Di Balik Senyap Hotel Kota

“Kadang, kepemimpinan bukan soal berdiri di depan, tetapi tentang siapa yang rela memungut serpihan masalah yang tercecer, lalu merangkainya menjadi harapan.”

“Tidak semua orang yang memimpin akan dikenang, tapi semua orang yang peduli akan meninggalkan jejak.”

.

Pagi yang Menggantung di Jakarta

Jam 06.00, Jakarta masih menyimpan sisa dingin hujan malam. Gedung-gedung tinggi menyalakan refleksi pucat di kaca masing-masing, seperti prajurit yang baru selesai apel subuh. Jalan protokol basah, lampu lalu lintas berkedip pada genangan, dan suara klakson pertama pagi hari terdengar seperti orang yang menahan batuk.

Umarmaya melangkah masuk ke Hotel Cendana Raya melalui pintu staf yang catnya mulai mengelupas. Di luar, hotel itu tampak seperti ekor paus yang diam—kelabu, elegan. Di dalam, ia adalah jantung yang tak pernah berhenti: berdetak, tergesa, menyimpan rahasia.

Ia meraih kopi instan dari dispenser, duduk sebentar di ruang makan staf. Bau karpet lembap berkelindan dengan aroma roti panggang. Di hatinya, ia tahu: ketenangan di hotel sering berarti badai sedang bersiap mengambil giliran.

Di telinganya, bapak dari masa lalu seperti berdehem pelan.
“Sepi ing pamrih, rame ing gawe, Ngger,” suara itu mengalir, teduh. “Kalau bisa membantu, bantulah.”

.

Akar dari Sebuah Prinsip

Sambil menunggu kopi mendingin, ingatan Umarmaya melayang ke pesisir utara Madura dua puluh tahun lalu. Kampungnya berdempetan dengan laut. Angin asin selalu berhasil masuk bahkan ke mimpi-mimpi anak kecil. Bapaknya seorang guru sekolah dasar yang pulang dengan sepeda onthel berpita karat. Di halaman sekolah, bapaknya sering menahan pulang untuk menambal atap rumah tetangga atau menulis surat permohonan bantuan bagi yang buta huruf, tanpa mengharap imbalan.

“Ngger,” kata bapaknya pada suatu senja, sembari meniup teh panas, “hidup ini bukan soal nama kita di papan kehormatan. Kalau bisa menambal yang robek, tamballah. Orang tak perlu tahu. Gusti ngerti.”

Prinsip itu melekat, seperti garam laut yang tak habis diguyur mandi.

.

AC Mati: Keputusan yang Harus Selesai dalam Detik

Suara walkie-talkie membuyarkan lamunan.
“Mas… AC kamar 1508 mati total. Tamu VIP mau pindah kamar sekarang juga.” Suara Radit dari teknik terdengar tercekat.

“Tenang, Rad. Jangan bikin tamu tambah marah. Saya naik,” jawab Umarmaya.

Lift menyapu udara basah. Di lantai 15, hawa panas mencubit. Seorang pria asing dengan wajah memerah berdiri di depan pintu, kaosnya menempel di punggung.

“I pay a lot for this room. This is Jakarta, not a desert!” katanya, terbata marah.

Umarmaya menahan diri, mengatur napas. “Maafkan ketidaknyamanannya, Pak. Kami pindahkan Bapak ke kamar yang lebih baik. Sementara tim kami perbaiki ruangan ini. Tolong izinkan saya antar.”

Sepuluh menit kemudian, tamu itu duduk di kamar baru, segelas air dingin di tangan, tubuhnya turun satu nada. “If every hotel had someone like you, I’d always come back,” gumamnya sebelum pintu tertutup.

Umarmaya tidak mengantongi pujian. Ia hanya mencatat kerentanan manusia saat keringat mulai berbicara. Dalam hati, ia tahu bapaknya akan mengangguk: sudah benar, Nak. Jangan tunggu disuruh.

.

Pisau, Buah, dan Seorang Anak Magang

Di ruang makan staf, aroma bawang putih tumis memanjat plafon. Adipati, anak magang dari kampus pariwisata, memotong pepaya dengan canggung. Potongannya tidak seragam; ada yang sebesar kelereng, ada yang sebesar batu kali.

“Boleh saya tunjukkan?” Umarmaya meraih pisau. Ia memperlihatkan cara menahan buah, cara mengukur jarak ujung pisau dengan ruas jari, cara menabrak ketidakteraturan dengan kesabaran. Potongan pepaya jadi rapi, seukuran dadu manis.

