnya kalimat yang menjadi semacam kredo: “Yang kamu cari bukan jalan pintas, tapi teman jalan.”

Kota, yang biasanya tergesa, kembali melambat sesaat. Orang-orang berhenti. Ada yang menatap peta dan merasa menemukan pulang yang lebih dekat. Ada yang tersenyum pada kalimat yang mereka tak tahu siapa penulisnya. Ada yang menaruh buku, mengambil jeruk, menempelkan sticky notes kecil: “Terima kasih.”

Tak ada yang sempurna dalam cerita ini. Barangkali ketidaksempurnaan itulah yang membuatnya menyentuh: ia tumbuh bukan karena rencana besar yang mulus, melainkan karena semua orang menyumbang retaknya sendiri, lalu menambalnya bersama.

Begitulah Lorong Bersua: sebuah tempat di kota yang mengajarkan, dengan cara yang tidak berisik, bahwa hidup sehari-hari dapat diperbaiki sedikit demi sedikit. Bahwa bersama bukan berarti mematikan suara pribadi, melainkan menambahkan harmoni. Bahwa hari-hari kita—Senin yang mencari tujuan, Selasa-Rabu yang mengerjakan, Kamis-Jumat yang melonjak, dan akhir pekan yang kembali ke diri—adalah lagu yang, jika dinyanyikan dengan sadar, bisa mengiringi sampai seberang.

Dan kalau pun suatu saat lorong itu pudar, catnya mengelupas, kursinya patah, buku-bukunya hilang, kalimat-kalimatnya dilupakan, barangkali yang tetap tinggal adalah kebiasaan untuk bersua: menyapa orang asing, memelankan langkah, menulis kata-kata yang menenangkan, dan mengarahkan dayung saat arus makin deras.

Sebab kota ini—seperti kita—tidak menuntut diselamatkan sekali jadi. Kota ini hanya minta diingatkan, pelan-pelan.

.

.

.

Jember, 10 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenMinggu #KotaMelambat #LorongBersua #SastraPerkotaan #ArswendoVibes #LiterasiWarga #CeritaIndonesia

Leave a Reply