Pagar yang Menumbuhkan

“Batasan bukan tembok dingin, melainkan pagar kebun.
Agar bunga tidak diinjak, dan agar dirimu tahu apa yang sedang kamu rawat.”

.

Hujan turun tipis—benang-benang kaca yang ditarik pelan dari langit. Lampu jalan di Jembatan Suramadu berjajar rapi, memantulkan cahaya kuning pada permukaan laut yang mengerut seperti dahi menahan rahasia. Di kejauhan, Surabaya berkilau; kota yang tidak pernah tidur, juga tidak pernah pura-pura lupa pada yang lemah.

Jayeng berdiri di tepi trotoar, payung hitamnya dipukul angin, jaket tipisnya gagal menahan gigil. Tapi bukan dingin yang membuatnya gemetar. Di kepalanya, kalimat itu memutar seperti piringan hitam yang retak namun enggan berhenti.

“Kamu baik, kamu royal, kamu peduli. Tapi kamu selalu bertemu dengan orang-orang yang tak pernah tahu cara menghargai.”

Retna mengucapkannya sore tadi, suaranya lembut namun sampai ke tulang. Retna bukan tipe yang memarahi. Ia menatap lurus, senyum tipis, lalu menulis di secarik kertas, kalimat yang kemudian akan mengubah cara Jayeng menata hidup: pagar, bukan tembok.

Malam mengental. Di bawah jembatan, kapal nelayan berderik, lampu-lampu kecilnya seperti doa yang sedang belajar mengeja. Jayeng menutup payung, merasakan air merambat dari rambut ke tengkuk. Ia ingat masa kecilnya—gang sempit, bau ikan asin, suara ibu memanggil nama yang diberi dari kisah lama: Jayengrana, disingkat menjadi Jayeng, agar jiwanya tetap tangkas meski jalannya sering melewati lumpur.

.

Jejak dari Gang Sempit

Tambak Wedi selalu bangun lebih pagi daripada matahari. Di sana, laut adalah jalan raya tanpa marka; orang-orang melintas di atasnya dengan perahu dan harapan. Mayang, ibunya, membuka warung nasi di teras rumah. Ayahnya, Madi, sopir truk lintas pulau, pulang hanya saat kalender menutup bulannya.

Suatu malam, listrik padam. Mereka bertiga makan tempe goreng di teras dengan penerangan lilin. Mayang menatap anaknya, wajahnya separuh keemasan, separuh gelap.

“Orang baik itu bukan yang selalu memberi, Nduk… eh, Le,” ia terkekeh, membetulkan panggilan, “Orang baik itu yang tahu kapan berhenti, supaya bisa memberi lagi besok.”

Waktu itu, nasihat itu hanya lewat. Bagi bocah, kebaikan adalah sungai tanpa bendungan. Bagaimana mungkin memberi bisa salah? Ia belum tahu bahwa sungai bisa mengikis tebing, menenggelamkan ladang, dan menghanyutkan rumah.

.

Panggung Kota dan Bayang-Bayang

Tahun-tahun melingkar cepat. Jayeng kuliah dengan beasiswa, lulus, dan pindah ke Surabaya. Kota menyambutnya dengan aroma kopi di co-working space Senopati, notifikasi dari ponsel yang tidak pernah putus, dan jalanan yang menceritakan ambisi orang-orang lewat klakson.

Ia bekerja sebagai perancang program untuk sebuah yayasan urban. Dari meja panjang penuh kabel charger, ia belajar memotong mimpi jadi rencana kerja, memadatkan empati jadi proposal. Di sana ia bertemu Umar—mantan jurnalis yang percaya bahwa data adalah hati nurani kedua.

“Kebaikan butuh format,” kata Umar. “Kalau tidak, ia akan jadi perasaan kosong yang gampang dipakai orang.”

Umar mengajarinya menulis anggaran bukan sebagai angka mati, melainkan etika yang disepakati. “Setiap rupiah berhak punya cerita,” ucapnya. “Kalau ceritanya kabur, rupiahnya pun kabur.”

Lalu datanglah Kelaswara. Rambutnya berganti warna setiap proyek—hitam, kemudian burgundi, lalu tembaga. Ia punya bakat langka: membuat kerja sosial terasa seperti pesta yang semua orang ingin datangi. Ia menata panggung kecil di halaman kelurahan, mengatur tata cahaya, meminjam bendera sponsor, dan seketika, sebuah pengajian warga terlihat seperti gala.