“Kalau salah, ya ulang. Jangan takut belajar,” katanya.

Adipati tersenyum, menunduk malu. “Kalau Mas nggak datang, saya pasti sudah dimarahi chef.”

Umarmaya menahan keinginan untuk menepuk bahu si anak. Ia teringat dirinya di Surabaya, dua puluh tahun lalu, di hotel kecil pinggir jalan, ketika Senior bernama Wirapati mengajar tanpa bentakan. Ia menyimpan janji lama: jika punya kesempatan, ia akan jadi perpanjangan tangan kesabaran orang lain.

.

Kepercayaan di Meja Resepsionis

Raden, resepsionis muda, mendekat dengan wajah seperti kertas ujian: kosong tapi menunggu isi. “Mas, tamu ini minta harga lebih murah. Saya takut salah ngomong.”

“Kalau kamu paham aturannya, jelaskan dengan jujur dan hangat. Orang biasanya percaya pada kejujuran yang tidak defensif.”

Raden kembali ke meja front office. Dari kejauhan, Umarmaya melihat bibirnya menggerak perlahan, tangannya tidak gemetar. Kartu kredit berpindah tangan. Raden meliriknya sambil tersenyum: lulus ujian pertama.

.

Api Kecil, Luka Besar

Sore itu, bau gosong menyelinap dari dapur. Api kecil menari di atas kompor. Manajer restoran, Retna, mengalihkan panik menjadi marah. “Siapa yang bertanggung jawab?”

Umarmaya maju. “Saya, Mbak. Saya ada di area. Seharusnya saya cek.”

Ia tahu ia tidak hadir ketika api tercetus. Tapi ia juga tahu, rasa malu bisa mematikan semangat staf lebih cepat dari nyala api itu sendiri. Malamnya, ia duduk di pantry bersama pramusaji yang menangis, Luluk namanya. “Semua orang bisa salah. Yang penting, kita tidak menyembunyikannya dan kita tahu caranya mencegah.”

Dari kaca kecil di pantry, ia melihat dirinya memudar—bukan untuk menghilang, melainkan memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh.

.

Bellboy Termuda

Malam hari, notifikasi di akun hotel muncul: ulasan tamu memuji Ronggokusumo, bellboy paling muda—anak tinggi dengan sepatu yang selalu mengilap dan langkah yang selalu ragu agar tak membuat koper terjatuh.

“Dia bikin kami merasa diantar pulang, bukan sekadar dikantar ke kamar,” tulis tamu itu.

Umarmaya mengumpulkan staf shift malam. “Malam ini kita rayakan Ronggokusumo. Dia bikin tamu merasa di rumah.” Ia membelikan martabak. Ronggokusumo menunduk, pipinya merah muda seperti lampion kecil yang tersorot.

Kebanggaan seperti ini, pikir Umarmaya, sering menjadi alasan orang bertahan pada pekerjaan yang di luar terlihat sepele, tapi di dalam adalah urat nadi.

.

Malam Penuh, Jalan Terbuka

Hotel penuh. Sistem menandai zero availability. Telepon berbunyi—Jayengrana, tamu langganan, seorang pemilik pabrik tekstil yang selalu memesan kamar di menit terakhir. “Mas Umar, saya di tol. Setengah jam lagi sampai. Tolong kamar ya.”

Dalam hitungan menit, Umarmaya memindahkan reservasi tamu yang belum check-in ke sister hotel, menyiapkan mobil antar, mengirimkan voucer makan malam sebagai maaf. Malam itu, Jayengrana tiba, keningnya berkerut lalu mengusap perlahan. “Terima kasih, Mas. Saya nggak tahu caranya, tapi setiap kali ada Mas, jalan selalu ada.”

“Jalan tidak selalu ada,” batin Umarmaya. “Tapi kita bisa menggelarnya seperti karpet: pelan, ditarik dari gulungan rapat, setapak demi setapak.”

.

Orkestra di Pantry

Gesekan di antara staf, seperti cello yang senarnya tidak pas. Perbedaan daerah, kebiasaan kerja, ambisi pribadi—semuanya bertemu di ruang sempit bernama target.

“Kita ini orkestra,” kata Umarmaya saat briefing. “Kalau satu alat main terlalu keras, musiknya berantakan. Dengarkan satu sama lain. Tahu kapan mengisi, kapan menahan.”

Tawa kecil berderai. Tak menyelesaikan semua masalah, tapi mengendorkan simpul di dahi banyak orang. Kadang yang kita perlukan hanya metafora yang tepat untuk menidurkan ego.

