Kota Tanpa Jendela

“Jangan remehkan langkah kecil yang kita ulangi dengan cinta; di sanalah takdir diam-diam mengukir arah.”

.

Hujan, Jalan, dan Tas Ransel Pudar

Hujan datang seperti kebiasaan lama yang tak pernah benar-benar ingat alasan pulangnya. Di Jalan Gajahmada yang padat, lampu-lampu toko memantul di aspal, menggambar patahan-patahan cahaya seperti kaca pecah. Amir berdiri di bawah kanopi minimarket, merapatkan tas ransel pudar ke dadanya. Di dalam tas itu ada dua kemeja putih, sepasang sepatu hitam yang solnya mulai membuka, dan sebuah buku catatan dengan halaman-halaman penuh coretan: daftar tamu, catatan menu sarapan, jam masuk shift, rencana hidup yang ia tulis dengan huruf tegak miring.

Umam mengirim pesan: “Lu di mana? Interview-nya dimajuin setengah jam.”

Amir menjawab singkat: “On my way.” Ia tak menulis bahwa ongkos ojek online terakhir tinggal dua belas ribu; jarak ke hotel butik tempat wawancara itu tiga kilometer lebih. Hujan begini, siapa yang mau menawar ongkos?

Ia mulai berjalan cepat, menyusuri trotoar yang berlubang, menghindari gerobak bakso dan mobil yang menepi sembarangan. Udara kota berbau serbuk kopi dari kafe, saus kebab yang dipanaskan, dan knalpot yang lelah. Amir membungkus tubuhnya dengan mantel kain tipis, mantel yang dulu dibelinya ketika masih bekerja sebagai guest relation officer di sebuah hotel bintang empat yang sekarang tinggal kenangan. Pandemi telah menyapu, lalu setelahnya manajemen baru datang membawa kata-kata manis yang berakhir pada selembar kertas: “Terima kasih atas dedikasi Anda.”

Ia pernah marah, lalu sedih, lalu hening. Kini yang tersisa tinggal cara berjalan lurus ke depan.

.

Pertemuan Pertama di Jayeng Suites

Hotel tempat wawancara—Jayeng Suites—berdiri di sudut perempatan, cat dindingnya putih pualam, jendelanya kaca besar seperti layar teater. Logo bunga Rengganis yang digambar dengan garis-garis sederhana menempel di dinding luar, menyiratkan sesuatu yang ingin tampak mewah tanpa melupakan tanah asalnya. Amir masuk, sapaan sejuk AC menyusup ke pori-pori.

“Selamat sore, ada yang bisa dibantu?” suara resepsionis perempuan menyapa. Namanya tertera di name tag: Rengganis.

Amir tertegun sepersekian detik pada kebetulan nama itu. “Sore. Saya Amir, ada jadwal wawancara untuk posisi guest experience.”

Rengganis tersenyum, alisnya yang rapi bergerak naik turun. “Silakan duduk, Pak—eh, Mas Amir. HRD-nya, Madi, masih rapat.”

“Terima kasih.” Amir duduk, meletakkan tas di pangkuan. Ia mengamati lobi yang wangi kayu dan teh melati. Di dinding ada foto hitam-putih pasar tradisional, di sudut ada artificial tree dengan lampu-lampu kecil seperti kunang-kunang. Ada kehangatan yang ia kenal; bukan dari interior, melainkan dari cara pegawai berjalan—tidak tergesa, tidak malas—dan dari cara mereka menatap tamu—tidak menunduk, tidak menantang. Ia belajar membaca itu bertahun-tahun.

“Amir?”

Ia menoleh. Seorang lelaki kurus, berkemeja biru, menatapnya sambil tersenyum. “Saya Madi,” katanya, mengulurkan tangan. Genggamannya hangat.

Wawancara berlangsung di ruang rapat kecil di lantai dua, beralaskan karpet abu-abu. Hujan di luar menipis, menyisakan suara serangga di sela-sela mesin pendingin.

“Kami baru buka tiga bulan lalu,” Madi membuka pembicaraan. “Konsepnya urban heritage. Kami ingin menyapa para tamu seperti mengundang mereka ke rumah sendiri.”

Amir mengangguk. “Saya suka konsepnya.”

Madi menatap berkas CV Amir. “Saya melihat pengalaman Anda cukup kuat. Kenapa keluar dari hotel sebelumnya?”

“Restrukturisasi. Posisi saya digabung dengan tim penjualan. Saya tidak cocok di desk job murni.” Amir mengambil napas. “Saya lebih suka berada di lantai, melihat tamu, mendengar napas kota.”

Madi tersenyum samar. “Saya paham. Di sini pun kami mencari orang yang ‘hidup’ di lantai.” Ia menatap Amir lebih lama. “Ada hal yang Anda pegang sebagai prinsip dalam bekerja?”

Amir memutar kalimat yang sudah ia siapkan berkali-kali. Ia ingat pitutur ibunya: “Ngerti-ngrasa-nglakoni.” Mengerti dengan kepala, merasa dengan hati, melaksanakan dengan tangan. Ia mengucapkannya pelan, menerjemahkan: “Saya percaya bahwa kerja terbaik lahir ketika kepala, hati, dan tangan bergerak bersama.”

