Hidup yang Menyala

“Kadang, yang kita sebut cahaya hanyalah keberanian untuk tidak mematikan hati saat dunia memadamkan lampu.”
“Yang patah sebenarnya bukan hidup—yang patah adalah keengganan kita untuk percaya lagi.”
“Urip iku urup: nyala kecilmu cukup, selama kau menyalakannya setiap hari.”

“Hidup bukan tentang seberapa terang kita terlihat, tapi tentang seberapa hangat cahaya kita bagi yang nyaris padam.”

.

Langit Jakarta kelabu sore itu, seperti suasana hati Lela yang tengah remuk. Dari kaca jendela lantai tiga puluh—tempatnya bekerja sebagai guest experience officer di sebuah hotel bintang lima di kawasan Sudirman—hujan turun tegak, menimpa lampu-lampu kota yang belum menyala. Mobil-mobil merayap; payung-payung hitam mekar, barisan semut di trotoar licin.

Bukan hari pertama Lela merasa lelah, tetapi hari itu, untuk pertama kalinya ia ingin benar-benar berhenti. Sejak ayahnya meninggal sebulan lalu, ia hidup seperti mesin setrika: panas yang terus-menerus, bergerak bolak-balik tanpa jeda, merapikan kusut orang lain, melupakan kusut sendiri. Ayahnya, lelaki Madura yang bersarung dan berkaus putih, meninggalkan kalimat yang menempel seperti daun pada kaca basah: “Oreng ben akherah bede gun, pole ajunan oreng se atellor cahaya.” Jadilah seseorang yang kelak menerangi, bukan sekadar terlihat.

Di handphone, foto ayahnya yang memegang kelapa muda di bawah pohon siwalan tersenyum. Senyum yang Lela bawa ketika menyambut tamu-tamu berkoper Rimowa, menyodorkan kunci suite pada pasangan yang baru menikah, dan memanggil nama pelanggan lama yang suka menyendiri di lounge, memandangi hujan. Senyum yang hari ini retak.

“Lel… kamu gak apa-apa?” Jaka berdiri di ambang pintu ruang istirahat staf. Wajahnya yang selalu tampak siap bercanda mendadak ragu. Di tangannya ada dua cangkir kertas kopi mesin, salah satunya ia dorong pelan ke arah Lela.

Lela menggeleng. Kata-kata menyangkut seperti butiran nasi di kerongkongan. “Aku… enggak tahu harus menahan apa lagi.”

“Tarik napas dulu.” Jaka duduk, menatap manik mata Lela yang basah. “Semua tamu hari ini tetap pulang, hujan tetap reda, dan besok kita masuk lagi. Sisanya, kita ngobrol. Biar gak macet sendirian.”

Macet. Kata itu memantul. Jakarta selalu macet; ternyata duka pun bisa.

.

Malamnya, di TransJakarta koridor 1, Lela berdiri berdampingan dengan perempuan muda beraroma parfum bunga seharga setengah gaji. Di luar jendela, flyover memantulkan lampu-lampu tinggi dari gedung-gedung yang menua bersama aspirasi penghuninya. Lela turun di halte Tebet BUMD, berjalan ke kos-kosan bercat krem yang sempit tetapi rapi. Di dinding kamarnya tertempel kertas lusuh: tulisan tangan ayahnya saat ia pertama kali merantau ke Jakarta.

“Urip iku urup, Le. Nyalakan hidupmu, sanadyan lilinmu cilik.”

Ia meraba serat kertas, seolah ada nadi yang berdetak di sana. “Ayah,” bisiknya, “bagaimana caranya menyalakan lilin yang basah?”

Di bawah kertas itu, meja kecil penuh catatan tamu, ide kejutan ulang tahun, dan daftar nomor telepon vendor balon. Lela memandanginya seperti menatap peta pulau asing. Hidupnya disusun dari daftar-daftar, jadwal check-in, standar pelayanan, skor kepuasan. Semuanya ada rumusnya, kecuali berduka.