.

Lampu Padam, Solusi Menyala

Pukul 19.15, listrik padam di tiga lantai. Grup WhatsApp tamu mulai penuh dengan pertanyaan. “Kirim minuman dingin ke kamar, update kabar tiap 15 menit. Jangan menenangkan dengan janji palsu,” instruksi Umarmaya.

Tiga puluh lima menit kemudian, lampu menyala. Beberapa tamu mengirim emoji jempol. Tidak semua krisis di hotel berakhir buruk; yang membuatnya buruk adalah ketidakjujuran yang panik.

.

Kunjungan Tengah Malam

Nurbaya, room attendant, tak masuk kerja. Ibunya sakit. Seusai shift, Umarmaya menumpang ojek, membeli bubur, menembus gang sempit menuju rumahnya: dinding tripleks, lantai semen mengilap oleh peluh hari-hari. Nurbaya membuka pintu, mata berkaca.

“Mas… semua orang sibuk. Tapi Mas sempat datang?”

“Kita keluarga di sini,” jawabnya, menaruh bubur di meja kecil, menghapus pelan peluh di pelipisnya sendiri.

Umarmaya kembali ke hotel, menatap lobi dari luar kaca. Rasanya seperti menatap akuarium: kita bisa melihat ikan-ikan bergerak indah, tapi tidak banyak orang yang tahu airnya harus diganti seberapa sering agar mereka tetap hidup.

.

Badai Anggaran

Bulan berikutnya, email dari pusat datang seperti meteor: pemotongan biaya 20%. Kontrak staf paruh waktu dievaluasi. Resah merayap di lorong-lorong.

“Saya tidak bisa membatalkan keputusan ini,” kata Umarmaya di rapat staf. “Tapi kita bisa buktikan kalau kita terlalu berharga untuk dilepas.”

Ia menyusun jadwal yang lebih efisien, melatih staf lintas divisi: resepsionis belajar dasar-dasar barista; housekeeping belajar menata table set up; bellboy ikut kelas komunikasi singkat. Tiga bulan kemudian, hasil audit kinerja melonjak. Banyak yang bertahan. Angka tidak menyelamatkan semua, tapi menyelamatkan cukup banyak.

.

Pagi Ketiga: Krisis yang Tak Berpita

Pagi yang lain datang dengan wangi hujan baru. Di dashboard, Retna—Marketing—mengirim tautan: sebuah akun X (Twitter) dengan puluhan ribu pengikut menulis thread tentang pengalaman buruk sarapan di Cendana Raya—makanan dingin, refill lambat, pramusaji pelit senyum. Thread itu menyengat, menandai akun-akun media.

“Mas, bagaimana?” suara Retna serak.

“Terima kasih sudah kirim cepat.” Umarmaya menatap layar. “Kita tidak membantah. Kita bertanggung jawab, kita perbaiki, kita undang mereka kembali—bukan sebagai tamu spesial, tapi sebagai orang yang berhak pada pelayanan yang layak.”

Ia menulis balasan yang jujur, bukan template. Ia mengajak Luluk dan tim sarapan berdiri bersama di area buffet: menata alur, memindahkan termos kopi lebih dekat ke pintu, menambah signage, menempatkan orang yang paling sabar di titik paling ramai. Di group staf, ia menulis: “Senja tidak bisa diperintah menjadi pagi. Tapi kita bisa bangun lebih cepat.”

Sore hari, akun yang sama menulis pembaruan: “Tadi siang diajak tur oleh manajemen. Ada perbaikan cepat. Masih banyak PR, tapi ada harapan.” Kata harapan adalah pintu yang selalu bisa dipasang kembali saat rumah media sosial disapu badai.

.

Malam di Ruang Pendingin

Ada malam-malam ketika dunia terasa terlalu keras bahkan untuk orang yang biasa menahan pintu agar tidak menutup. Di ruang pendingin dapur, Umarmaya berdiri di antara tumpukan sayur dan daging beku, merasakan dingin menampar pelan wajahnya. Ia ingat telepon ibunya seminggu lalu: “Kapan pulang, Le? Bapakmu rindu.”

Rindu berjalan lambat seperti sapi menarik bajak. Ia tidak selalu berakhir pada pelukan. Kadang rindu berakhir pada doa yang tidak sempat ditutup “amin” karena telepon harus diputus.