“Bro, kamu tipe langka,” kata Kelas pada lembur pertama, dua gelas kopi dan sepiring singkong keju menjadi saksi. “Orang baik yang nggak ribut minta nama. Dunia butuh lebih banyak kamu.”

Kalimat itu membuka pintu lebar-lebar di dada Jayeng. Ia masuk, dan untuk waktu yang lama lupa menutupnya kembali.

.

Banjir dan Foto Tanpa Nama

Hujan menggila. Dua hari dua malam sungai berubah jadi ular cokelat yang lapar, menelan lapangan, menenggelamkan halaman. Saat sirene dini hari meraung, Jayeng ada di situ: mendirikan posko, menata selimut, mencatat warga sakit, memesan obat.

Di sisi lain, Kelas wara-wiri dengan gimbal, memberi instruksi pada relawan: “Arah lampu ke kiri. Oke, rekam. Tiga… dua… satu.”

Di Instagram, unggahan Kelas laris. Ia tampak menyerahkan kardus bantuan, tersenyum di depan kamera. Topi hitam Jayeng muncul seperempat di sudut foto—namanya tidak ada di keterangan. Komentar membanjir: “Inspiratif kak!”, “Terharu!”, “Semoga banyak rezeki!” Tagar berloncatan seperti kembang api.

Lebih menyakitkan, di posko Pamurbaya, seorang ibu muda menerima dua kotak susu formula dari tangan Jayeng. Sore itu, saat ia jalan menyusuri gang, ia melihat susu yang sama dijajakan di gerobak pedagang keliling. Bukan jahat—barangkali mendesak. Tapi ada sesuatu di dalam dada Jayeng yang seperti kain yang diperas.

Malamnya, Umar menepuk bahunya. “Kamu nggak salah. Tapi kamu belum benar. Kebaikanmu terlalu lurus. Orang menganggapnya jalan tol—tanpa portal, tanpa rambu.”

“Portal itu apa?” tanya Jayeng.

“Pagar,” jawab Umar. “Batas. Aturan main. Konteks.” Ia mengangkat alis, “Dan keberanian bilang: cukup.”

.

Lembur, Standar, dan Hutang yang Menggantung

Proyek baru datang dari sponsor: pelatihan kewirausahaan untuk pemuda terdampak banjir. Di proposal, penanggung jawab: Kelaswara. Di bawahnya, ‘Koordinator Teknis: Jayeng’—yang artinya, narahubung, pengangkut meja, penenang peserta, penjahit spanduk, sekaligus pemadam kebakaran kecil-kecilan.

Kebutuhan merayap naik: talkshow di radio, kunjungan pejabat, lomba video, booth di car free day, festival mini. Anggaran belum cair karena revisi MoU. “Talang dulu ya, Bro,” pesan Kelas cepat, diakhiri emoji jempol.

Malam sebelum acara, Ina—pemilik katering kudapan—datang ke co-working space, wajahnya letih. “Mas, bisa minta DP sisanya? Aku harus beli bahan.”

Telepon Kelas tidak terangkat. Jayeng mengeluarkan kartu debit. “Ambil saja. Besok sore diganti.”

Besok sore berlalu menjadi malam, lalu bergeser menjadi lusa. Tagihan vendor menumpuk seperti cucian yang tak kunjung kering. Di feed, Kelas memamerkan proyek di kota lain: rambut tembaganya lebih menyala dari lampu panggung.

Jayeng menutup hutang ke Ina dari tabungannya sendiri. Saat mengirim bukti transfer, tangannya dingin seperti kaca etalase. Di kepala, suara kecil bersungut: “Kamu hanya menukar nama baik orang lain dengan rasa lapar di perutmu.”

.

Kalimat yang Menjadi Pagar

“Kenapa kamu selalu memilih jadi orang terakhir yang bahagia?” tanya Ina sambil menyodorkan risoles hangat sebagai ucapan terima kasih.

“Karena selama ini aku terlalu cepat bahagia melihat orang lain senang,” jawab Jayeng, setengah bergurau, setengah mengakui.

Sore itu, Jayeng bertemu Retna di warung kopi kecil di Darmo Permai. Retna datang seperti biasa—tanpa tergesa, tanpa basa-basi yang panjang. Ia mendengar cerita Jayeng sampai tuntas, tak memotong, hanya sesekali mengaduk teh tariknya yang telah cukup manis sejak mula.