.

Keesokan pagi, hotel sibuk sejak subuh. Ada konferensi investasi di ballroom. Papan nama berukir akrilik dipasang, microphone dites, barista menghafal preferensi: flat white, single shot, lactose free. Lela memimpin briefing: suara tenang, tangan gerak sedikit, mata menatap satu per satu.

“Tim, hari ini kita main rapi. Ingat, sapa dengan nama. Satu cerita kecil lebih berharga daripada seribu salam yang lupa.”

Kalimat itu keluar begitu saja, seperti kebiasaan lama menepuk punggung sendiri agar tegak. Di lift khusus staf, ia berdiri bersama dua anak magang dari SMK kepariwisataan. Seragam mereka masih kaku, mata menyimpan gugup.

“Kak, kalau tamunya marah-marah, kita harus gimana?” tanya salah satu, bernama Muning, pipinya bertabur jerawat yang jujur.

Lela menatap pantulan wajah mereka di cermin lift. “Dengarkan dulu sampai habis. Jangan balas dengan penjelasan. Ulangi keluhannya, lalu tawarkan satu hal kecil yang bisa diperbaiki saat itu juga. Dan… panggil namanya.”

“Kalau namanya susah?”

“Pelan-pelan. Nama itu rumah bagi setiap orang.”

Lift berhenti. Pintu membuka pada koridor karpet tebal. Ketika Lela melangkah, ia seperti mendengar suara ayahnya: “Se atellor cahaya.” Ia tidak tahu apa yang akan menerangi hari ini. Tetapi ia melangkah.

.

Ada tamu bernama Jayeng—seorang konsultan keuangan, klien lama yang selalu tampak setengah lelah. Pagi ini ia memandangi hujan lewat dinding kaca lounge, memegang cangkir espresso yang dibiarkan dingin. Wajahnya tenang namun terpotong garis-garis kecil di pelipis; tipe orang yang bisa membuat keputusan besar sambil melipat koran.

“Selamat pagi, Mas Jayeng,” sapa Lela. “Bagaimana tidurnya?”

Jayeng menoleh, kaget sebentar—lalu tersenyum. “Pagi, Mbak Lela. Tidur cukup. Hanya… Jakarta begini-begini saja ya—terang tapi tidak hangat.”

“Karena kita lebih sering mengejar sorot, bukan pelukan,” kata Lela. Ia sendiri tak tahu mengapa kalimat itu meluncur.

Jayeng tertawa pendek. “Kalimat bagus. Kapan terakhir kali kamu dipeluk, Mbak Lela?”

Pertanyaan itu seperti kaca jatuh di lantai. Orang-orang menghindar, takut kena pecahannya. Lela menelan ludah. “Satu bulan lalu. Saat terakhir kali… saya pulang ke Pamekasan.”

Jayeng mengangguk, mengembalikan pandang ke hujan. “Turut berdukacita.”

“Terima kasih,” ujar Lela pelan. Hujan di luar seperti memindahkan suara ke dalam dada.

Di meja sebelah, seorang perempuan muda dengan mantel krem—Retna—mengetik pesan dengan ibu jari cekatan. Ia selebritas sosial media yang sering menjadi tamu VIP. “Mbak Lela,” panggilnya, “nanti sore aku request flower box warna putih, dicampur lily dan aster. Simple, ya. No card.”

“Siap, Mbak Retna,” jawab Lela. “Jam berapa saya antar ke kamar?”

“Jam tujuh. Dan… tolong minta housekeeping ganti diffuser di kamar. Lavender, bukan sandalwood.”

Sederet catatan masuk ke kepalanya, susun rapi seperti gelas di rak. Tetapi hari itu, ada satu pesan lain—lebih pelan, lebih halus—yang menepuk dari dalam: “Pelan-pelan, Lel. Diri juga tamu.”