Madi mengangguk. Di kertas catatannya, ia menulis sesuatu: “consistency.” Lalu menatap Amir lagi. “Anda siap mulai kapan?”

“Sesuai kebutuhan.”

“Bagus. Kami butuh orang yang bisa onboard cepat. Ada satu lagi.” Madi mencondongkan badan. “Di sini kami punya program mentor-mentee. Karyawan senior membimbing junior. Kami sedang mencari satu orang yang nanti bisa jadi mentor untuk trainee. Anda tertarik?”

Amir terdiam. Ia ingat Umam—sahabatnya sejak sekolah perhotelan setara D3—yang kini bekerja serabutan menjadi freelance pemandu wisata dan pengantar logistik malam hari. Umam selalu menyebut Amir ‘Jayeng’, karena katanya Amir punya kebiasaan menenangkan kekacauan seperti tokoh favorit mereka, Jayengrana, pahlawan dalam cerita lama. Amir ingin kelak bisa menarik Umam ke jalur yang lebih stabil. Mungkin ini jalannya.

“Saya tertarik,” katanya.

“Baik,” Madi menutup berkas. “Kami akan kabari sore ini.”

.

Membantu Sebelum Resmi Bekerja

Amir baru hendak turun ke lobi ketika melihat Rengganis mengangkat telepon seolah menahan sesuatu. Wajahnya tegang. Ia bicara pendek, mengangguk, lalu menutup telepon. “Maaf,” katanya pada tamu yang berdiri di depan meja resepsionis, “sedang ada gangguan jaringan. Kami akan proses manual, mohon tunggu.”

Amir berdiri sejenak, mengamati. Seorang tamu pria berusia empat puluh-an dengan koper beroda menatap jam tangan. “Saya ada rapat jam enam. Bisa cepat, Mbak?”

“Baik, Pak. Sebentar.” Rengganis melirik ke komputernya yang freeze. Ia meraih buku registrasi manual. Tangannya sedikit gemetar.

Amir melangkah ke meja resepsionis, menatap Rengganis dan tamu bergantian. “Maaf, boleh saya bantu?” katanya, refleks, seolah lencana karyawan sudah menempel di dadanya. Rengganis memandang bingung, lalu mengenali Amir. “Mas Amir….”

“Pak,” Amir beralih pada tamu, “bolehkah saya bantu ambilkan minuman selagi menunggu? Teh atau kopi? Kami punya house blend.” Ia bicara tenang, mengulur waktu. Tamu itu mendesah, tapi anggukannya keluar juga. “Teh hangat.”

“Dengan gula atau tanpa?”

“Tanpa.”

Amir menoleh pada Rengganis. “Mbak, saya ke pantry, ya?” Rengganis mengangguk, seperti mendapat tali penolong. Amir menyelinap ke belakang, bertanya pada housekeeping lokasi pantry, membuat teh, kembali dengan nampan. Tamu itu minum seteguk, wajahnya melunak. Saat itu, sistem kembali menyala, komputer terhubung. Rengganis mengerjakan proses check-in dengan cekatan. Amir berdiri di samping, siap jika perlu.

“Terima kasih,” kata tamu itu sebelum pergi, “senang lihat staf yang sigap.”

Rengganis menatap Amir, ada kilat terima kasih di matanya. “Padahal Anda belum resmi bekerja di sini.”

Amir tertawa kecil. “Kebiasaan susah hilang.”

Ketika ia hendak melangkah ke pintu, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal:

“Selamat bergabung, Amir. Tomorrow 08.00. –Madi”

Amir menutup mata sesaat. Di luar jendela, hujan reda. Kota memantulkan langit sore seperti kaca yang selesai dilap.

.

Hari Pertama dan Tamu VIP

Hari pertama Amir dimulai dengan jam delapan yang terlalu pagi untuk malam yang sempit. Ia menyetrika kemeja putihnya selagi menutup mata setengah. Kontrakan kamar bertingkat yang ia sewa di daerah Tambaksari hanya cukup untuk kasur tipis, meja kecil, dan gantungan baju. Di bawah kasur ada dua kotak plastik: satu berisi kertas-kertas sertifikat pelatihan, satu lagi berisi surat lamaran yang tak pernah dijawab.

Ia berangkat dengan motor pinjaman—Honda Beat milik Umam—yang suara knalpotnya seperti napas yang dikejar-kejar. Umam menyerahkan motor itu malam sebelumnya, sambil bercanda, “Lu bayar bensinnya saja, Jayeng.” Amir menepuk bahu Umam. “Nanti kalau gue diterima, lu gue tarik ke hotel, magang dulu.” Umam tertawa, tawa yang separuh percaya, separuh ingin percaya.

Di Jayeng Suites, Amir disambut Madi yang langsung mengajaknya tur area. “Kita kecil, hanya 68 kamar,” kata Madi. “Tapi kita ingin jadi besar di ingatan tamu.”

