Jalur Menuju Rumah Pulang
“Di kota, singa sering bernama ambisi dan buaya bernama ketakutan. Kalau kau menggantung di antaranya, ingat: tanganmu tetap milikmu—kau yang memilih pegangan.”
.
Malam di Atas Kota
Kota selalu punya suara latar. Klakson yang tak sabar, pedagang kaki lima memanggil, derak koper para tamu hotel yang baru turun dari taksi online. Di atas semua itu, ada suara lain yang hanya terdengar bagi yang gelisah: detak jam.
Jokotole berdiri di rooftop hotel tempatnya bekerja—hotel bisnis di tepi sungai yang di siang hari jadi jalur wisata perahu, di malam hari berubah jadi cermin gelap lampu kota. Dari ketinggian ia melihat jembatan tua dengan grafiti singa yang menyeringai, sungai hitam berkilat seperti sisik buaya, dan di kejauhan… layar ponselnya menyala dengan notifikasi yang tak henti.
“Ada dua pilihan buruk, Retna,” katanya di telepon. “Kalau aku jujur, manajemen akan melemparku ke kandang singa. Kalau aku diam, netizen akan jadi buaya lapar.”
Retna—partner kerja yang juga sahabat—menjawab lirih, “Kau tak perlu jadi pahlawan, To. Tapi jangan jadi pengecut.”
Jokotole menatap langit yang licin oleh kabut dan lampu. Nama itu—Jokotole—adalah titip doa dari ibunya yang membawanya dari pulau garam ke kota besar. “Joko bi’ etelle,” seloroh pamannya dulu, “laki-laki yang akan jadi jembatan.” Ia tertawa setiap mendengar itu, tapi malam-malam seperti ini, kalimat itu terasa berat, seperti jembatan yang harus menahan arus pasang, langkah pejalan, dan kelakar para pengamen.
Ia menutup panggilan. Notifikasi lain menyusul: tautan unggahan seorang influencer—Kelana—yang menguliti hotelnya sejadi-jadinya. Video dua puluh detik yang memperlihatkan kolam renang di lantai delapan: air biru yang seharusnya tenang, retak oleh tisu, daun ketapang, dan komentar pedas.
“Nyaman itu standar, bukan kemewahan,” tulis Kelana. “Kalau kolam saja tak terurus, apa kabar dapur?”
Jokotole mengerutkan dahi. Di bawah, lampu ruang rapat war room sudah menyala. Waktu memanjangkan nafas.
.
Awal dari Tisu di Kolam
Pagi itu berita buruknya sederhana: seorang tamu mengeluh di media sosial karena kolam renang hotel mengapung tisu dan daun ketapang. “Lap pakai jaring, bersih, beres,” kata Wirya, manajer operasional, sambil menepuk-nepuk map.
Siang berubah arah ketika Kelana—tamu barter promosi—mengunggah keluhan itu dengan caption pedas. Akun-akun besar memungutnya. Sore, pemilik hotel mulai gelisah dan menelepon dari mobilnya, suara knalpot sebagai metronom.
Malam, pesan singkat dari Wirya muncul di grup: “Buat rilis. Jangan akui salah. Katakan foto editan. Tekankan reputasi. Bawa ISO, SOP, semua huruf kapital yang meyakinkan.”
Singa dan buaya itu muncul di depan mata Jokotole. Ia teringat mural di bawah jembatan: seorang manusia tergantung di dahan, di bawahnya buaya menganga, di depannya singa menunggu. Ia masih kecil ketika pertama kali melihat gambar itu—ayahnya menggandeng pergelangan tangannya, menjelaskan dengan bahasa Madura halus, “Oreng kota kadang nganggur ro’ kesah, To. Ben jek tak engko’ nyantol nang dalem atelleng”—orang kota kadang berjalan tanpa arah, jangan sampai kau menggantung di kegelapan.
.