.

Tiga hari setelahnya, Lela diundang ke ruang GM. Di sana, selain Jaka, ada seseorang yang baru di lingkaran manajemen: Joko Tole—nama yang membuat beberapa staf bercanda diam-diam, tetapi begitu bertemu mereka berhenti. Ia tenang, tajam, mengenakan kemeja putih yang jatuhnya pas.

“Kami dapat email dari Dinas Pendidikan,” kata Joko Tole. “Mereka minta hotel ini menjadi mitra strategis program magang untuk sekolah vokasi. Bukan sekadar menerima siswa, tapi mengajar. Saya ingin kamu, Lela, menjadi koordinatornya.”

Lela merapatkan jari-jarinya. “Pak, saya… belum siap bicara di depan kelas.”

“Kamu bicara setiap hari. Hanya saja panggungnya koridor dan lobby,” sela Jaka sambil tersenyum. “Beda lampu, sama cerita.”

Joko Tole menatap Lela seperti orang memeriksa perhiasan yang baru ditemukan. “Kamu punya cara menyentuh tanpa menyentuh. Ajarkan itu. Ajarkan yang tak tertulis.”

Kata-kata itu anehnya menenangkan. Lela mengangguk kecil. “Baik. Saya akan coba.”

“Tidak perlu jadi terang,” kata Joko Tole. “Cukup hangat.”

Kalimat itu, entah bagaimana, menemukan kursinya di hati Lela.

.

Di kelas, di sebuah ruang serbaguna yang disulap menjadi laboratorium layanan, Lela berdiri di depan belasan siswa SMK dari Jakarta Timur. Mereka duduk tegak, setengah ingin cepat lulus, setengah takut gagal. Di papan, Lela menulis tiga kata: “Nama, Mata, Nada.”

“Ini rumus sederhana,” katanya. “Nama: panggil orang dengan namanya. Mata: tatap mata orang ketika mendengarkan. Nada: atur suara agar orang merasa aman.”

Seorang siswa mengangkat tangan. Namanya Umar. Di matanya ada sorot yang akrab bagi Lela—sorot orang yang tahu kota bisa memakan orang pelan-pelan. “Kak, kalau kita sendiri sedang sedih, bagaimana caranya tetap menyapa tamu dengan tulus?”

Lela tersenyum. “Tulus itu tidak selalu berarti senang. Tulus itu hadir. Kita boleh sedih, tapi jangan absen dari kebaikan.”

“Kalau gagal, Kak?”

“Gagal itu bukan padam. Gagal adalah jeda untuk belajar menyalakan lagi.”

Ia bercerita tentang ayahnya, tentang Pamekasan, tentang siwalan dan debur pantai yang mengajarinya bahwa ombak tidak bisa disuruh berhenti; kita hanya bisa belajar berenang tanpa tenggelam. Ia menceritakan tamu-tamu yang marah, yang kesepian, yang bahagia. Ia ajak mereka latihan mengucap “selamat datang” tanpa terdengar seperti membaca.

“Coba taruh namamu di ujung kalimat,” ujarnya. “Karena yang menyambut bukan jabatan, tapi manusia.”

Ketika kelas usai, beberapa siswa mendekat. Muning—anak magang yang dulu gugup di lift—memegang tangan Lela sebentar. “Kak… aku merasa hidupku seperti lilin kecil. Tapi… mungkin memang cukup.”

“Cukup sekali,” Lela menguatkan. “Karena ruangan gelap hanya butuh satu nyala untuk berubah.”

.

Pagi berikutnya, Lela berjalan cepat di koridor suite. Ia mengantar flower box putih untuk Retna seperti yang dipesan. Ketika bel ditekan, pintu terbuka dan Lela melihat Retna duduk di karpet, ponsel di satu tangan, mata bengkak. Di meja, ada paspor, tiket pesawat, dan amplop tebal yang setengah terbuka.