Di pantry, barista laki-laki berambut keriting—namanya Sapo—mengajarkan Amir menu welcome drink: rosella cold brew. “Biar tamu ingat warna,” kata Sapo. “Dan rasa.” Di housekeeping, seorang perempuan setengah baya bernama Rara menunjukkan cara timnya melipat koran sebagai alas sepatu tamu, kebiasaan lama yang ia pertahankan. “Tamu alergi debu? Kita punya hypoallergenic spray.” Di sales office, poster promo workation menempel: “Bekerja tenang, kota yang mendukung.” Amir menghafal detail; hal-hal kecil favoritnya.

Menjelang siang, ia mendapatkan pesan dari Rengganis: “Pak Madi minta Mas Amir dampingi tamu VIP yang datang sore.” Amir mengangkat kepala. Tamu VIP? Sudah sejak lama ia tidak menangani tamu penting. Ia merasakan debar kecil—campuran rindu dan takut.

Tamu itu, ternyata, seorang pengusaha makanan cepat saji yang hendak membuka puluhan gerai baru di kota-kota besar. Namanya Hamzah—tinggi, berkemeja putih, senyum hemat. Ia datang dengan tim kecil dan koper carry-on yang bergulir sunyi di lantai lobi.

“Kami butuh early check-in,” ujar salah satu asisten.

“Siap,” Amir menanggapi, seluwes mungkin. “Kami siapkan kamar yang ready.” Ia mengatur prioritas housekeeping, menelpon Sapo untuk menyiapkan rosella yang lebih ringan manisnya. Lalu ia sendiri mengawal mereka naik lift.

Di dalam lift, Hamzah menatap pantulan mereka di dinding stainless. “Anda baru di sini, ya?” tanyanya.

“Baru sehari.”

Hamzah mengangguk. “Anda terlihat lama.”

Kalimat itu menggantung seperti jembatan yang mulai disusun. Amir menangguk sopan. “Semoga saya bisa terasa lama dengan cepat.”

Kamar tempat Hamzah menginap menghadap ke kali yang mengalir malas. Di kejauhan tampak gedung-gedung baru yang bertebaran seperti balok mainan. Amir memeriksa suhu AC, posisi bantal, dan menanyakan preferensi sarapan. Hamzah memperhatikan.

“Terima kasih,” kata Hamzah ketika semua selesai. “Saya pernah percaya hotel hanyalah tempat tidur bersih dan sarapan. Tapi belakangan saya sadar, hotel juga tempat di mana seseorang bisa memulai hari dengan perasaan dimengerti.”

Amir menahan senyum. “Kami mencoba.”

Saat ia keluar kamar, ponselnya kembali bergetar. Umam: “Gue diterima jadi kurir malam. Mulai jam 7 malam sampai subuh. Doain.” Amir mengetik singkat: “Mantap. Jaga badan.” Lalu ia menyelipkan ponsel, menata napas, dan kembali ke lobi.

.

Malam Sibuk dan Air Panas yang Mati

Malam itu, Jayeng Suites sibuk. Restoran di lantai dasar penuh. Sebagian tamu adalah expat, separuhnya keluarga dari luar kota yang datang untuk acara kelulusan. Amir menyapu pandangannya, memastikan tak ada kursi kosong terlalu lama, tak ada gelas menunggu isi terlalu lama. Ia berjalan ke arah meja yang menunggu bil, menepuk pelan punggung kursi, menanyakan rasa makanan. Ia tak melihat penilaian digital, tetapi menghafal wajah-wajah yang barangkali nanti menulis ulasan.

Ketika ia kembali ke bar, Rengganis menarik lengannya pelan. “Mas Amir, tolong,” suaranya rendah, “ada komplain di kamar 603. Air panasnya mati.”

Amir menatap jam. Pukul delapan lewat. “Saya ke atas.”

Ia mengetuk kamar 603. Seorang perempuan muda, wajahnya letih, membuka pintu. “Saya sudah telepon dua kali. Anak saya kedinginan,” katanya, menunjuk bocah laki-laki berusia tujuh tahun yang duduk di ranjang, merapatkan handuk ke bahu.

“Maafkan kami,” Amir menunduk. “Boleh saya cek sebentar?” Ia masuk, memutar keran. Air keluar hangat—lalu dingin. Ia menelpon teknisi. “Fajar, ke 603 sekarang.” Pada si ibu dan anaknya, ia berkata, “Sebentar, Bu. Kami perbaiki. Sambil menunggu, kami antar cokelat panas untuk adik.” Mata si anak menyala kecil. Si ibu menarik napas, setengah lelah, setengah lega.

Sepuluh menit kemudian, Fajar datang dengan kotak alat, membuka panel kecil di bawah wastafel, memeriksa aliran. “Air mixernya macet,” katanya, “kena kerak.”

“Bisa malam ini?”

“Bisa.”

Amir menatap si anak. “Tunggu sebentar, ya.” Ia turun ke dapur, meminta Sapo membuat cokelat panas, mengantar ke kamar. Saat ia kembali, Fajar sudah membereskan. Air panas kembali mengalir. Si ibu menatap Amir. “Terima kasih. Saya capek sekali hari ini.”

Amir menunduk. “Semoga malamnya lebih baik.”

Di lift, Amir melihat wajahnya sendiri di cermin: ada letih, ada sesuatu yang lain—sebuah rasa berguna yang sederhana.