Pitutur Mbah dan Hujan di Rooftop
Nama-nama dari kisah Menak Madura kerap mampir ke telinga Jokotole sejak kecil: Remeng, Adipoday, Retna Kencana—orang-orang berani yang tidak selalu menang di medan perang, tapi menang di medan menahan diri. Mbah Umi sering berkata, “Eling lan waspada. Singa tak selalu liar, buaya tak selalu jahat. Manusia yang sering lupa mengukur jarak.”
Malam itu hujan turun deras. Hamzah, chief engineer, datang dengan payung dan dua cangkir kopi hitam. “Kau mau ikut rilis Wirya?” tanyanya.
Jokotole menggeleng. “Kalau kita bantah, Lora—pool boy—yang akan ditenggelamkan. Padahal jaringnya yang putus. Dan jaring itu masuk daftar pengadaan yang tak pernah turun.”
Hamzah menyeruput kopi. “Di kampungku ada ungkapan: rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Semua hambatan diatasi, tapi jangan tinggalkan orang-orangmu.” Ia memandang sungai. “Air itu tidak pernah berdebat. Ia mencari jalan.”
Jokotole menahan sebuah kalimat yang hampir meledak: Kadang yang menutup jalan justru orang yang memegang kunci gerbang. Ia tahu, fakta itu bukan konsumsi publik—belum. Ia menuruni tangga darurat, masuk ke war room dengan pakaian yang masih berembun.
.
Rapat di War Room
Ruangan itu terlalu terang. Lampu LED dingin, meja panjang, air mineral berjejer seperti pasukan berseragam. Wirya memaparkan tiga langkah: rilis bantahan, negosiasi dengan Kelana untuk hapus video, dan fokus pada event BUMN akhir pekan. “Tidak ada pembicaraan soal jaring putus, tidak ada kata ‘maaf’. Kita tidak bersalah.”
Jokotole berdiri. “Kita akui kesalahan, jelaskan langkah perbaikan. Tampilkan manusia yang bekerja, bukan mencari kambing hitam. Tambah shift, audit kolam, perbaiki SOP. Publik menghargai kejujuran.”
“Ini bukan film drama,” sindir Wirya. “Ini bisnis.”
“Justru ini fakta,” Jokotole menatap satu-satu. “Orang bisa mencium kepalsuan dari dua kilometer. Kalau kita bohong, jam yang kita dengar ini akan jadi bom waktu.”
Pemilik hotel menghela napas dalam panggilan video, wajahnya terpotong sinyal. “Tanggung jawab itu internal, bukan konsumsi umum.”
“Kalau internal mengunci mulut orang lapangan, publik akan memegang kunci narasi,” balas Jokotole. “Dua-duanya tak ideal, tapi satu mengundang dialog. Yang lain mengundang perlawanan.”
Keheningan turun, setebal karpet. Hingga suara pelan Retna, “Aku siap siarkan video Lora pagi ini. Tanpa drama. Tanpa musik sendu. Fakta saja.”
Jokotole menatapnya: tekad tak perlu berteriak.
.
Video Lora dan Reaksi Kota
Pukul 08.15, akun resmi hotel mengunggah video Lora di tepi kolam. Wajahnya pucat tapi matanya jujur. “Jaring putus. Saya salah prioritas. Maaf. Kami sudah perbaiki SOP dan pengadaan. Saya siap diaudit.”
Caption: “Kami bertanggung jawab. Kami perbaiki. Terima kasih sudah mengingatkan. Jadwal audit kolam terbuka di sorotan.”
Komentar berhamburan. Ada yang sinis: “Basa-basi.” Ada yang menyemangati: “Gini dong.” Lima menit kemudian, Kelana menulis: “Terima kasih sudah jujur. Saya hapus video lama. Saya bersedia buat ulang—edukasi kebersihan kolam untuk publik.”
Sentimen bergeser. Tidak seperti lembah jadi puncak, lebih seperti hujan yang mereda—bukan cerah, tapi orang mulai bernafas.
Di ruang pompa, Hamzah memeluk Lora yang tangannya masih bergetar. “Kau sudah berenang di arus yang benar,” katanya. Lora mengusap wajah. “Saya takut dipecat.”
“Nak,” Jokotole mendekat, “ketakutan itu buaya. Kita lewati sama-sama. Kalau digigit, kita obati. Kalau tak digigit, kita belajar. Kau bukan sendirian.”