“Masuk, Mbak,” suara Retna serak. “Taruh di sebelah situ.”

Lela ragu sejenak, lalu melangkah masuk. Ruangan itu wangi lavender. Di TV, layar jeda sebuah film hitam putih. “Apa saya bisa bantu apa pun, Mbak?” tanya Lela, suara hati-hati seperti menaruh gelas kristal.

Retna menatapnya. Air mata yang ditahan meletup seperti gelembung soda. “Kamu pernah merasa… semua orang sibuk memotretmu, tapi di foto kamu sendirian?”

Lela mengangguk. “Sering.”

“Orang-orang mengira aku bahagia. Padahal aku… capek. Capek jadi baik. Capek jadi kuat. Capek jadi cerita.”

Lela duduk di tepi sofa, menjaga jarak yang pantas, meminjamkan diam. “Boleh cerita tanpa jadi konten,” katanya. “Di sini… tidak ada kamera.”

Retna terisak. “Aku akan pergi ke Singapura malam ini. Ada kontrak baru. Semua terlihat terang. Tapi… hangatnya hilang.”

“Kalau hangat hilang, pulang sebentar,” kata Lela. “Ke dirimu. Ke doa yang pendek. Ke orang yang mengingat namamu bukan karena bacaan caption.”

Retna tertawa sambil menangis. “Kamu lucu sekali, Mbak Lela.”

“Bukan lucu, Mbak. Hanya… pernah sedih.”

Sebelum Lela pamit, Retna memegang pergelangan tangannya. “Terima kasih. Kalau suatu hari aku redup… semoga yang pernah kau terangi tetap menyala.”

Kata-kata itu, entah milik siapa, menempel di dahi hari.

.

Sore lain, di lounge yang menghadap kota, Jayeng kembali duduk sendirian. Di meja ada dokumen-dokumen yang disusun rapi. Lela mengantarkan camilan kecil—kue talam pandan, karena ia pernah mendengar Jayeng menyebut “rindu rasa kecil yang jujur”.

“Kenapa orang-orang suka hotel?” tanya Jayeng tanpa menoleh.

“Karena hotel seperti jeda yang bisa dibayar,” jawab Lela. “Sejenak kita jadi orang yang tidak dikejar cucian piring atau pertanyaan keluarga.”

Jayeng tertawa, kali ini lebih lepas. “Kamu seharusnya menulis.”

“Aku menulis,” kata Lela, malu. “Di blog yang tidak ada pembacanya.”

“Biar aku jadi pembaca pertama,” ujar Jayeng. “Kirimkan. Aku ingin mengingat apa rasanya menjadi hangat.”

Malam itu, Lela membuka laptopnya di kamar. Ia menulis tanpa rencana—tentang tangan-tangan yang menyalakan lilin orang lain, tentang meja resepsionis yang menjadi altar kecil bagi doa-doa praktis, tentang chaise lounge yang menyimpan rahasia tangis puluhan kota. Ia menyisipkan kalimat ayahnya dalam bahasa Madura, juga pitutur Jawa. Ia menyelesaikan dengan kalimat yang membuatnya sendiri menangis: “Hidup bukan tentang berapa banyak yang kita capai, tapi seberapa hangat nyala yang kita bagi.”

Ia kirim tautannya ke Jayeng. Dua jam kemudian, balasan datang: “Tulisanmu seperti kopi yang tidak pahit. Teruskan. Dunia butuh barista bagi luka-luka yang tidak memesankan dirinya.”

.

Suatu Minggu, Lela pulang sebentar ke Pamekasan. Naik pesawat pagi, naik travel siang, menyusur jalan yang ditingkahi bau garam dan asap sate. Di rumah, ibunya menyambut dengan tangan yang tidak lagi kuat, tetapi tetap cekatan menyiapkan teh. Mereka menziarahi makam ayah—tanahnya basah, bunga sepatu menunduk.