.

Ritme Hotel dan Lahirnya Mentor-Mentee

Hari berganti hari, kota terus membesar di luar jendela. Amir belajar ritme baru Jayeng Suites; setiap hotel punya ritmenya seperti tubuh. Pagi diisi sarapan yang terburu, siang agak lengang, sore ramai oleh tamu bisnis yang pulang, malam penuh cerita: pasangan yang merayakan ulang tahun, anak-anak yang berlari di lobi, karyawan yang saling menyelipkan lelucon. Amir mencatat feedback kecil, merevisi SOP tanpa mengubah akarnya: tamu diundang, bukan diarahkan.

Program mentor-mentee dimulai dua minggu kemudian. Amir ditugaskan membimbing dua trainee: Arum, mahasiswi pariwisata yang riang; dan Jakfar, pemuda dari pinggir kota yang sehari-hari membantu ayahnya di warung soto. Keduanya canggung di awal, tapi punya mata yang ingin belajar. Amir memilih metode sederhana: satu jam teori per hari, sisanya praktik langsung. Ia mengajari mereka cara membaca gestur, cara menakar jeda sebelum menawarkan bantuan, cara menyusun kalimat yang menenangkan tanpa terdengar menyepelekan.

“Lihat mata tamu,” katanya suatu siang kepada Arum di lobi. “Kalau tatapannya sibuk menyapu ruangan, mungkin ia mencari sesuatu. Jangan tanya, ‘Ada yang bisa dibantu?’ karena itu terlalu luas. Tanyakan, ‘Mencari toilet atau ruang rapat, Kak?’ Pilihan yang sempit membantu tamu merasa dipahami.”

Arum mengangguk, mencatat. Jakfar berdiri di samping, mendengarkan. Amir menoleh padanya. “Kamu bukan orang yang banyak bicara ya?”

Jakfar tersenyum malu. “Biasa di dapur, Mas. Ngupas bawang.”

“Kerja di lobi juga butuh ‘mengupas’,” Amir berkelakar. “Mengupas suasana.”

Mereka tertawa tipis. Amir merasa sesuatu menghangat di dadanya: rasa yang dulu ia kenal ketika pertama kali diberi kepercayaan memimpin shift.

.

Ancaman Evaluasi Investor

Di tengah ritme itu, kabar buruk datang seperti angin yang membuat daun pintu berderit. Manajemen mengabarkan bahwa investor utama Jayeng Suites—Hamzah—akan melakukan evaluasi kinerja menyeluruh. Hasilnya menentukan perpanjangan anggaran. “Kita perlu angka,” kata Madi di rapat, suaranya tenang tetapi tidak bisa menyembunyikan tekanan. “Tingkat hunian naik, review bagus. Tapi cashflow ketat. Kita harus membuktikan program guest experience berdampak pada pendapatan.”

Amir mendengarkan. Kata-kata tentang pendapatan selalu membuatnya waspada; ia tahu sebuah hotel bisa kehilangan jiwanya saat mengejar angka. Namun ia juga tahu bahwa jiwa butuh tubuh untuk tinggal. Ia mengusulkan sesuatu: “Mari kita buat program Weekday Small Joys. Bukan diskon, tetapi nilai tambah yang terasa. Late checkout untuk tamu yang memesan langsung, complimentary kelas hand brewing di pagi hari, dan city walk singkat di sore hari—gratis, pemandunya staf kita. Tamu akan menulis tentang itu.”

Madi menatapnya. “Biayanya?”

“Minim. Kita gunakan apa yang kita punya: kaki, cerita, dan ketulusan.”

Rapat hening sejenak. “Oke,” kata Madi, “ujicoba seminggu.”

Program itu dijalankan dengan sederhana. Sapo mengajarkan tamu cara menyeduh kopi dengan V60 sambil bercerita singkat tentang kopi pesisir. Amir memimpin city walk menyusuri gang kecil menuju pasar bunga; ia mengajarkan Arum dan Jakfar menandai momen-momen bercerita: bau pandan dari penjual kue, suara tukang patri yang berkumandang nyaring, ibu-ibu yang menawar melati. Ia tidak mengarang; ia hanya menyorotkan lampu ke hal-hal yang selama ini ada.

Tamu menulis ulasan. Kata-kata “hangat”, “kecil tapi bermakna”, “diingat” muncul berulang-ulang. Tingkat hunian weekdays naik lima persen. Madi mengirimkan grafik ke grup manajemen. Hamzah membalas dengan emoji jempol dan satu kalimat: “Lanjutkan.”

.

Luka Kecil untuk Mengingat Arah

Malam itu, Amir duduk di tangga darurat, menatap deretan lampu apartemen di kejauhan yang berkedip seperti bintang yang bosan. Ia menerima pesan dari Umam: “Gue kecelakaan kecil. Ga parah. Motor lecet. Ntar gue ceritain.” Amir mengernyit. “Lo di mana?” “RS dekat Tanjung. Udah aman. Cuma lutut.” Amir menutup mata, memanggil taksi, menuju rumah sakit. Di perjalanan, ia memperhatikan wajah-wajah yang tidak ia kenal di lampu merah: seseorang membawa kotak pizza, seseorang memeluk helm bising. Kota adalah kapal besar yang melaju tanpa banyak tahu siapa yang jatuh dari geladak.