.
Tiga Hari Kesempatan
Pemilik memberi ultimatum: tiga hari untuk membuktikan langkah ini benar. Tiga hari yang menuntut akurasi seperti shift malam front office: semua harus nyala, semua harus nyata.
Jokotole mengubah war room menjadi healing room. Semua staf duduk melingkar, bukan berbaris. Ia menulis di papan: “Rumah untuk Semua.” Di bawahnya, tiga kata: Lihat – Dengar – Lakukan.
Hari pertama: evaluasi SOP, pembagian shift baru, pengadaan jaring yang benar, dan pembenahan jadwal vacuum. Jokotole menandatangani sendiri daftar cek—ia tahu, tanda tangannya tidak akan menambah keindahan kolam, tapi menambah tanggung jawab pada kalimatnya.
Hari kedua: bersih-bersih bantaran sungai bersama komunitas kampung seberang. Anak-anak tertawa, ibu-ibu membawa karung, bapak-bapak menurunkan jaring besar. Kelana diam-diam datang tanpa kamera, membantu mengangkat karung. “Aku tak mau mengkapitalisasi momen ini,” katanya. “Aku mau belajar kenapa daun ketapang bisa berakhir di kolam lantai delapan.” Hamzah menjelaskan perihal angin, turbulensi, dan bagaimana arsitektur menyimpan kejutan.
Hari ketiga: open house—warga diundang melihat dapur, mesin laundry, ruang pompa, dan menikmati comfort food di restoran. Lora mengajar renang gratis untuk anak-anak pesisir. “Air mengajarkan kesabaran,” ia berujar. “Kau boleh panik saat tenggelam, tapi yang menolongmu justru tarikan napas teratur.” Seorang anak bertanya, “Mas, apa semua kolam bisa jujur?”
Jokotole menjawab, “Kolam itu diam. Kejujuran tugas orang-orang sekitar kolam.”
.
Jalur Kecil di Antara Singa dan Buaya
Tiga hari berlalu, grafik sentimen membaik. CEO mengirim emotikon jempol melalui chat—ringan, nyaris sinis. Tapi rapat berikutnya melontarkan batu lain.
“Kita butuh patuh,” kata pemilik, “jangan buat preseden akui salah. Narasi ini berbahaya. Nilai saham kita di mata investor itu citra, bukan cerita. Kau paham, kan?”
Jokotole menghembuskan napas yang menua. “Kalau narasi dikunci, kita akan menciptakan ruang yang lebih berbahaya: diam yang mengeras. Nanti saat retak, pecahannya melukai semua orang.”
“Kau berlebihan,” Wirya menimpali. “Kau pikir dirimu siapa—Jokotole yang legendaris? Ini kota, bukan legenda.”
“Legenda itu cara orang menyimpan hikmah dari hal yang tak sempat mereka tulis,” jawabnya tenang. “Kota butuh itu juga. Aku tidak menolak aturan, aku menolak menindih nurani.”
Keputusan tak menunggu sorak. Satu jam kemudian, surat pengunduran diri ada di meja HR. Ratna menutup wajahnya, Hamzah menyalami lama, Lora berdiri menahan isak. “Mas, aku… kalau tanpa panjenengan?”
“Tak ada ‘tanpa’. Ada ‘sesudah’,” kata Jokotole, tangannya menepuk bahu Lora. “Sesudah ini, kita tetap satu air.”
.
Mural Baru di Jembatan
Malamnya, Jokotole berjalan ke jembatan. Muralnya berubah: manusia yang dulu tergantung kini menuruni dahan, langkahnya ragu tapi ada. Jalur kecil ditandai garis putih tipis, seperti kapur anak sekolah. Di kiri singa tak lagi mengaum, hanya menatap. Di kanan buaya setengah tenggelam, matanya muncul di permukaan.
Seorang pelukis muda duduk di tepi, tangannya belepotan cat. “Mas,” sapa Jokotole.
“Mas juga lihat jalur kecil itu?” tanya pelukis.