“Bapakmu selalu bangga,” kata ibunya. “Meskipun kau jarang pulang. Ia bilang, ‘Lela belajar membuat orang pulang ke dirinya.’”

Lela memeluk ibunya. Di antara batang siwalan, angin mengelus pipinya. Ia berjanji pada sesuatu yang tidak ia sebut: ia akan menjaga api kecil itu. Tidak akan membiarkannya padam oleh hujan gedung atau kabar duka.

Di warung dekat rumah, seorang bocah menawarkan es kelapa. “Mbak Lela, gratis,” katanya. “Bapak bilang kalau Mbak Lela datang, kasih yang manis.”

Air mata Lela tumpah juga. “Terima kasih,” jawabnya. Ada rasa asin yang ikut, entah dari laut atau dari mata.

.

Jakarta menyambutnya dengan jadwal baru. Program magang SMK berkembang, bukan lagi latihan melipat napkin, tapi juga modul “Bahasa Perasaan”: mendengarkan, memberi jeda, menamai emosi, menolak dengan hormat. Joko Tole memfasilitasi pertemuan lintas departemen; Jaka membuat permainan peran yang seru. Hotel tak hanya menjual kamar; mereka merawat kemanusiaan.

Suatu hari, ada keluhan besar. AC di ballroom mati. Konferensi investasi akan dimulai satu jam lagi. Panik menular seperti kabar buruk. Lela menarik napas: nama, mata, nada. Ia menemui panitia. “Pak Umar, kami sedang perbaiki. Bolehkah saya tawarkan coffee corner gratis di foyer, dan kita pindahkan sesi pembukaan ke lounge yang sejuk? Kami siapkan signage dan usher dalam sepuluh menit.”

“Sepuluh menit?” Panitia mendengus.

“Delapan menit,” Lela membetulkan, tersenyum. “Kami tahu nama pembicara, rute masuk, dan nomor kursi tamu VIP. Izinkan kami bekerja.”

Langkah-langkah kecil itulah yang menyelamatkan hari. Konferensi bergulir, panas tinggal gosip. Seusai acara, panitia memegang tangan Lela. “Terima kasih. Kami pikir semua akan gagal.”

“Gagal boleh,” kata Lela. “Tapi tidak hari ini.”

Jaka datang kemudian, menepuk pundak. “Kamu seharusnya jadi GM,” candanya.

“Tidak,” Lela menampik. “Aku cukup menjadi manusia.”

.

Di sebuah sore yang jarang, Lela duduk sendirian di rooftop staf, memandang kota yang perlahan menyalakan lampu. Ia teringat semua orang yang ia temui: Retna yang memilih menunda keberangkatan untuk pulang ke ibunya; Jayeng yang mengirim pesan “aku berhenti mengejar sorot, aku sedang belajar memeluk”; Muning yang lulus magang dan diterima sebagai staff on call; Umar yang menulis pesan: “Kak, saya tidak jadi berhenti sekolah.”

Ia menyalakan ponsel, membuka catatan. Menulis tiga hal yang ia yakini, untuk ia baca ulang saat hidup kembali kelabu:

  1. “Kesabaran adalah teknologi tertua yang tidak pernah usang.”

  2. “Mendengarkan adalah promosi paling murah dengan dampak paling mahal.”

  3. “Hangat lebih susah dari terang. Karena hangat menuntut hati.”

Ia menutup ponsel. Angin membawa wangi hujan. Dalam kepalanya, suara ayahnya tertawa. Dalam dadanya, ada ruang kecil yang dulu kosong, kini terisi sesuatu yang tidak gemerlap, namun memadai: ketenangan.

.

Beberapa bulan berlalu. Sebuah email datang dari sebuah media. Mereka membaca blog Lela. Mereka ingin memuat salah satu tulisannya di rubrik “Sosok yang Biasa Saja Tapi Penting.” Judulnya usulan redaksi: “Menjadi Cahaya Tanpa Panggung.”