Umam duduk di kursi tunggu dengan lutut dibalut. “Cuma luka gores,” katanya, tertawa kecil. “Jangan kayak ibu-ibu.”

“Lo kerja sampai jam berapa?”

“Subuh.” Umam menatap Amir. “Tapi gue kepikiran tawaran lu: magang di hotel.”

Amir menahan senyum. “Serius?”

Umam mengangguk. “Gue capek jadi bayangan.” Ia menunjuk lututnya. “Kadang kita perlu luka dikit buat ingat arah.”

Amir menepuk bahunya. “Gue omongin ke Madi.”

.

Malam Sunyi dan Pesan tentang Karakter

Madi setuju menampung Umam sebagai trainee. “Kita lihat tiga bulan,” katanya. Umam masuk dengan rambut klimis dan sepatu pinjaman Amir. Di hari pertama, ia salah menyebut nomor kamar, kepleset di back corridor, tenggelam dalam istilah-istilah seperti up-sell dan turn-down. Tetapi ia bergerak dengan matanya—mata yang mencari belajar. Amir melihat dirinya sendiri dulu di mata itu.

Suatu malam, saat Amir dan Umam menjalani night audit, telepon lobi berdering. Suara di ujung sana berat, menahan marah. “Saya Hamzah. Saya kembali nanti malam. Tolong siapkan ruang rapat kecil untuk besok pagi, jam tujuh. Ada pertemuan tertutup.”

Amir menulis catatan. “Siap, Pak.”

Pukul dua dini hari, hujan turun lagi, deras. Lobi sepi. Umam menyeduh kopi drip di bar kecil. “Gue suka ketenangan jam segini,” katanya. “Kota kayak berhenti menarik napas.”

Amir menatap keluar jendela. “Kita juga sebaiknya tarik napas.”

Ketika jarum jam hampir menyentuh empat, pintu lobi berderit. Hamzah masuk, basah oleh gerimis. Wajahnya tegang. “Maaf,” katanya singkat. “Saya butuh kunci cadangan untuk ruang rapat.”

Amir menyerahkan kunci, menawarkan handuk kecil. Hamzah mengangguk. Ia menatap lobi yang kosong, lalu berbalik menuju lift.

“Kamu yang usulkan Small Joys?” tanya Hamzah tiba-tiba, menghadap Amir lagi.

Amir ragu sesaat, lalu mengangguk. “Ide tim, Pak. Saya hanya merangkainya.”

Hamzah memandangnya lama, seolah hendak menembus kulit. “Jangan hilangkan karakternya,” katanya akhirnya. “Angka bisa dicapai dengan jalan pintas. Tapi karakter—itu yang membuat orang kembali.”

Amir menahan napas. “Kami pegang itu.”

Hamzah menghela napas panjang. “Anak saya pindah sekolah,” katanya tiba-tiba, kalimat yang tidak berhubungan—tapi di kota, berita pribadi sering keluar lewat celah yang tak diduga. “Dia bilang ‘Tempat baru tak punya teman.’ Saya bilang, ‘Teman itu dibangun dari gestur kecil yang diulang.’” Hamzah menatap Amir. “Kamu seperti itu.”

Amir terdiam. Setelah Hamzah pergi ke lift, Umam berbisik, “Bos lu puitis juga.”

Amir terkekeh, tapi matanya hangat.

.

Small Joys Menjadi Budaya

Waktu bergerak seperti roda gigi jam yang tak terlihat. Jayeng Suites bertahan melewati masa evaluasi. Cashflow membaik perlahan, bukan karena diskon besar atau kampanye iklan mencolok, melainkan karena tamu mulai datang melalui kabar dari mulut ke mulut. Small Joys menjadi kebiasaan; city walk dikembangkan bekerja sama dengan komunitas fotografi lokal. Arum belajar menjadi pemandu kecil yang fasih berceritera tentang arsitektur era 60-an; Jakfar menemukan gaya sendirinya dalam menyambut tamu—singkat, tepat, dengan senyum yang tidak menyisakan sisa.

.

Sepatu Baru untuk Langkah yang Tak Terdengar

Pada suatu sore, Rengganis memanggil Amir ke ruang loker. “Ada paket untukmu.” Di dalam kotak karton, Amir menemukan sepasang sepatu hitam baru—model sederhana, solnya tebal, ukurannya pas. Ada kartu kecil: “Untuk langkah-langkah yang tidak terdengar, tapi diingat.” —R. Amir merasakan sesuatu bergerak di dada, kombinasi rasa canggung dan syukur. Ia menatap Rengganis yang berdiri setengah menghindar. “Terima kasih,” katanya.

Rengganis mengangkat bahu, tertawa kecil. “Jangan disyukuri sampai nangis, ya. Itu hasil patungan teman-teman. Sepatu lu udah minta pensiun.”

Amir menunduk, memandangi sepatu lamanya yang retak. “Mereka punya lidah sendiri,” katanya.

.