“Melihat tidak cukup,” kata Jokotole, “kita perlu memijaknya.”
Pelukis tersenyum. “Jalur kecil itu dari sabar, Mas… dan kawan-kawan yang mau menahan tanganmu saat kau goyah.”
Jokotole mengangguk. Ia memfoto mural—bukan untuk diunggah, untuk disimpan di layar dalam dirinya.
.
Rumah Pulang
Dua minggu kemudian, Jokotole bersama Retna dan Hamzah merintis Rumah Pulang—pelatihan hospitality yang manusiawi untuk hotel kecil, guest house, dan usaha kuliner yang sering dianggap “bukan siapa-siapa” dalam deret kota. Mereka menyewa ruko tiga lantai bekas toko elektronik. Catnya masih menyisakan bau masa lalu. Mereka membangun kelas di lantai dua, menaruh poster sederhana: “Kejujuran adalah Fasilitas.”
Mereka mengajar menyapa tamu seperti tetangga, mendengar keluhan sampai habis, dan melakukan tindakan nyata yang bisa diukur. Modulnya ringkas: “SOP dengan Hati”—bukan untuk melawan SOP, tetapi memberi jiwa. Retna mengajarkan komunikasi krisis: bukan bagaimana menghindari badai, tetapi bagaimana berbagi payung. Hamzah memandu kelas teknis: cara kolam bernapas, cara mesin bicara, cara listrik minta didengar.
Kelas dibuka tiap Sabtu. Pesertanya datang dengan cerita: seorang pemilik homestay yang kolamnya lebih sering jadi kolam ikan, seorang supervisor restoran yang takut menulis kata ‘maaf’ karena dilarang atasan, seorang front office yang pandai tersenyum tapi gagap saat kesalahan muncul. Lora yang tadinya pool boy, kini fasilitator renang kehidupan. “Air mengajarkan ritme. Ritme mengajarkan pilihan. Pilihan mengajarkan bertanggung jawab,” ucapnya.
Di akhir setiap kelas, ada sesi “Jalur Kecil”: peserta diminta menulis satu langkah terkecil yang bisa dilakukan besok pagi. Bukan rencana besar, bukan poster motivasi. Hanya langkah kecil: menyapa nama seorang tukang parkir dengan benar; memastikan jaring diganti sebelum rapat; menaruh cermin di pantry agar chef melihat wajahnya sendiri saat marah; menyisihkan sepuluh menit setelah shift untuk mendengar satu keluhan staf tanpa interupsi.
.
Kota Membalas
Kota, jika kita berbaik hati padanya, kadang-kadang membalas. Bukan dengan pesta kembang api, melainkan halus seperti bunyi kunci yang akhirnya pas di lubang. Rumah Pulang mulai dipenuhi cerita yang tidak muat di spanduk.
Seorang ibu pemilik kios sarapan yang ikut pelatihan mengirim pesan: “Mas, saya minta maaf ke pelanggan yang dulu saya marahi. Dia kembali. Dia bilang, ‘Bu, saya kangen nasi jagung panjenengan.’ Saya menangis waktu itu.”
Seorang teknisi muda menulis: “Mas, saya baru tahu suara mesin itu bisa mereda kalau saya mereda.”
Kelana datang lagi—kali ini dengan kamera, tapi arah lensanya ke peserta, bukan ke dirinya. Ia membuat film pendek: “Jalur Kecil”—tanpa dramatisasi, hanya mata yang jujur. Film itu menang kecil di festival kota: bukan piala, hanya tepuk tangan lama yang membuat telinga ingin menangis.
Sementara itu, di hotel lama, orang-orang yang dulu satu atap diam-diam datang belajar. Mereka tak menyebut nama perusahaan, mereka menyebut nama diri: “Saya Wiryawan, saya ingin belajar minta maaf.” “Saya Hendra, saya ingin belajar menahan nada suara di telepon.” “Saya Rara, saya ingin belajar mengatakan ‘terima kasih’ tanpa tergesa.”
Rumah Pulang membuka pintu seperti lengan ibu: tidak bertanya kenapa pulang, hanya menyiapkan ruang untuk berbaring.