Di luar, suara piring dari banquet hall memercik. Acara ulang tahun perusahaan perbankan masih berlangsung. Lagu-lagu disko 90-an menembus pintu, membuat udara dingin punya ritme.

“Tidak apa-apa lelah,” batin Umarmaya. “Yang salah itu bohong. Pada orang lain, pada diri sendiri.”

.

Retna dan Pilihan Yang Tidak Mudah

Retna mengetuk pintu kantor kecilnya yang dindingnya ditempeli rencana konten tiga bulan ke depan. “Mas, aku ditawari pindah ke hotel baru di sebelah. Gajinya lebih tinggi.”

Umarmaya mengangguk, menahan sinyal sedih pada mata. “Kalau itu baik untukmu, ambil. Aku senang kalau kamu di tempat yang membuatmu berkembang. Tapi kalau kamu tetap di sini, kamu akan jadi pilar—kalau mau. Pilar jarang mendapat pujian, tapi tanpanya, langit-langit jatuh.”

Retna menatap lantai, lalu menatapnya lagi. “Aku butuh waktu.”

“Tentu,” jawabnya. “Pemimpin yang baik tidak mengikat. Ia menyediakan kompas.”

.

Jayengrana dan Rahasia Tangga Darurat

Suatu sore, Jayengrana memanggilnya ke cafe. “Mas Umar, saya ingin investasi kecil di hotel ini. Tapi saya butuh jaminan.”

“Jaminan apa, Pak?”

“Jaminan bahwa orang-orang di dalamnya memikirkan manusia sebelum angka. Karena saya capek jadi angka.”

Umarmaya tidak menjawab cepat. Ia mengajak Jayengrana berjalan ke tangga darurat, tempat paling jujur di sebuah hotel—tempat orang-orang bernapas, menangis diam-diam, atau menyesali keputusannya. Dindingnya memamerkan goresan ricuh yang tidak pernah masuk ke feed Instagram.

“Di sini,” kata Umarmaya, “kita tidak bisa pura-pura. Kita hanya bisa bertahan dan menurunkan napas. Saya tidak berjanji pada Bapak tentang angka. Tapi saya bisa janjikan ini: saya akan menjaga manusia di dalamnya, supaya mereka kuat. Angka sering mengikuti setelah itu.”

Jayengrana tersenyum. “Itu jawaban paling tidak investor-friendly yang pernah saya dengar.” Lalu menepuk pundaknya. “Tapi saya percaya.”

.

Hari Ketika Hujan Mengeras

Jakarta murung dan marah di hari Sabtu itu. Hujan jatuh seperti kolektor utang. Selokan-selokan mengangkat bahu, tak sanggup menelan air sebanyak itu. Air masuk melalui parkir basement, merayap naik seperti niat buruk.

“Evakuasi kendaraan. Naikkan barang-barang peralatan listrik,” perintah Umarmaya. Matanya menangkap Nurbaya yang baru masuk shift, baru saja mengantar ibunya kontrol. “Nurbaya, kamu di lantai dua. Amankan linen bersih.”

Di lobi, tamu-tamu menatap layar ponsel: video banjir menutupi feed. Balita menangis di stroller. Listrik belum padam, tapi cemas selalu lebih cepat dari gelap.

“Ronggokusumo, bagi handuk kecil untuk tamu yang basah. Raden, buka jalur check-in darurat di pojok kiri, akomodasi early check-in tanpa biaya untuk tamu yang sudah datang.”

Di tengah ribut, Adipati menatap air yang naik. “Mas, dapur…?”

“Matikan kompor gas yang tidak dipakai. Tutup sumber listrik yang berisiko. Ingat: satu sistem, satu nyawa.”

Hujan seperti menolak kompromi. Dalam empat jam, air mencapai mata kaki, lalu surut pelan—seperti kemarahan yang bosan. Hotel tidak lumpuh. Orang-orang tidak sempurna, tapi cukup sigap. Malamnya, tim teknik kelelahan duduk di lorong, membagi mie instan. Umarmaya berjalan pelan, menaruh telur rebus di masing-masing cup. Kecil, tapi hangat.

.

Pagi Sesudah Badai

Matahari tumpah di jalan yang masih basah. Pagi terasa seperti seorang perawat yang lembut: menutup luka dengan perban baru. Umarmaya melakukan inspeksi lantai demi lantai. Di sebuah kamar yang jendelanya menghadap monorail, ia berhenti. Tempat tidur rapi, bunga mawar sisa acara pernikahan semalam diletakkan staff housekeeping dalam gelas plastik—kecil, manis, tidak berbiaya.