Krisis Rating dan Peredam Api

Namun kota, seperti laut, menyimpan badai yang tak bisa kita tebak. Suatu malam, berita tersebar cepat lewat grup WhatsApp karyawan: salah satu tamu mengalami keracunan makanan setelah makan malam di luar hotel. Tamu itu menginap di Jayeng Suites. Ia menulis keluhan di media sosial, menyebut nama hotel dalam kalimat yang kabur tapi tajam. Komentar-komentar mulai berdatangan—sebagian mencemooh, sebagian menghakimi. Dalam hitungan jam, rating hotel turun setengah bintang.

Rapat darurat diadakan. Madi tampak pucat. “Kita harus merespons. Kita tidak bisa menuduh restoran lain, tapi kita juga tidak bisa diam.”

Amir mengangkat tangan. “Saya akan temui tamunya. Minta kronologi. Tawarkan bantuan medis, biaya transport. Kita fokus pada empati dulu, fakta menyusul.”

Madi mengangguk.

Amir menemui tamu yang dimaksud—seorang influencer kuliner bernama Rara (bukan housekeeping Rara). Rara berbaring di kamar 405, wajahnya masih pucat. “Saya menulis karena pengikut saya menanyakan kenapa saya tidak hadir di acara pagi,” katanya, nada suaranya defensif. “Saya tidak menyalahkan hotel. Tapi saya menyebut lokasi menginap agar orang tahu jadwal saya.”

Amir mendengarkan tanpa menyela. “Terima kasih sudah jujur,” katanya setelah Rara berhenti. “Kami akan bantu. Ini tim medis yang bekerja sama dengan hotel. Biaya kami tanggung. Dan jika Anda berkenan, setelah membaik, kami ingin mengundang Anda ‘city walk’ singkat untuk udara segar. Tanpa promosi.”

Rara menatap, ragu. “Kalian tidak marah?”

Amir menggeleng. “Kami lebih ingin Anda sembuh dan cerita yang keluar nanti adil bagi semua pihak.”

Rara terdiam, lalu mengangguk. “Baik.”

Keesokan harinya, Rara memutakhirkan unggahan: “Terima kasih Jayeng Suites, cepat tanggap dan manusiawi. Keracunan dari makanan jalanan, bukan hotel. Tetap salut dengan timnya.” Rating perlahan kembali.

Di back office, Umam merengkuh leher Amir dari belakang. “Gile. Lu bukan cuma Jayengrana, lu juga peredam api.”

Amir tersenyum. “Api perlu ditaruh di dapur, bukan di lobi.”

.

Definisi Sukses Versi Trotoar

Waktu terus menabuh desisnya. Umam semakin luwes. Ia menemukan kebahagiaan kecil dalam merapikan lembar pendaftaran, dalam menempelkan sticker housekeeping di kartu kunci, dalam menyapa tamu yang datang terlalu malam dengan suara rendah. Ia tak lagi menjadi bayangan. Ia memiliki bentuk.

Suatu malam, selepas late shift, mereka berdua duduk di bangku trotoar depan hotel, memandangi mobil yang mengalir seperti kalimat-kalimat panjang.

“Gue dulu kira sukses itu ketika semua orang tahu nama kita,” ujar Umam tiba-tiba. “Sekarang gue mikir, mungkin sukses itu ketika orang pulang dengan perasaan ringan karena kita ada, meski kita tidak disebut.”

Amir menatap langit kota yang pucat. “Pitutur lama bilang: urip iku urup—hidup itu menyala, menerangi.” Ia berhenti sebentar. “Yang penting tetap menyala, meskipun tak selalu terlihat.”

Umam mengangguk. “Kayak lampu darurat.”

“Kira-kira begitu.”

.

Ulang Tahun Pertama dan Mentor Walk

Ketika musim kemarau datang, kota berubah warna. Langit menjadi biru kertas, daun-daun pohon perindang retak suara. Jayeng Suites mengadakan ulang tahun pertama. Acara kecil di lobi: ada kue lapis legit yang dipotong hampar, ada kukis bertuliskan huruf J, ada musik akustik. Tamu-tamu loyal diundang; di antara mereka ada Hamzah, datang tanpa banyak pengawal.

Di akhir acara, Madi memberikan sambutan. Ia menyebut angka—tingkat hunian yang sekarang di atas rata-rata kawasan, ulasan yang konsisten tinggi, pertumbuhan pendapatan yang stabil. Lalu ia menatap Amir. “Ada satu hal yang tidak bisa saya ubah menjadi angka,” katanya. “Itu adalah cara tim ini membuat tamu merasa pulang.”

Mata Amir basah seketika, tak tahu harus diletakkan di mana. Rengganis berdiri di sampingnya, menyikut pelan. “Jangan malu,” bisiknya.

Hamzah maju ke depan. “Saya datang sebagai investor, tapi malam ini saya ingin bicara sebagai tamu,” ujarnya. “Saya sering tinggal di hotel, dari yang termewah sampai yang paling sederhana. Saya belajar satu hal: kemewahan itu bukan jumlah bantal, melainkan jumlah perhatian.” Ia menoleh pada Amir, kemudian pada tim. “Teruskan Small Joys. Dan mari kita buat satu program lagi: Mentor Walk. Karyawan senior membimbing warga sekitar yang ingin belajar kerja perhotelan, seminggu sekali. Bukan magang, bukan kontrak—belajar saja. Kita mulai dari anak-anak warung, dari sopir ojek pangkalan, dari mereka yang ingin pindah arah.”