.
Pertemuan di Car Free Day
Suatu Minggu pagi, Car Free Day terasa seperti ruang keluarga raksasa. Anak-anak bersepeda, pasangan muda menggandeng anjing kecil, penjual minuman dingin memeram es dalam styrofoam yang mengembun. Poster Rumah Pulang bertuliskan: “Kejujuran adalah Fasilitas. Jalur kecil kita tempuh bersama.”
Kelana mewawancarai Jokotole di tepi trotoar yang melengkung. “Kalau satu kalimat, inti pekerjaanmu sekarang?”
“Membantu orang berhenti menggantung,” jawab Jokotole.
“Bagaimana caranya?”
“Dengan mengingatkan bahwa singa bisa diajak bicara dan buaya bisa dilewati—kalau kita tak berjalan sendiri.”
Kamera menangkap mata-mata yang berhenti. Ada yang tersenyum, ada yang menatap jauh, ada yang mengangguk seolah baru teringat sesuatu yang dulu pernah ia ketahui.
Seorang bapak paruh baya maju, wajahnya asing tapi akrab. “Mas,” katanya, “saya pemilik kolam kecil di kampung. Dulu saya marah kalau ada daun jatuh. Sekarang saya sediakan jaring di pinggir kolam. Orang yang berenang bisa ikut ambil daun. Ternyata kolam kami jadi lebih ramai. Orang suka merasa ikut bertanggung jawab.”
Jokotole mengangguk. “Rasa memiliki itu tumbuh ketika kita membuka tangan. Kolam yang baik bukan tanpa daun—kolam yang baik punya jalan bagi daun untuk diambil bersama.”
.
Pulang yang Dipilih
Malam itu, Jokotole kembali ke jembatan. Muralnya kini lengkap: manusia di jalur kecil diiringi teman-temannya, singa duduk tenang, buaya kembali ke arus. Di bawahnya tertulis: “Rumah Pulang, 2025.”
Ia berdiri lama, membiarkan angin meminjam rambutnya yang mulai tipis. Ponselnya bergetar: pesan dari ibunya yang jarang menulis panjang.
“Le’, ibuk baca tulisan sampean di koran kota. Ibuk bangga bukan karena sampean dipuji, tapi karena orang-orang yang kerja sama sampean sekarang bisa tidur. Tidur itu rezeki.”
Air menghangat di balik kelopak. Jokotole mengetik pelan: “Bhu’, makasih. Ben aku tak nganggur ro’ kesah.” Lalu ia menambahkan, tanpa suara, kalimat yang hanya bisa didengar kota yang sedang menua: “Aku memilih jalur kecil ini. Sebab pulang bukan alamat, melainkan cara berjalan.”
Ia memejamkan mata, mendengarkan lagi suara kota—klakson, tawar-menawar, derak koper, dan detak jam yang kini tak terdengar mengancam. Detak itu seperti napas, seperti renang gaya dada: pelan, pasti, dan selalu ada pilihan untuk muncul ke permukaan.
.
“Keberanian bukan melompat ke air atau menantang singa. Keberanian adalah menunda panik, mencari jalur kecil, lalu mengajak orang lain menyeberang bersama.”
Dan di suatu hari yang akan datang, ketika poster-poster baru akan menutup mural, ketika kota berganti musim dan kita berganti nama pekerjaan, barangkali yang tersisa dari semua ini hanyalah kebiasaan kecil: menyebut nama orang saat menyapa, mengucap maaf tanpa komanya, menaruh jaring di pinggir kolam, dan memilih pulang—meski jalurnya hanya selebar kapur.
Karena pada akhirnya, tangan kita tetap milik kita. Dan pegangan yang kita pilih—itulah peta pulang yang sesungguhnya.
.
.
.
Jember, 9 Agustus 2025
.
.
#JalurKecil #RumahPulang #HospitalityManusiawi #CerpenKota #KejujuranAdalahFasilitas #KomunikasiKrisis #KelasMenengah #CeritaUrban #BelajarBersama #Pulangkepilihan