“Ini yang membuat hotel tetap hidup,” gumamnya. “Gelas plastik yang diisi mawar bekas, supaya kamar tidak merasa sendirian.”

.

Surat dari Madura

Di laci meja kerjanya, Umarmaya menyimpan sebuah surat. Kertasnya sudah berwarna teh tua. Tulisan tangan bapaknya: tegak, tenang.

“Ngger, pahlawan itu bukan orang yang punya panggung, tapi orang yang sanggup memindahkan beban orang lain ke pundaknya tanpa berbunyi. Ingat, kau tidak perlu menjadi nama untuk menjadi makna.”

Ia menutup laci itu tiap kali hatinya mulai berisik, lalu menyeduh kopi dan kembali ke lantai.

.

Retna Kembali, Bukan Karena Gaji

Seminggu kemudian, Retna kembali mengetuk. “Mas, aku sudah jawab tawaran itu. Aku bertahan di sini.”

“Kenapa?”

“Karena aku ingin belajar memimpin tanpa sorot lampu. Aku ingin belajar dari Mas—bagaimana caranya berdiri paling belakang dan tetap menjaga pawai berjalan.”

Umarmaya mengangguk. Hampir saja ia mengucap terima kasih, tapi kata itu terasa terlalu kecil. “Kalau begitu, kita mulai dari meja sarapan. Hari ini kita rancang alur untuk akhir pekan panjang.”

Retna tertawa. “Kembali ke peperangan paling nyata ya, Mas? Alur sarapan.”

“Perang paling tenang,” jawabnya. “Di sana reputasi dibangun dengan sendok dan senyum.”

.

Malam Penuh, Hati Lapang

Jam dinding ruang ganti staf menunjuk pukul 23.45. Hotel merendahkan suaranya jadi dengung AC sentral, roda trolley housekeeping di ujung lorong, dan gemerisik langkah pulang. Umarmaya melepas seragam, menggantungkannya rapi. Bau parfum tamu, kopi, dan pembersih lantai tertinggal di kain seperti catatan kaki yang tidak perlu dibaca, tapi ada.

Di luar, angin malam bercampur aroma gorengan dari kaki lima. Ia duduk di warung langganan, memesan nasi goreng tanpa sawi. Ponselnya bergetar.

Terima kasih untuk tadi pagi, Mas. Saya jadi nggak takut pegang pisau lagi. — Adipati
Ibu titip salam. Katanya sehat sekarang. — Nurbaya
Mas, aku upload video orkestra pantry. Pada suka. — Retna
Mas Umar, saya tetap akan kembali. Because people like you make a city feel like home. — Jayengrana

Umarmaya tersenyum kecil. Di luar hotel, ia hanya pria biasa yang makan nasi goreng terlalu larut. Di balik pintu kaca putar itu, ia adalah orang yang memungut serpihan dan merangkainya jadi harapan. Orang tidak perlu tahu namanya untuk merasakan dampaknya.

Sebelum tidur malam itu, suara bapaknya datang dari lorong panjang waktu:
“Sepi ing pamrih, rame ing gawe, Ngger. Kalau bisa membantu, bantulah. Tidak semua pemimpin perlu panggung, tapi semua pemimpin perlu hati.”

.

Tangga Darurat

Pagi berikutnya, Umarmaya berhenti sejenak di tangga darurat. Dindingnya dingin, langkah-langkahnya menyimpan kisah orang-orang yang berlari menuju selamat. Ia menempelkan telapak tangan ke dinding, membayangkan denyut kota menembus beton: kontrak yang harus ditandatangani, bayi yang harus diberi susu, cicilan, janji-janji yang disusun, air mata yang ditahan agar tidak merusak riasan saat check-in.

“Kalau kau tak bisa menjanjikan langit,” ia membisik pada dirinya sendiri, “setidaknya jagalah agar langit-langit ini tidak runtuh.”

Di bawah sana, lobi mulai bising lagi. Ponsel bergetar. Dunia memanggil dengan segala kerumitannya. Umarmaya tersenyum, merapikan name tag, dan turun—selalu turun—kembali ke lantai.

.

“Yang kita pimpin bukan gedung dan angka—melainkan hati yang rapuh, mimpi yang rawan. Bekerjalah pelan, agar harapan punya waktu untuk tumbuh.”

.

.

.

Jember, 9 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#KepemimpinanSunyi #HospitalityIndonesia #CerpenKota #JakartaStories #EmpatiDiTempatKerja #HotelLife #CerpenMinggu

Leave a Reply