Kemudian ia mengeluarkan secarik kertas dari buku catatan dan menulis pelan:

“Batasan bukan tembok dingin, melainkan pagar kebun. Agar bunga tidak diinjak, dan agar dirimu tahu apa yang sedang kamu rawat.”

“Tempel di cermin,” katanya. “Baca tiap pagi. Dan bertanyalah: bunga apa yang sedang kamu rawat hari ini?”

Jayeng pulang, menempelkan kertas itu tepat di tempat ia tak mungkin luput memandang. Esok paginya, pertanyaannya mengganggu—bukan sebagai duri, melainkan sebagai kompas yang belum punya peta.

.

Pulang dan Ijazah dari Kesalahan

Mayang jatuh di dapur; pinggulnya patah. Jayeng pulang ke Tambak Wedi, menjemput lelah di kasur tipis dan bau minyak gosok yang akrab. Di sela-sela perawatan, ia bercerita tentang banjir, hutang, dan foto tanpa nama.

Mayang tersenyum. Keriput di sudut matanya seperti garis pantai menunggu pasang. “Kesalahan adalah guru mahal. Tagih ijazahnya. Kebaikan yang membuatmu lapar bukan kebaikan. Itu kebodohan yang berpakaian kebajikan.”

Kalimat itu adalah lampu kuning di gang masa kecil: tidak berteriak, tapi menunda banyak kecelakaan.

“Bu, kalau hidup ini kebun,” kata Jayeng, “pagar itu dibuat dari apa?”

“Dari kata ‘cukup’ yang kamu setujui dengan dirimu sendiri,” jawab Mayang. “Dan dari kata ‘saling’ yang kamu sepakati dengan orang lain.”

Di malam-malam berikut, saat angin laut membawa asin sampai teras, Jayeng membuat daftar:

  • SOP penerimaan bantuan: siapa, kapan, berapa, bagaimana.

  • Transparansi: setiap rupiah punya cerita dan alamat.

  • Kredit: semua nama disebut, kontribusi dicatat.

  • Talangan: dilarang, kecuali disetujui tertulis—dan dibatasi.

  • Penolakan: dilatih, diucapkan tanpa bersalah.

Ia mengirim daftar itu ke Umar. Balasan datang dini hari, singkat: “Peta yang baik dimulai dari legenda. Ini legendamu.”

.

Kebun Pagar Mayang

Sekembali Mayang membaik, Jayeng memutuskan mengurangi peran di organisasi Kelas. Ia mengajukan diri sebagai konsultan lepas—bukan pelaksana yang bisa diminta apa saja. Honor jelas, ruang gerak jelas, kredit jelas. Sebagian menatapnya sinis: “Kok sekarang jadi pakai hitung-hitungan?” Sebagian lagi lega: “Akhirnya.”

Di kampung ibunya, bersama para tetangga, ia menandai sebidang tanah nganggur di belakang mushala. Lahan kecil itu berumput liar, dipagari bambu yang patah di sana-sini. Mereka membersihkannya. Menanam bayam, kangkung, cabai, serai, seledri, tomat. Mereka menamai tempat itu Kebun Pagar Mayang—sebuah hormat pada perempuan yang pernah mengajari, kebaikan bukan kelelahan, melainkan kebiasaan yang sehat.

Di depan kebun, Jayeng memasang papan kecil:

Silakan petik sesuai giliran; sisakan untuk yang lain.
Bila ingin belajar, ayo masuk; bila hanya ingin lihat, cukup dari pagar.
Bila mengambil lebih, gantilah dengan sesuatu: bibit, pupuk, waktu, doa.

Papan itu bukan ancaman, melainkan undangan yang beraturan. Orang datang dari gang sebelah, memegang anak-anak mereka, mengintip lewat celah bambu, lalu tersenyum. “Pagar yang membuatku ingin masuk,” ujar seorang bapak sambil mengelus kepala putranya.

Jayeng merekam video dari luar pagar, menarasikan pelan: “Batas itu bukan menghalangi. Batas itu mengantar.” Video itu viral. Bukan karena dramanya, tapi karena rapi. Di komentar, orang-orang menulis kisah pagar mereka sendiri: pintu kulkas yang diberi jadwal, dompet komunitas yang menolak saweran tanpa kuitansi, daftar piket mushala yang ditempel di dinding.