Lela menatap layar. Rasanya tangan ayah memegang bahunya: bukan menuntun ke panggung, melainkan ke dapur, menawarinya semangkuk sop. Ia menulis balasan sederhana: “Terima kasih. Saya bersedia. Tapi izinkan saya menyebut nama semua orang yang menyalakan saya.”

Mereka membalas: “Itu bahkan lebih baik.”

Malamnya, Joko Tole mengirim pesan: “Bangga.”

Jaka menimpali dengan emoji api dan sate Madura. Retna menulis, “Aku mencetak tulisanmu dan menempel di cermin: ‘Jangan memaksa dirimu menjadi lampu sorot. Jadilah lilin yang menemukan meja.’” Jayeng, singkat: “Terima kasih sudah mengajarkan cara pulang.”

Di kamar kos, di bawah kertas lusuh “Urip iku urup,” Lela berbaring. Ia menutup mata. Jakarta di luar tetap bising—sirene, motor, tawar-menawar tanpa kata. Tapi di dalam, ada hening yang hangat. Ia ingin mengucap “selamat datang” pada dirinya sendiri.

Ia berdoa, pelan: “Ayah, aku menyalakan ini seterang yang bisa. Jika suatu hari redup, tolong tiupkan angin kecil.”

Ia tertidur dengan senyum yang tidak rapi. Hujan berhenti. Kota menggigil sebentar, lalu mengingat selimut.

.

Pagi berikutnya, ia kembali ke lobby. Menyebut nama, menatap mata, mengatur nada. Ia membantu seorang bapak-bapak yang kebingungan mencari ruang rapat, menenangkan anak kecil yang menangis karena balonnya pecah, menahan lift agar dua orang yang saling canggung tidak terpisah. Hari itu berjalan seperti biasa. Lela tidak menyelamatkan dunia; ia hanya menyelamatkan momen.

Di buku kecilnya, ia menambahkan satu kalimat baru—bukan miliknya, entah milik siapa, tetapi kini sah menjadi bagian dari dirinya:

“Jika suatu hari aku redup, semoga yang pernah kuterangi tetap menyala.”

Dan barangkali, itulah seluruh alasan ia tetap bekerja, tetap pulang, tetap menyalakan lilin kecil di kepalanya setiap pagi. Barangkali, itulah cara paling manusiawi untuk hidup di kota yang selalu tampak terang: menciptakan hangat.

.

Petikan-petikan untuk disematkan di antara jeda:

  • “Kita tidak diminta menjadi matahari. Cukup jadi api kecil yang tidak menyakiti.”

  • “Kesedihan tidak butuh penjelasan; ia butuh kursi.”

  • “Sopan santun adalah bahasa pertama yang dipahami semua luka.”

  • “Kebaikan itu seperti handuk hotel: harus sering diganti agar tetap bersih.”

  • “Jangan cepat-cepat menilai hidup orang lain; kita tak tahu seberapa berangin koridor mereka.”

  • “Nama adalah rumah. Ketuklah dengan pelan.”

.

Pada akhirnya, Jakarta tidak berubah banyak: jalan yang sama, rintik yang sama, gedung yang sama. Yang berubah adalah Lela—dan itu, rupanya, cukup untuk membuat peta di kepalanya menampilkan rute baru. Rute yang membawa orang pulang bukan ke alamat, melainkan ke diri. Ia menyadari, jadi terang itu kerja lampu; jadi hangat itu kerja hati.

Dan hati, jika dirawat, tidak pernah kehabisan listrik.

.

.

.

Jember, 7 Agustus 2025

Jeffrey Wibisono V.

.

.

#HidupYangMenyala #CerpenMinggu #UrbanJakarta #UripIkuUrup #HospitalityHeart #MenakMadura #CeritaKemanusiaan

Leave a Reply