Ruang lobi hening, lalu tepuk tangan meletup. Amir memandang Umam yang berdiri di belakang, mata sahabatnya berkaca-kaca. “Kayaknya gue termasuk warga sekitar,” bisik Umam, tertawa dengan suara yang pecah.

Seusai acara, Amir menulis satu kalimat di buku catatannya: “Kebaikan jika diulang menjadi budaya.” Ia menutup buku, menatap jendela. Lampu kota berkedip-kedip seperti bahasa morse yang tidak akan pernah sepenuhnya kita mengerti, tetapi kita percaya maksudnya baik.

.

Cerita yang Diseduh dengan Sabar

Program Mentor Walk dimulai di awal bulan berikut. Tiga belas orang datang pertama kali: dua remaja putus sekolah, seorang ibu yang suaminya sakit, seorang mantan satpam yang bosan dengan malam, dan seorang pemuda bernama Jayeng yang tinggal dua gang dari hotel. Amir memandu sesi pertama di lobi. Ia menjelaskan etika dasar: menyapa, melihat, mendengar. “Tidak semua tamu ingin dibantu,” katanya. “Tapi semua tamu ingin dihormati.”

Mereka diajak mengamati. Melihat cara Rengganis menundukkan kepala setengah ketika tamu marah; cara Sapo mengangkat gelas dengan tangan tak berbunyi; cara Arum mengiringi city walk tanpa memaksa tamu mengambil foto. Mereka belajar bahwa kerja layanan bukan pekerjaan rendahan—ia pekerjaan seni, dengan medium manusia.

Jayeng—pemuda dari dua gang itu—mendekati Amir sesudah kelas. “Mas,” katanya malu-malu, “kenapa Mas tetap ada di sini? Kan bisa saja Mas pindah ke hotel yang lebih besar.”

Amir menatapnya. Di wajah Jayeng, ia melihat versi kecil dirinya: mata yang bertanya apakah ia cukup. “Karena di sini, saya bisa menjadi besar tanpa harus tinggi,” jawab Amir akhirnya. “Mengerti?”

Jayeng mengangguk ragu. “Mungkin sebentar lagi.”

“Tidak apa-apa.” Amir tersenyum. “Alon-alon asal kelakon.

.

Suatu sore, saat city walk, rombongan kecil berhenti di jembatan yang menyeberangi kali. Air kali memantulkan langit kemarau yang cemerlang. Di sebelah, penjual es cincau mengaduk gulanya yang pekat. Anak-anak kecil berlari, mengusir merpati di dermaga kayu. Amir berdiri di tepi, membiarkan angin mengibaskan ujung kemejanya.

Rengganis berdiri di samping. “Kadang saya iri sama kamu,” katanya tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Kamu bisa mengubah hal biasa menjadi cerita. Saya hanya melihat orang pulang kerja dan anak bermain. Kamu lihat ritme.”

Amir menghela napas, mengingat kata-kata ibunya dulu: “Ngerti, ngrasa, nglakoni.” “Cerita itu seperti teh,” ujarnya. “Airnya sama, tapi rasa muncul ketika kita sabar menyeduh.”

Rengganis tertawa, menyentuh lengan Amir sekilas. Ada sesuatu yang menggantung di udara—bukan janji, bukan juga penjelasan—lebih seperti pengantar sebuah kalimat yang belum menemukan titik.

.

Perpisahan Tanpa Drama

Waktu melengkung pelan. Di tengah rutinitas yang melambai-lambai, Amir menerima telepon dari nomor tidak dikenal. Suara di seberang telpon lirih, lelah. “Pak Amir?”

“Ya.”

“Saya Rara—bukan influencer, housekeeping.” Rara yang setengah baya, yang mengajarkan hypoallergenic spray. “Saya mau izin resign. Suami saya sakit, anak saya merantau. Saya harus pulang kampung.”

Amir termangu. “Bu, kami bisa atur cuti panjang. Jangan resign dulu.”

“Terima kasih, Pak. Tapi saya pindah menetap. Terima kasih selama ini. Saya belajar bahwa kerja juga tempat orang belajar menjaga martabat. Aja dumeh, kata orang Jawa. Terima kasih karena di sini orang tua seperti saya tidak dipandang sisa.”

Amir menekan dadanya. “Kami yang terima kasih, Bu.”

Setelah telepon ditutup, ia duduk lama di ruang loker. Kadang hidup memintamu merelakan hal baik tanpa alasan yang dramatis. Ia menulis nama Rara di halaman kecil buku catatannya, memberi garis bawah. Di sampingnya, ia menulis sebuah kalimat: “Kita menyala bukan untuk selamanya, tapi untuk meneruskan sinar.”

Malam itu ia mengantar Rara sampai halte bus. Umam ikut. Mereka bertiga berdiri di bawah lampu jalan yang memantul di genangan sisa hujan sore. “Titip pesan buat semua,” kata Rara, “jangan pernah meremehkan pekerjaan yang membuat orang lain pulang dengan tenang.”