.

Pertemuan di Gerbang

Suatu sore, Kelaswara muncul di gerbang kebun, rambut tembaganya dikepang sederhana. Wajahnya letih—bukan lelah karena kerja, melainkan lelah karena sadar. Ia berdiri lama di depan papan peraturan, lalu memotret tidak dari dekat, melainkan dari seberang jalan.

“Indah,” katanya setelah berkeliling. “Indah karena tidak berlebihan.”

Jayeng mempersilakan ia menyiram tanaman. Kelas mencelupkan timba ke bak kecil, mengangkatnya perlahan, airnya menimang tanah dengan sabar.

“Aku minta maaf,” ucapnya, pandangannya jatuh pada sela-sela bambu. “Bolehkah aku belajar pola pagarmu?”

“Boleh,” kata Jayeng. “Dengan syarat: mulai sekarang, sebut nama orang yang bekerja.”

Kelas menatapnya. Ada sesuatu yang patah, dan dengan patah itu, sesuatu yang tumbuh. “Aku akan menulisnya,” katanya. “Satu per satu.”

Hari itu, mereka menyiram tanpa kamera. Bebunyian kota meredup di belakang, diganti suara air menimpa tanah dan suara anak-anak yang berlatih mengucapkan “terima kasih” dengan fasih.

.

Pelajaran dari Kota yang Tidak Pernah Tidur

Pagar bukan berarti sepi dari keributan. Beberapa pihak menganggap Jayeng mulai “komersil”. Ada yang mengirim pesan bernada sinis: “Kebaikan kok pakai SOP.” Ada yang terang-terangan menuduh: “Cari nama.” Namun setiap kali tuduhan itu datang, Jayeng kembali membaca papan: Bila mengambil lebih, gantilah dengan sesuatu. Ia tahu, yang dimintanya bukan harga, melainkan hormat.

Ia pun menerapkan pagar pada dirinya sendiri. Telepon dimatikan pukul sepuluh malam. Hari Minggu tidak ada rapat. Undangan panitia yang tidak punya TOR ia tolak dengan template yang ramah: “Terima kasih. Agar kontribusi saya bermakna, mohon kirimkan TOR, alur tanggung jawab, dan skema transparansi. Tanpa itu, mohon maaf saya belum bisa bergabung.”

Ajaibnya, sebagian marah, tapi lebih banyak yang mengikuti. TOR mulai dibuat. Alur tanggung jawab mulai jelas. Skema transparansi ditempel di grup WhatsApp. Dari pagar kecil di kampung, jejaknya merambat ke kota.

Umar menuliskan catatan pada proposal terbaru: “Kita ini kelas menengah—punya akses, punya jaringan, punya kapasitas. Tanpa pagar, privilese kita jadi serampangan. Dengan pagar, privilese jadi jembatan.”

Kalimat itu Jayeng bawa seperti pisau lipat: kecil, tajam, berguna saat tersesat.

.

Hujan di Atas Jembatan (Lagi)

Beberapa bulan setelah video kebun viral, Jayeng kembali berdiri di Jembatan Suramadu. Hujan turun—tipis, rapi, secukupnya. Kota di kejauhan menjanjikan lagi: proyek CSR yang memerlukan bimbingan tata kelola, perusahaan rintisan yang ingin membuat program magang bermartabat, komunitas yang siap diajari menulis anggaran seperti menulis puisi.

Teleponnya bergetar. Pesan dari Kelas masuk:

Bro, draft kredit sudah kusebutkan semua nama. Mohon cek. Aku juga kasih catatan: tanpa Jayeng, pagar tidak berdiri; tanpa pagar, bunga tidak berbunga.
PS: Aku malas lagi difoto sendirian.

Jayeng tersenyum. Ia memeluk hujan yang tidak lagi terasa dingin. Di dahinya, ia bisa merasakan tangan ibunya—mungkin hanya angin, tapi ia percaya itu doa yang mengantar.

Retna lalu mengirim foto: secarik kertas yang dulu ia tulis, kini dibingkai dan dipasang di kantor kecil tempat mereka berkonsultasi. Di bawah kalimat pagar itu, Retna menambahkan satu baris kecil:

“Kebaikan yang sehat selalu menyisakan tenaga untuk besok.”

.

Selamatan dan Nama yang Disebut

Akhir tahun, Kebun Pagar Mayang mengadakan selamatan kecil. Meja-meja plastik berbanjar, tumpeng sederhana, air mineral dalam gelas, piring kertas yang berdesak. Tidak ada spanduk, hanya lampu bohlam kuning yang bergetar pelan tertiup angin. Tetangga berkumpul, beberapa tamu dari kota datang dengan kemeja nyaman dan sepatu yang dihapus debunya di karpet depan mushala.

Satu per satu, orang maju menyebutkan nama dan perannya. Ada yang terdengar bangga, ada yang ragu. Ada yang bahkan hanya berkata, “Namaku Sanip, tugasku merapikan selang.” Semua mendapat tepuk tangan yang sama panjang.

Ketika gilirannya tiba, Jayeng maju. Suaranya stabil, tapi ada air yang menunggu di pelupuk.

“Namaku Jayeng. Aku mengurus pintu, jendela, dan pagar. Aku ingin menjaga supaya kita tetap bisa memberi tanpa kehilangan dapur.”

Tawa kecil pecah. Lalu hening. Lalu tepuk tangan.

Pada momen itu, ia paham: pagar bukan hanya ada di bambu, bukan hanya di papan, bukan hanya di daftar SOP. Pagar juga ada di cara menyebut nama orang lain sebelum menyebut namanya sendiri. Pagar juga ada di cara menolak undangan yang buruk tanpa menyebabkan permusuhan. Pagar juga ada di cara menyisakan makanan bagi yang datang terlambat.

“Orang baik,” suara Mayang seperti datang dari belakang panggung, “bukan yang selalu memberi, melainkan yang tahu kapan berhenti, supaya bisa memberi lagi besok.”

Hari itu, di bawah lampu kuning, kalimat itu tercetak pada udara. Dan entah kenapa, udara rasanya lebih gampang dihirup.

.

Kota yang Belajar Menanam

Kebun meluas sejengkal demi sejengkal; pagar disambung, bambu diganti yang patah, papan diperbarui bila hujan menghapus huruf. Anak-anak belajar menghitung lewat bibit: satu, dua, tiga lubang; dua, tiga, empat benih. Para ibu mengajari bumbu dasar sambal dari cabai yang dipetik sesuai giliran. Para bapak memperbaiki selang air dengan kawat yang hanya mereka mengerti simpulnya.

Di kota, kantor-kantor mulai memasang “papan pagar” versi masing-masing: panduan kredit kolaborator, format TOR yang ramah, kalender istirahat wajib, standar honor yang tidak memalukan. Bukan revolusi besar yang datang tiba-tiba; ini pergeseran kecil yang akumulatif. Bukan gempa, melainkan musim.

Dan Jayeng, di sela-sela konsultasi, kadang masih berdiri di jembatan. Hujan atau tidak, ia menatap kota dengan tidak lagi marah, tidak lagi kecewa, tidak lagi lapar. Ia membawa payung, tapi juga siap basah. Karena sekarang ia tahu batasnya. Ia tahu pagarnya. Ia tahu bunga apa yang sedang ia rawat.

Ia mengirim pesan pada dirinya sendiri—sebuah catatan yang ia simpan di ponsel, dibaca saat lelah datang tanpa mengetuk:

“Jangan jadi jalan tol tanpa portal. Jadilah kebun berpagar: terbuka, tapi bertata.
Sebab kebaikan yang tumbuh butuh ruang untuk pulih, butuh tanah untuk berakar, dan butuh pagar untuk tetap menjadi kebaikan.”

Dan kota pun, pelan-pelan, belajar menanam.

.

.

.

Jember, 9 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#PagarYangMenumbuhkan #BatasanSehat #EtikaMemberi #KebunKomunitas #UrbanIndonesia #Transparansi #KompasMingguStyle #Cerpen

.

Kutipan Tambahan yang Relevan

  • “Kebaikan yang tak terukur berubah jadi lelah yang tak terobati.”

  • “SOP adalah bahasa lain dari cinta: jelas, tertib, dan tidak membingungkan.”

  • “Menyebut nama orang lain adalah cara paling sederhana membangun pagar dari rasa hormat.”

  • “Menolak bukan berarti menutup pintu; kadang itu cara terbaik menjaga rumah tetap hangat.”

  • “Transparansi bukan pamer, melainkan cara kita berhenti bersembunyi dari diri sendiri.”

Leave a Reply