Bus datang, menelan Rara dalam lampu kuning yang pudar. Amir menatap punggungnya sampai hilang. Umam menggigil kecil. “Gue benci perpisahan,” katanya.

“Semua perpisahan punya sisa-sisa yang berguna,” jawab Amir.

“Apalagi?”

“Ruang untuk rindu.”

Umam mengernyit. “Lu, ya, puitis mulu.”

Mereka tertawa pelan, dengan rasa yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan.

.

Tawaran Cabang Baru di Kota Pelabuhan

Musim hujan kembali. Pagi itu, Amir membuka jendela kamar kontrakannya. Bau tanah basah naik seperti rahasia yang tak habis diceritakan. Ia membaca berita di ponsel: kota ini akan membangun jalur pejalan kaki baru, taman-taman kecil di sudut-sudut. Ia memikirkan city walk yang akan lebih nyaman; ia memikirkan tamu-tamu yang akan tertawa ringan di kursi-kursi taman; ia memikirkan anak-anak yang akan memetik bunga dengan hati-hati. Ia memikirkan betapa kota tak pernah selesai, tapi bisa diperbaiki dari detail.

Di hotel, Hamzah mengundangnya bertemu sebentar. “Kami mendapat tawaran franchise untuk membuka cabang kedua,” katanya. “Di kota pelabuhan. Saya ingin tim ini yang memulai.”

Amir menahan napas. “Itu kabar besar.”

“Besar tapi rapuh,” balas Hamzah. “Saya butuh kamu di sana tiga bulan pertama. Melatih tim, menyiapkan Small Joys, Mentor Walk. Setelah itu kamu boleh kembali.”

Amir memandang lobi yang sudah akrab, tangga spiral yang mengkilat, meja resepsionis dengan bunga segar. Ia memikirkan Rengganis, Umam, Arum, Jakfar, Madi, Sapo. “Kalau saya pergi, mereka siap?”

Hamzah menepuk bahunya. “Mereka siap karena kamu pernah ada.”

Amir menghela napas, lalu mengangguk. “Baik.”

.

Pergi dengan Pitutur

Malamnya, ia duduk di tangga darurat lagi, ketukan hujan seperti jari-jari di pagar besi. Rengganis duduk di sampingnya, membawa dua gelas rosella hangat. “Kamu akan pergi?” tanyanya.

“Sebentar saja.”

“Sebentar bisa terasa lama.”

Amir menatap cairan merah dalam gelasnya. “Kamu tahu, Ganis,” ia jarang memanggil namanya seakrab itu, “ada satu pitutur yang selalu saya ingat: Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Pergi tanpa rombongan, menang tanpa merendahkan. Saya ingin pergi dengan cara itu—mengokohkan yang ada, tanpa menuntut sorak-sorai.”

Rengganis menatapnya. “Saya menunggu cerita ketika kamu kembali.”

“Kamu akan punya cerita juga,” balas Amir. “Kota itu, dan kita ini, tak pernah kehabisan.”

Mereka terdiam, meminum rosella sampai hangatnya tinggal bekas.

.

Pesan di Saku dan Langkah ke Depan

Hari terakhir sebelum Amir berangkat, Jayeng Suites tampak seperti biasa. Tidak ada upacara. Hanya satu hal kecil: Umam menyelipkan sehelai kertas di saku Amir. Di dalamnya, tulisan tangan Umam—kaku tapi berani:

“Kita mungkin tidak setinggi gedung-gedung itu, Jayeng. Tapi kita bisa jadi jendela tempat orang melihat kota dengan hati yang lebih tenang.”

Amir menatap kertas itu lama, mengulang kalimatnya dalam hati sampai menjadi doa. Ia menyimpan kertas itu di buku catatannya, di halaman yang kosong—halaman yang akan diisi cerita kota pelabuhan.

Sebelum keluar lobi, ia berbalik sebentar. Rengganis berdiri di meja resepsionis, mengangkat kepala, mengirim senyum yang tidak berlebihan, tidak juga singkat. Di sekeliling, suara koper, derak pintu, tawa di bar, langkah-langkah menuju lift—semua seperti musik kecil yang selama ini ia hafal.

Amir menundukkan kepala pada semuanya—pada kota, pada kerja yang membuat manusia saling bersinggungan dan, semoga, saling menghormati. Ia melangkah ke luar ketika hujan mulai merintik, memeluk tas ranselnya yang sekarang terasa lebih ringan. Jalanan memantulkan lampu-lampu, mengubah kota menjadi sungai cahaya yang bergerak ke satu arah: ke depan.

Di trotoar, ia mengulang pelan kalimat yang ia tulis di awal tahun, kalimat yang kini terasa seperti bukan lagi miliknya: “Jangan remehkan langkah kecil yang kita ulangi dengan cinta; di sanalah takdir diam-diam mengukir arah.”

Ia berjalan, dan kota, seperti biasa, membuka payungnya.

.

.

.

Jember, 10 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#CerpenKompasStyle #KotaIndonesia #Hospitality #PituturJawa #Humanisme #Mentorship #SmallJoys #CeritaPerkotaan

Leave a Reply